untuk dibenci? “Saya memang Cina, tapi apa salah saya dengan lahir sebagai Cina?” Clara, ITPM: 101-102
Mereka memang warga keturunan Cina, tetapi mereka warga negara Indonesia. Bagian dari Indonesia. Mereka bahkan lebih fasih berbahasa Indonesia
ketimbang bahasa Cina sendiri. Pemikiran inilah yang disampaikan SGA dalam kumpulan cerpen ITPM menanggapi realitas sosial kerusuhan Mei 1998 di
Jakarta.
c. Kecemburuan Sosial
Kecemburuan sosial adalah kecemburuan yang terjadi karena adanya pelapisan sosial kedudukan sosial dalam masyarakat. “Kedudukan sosial
diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam satu kelompok sosial, sehubungan dengan orang-orang lainnya dalam kelompok sosial tersebut.”
Soekanto, 1982:233 Dalam kehidupan bermasyarakat selalu akan ada kelompok-kelompok
yang akan dihargai, tergantung kepada ukuran masyarakat terhadap apa yang mereka hargai. Sesuatu yang dihargai tersebut dapat berupa uang atau benda yang
bernilai ekonomis, tanah, kekuasaan, keturunan atau keluarga terhormat, ataupun ilmu pengetahuan. Apa yang dihargai masyarakat tersebut akan menjadi bibit
yang menumbuhkan lapisan sosial dalam masyarakat. Perbedaaan yang mencolok antara lapisan sosial tersebut menjadi pemicu terjadinya kecemburuan sosial.
Realitas sosial yang lain, yang terjadi di dalam kumpulan cerpen ITPM adalah kecemburuan sosial. Kecemburuan sosial terjadi karena perbedaan kelas
atau status sosial. Adanya jurang pemisah antara kelas sosial yang berbeda, kurangnya interaksi, dan pengkotak-kotakan kelompok sosiallah yang memicu
Universitas Sumatera Utara
kecemburuan sosial. Kecemburan sosial ini jelas terlihat pada cerpen “Jakarta Suatu Ketika”. Perbedaan kelas sosial antara Bagyo pemuda tanggung yang
bekerja di rumah keluarga Sari agar dapat bersekolah, keluarga Sari, dan pemuda pengangguran belasan tahun yang rambutnya dicat merah serta sibuk mengatur
lalu lintas. Realitas ini diperlihatkan oleh sosok Bagyo, pelajar yang bekerja di rumah
keluarga Sari untuk membantu perekonomian keluarganya agar dapat bersekolah. Bagyo biasa bekerja di rumah keluarga Sari, mengurus kebun, membersihkan bak,
mengganti air kolam renang, dan pekerjaan lainnya. Bagyo juga biasa berangkat sekolah sore dari rumah keluarga Sari. Tetapi kemudian Bagyo dipecat oleh Ayah
Sari. Pasalnya, suatu hari, Ayah Sari melihat Bagyo membuka lemari es dan
mengambil es krim. Ayah Sari menganggap Bagyo mencuri. Ia tidak ingin memelihara pencuri. Tetapi Sari membela dan mengatakan Bagyo biasa
mengambil es krim karena Sari yang memberi izin. Ayah Sari tetap tidak mau terima. Ia menganggap Bagyo ngelunjak. “Berapa sih harga es krim?” tanya Ayah
Sari retorik. Menggambarkan betapa murahnya harga es krim bagi orang kaya seperti Ayah Sari, tetapi tidak bagi Bagyo, karena semua penghasilannya ia
serahkan kepada orang tuanya. Es krim yang tidak mahal harganya bagi keluarga Sari menjadi penyebab Bagyo kehilangan pekerjaan. Tanpa tawar-menawar
Bagyo dipecat. “Bagyo tak pernah datang lagi. Biasanya ia mengurus kebun,
membersihkan bak, mengganti air kolam renang dan banyak lagi. Meski ia tidak tinggal di sana, ibu menyediakan sebuah kamar kecil untuk tidur
siang. Bagyo sekolah sore, dan biasa berangkat dari rumah itu. Apakah Bagyo masih bersekolah setelah dikeluarkan? Ibu tak berani
memikirkannya.” Jakarta Suatu Ketika, ITPM:88
Universitas Sumatera Utara
“Suatu hari ayah memergoki Bagyo membuka lemari es. Ayah mengintip. Ternyata Bagyo mencuri es krim. Ayah membiarkan Bagyo menikmati es
krim itu, tapi kemudian Bagyo dikeluarkan. “Mula-mula ia mencuri es krim,” kata ayah, “lama-lama ia mencuri
perhiasan.” “Dia cuma kepingin,” kata Ibu.
“Dia kan bisa bilang. Atau beli sendiri kek. Berapa sih harga es krim?” “Bagyo tidak punya uang, semua penghasilan ia serahkan kepada orang
tuanya.”… “Sari biasa kok menyuruh Bagyo ambil sendiri es krim di kulkas,” ujar
Sari. “Ah, pantas,” kata Ayah, “pantas anak itu jadi ngelunjak. Dasar orang
kampung. Butuh pekerjaan sudah dikasih, begitu masuk sudah nyolong es krim.” Jakarta Suatu Ketika, ITPM: 86-87
Perbedaan kelas sosial, kecemburuan sosial, dan sakit hati akibat
perlakuan Ayah Sari membuat Bagyo melakukan aksi balas dendam. Bersama dengan teman-temannya Bagyo merampok rumah keluarga Sari. Mereka adalah
pemuda kampung belasan tahun, pengangguran, biasa berkumpul di pinggir jalan dan jembatan untuk mengatur lalu lintas. Tetapi Bagyo hanya mencuri es krim. Ia
mendorong Sari masuk ke kamar agar Sari tidak terluka. “Seseorang mendekati Sari, mendorongnya masuk, dan menutup pintu.
Sari mengintip: Bagyo sedang membuka kulkas dan menyambar satu ember es krim rasa vanila. Langsung membawanya keluar dan hilang
lenyap, takkan pernah kembali, tak akan pernah kembali untuk selama- lamanya.” Jakarta Suatu Ketika, ITPM:93-94
Realitas kecemburuan sosial ini jugalah yang memicu kerusuhan Mei
1998. Perbedaan antara miskin dan kaya terlihat sangat mencolok. Kurangnya interaksi yang menimbulkan kecurigaan yang akhirnya memicu konflik.
Untuk menampilkan kecemburuan sosial tersebut, SGA menggunakan tanda-tanda semiotik. Es krim vanila yang dicuri Bagyo dari kulkas yang
dianggap tidak seberapa harganya bagi keluarga Sari tetapi sangat mahal bagi Bagyo menggambarkan jarak sosial antara tokoh-tokoh tersebut. Tidak tanggung-
Universitas Sumatera Utara
tanggung, SGA menulis satu ember es krim rasa vanila yang dicuri Bagyo. Sebuah aksi balas dendam terhadap apa yang belum bisa ia nikmati selama ini.
Untuk menggambarkan kecemburuan sosial SGA juga menggunakan boneka pula Winne the Pooh milik Sari. Boneka kesayangan Sari yang selalu
dibawanya ke mana-mana. Winne the Pooh adalah boneka beruang madu kecil, tokoh ciptaan Walt Disney yang berpetualang bersama teman-temannya Piglet
dan lain-lain dalam cerita animasi Winne the Pooh. “Di jembatan, mereka harus selalu terhenti karena macet. Mobil hanya
bisa lewat satu-satu. Anak-anak muda berambut merah dan bersandal jepit mengatur lalu lintas, kemudian mengulurkan tangannya untuk meminta
uang receh. Di dalam mobil Sari memeluk Winne the pooh, boneka beruang kecil itu. Anak-anak muda itu melihat Sari, gadis kecil berpita
merah yang matanya cemerlang, memeluk Winnie the pooh sambil memandang mereka dengan tajam. Mata anak muda itu kadang-kadang
terarah kepada Winne the pooh.” Jakarta Suatu Ketika, ITPM: 82 Kemarahan akibat kecembuaran sosial ini ditunjukkan dengan merampas
boneka Winne the Pooh milik Sari. Menginjak-injak dan membakarnya. Para pemuda tersebut marah kepada Sari. Mereka menuduh Sari dan keluarganya tidak
peduli kepada orang lain. Tidak peduli kepada lingkungan mereka. Keluarga sari hanya peduli kepada kehidupan dan kekayaan mereka. Terlalu nyaman dengan
kemewahan sehingga tidak peduli dengan kekurangan orang lain. “Hidupmu kau persembahkan kepada boneka, kata anak-anak muda tersebut kepada Sari.
“Gadis kecil yang kaya, serahkan bonekamu.” Sari memeluk Winne-the-Pooh erat-erat.
“Gadis kecil yang kaya, hidupmu kau persembahkan untuk boneka. Seharusnya engkau peduli kepada kami Mengerti?”
Lelaki berambut merah merampas boneka beruang cokelat yang manis itu. Sari menjerit, namun ia tidak peduli, dibantingnya boneka itu, diinjak-
injaknya, lantas ia menyulut korek api, mengangkat boneka itu dari lantai dan membakarnya di depan wajah Sari.
Gadis kecil anak orang kaya itu diam saja. Tapi kudengar jeritannya.” Jakarta Suatu Ketika, ITPM:88
Universitas Sumatera Utara
Dari segi teknis cerpen ini juga disajikan dengan menarik. Ada penjajaran dua tokoh sekaligus, yakni cerita tentang aku, si wartawan televisi yang meliput
peristiwa kerusuhan Mei 1998 serta cerita tentang Sari dan keluarganya dalam satu bingkai cerita. Kedua tokoh ini akhirnya bertemu secara tematik di bagian
akhir cerita. Penjajaran ini pada gilirannya membuat proses identifikasi-diri pembaca menjadi terbelah, yang satu kepada aku dan yang satu lagi kepada Sari.
d. Dekadensi Moral