Tindakan Subversif dan Penculikan

berakhir sesudah “Paman Gober” meninggal dunia. Tidak ada yang dapat dilakukan selain menunggu-nunggu saat itu, kematian Paman Gober. “Apakah ini hakikat hidup bebek?’ “Bukan, itu hakikat hidup Paman Gober.” Sementara itu, di gudang uangnya yang sunyi, Paman Gober masih terus menghitung uangnya dari sen ke sen, tidak ditemani siapa-siapa. Matanya telah rabun. Bulunya sudah rontok. Sebetulnya ia sudah pikun, tapi ia tidak tergantikan. Semua bebek menunggu kematian Paman Gober. Tiada lagi yang bisa dilakukan selain menunggu-nunggu saat itu. Setiap kali penduduk kota bebek membuka koran, yang ingin mereka ketahui cuma satu: apakah hari ini Paman Gober sudah mati. Setiap pagi mereka berharap akan membaca berita kematian Paman Gober, di halaman pertama.” Kematian Paman Gober, ITPM:11

b. Tindakan Subversif dan Penculikan

Tindakan politis yang biasa dilakukan oleh penguasa untuk membungkam lawan politiknya demi mempertahankan hegemoni kekuasaannya adalah dengan melakukan tindakan-tindakan subversif seperti penculikan. Di Negeri Bebek, penguasa pun melakukan tindakan subversif dan mengancam setiap orang yang hendak melakukan perlawanan. Setiap bebek yang berani mengkritik akan disembelih. “Bisa, tapi jangan asal meleter, nanti kamu kusembelih.” “Aduh kejam sekali, menyembelih bebek hanya dilakukan oleh manusia.” “Ah, siapa bilang bebek tidak kalah kejam dari manusia?” “Lho, manusia makan bebek, apakah bebek makan manusia?” “Yang jelas manusia bisa makan manusia.” “Tapi paman mau menyembelih sesama bebek, apakah sudah mau meniru sifat manusia?” Kematian Paman Gober, ITPM:8 Dalam cerpen Taksi Blues realitas penculikan dan tindakan subversif terjadi di Jakarta. “Posisi di mana?” “Menteng.” Taksi Blues, ITPM: 55 Sekelompok orang, mereka adalah bekas aparat yang dipecat, dijadikan kambing hitam atas aksi penculikan yang mereka lakukan atas perintah atasan. “Waktu itu abang bilang cuma menuruti perintah atasan.” “Memang perintah atasan yang kita turuti waktu itu.” Universitas Sumatera Utara “Tapi kenapa jadi kita yang salah? Kenapa kita yang dipecat? Bukan atasan kita?” “Memang kenyataannya begitu Din, kita diperintahkan menculik Joni. Kita diperintahkan membuangnya di tepi jalan.” Taksi Blues, ITPM: 67- 68 Atas tuduhan tersebut, mereka dipecat. Memang benar mereka membunuh, tanpa pengadilan. Menghajar dan menembak korban tanpa dakwaan. Tapi mereka melakukan atas perintah atasan mereka di militer. Sedang atasan mereka yang memberi perintah, tidak terkena ganjaran. Ia masih sehat dan enak- enakan di rumahnya yang mewah, dengan kekayaan dan isteri muda. Geram melihat kecurangan ini, orang-orang tersebut mengadakan pembalasan. Menghukum atasan mereka itu sendiri, tanpa pengadilan, sama seperti perintah kepada orang-orang yang telah mereka culik. “Kita harus pakai otak kita. Menculik orang yang belum jelas kesalahannya. Membunuh tanpa pengadilan. Menghajarnya dulu sebelum menembaknya. Mau dibolak-balik, itu tetap suatu kesalahan.” “Itu perintah atasan toh, Bang?” “Yak” “Atasan kita ikut salah dong” “Yak” “Tapi dia sampai sekarang tidak diapa-apakan. Enak-enakan di rumahnya yang mewah.” “Dengan tujuh mobil.” “Dengan istri muda.” “Yah. Dengan istri muda. Bangsat” “Yah. Orang-orang di atas itu memang bangsat” Taksi Blues, ITPM: 68- 69 “Jadi kita menghukumnya sendiri Bang. Tanpa pengadilan, sama seperti dia lakukan kepada orang-orang yang kita culik bang?” Taksi Blues, ITPM: 70 Tindakan subversif ini adalah realitas yang terjadi di Indonesia sebelum reformasi. Di tahun 1998, banyak terjadi penculikan aktivis pro demokrasi. Majalah Tempo edisi 25 Mei 2003 mencatat Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan Kontras Indonesia menyimpulkan 22 orang tewas, 39 orang Universitas Sumatera Utara mengalami luka tembak, dan 20 orang hilang dalam Peristiwa Semanggi. Pun pada masa-masa sebelum itu banyak terjadi penculikan terhadap aktivis-aktivis pro demokrasi. Sudah menjadi rahasia umum, siapa yang berani mengkritik pemerintah akan ditindak. Penembak misterisu Petrus pada masa itu juga sangat populer. Orang-orang yang dituduh subversif dapat dengan mudah dibunuh tanpa pengadilan. Menyajikannya SGA memperlihatkan bahwa manusia bisa menjadi sangat kejam, bisa membunuh sesamanya jika merasa terusik dan terganggu kekuasaannya. Seorang supir taksi menjadi tokoh utama, terlibat percakapan dengan para pelaku penculikan yang hendak melakukan aksi balas dendam kepada atasannya. Perjalanan ke balik malam, demikian SGA menyebutnya.

c. Ketidakbebasan Pers dan Mengemukakan Pendapat