Kemiskinan REALITAS DAN IMAJINASI DALAM KUMPULAN CERPEN

Melukiskan harapan akan kehidupan yang lebih baik tersebut, SGA menampilkannya dalam cerpen “Tujuan Negeri Senja”. Negeri tanpa kejahatan seperti Negeri Senja adalah negeri yang tidak mungkin ada di dunia nyata. Semua orang memimpikannya, tetapi tidak banyak yang berani berharap lagi. Penantian akan sebuah kehidupan yang lebih baik tersebut hanya ada khayalan. “Apakah Negeri Senja menjanjikan suatu kebahagiaan yang abadi? Sebegitu jauh, orang-orang yang datang ke stasiun ini lebih banyak yang memilih ke Jakarta daripada ke Negeri Senja. Banyak di antaranya juga pergi ke Jakarta untuk memburu kebahagiaan, memburu mimpi, memburu cita-cita yang terhampar di cakrawala- meskipun Jakarta terasa seperti neraka.” Tujuan:Negeri Senja, ITPM: 137

d. Kemiskinan

“Kemiskinan adalah suatu keadaan di mana seseorang tidak dapat untuk memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompoknya dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental atau fisiknya dalam kelompok tersebut.” Soekanto, 1982:378 Kemiskinan, salah satu potret realitas lain yang ditampilkan dalam kumpulan cerpen ITPM. Puluhan anak-anak yang lahir dari gorong-gorong. Anak- anak yang dilahirkan dalam kemiskinan. Anak-anak yang terlahir dalam kemiskinan ini akhirnya hidup sebagai pengemis di jalanan. Tidak ada pilihan lain, mereka hidup tanpa harapan. Kemiskinan demikian menggerogoti kehidupan sehingga anak-anak ini hanya bisa menadahkan tangan mengharapkan rejeki dari tangan yang terulur dari kaca-kaca jendela mobil di jalanan. “Anak-anak itu tidak dilahirkan oleh seorang ibu, mereka dilahirkan oleh rahim kemiskinan. Begitu lahir mereka langsung berumur 3, 5, 8 atau 12 tahun. Pada saat malam gelap gulita, tanpa sepotong bulan pun di langit, mereka muncul ke jalan raya, merayap dalam gorong-gorong yang berbau serba busuk dengan tubuh penuh lumpur.” Anak-anak Langit, ITPM: 173 Universitas Sumatera Utara “Anak-anak kecil yang manis, anak-anak kecil yang matanya manis, cemerlang bak bintang kejora, tapi yang pelupuk matanya tetap saja kuyu. Dengan lumpur yang mengering dan menjadi daki yang melekat bertahun- tahun, mereka menengadahkan tangannya ke kaca-kaca jendela mobil tanpa harapan mendapatkan apapun.” Anak-anak Langit, ITPM: 173 Realitas kemiskinan ini berangkat dari kenyataan yang terjadi di Indonesia pasca reformasi. Biro Pusat Statistik BPS Indonesia mencatat, jumlah angka pengangguran di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun 1996-2001. Tempo menulis bahwa tingkat pengangguran di tahun 2003 berdasarkan data dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, terus meningkat. Jumlah orang yang sama sekali tidak bekerja bertambah 1,6 juta orang sehingga jumlah pengangguran menjadi 9,6 juta orang. Dibanding tingkat pengangguran sebelum krisis moneter, pertengahan tahun 1997, tingkat pengangguran ini naik lebih dari 100 persen. Jika ditambah dengan setengah pengangguran bekerja kurang dari 35 jam seminggu, jumlah pengangguran di Indonesia pada tahun 2003 hampir mencapai 39 persen dari seluruh angkatan kerja. Berikut ini adalah jumlah pengangguran dan angkatan kerja di Indonesia berdasarkan data dari BPS. dikutip dari Majalah Tempo edisi 25 Mei 2003 Profil Ketenagakerjaan Indonesia 1996-2001 dalam ribuan Kategori 1996 1997 1998 1999 2000 2001 Angkatan Kerja 90.109 89.602 92.734 94.847 95.650 98.812 Bekerja 85.701 85.405 87.672 88.816 89.837 90.807 Menganggur 4.407 4.197 5.062 6.030 5.813 8.005 Pengangguran 4,89 4,68 5,46 6,36 6,08 8,10 Universitas Sumatera Utara Setelah reformasi terjadi, kemiskinan masih menggerogoti Indonesia. Tahun 1997, krisis ekonomi melanda Indonesia. Peristiwa ini melatarbelakangi terjadinya reformasi dan berakhirnya era pemerintahan Seoeharto. Setelah itu, perekonomian Indonesia tidak banyak berkembang. “Dunia usaha belum juga bangkit. Perbankan pun masih enggan memberikan pinjaman ke sektor riil. Investasi asing tetap menjauh, dan yang terjadi justru pelarian modal ke luar gara-gara Indonesia tak bisa menjamin keamanan dan kepastian berusaha. Tak mengagetkan jika pertumbuhan ekonomi Indonesia cuma berkisar 4 persen. Ancaman ledakan pengangguran sudah di depan mata. Lebih dari 9,5 juta orang menganggur. Angka kemiskinan meningkat. Dan IMF sudah tidak sabar melihat Indonesia yang berjalan bak siput.” Tempo edisi 25 Mei 2003: 64 Menggambarkan realitas yang terjadi di Indonesia tersebut SGA menggumpamakan kemiskinan yang terjadi di Indonesia dalam cerpen “Anak- anak Langit” sebagai anak-anak yang tiba-tiba naik ke permukaan, keluar dari gorong-gorong. Anak-anak yang terlahir dari rahim kemiskinan. Anak-anak yang terlahir dari gorong-gorong bercampur lumpur yang sudah mengering. Anak-anak tersebut merasakan tekanan kemiskinan sejak lahir. “Sehingga begitu lahir mereka langsung berumur 3, 5, 8 atau 12 tahun. Pada saat malam gelap gulita, tanpa sepotong bulan pun di langit, mereka muncul ke jalan raya, merayap dalam gorong-gorong yang berbau serba busuk dengan tubuh penuh lumpur.” Anak- anak Langit, ITPM: 173 Anak-anak yang lahir dalam kemiskinan tersebut, akhirnya menjadi pengemis. Mereka mengemis tidak hanya di jalanan. Mereka mengemis di angkasa. Tokoh yang menceritakan “anak-anak yang terlahir di gorong-gorong” bertemu dengan anak-anak tersebut dalam perjalanan menembus awan. Sedang perjalanan menembus awan-awan tersebut terasa melihat keluasan dunia. SGA Universitas Sumatera Utara membayangkan dapat melompat dari satu awan ke awan lain, menunggang kunda andini dan masuk ke celah awan. Menembus awan melihat dunia dari ujung ke ujung dan menembus setiap lapis langit. “Mengembara di antara awan memberikan perasaan betapa dunia ini begitu luas. Dikau bisa melompat berlari dari bantalan mega yang satu ke mega yang lain. Bisa juga membayangkan diri menunggang seekor kuda terbang, atau lembu andini, keluar masuk celah awan yag gemilang dalam perubahan warna yang tak tertahan dari saat ke saat, sari pesona ke pesona, dari ujung dunia ke ujung dunia. Langit tak pernah sama dengan bumi. Setiap lapis yang ditembus memberikan makna dan cerita lain.” Anak-anak Langit, ITPM: 180 Yang terjadi adalah anak-anak tersebut terbang menghampiri pesawat terbang yang ditumpangi si pencerita, dengan mata yang sengaja dibuat sayu. Di sisi kanan kiri pesawat mereka muncul. Terbang begitu saja. Sesuatu yang di dunia nyata mustahil terjadi. SGA menggunakan imajinasi ini untuk menggambarkan betapa kemiskinan demikian beratnya dihadapi bangsa ini, sehingga anak-anak itu harus melanjutkan kepengemisannya di langit. Lagi pula bagaimana mungkin jendela pesawat dibuka hanya untuk memberikan sedekah? ”Di setiap jendela di sisi kiri maupun kanan muncul satu, dua, sampai tiga anak yang menjulurkan tangan dengan wajah yang menghiba-hiba dan mata yang dikuyu-kuyukan, nampak sekali berpura-pura.” Anak-anak Langit, ITPM: 182 “Anak-anak dari kolong bumi yang hanya pantas hidup dalam kekelaman dan hanya pantas hidup dalam penderitaan kini menembus mega-mega, menembus awan gemawan yang tebal melanjutkan kepengemisannya.” Anak-anak Langit, ITPM: 182 “Mereka membubung langsung dari gorong-gorong yang bagai tiada habisnya terus-menerus memuntahkan anak-anak bersimbah lumpur, membubung langsung ke langit ke arah pesawat terbang dan mengulurkan tangan ke jendela-jendelanya. Di muka bumi anak-anak itu mengulurkan tangan dengan pandangan mata tahu pasti bahwa akan ditolak. “Kami mengemis bukan karena butuh uang,” kata mata itu, “kami mengemis karena kami dilahirkan sebagai pengemis. Maka anak-anak membubung langsung dari gorong-gorong ke jendela setiap pesawat tanpa mengharap suatu ketika jendela itu akan dibuka dan akan menerima uang logam Universitas Sumatera Utara seratus atau dua ratus rupiah. Lagipula, mana mungkin jendela pesawat dibuka untuk memberi sedekah?” Anak-anak Langit, ITPM: 183 “Di jendela anak-anak yang berlumpur dengan mata yang murni itu menatap kami, kami dalam pesawat menatap mata anak-anak itu. Kemiskinan macam apakah kiranya yang tiada mungkin tertolong lagi dan kekayaan macam apakah kiranya yang tak pernah mungkin mengubah kemiskinan itu?” Anak-anak Langit, ITPM: 184 “Dalam iringan takbir di langit yang menenggelamkan opera duniawi manapun anak-anak itu membubung ke atas, melanjutkan perjalanannya. Kucoba menengok ke atas dan hanya kulihat berkas-berkas cahaya berkilatan.” Anak-anak Langit, ITPM: 184

e. Masyarakat yang Teralienasi