Menanti Perubahan REALITAS DAN IMAJINASI DALAM KUMPULAN CERPEN

pun aku tahu betapa aku akan terus-menerus menunggui kedatangannya sampai mati. Namun inilah yang barang kali tidak pernah diketahuinya: ternyata aku tidak mati-mati. Aku terus-menerus menunggu dari senja ke senja sampai dua ratus tahun sampai lama-lama menjadi patung. Aku terus-menerus menanti dan mengharapkannya, siapa tahu dia akan muncul dari ujung jalan setapak itu sebagai siluet wanita berambut panjang yang menenteng kepala iblis.” Patung, ITPM: 162-163 Petikan paragraf di atas juga menjadi sebuah paparan imajinasi yang perlu dipertanyakan. Iblis tidak pernah mati. Namun inilah yang barangkali tidak pernah diketahuinya, ternyata aku tidak mati-mati. Si aku yang telah menjadi patung, seluruh darah, usus, tulang, dan seluruh tubuhnya telah membatu. Si aku pun tidak mati-mati, selama kurang lebih 200 tahun. Kalau begitu kesimpulannya, apakah “aku” identik dengan iblis? “Iblis tidak pernah mati Aku tidak pernah mati Kesimpulannya : aku adalah iblis. Silogisme di atas tentu saja layak dipandang sebagai salah nalar yang parah, persis seperti kesimpulan ngawur yang mengatakan bahwa Si Kris adalah kucing hanya lantaran dia berkumis. Akan tetapi bagaimana kalau kesimpulan itu justru memberi peluang, meminjam istilah Roman Jakobson, sebuah cara membaca yang lain, sebuah arah bagi interpretasi baru?” Budiman, 2005: 74 Petikan paragraf dari cerpen “Patung” di atas juga memberi interpretasi baru bahwa iblis tidak pernah mati sekalipun dilawan oleh laki-laki ataupun perempuan serta siapapun dapat menjadi iblis. Dapat bertindak seperti iblis, melakukan kejahatan seperti iblis, entah ia laki-laki ataupun perempuan.

c. Menanti Perubahan

Orang-orang menanti-nantikan terjadinya perubahan. Setelah 32 tahun dalam pemerintahan rezim Soeharto Orba yang otoriter, orang-orang menanti- nantikan terjadinya perubahan. Kehidupan yang lebih baik, perekonomian, dan kondisi sosial yang lebih baik. Universitas Sumatera Utara Karena itu datangnya reformasi mendapat sambutan yang hangat dari masyarakat. Reformasi diharapkan menjadi jawaban atas permasalahan negara. Membenahi sendi-sendi perekonomian dan seluruh aspek kehidupan bernegara yang dibangun di atas pondasi yang keropos. Meminjam istilah Muhammad Hatta sebagai bagunan rumah kartu. Rumah yang gampang rubuh dan tidak kuat pondasinya. Datangnya reformasi terasa seperti angin segar bagi kehidupan bangsa Indonesia. Sayangnya, butuh waktu yang panjang menanti terjadinya perubahan itu. Reformasi terasa berjalan sangat lambat, walaupun perubahan dan pembenahan sudah banyak dilakukan. Butuh waktu yang panjang untuk memperbaiki stabilitas perekonomian Indonesia. Rakyat mengharapkan perubahan yang revolusioner, padahal terlalu banyak yang harus dibenahi dari keboborokan 32 tahun pemerintahan Soeharto. Pada beberapa bagian reformasi malah mengecewakan. Perekonomian anjlok, dolar mencapai Rp. 10.000, harga-harga naik, harga bahan bakar naik, penghasilan masyarakat menurun, dan angka pengangguran meningkat. “Drama besar kejatuhan Soeharto telah lama lewat. Dengan krisis ekonomi dan demonstrasi besar sebagai latarnya, kekuasaan Soeharto tancep kayon. Ia dihujani hujatan. Para demonstran merangsek hingga ke pagar rumahnya. Ia dianggap sebagai penjahat besar yang menjadi penyebab tunggal krisis multidimensi di Indonesia. Tapi, setelah drama besar itu, apa yang terjadi? Ekonomi tak membaik, harga barang melonjak, keamanan menjadi barang langka. Proses politik seperti perdebatan di parlemen, friksi internal partai politik, dan perebutan kursi kekuasaan-ciri normal proses demokrasi- tak memberi kesan positif bagi orang banyak. Perubahan baik bukan tak ada. Pers menjadi lebih bebas, kekuasaan pusat kian dikurangi melalui otonomi daerah, serta sistem multipartai memberi kesempatan semua orang menyuarakan pendapatnya. Tapi, lagi-lagi, Universitas Sumatera Utara semuanya terasa hambar ketika perut makin melilit.” Tempo edisi 25 Mei 2003: 26. Masyarakat seperti tidak sabar meniti perubahan. Perubahan diharapkan terjadi secepat mungkin. Padahal itu tidak mungkin terjadi secepat membalik telapak tangan. Realitas yang terjadi di Indonesia ini diangkat SGA dan ditampilkan dalam kumpulan cerpen ITPM lewat dua buah cerpennya “Patung” dan “Tujuan Negeri Senja”. Realitas yang terdapat di cerpen “Patung” adalah tentang orang yang menunggu kekasihnya berperang melawan iblis. Padahal iblis tidak pernah mati. Di cerpen “Tujuan Negeri Senja” adalah tentang aku yang menceritakan sebuah gerbong kereta api di Stasiun Tugu. Kereta api dengan lokomotif biasa itu muncul begitu saja dari arah Kali Code bergerak searah menuju Jakarta, lalu membelok dan menghilang. Kereta api ini bukan kereta api biasa. Sebab tujuan kereta api ini adalah Negeri Senja. Sebuah negeri entah berantah, yang orang lain tidak tahu berada di mana. Tak seorang pun yang berangkat ke sana dapat kembali ke dunia nyata. Orang-orang yang berangkat ke sana telah siap-siap untuk tidak kembali. Tidak ada pula yang tahu persis bagaimana keadaan di sana. Dari jauh kelihatan gerbong kereta itu tampak gilang-gemilang ditutupi cahaya senja. Gerbong-gerbongnya tampak menggambarkan sebuah kehidupan yang tentram sejahtera. Anak-anak bermain berlarian di padang rumput. Mereka berkejaran bahagia. Tumbuhan hijaunya segar. Angsa-angsa berenang membelah kolamnya. Kuda-kuda berlarian keluar membelah lembahnya. Hutan tropisnya basah dengan nyanyian burung sahut-menyahut. Sebuah pemandangan yang sedap dilihat. Sebuah dunia yang tidak mungkin. Universitas Sumatera Utara Orang-orang telah menjadi terbiasa melihat kejadian ini, sedang “aku” merasa aneh, bagaimana orang pergi dan tidak kembali dianggap hal yang biasa. Tokoh aku merasa aneh karena ada juga orang yang pergi ke sana walau hanya satu dua orang. Yang pergi pun tidak pernah membawa banyak barang. “Aku pergi cuma sebentar, tunggulah di sini, aku segera kembali setelah iblis itu mati.” “Jadi dikau kan pergi memburu iblis, Sayang?” “Ya, aku harus membunuhnya, setelah itu aku baru bisa pacaran dengan tenang. Apakah kamu akan menunggu aku sayang?” Aku tidak menjawab, namun dia tahu aku akan menunggunya sampai mati. Aku terus berdiri di tempat ini menunggu seperti dijanjikannya. Aku tidak akan terlalu lama, aku akan muncul di ujung jalan itu ketika senja. Aku akan muncul ketika matahari yang jingga dan membara turun di antara dua gunung itu. Dikau akan melihatku sebagai siluet. Muncul sebagai bayang-bayang hitam berambut panjang yang berlari ke arahmu. Tunggulah aku di luar desa ini, aku akan muncul di ujung jalan itu menenteng kepala iblis sebagai hadiah untuk perkawinan kita.” Patung, ITPM: 161-162 “Setiap sore selalu muncul kereta api ke jurusan Negeri Senja. Kereta api itu berwarna perak muncul begitu saja dari arah Kali Code dengan pancaran cahaya yang gilang-gemilang, seolah-olah seperti sebuah kereta kerajaan entah dari mana. Kereta api itu bukan kereta api diesel, melainkan kereta api otomotif biasa yang selalu mendengus-dengus, tapi kereta api itu memang sangat menawan. Gerbong-gerbongnya bagaikan dibuat di negeri dongeng. Bukan hanya karena mengkilap keperakan, tetapi juga karena dari jendela kita bisa melihat dunia yang tidak mungkin. Di dalam gerbong-gerbong itu kita melihat alam terbentang yang komplet, sebuah padang rumput dengan danau yang tenang di mana angsa-angsa berenang-renang menyibakkan permukaannya. Kuda-kuda yang muncul dari celah lembah dan berlari mendaki bukit. Hutan tropis yang basah dengan humus dan nyanyian burung sahut-menyahut.” Tujuan:Negeri Senja, ITPM: 130-131 Mengemas kenyataan-kenyataan tersebut SGA menyajikan penantian masyarakat terhadap perubahan tersebut sebagai penantian seorang kekasih. Menanti kekasihnya pulang membunuh iblis. Penantian yang terasa sangat panjang dan tidak akan pernah berujung, tidak akan berakhir karena iblis tidak pernah mati. Kejahatan tidak akan pernah hilang dari muka bumi. Universitas Sumatera Utara Melukiskan harapan akan kehidupan yang lebih baik tersebut, SGA menampilkannya dalam cerpen “Tujuan Negeri Senja”. Negeri tanpa kejahatan seperti Negeri Senja adalah negeri yang tidak mungkin ada di dunia nyata. Semua orang memimpikannya, tetapi tidak banyak yang berani berharap lagi. Penantian akan sebuah kehidupan yang lebih baik tersebut hanya ada khayalan. “Apakah Negeri Senja menjanjikan suatu kebahagiaan yang abadi? Sebegitu jauh, orang-orang yang datang ke stasiun ini lebih banyak yang memilih ke Jakarta daripada ke Negeri Senja. Banyak di antaranya juga pergi ke Jakarta untuk memburu kebahagiaan, memburu mimpi, memburu cita-cita yang terhampar di cakrawala- meskipun Jakarta terasa seperti neraka.” Tujuan:Negeri Senja, ITPM: 137

d. Kemiskinan