Ketika Masyarakat yang Teralienasi

membuat hidup manusia lebih bermakna. Ketika manusia tersebut berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, dengan alam, manusia pun bahkan dapat menikmati indahnya kehidupan. “Setelah seribu tahun, baru disadarinya bukan hanya bunga, tapi juga daun bisa begitu indah.” Pada Suatu Hari Minggu, ITPM: 52 Setelah seribu tahun, pengumpamaan tentang waktu yang panjang untuk melahirkan kesadaran manusia modern. Mereka terlalu disibukkan dengan pekerjaan sehingga tidak ada waktu lagi untuk menikmati kehidupan dari hal-hal kecil. Akibatnya mereka menjadi tertekan. Ketertekanan ini membuat masyarakat merasa terasing di tengah-tengah modernisasi masyarakat. Bahwa bukan saja bunga, tetapi daun juga begitu indah. Inilah gambaran yang digunakan SGA melukiskan keadaan masyarakat tersebut. Keterasingan masyarakat ini juga digambarkan sebagai lagu blues, kesendirian dan malam, lagu sendu yang mengalun di kesendirian menembus malam. Begitu melankolik, begitu sendiri dan terasing. Kudengar lagu blues –aku masih sendirian menembus malam. Taksi Blues, ITPM: 73

2.1.2 Ketika

Subbab ketika ini terdiri dari dua buah cerpen, yakni “Jakarta Suatu Ketika” dan “Clara”. Subbab ini menceritakan peristiwa sosial yang terjadi di Indonesia pada saat reformasi berlangsung. Peristiwa-peristiwa sosial yang melatarbelakangi reformasi yang terjadi di Indonesia pada Mei 1998. Universitas Sumatera Utara a. Kerusuhan dan Penjarahan Kerusuhan dan penjarahan massal adalah huru-hara, kekacauan, keributan, dan perampokan atau pencurian yang dilakukan masyarakat secara massal. Pelaku kerusuhan tersebut adalah masyarakat banyak. Sehingga sulit untuk mencari tahu siapakah dalang kerusuhan tersebut. Kerusuhan dan penjarahan massal adalah salah satu realitas yang digambarkan pengarang. Mengacu kepada dunia di luar karya sastra ITPM yakni kerusuhan dan penjarahan massal yang terjadi di Jakarta pada Mei 1998. Ini jelas terlihat pada kutipan berikut: “Semua orang tidak menjadi dirinya sendiri. Pembakaran dirayakan seperti seperti sebuah pesta tahunan. Asap hitam mengepul di mana-mana membuat langit menjadi gelap. Belum pernah aku melihat asap yang mengalir ke luar gedung seperti aliran sungai, tapi asap itu kemudian membubung ke atas. Api menghanguskan setiap benda hasil kerja manusia selama berpuluh-puluh tahun. Aku berada di tengah-tengah para penjarah. Mereka memasuki gedung-gedung yang terbakar dengan keberanian luar biasa. Mereka masuk menembus asap. Mereka masuk menembus api dan keluar lagi dengan barang-barang jarahan. Sebagian masuk dan tak pernah keluar lagi.” Jakarta Suatu Ketika, ITPM: 83 Kutipan di atas menggambarkan kenyataan di dalam cerpen ini sebagai realitas dalam karya sastra bahwa pada telah terjadi peristiwa pembakaran besar- besaran yang dilakukan secara massal. Orang-orang merayakannya dengan antusias seperti sebuah pesta tahunan. Pembakaran berlangsung terus-menerus sehingga asap mengalir ke mana-mana dan langit menjadi gelap. Orang-orang berbondong-bondong dan berlomba-lomba menjarah hasil kerja keras orang lain yang bukan milik mereka. Memanfaatkan situasi kacau-balau untuk mengambil sesuatu yang bukan hak mereka. Orang-orang tersebut akhirnya banyak juga menjadi korban, terjebak dalam kebakaran. Kutipan berikut ini mempertegas kondisi yang terjadi dalam kerusuhan itu. Universitas Sumatera Utara “Long Shot. Tabrakan beruntun. Tiga mobil bertabrakan di perempatan karena panik. Belum sempat saling memaki, massa sudah tiba. Para pengemudinya disuruh keluar. Ketiga mobil itu dibakar sekaligus. Long Shot. Asap bergulung-gulung, hitam, tebal, dan menakutkan. Langit sungguh muram. Angin berbau sangit. Orang-orang mulai melempar dinding-dinding kaca. Para satpam yang bisanya patentengan lari lintang pukang. Batu-batu berterbangan diiringi suara kaca pecah berantakan. Close Up. Dinding-dinding kaca pecah. Close Up. Dinding-dinding kaca pecah. Long Shot. Gedung terbakar. Long Shot. Gedung terbakar. Mengapa ia menuang bensin, menyalakan korek api, dan membakar gedung itu?” Jakarta Suatu Ketika, ITPM: 79- 80 Terjadi kerusuhan yang melibatkan massa. Pembakaran mobil dan gedung-gedung terjadi. Kaca-kaca gedung-gedung dilempari dan dipecahkan dengan batu. Tidak banyak yang bisa dilakukan sekalipun untuk pembelaan diri. Kendaraan-kendaraan dicegat, disuruh berhenti dan dibakar. Petugas keamanan pun tak berkutik bahkan melarikan diri demi keselamatan. Inilah gambaran kerusuhan massal yang terjadi di dalam cerpen Jakarta Suatu Ketika. “Langit kelabu di atas Jakarta. Asap kebakaran membubung di mana- mana. Aku berdiri di puncak sebuah gedung, memandang berkeliling, dari saat ke saat meletup asap hitam yang baru, membubung dan membubung bagaikan gumpalan dendam yang meruyak, membebaskan dirinya dari pasungan.” Jakarta Suatu Ketika, ITPM:77 Banyak orang yang menjadi korban dalam pembakaran dan kerusuhan massa ini. Orang-orang yang terjebak di dalam gedung menjadi korban dan terbakar. Tidak ada yang dapat dilakukan para pemilik toko. Mereka menyembah- nyembah agar toko mereka tidak dibakar. Banyak juga segera menuju bandara, melarikan diri ke luar negeri. “Mereka terjebak di tengah api. Seorang ibu memeluk kedua anaknya. Mereka menjadi hangus dan lengket. Aku berlari keluar. Kulihat orang- orang mulai membakar toko-toko di sepanjang jalan. Para pemilik toko tidak bisa berbuat apa-apa. Sebagian memohon dan menyembah-nyembah agar tokonya jangan dibakar, sebagian besar hanya pasrah saja. Sebagian Universitas Sumatera Utara lagi lari ketakutan, langsung ke bandar udara.” Jakarta Suatu Ketika, ITPM: 84 Orang-orang yang melakukan penjarahan seperti kesetanan. Api dibiarkan terus menyala dan berkobar. Tidak ada yang berusaha memadamkan api, tidak juga petugas pemadam kebakaran. Penjarahan dilakukan seperti terorganisir. Ada yang bertugas melempar barang-barang jarahan dari atas gedung, ada yang mengumpulkan dalam karung-karung rami, ada yang mengangkut barang-barang jarahan tersebut. Tidak ada di antara orang-orang tersebut yang mau ketinggalan melakukan penjarahan. “Long Shot. Seratus orang terjebak di dalam gedung. Orang-orang berlari keluar mengangkut barang jarahan. Dari lantai atas orang-orang melempar barang dari dalam kardus ke bawah. Di bawah orang-orang menangkap dengan sigap, memasukkannya ke dalam karung-karung rami, lantas menumpuknya di tepi jalan. Tiada pemadam kebakaran. Banyak orang tetapi tak seorangpun menyiram api. Semua orang takut tidak kebagian. Semua orang tidak ingin ketinggalan melakukan penjarahan.” Jakarta Suatu Ketika, ITPM: 85 Realitas yang ditampilkan tersebut juga berangkat dari realitas yang terjadi pada saat terjadinya reformasi ketika. Pada saat reformasi berlangsung, terjadi kerusuhan massa besar-besaran. Penjarahan dan pembakaran gedung- gedung, pusat perekonomian terjadi di Jakarta. Ribuan orang menjadi korban dan kerugian materi mencapai triliunan. Tim Gabungan Pencari Fakta TGPF telah mencatat 1200 orang tewas terbakar, 8.500 bangunan dan kendaraan gosong menjadi abu. Tempo, edisi 25 Mei 2003. Kerusuhan yang terjadi pada Mei 1998 tersebut diwarnai dengan berbagai peristiwa.. Majalah Tempo, edisi 25 Mei 2003 mencatat, kerusuhan diawali dengan demonstrasi yang dilakukan mahasiswa-mahasiswa yang juga memakan korban. Pada 12 Mei 1998 ribuan mahasiswa menggelar mimbar bebas di Universitas Sumatera Utara Universitas Trisakti. Di luar kampus massa telah menumpuk. Aparat keamanan membubarkan mimbar bebas tersebut, tembakan meletus, dan situasi menjadi chaos. Empat orang mahasiswa tewas menjadi korban, yakni Hafidin Roiyan, Hery Hartanto, Hendriawan, dan Elang Mulya Lesmana. Pada 13 Mei 1998 massa dan mahasiswa yang berbelasungkawa di Trisakti. Massa yang entah terdiri dari siapa saja juga menumpuk di Tanah Abang, Jakarta dan di Parung, Jawa Barat. Di Jakarta Selatan massa yang dihalau aparat merusak pos polisi. Massa yang ada di Trisakti tersebut bergerak dari Jalan K.H. Hasyim Asyari ke Jalan Kyai Tapa, perempatan Roxy Mas, Jalan K.H. Moch. Mansur, dan Bendungan Hilir. Dari sana massa lalu bergerak ke Jembatan Sempit Angke, Jembatan Dua, Jembatan Tiga, Jembatan Lima, dan Jembatan Besi. Pada sore harinya massa kemudian menyebar ke Cengkareng dan Glodok. Di wilayah Jakarta Barat dan Pusat sudah mulai terjadi perusakan dan pembakaran gedung pertokoan. Pada malam harinya di semua titik penumpukan massa terjadi dan terjadilah kerusuhan, penjarahan, dan pembakaran. Taggal pada 14 Mei 1998, massa di Glodok kembali melakukan penjarahan dan perusakan. Sebagian bergerak ke Mangga Dua, mendekati Ancol. Di Jakarta Selatan, muncul titik kerusuhan baru di Goro, Pasar Minggu. Di Jakarta Barat massa menyebar ke Jalan Hayam Wuruk dan Salemba, Jakarta Pusat. Kerusuhan di Jakarta Selatan, massa di sekitar Goro, Pasar Minggu mulai menjarah dan membakar pertokoan. Dari sinilah kerusuhan menyebar ke sejumlah titik, memicu kerusuhan di Pasar Cipete, Kebayoran Lama, Jalan Sultan Iskandar Universitas Sumatera Utara Muda, Jalan Kyai Maja, Pasar Rumput, dan Jalan Ir. H. Juanda. Massa di Jakarta Pusat merusak pertokoan di Jalan Letjen Suprapto. Kerusuhan di Jakarta Timur, massa terkonsentrasi di Jalan Pemuda, dekat Kawasan Industri Pulo Gadung. Massa didrop dengan truk kontainer atau kendaraan bermotor dan memancing orang-orang untuk melakukan penjarahan. Kerusuhan menyebar ke pul DLLAJR dan Plaza Arion. Pada sore harinya di Jakarta Selatan, massa mulai membakar bangunan di Jalan Kyai Maja, Jalan Sultan Iskandar Muda, Kebayoran Baru, dan Pos Pangumben. Di Jakarta Timur, massa membakar Yogya Departement Store. Pembakaran ini merembet ke Cempaka Putih. Perusakan dan pembakaran di Jakarta Timur menyebar ke pertokoan Poncol Jakarta, Matraman. Selanjutnya perusakan dan penjarahan menyebar di dua lokasi. Di Jakarta Timur ada di Kramat Jati dan di Jakarta Selatan di Jalan D.I. Panjaitan, Kebayoran Baru, dan Pancoran. Kerusuhan masih terus berlanjut hingga 15 Mei 1998. Berakhir dengan pembakaran pos polisi Pulomas, Jakarta Timur. Terjadi pula penjarahan susulan oleh para pemulung. Inilah realitas yang terjadi di Indonesia, Jakarta khususnya pada saat berlangsungnya reformasi. Beberapa waktu sebelum lengsernya Soeharto. Seperti sebuah kesaksian korban peristiwa Mei ini yang di muat di Tempo edisi 25 Mei 2003. “Namanya Eng Liong Woen. Suatu hari lima tahun silam, dia memacu sepeda motor dengan hati galau. Sore itu langit Jakarta diselimuti asap hitam. Sepanjang jalan, dari Glodok ke arah Senen, api telah melalap gedung pertokoan. Sejumlah mobil melintang di jalan, ringsek hangus seperti arang. Batu bercampur pecahan kaca berantakan di aspal. Hari itu, 14 Mei 1998, huru-hara menelan ibu kota. Tujuan eng Liong satu: selekas mungkin tiba di rumahnya di Johar Baru, Jakarta Pusat. Universitas Sumatera Utara Tapi Eng sedang sial. Di depan STM Poncol, Senen, pegawai toko elektronik di Glodok itu dicegat sekelompok orang. Mencium gelagat buruk, Eng mencoba kabur. Tapi usahanya gagal. Motornya terjengkang ke tanah, dan gerombolan lelaki beringas itu pun menghajarnya sampai mandi darah. Di ambang sadar, dia mendengar suara berat,” Kami akan menghabisi Cina di Jakarta.” Masih merintih di atas aspal, Eng diguyur bensin. Lalu seorang dari kawanan itu memantik mancis. Dan… wuuus Tubuh Eng pun menyala- nyala. Api menjalar dari rambut sampai paha. Badannya kelenjotan sebentar, sebelum ia pingsan. Untunglah, di saat genting itu, seorang warga Poncol, Haji Harun menolongnya. Tubuh gosong itu segera digotong ke Rumah Sakit Islam Cempaka Putih. Nyawa Eng selamat. Tapi lelaki 33 tahun itu kini menanggung cacat berat. Sekujur kulit badan dan mukanya rusak. Jemarinya buntung dan bengkak.” Mei 1998: Kala Amuk Menjarah Jakarta, Majalah Tempo: 154 Realitas yang terjadi di Ibu Kota tersebut disajikan menjadi realitas yang baru dalam kumpulan cerpen ITPM. Realitas disajikan SGA lewat cerita seorang reporter yang menyaksikan secara langsung peristiwa kerusuhan dan penjarahan besar-besaran tersebut. Tokoh cerita terlibat di dalamnya. Meliput dan merekam setiap kejadian. Citra visual yang disampaikan pengarang dalam cerpen ini sangat filmis. Sehingga membaca cerpen ini membuat pembaca seperti menonton sebuah film dokumenter. Hal ini karena pemilihan format cerpen yang meniru sebuah shotlist atau shooting script walaupun tidak sama persis. Tetapi keterangan-keterangan teknis shot untuk peristiwa yang direkam menunjukkan hal tersebut. “Tele shot. Seorang pemuda mulutnya menganga danmengepalkan tinju. Siapakah namanya? Mengapa ia berteriak? Mengapa ia mengepalkan tinju? Mengapa ia mengikat kepalanya dengan kain? Kami tidak akan pernah berjumpa lagi. Tele shot. Seorang wanita berlari dengan panik tanpa sepatu. Wajahnya ketakutan. Akankah kami berjumpa lagi? Tele shot. Para pelajar SMA menyandera sebuah bis kota. Sopirnya disuruh turun, lantas seseorang menggantikannya. Penumpangnya turun Universitas Sumatera Utara dan lenyap dalam banjir massa. Mereka naik ke atap dan meneriakkan yel. Mungkinkah kelak salah seorang di antaranya akan menjadi menteri? Tak pernah jelas apakah aku akan berjumpa lagi dengan salah satu di antaranya. Siapa penulis skenario nasib?” Jakarta Suatu Ketika, ITPM: 78-79 Citra visual yang filmis mempermudah pembaca membayangkan dunia yang tengah dibangun pengarang di dalam cerpen ini.

b. Pemerkosaan Massal