Penggusuran REALITAS DAN IMAJINASI DALAM KUMPULAN CERPEN

sini?” Masyarakat kota adalah masyarakat yang tidak dapat dipahami. Tidak ada yang benar-benar dapat dikenali. Kehidupan di kota besar hanyalah seperti bayang-bayang malam. Tidak terpahami, sebuah ketidakpastian. Namun setiap mereka yang tinggal di sana sudah terbiasa dengan kondisi tersebut. Seperti berikut ini: “Ketika kuputar taksiku, kulihat mereka bertiga memandangi rumah mewah itu, sebelum akhirnya melangkah ke sana. Malam begitu sepi, begitu kelam. Aku tidak terlalu salah. Kota ini isinya orang-orang misterius. Siapakah yang betul-betul bisa kita kenal di kota ini? Apakah yang betul-betul bisa kita pahami di sini? Malam hanyalah bayang- bayang. Tapi aku suka bayang-bayang. Aku suka masuk ke balik kelam.” Taksi Blues, ITPM: 73 Realitas sosial dalam kumpulan cerpen ini berangkat dari realitas sosial masyarakat kota Jakarta. Sudah tidak menjadi rahasia lagi, bagi masyarakat kota seperti Jakarta, kawin-cerai adalah hal yang lumrah. Perselingkuhan juga hal yang dimaklumi. Sehingga sekitar tahun 2000 istilah SII Selingkuh Itu Indah begitu populer. Peristiwa ini diangkat menjadi sebuah peristiwa yang baru dalam kumpulan cerpen ITPM dengan imajinasi pengarang. Kehidupan kota yang tidak terpahami, penuh dengan ketidakpastian tersebut diimajinasikan sebagai bayang- bayang malam. Sebuah kehidupan di balik kelam. Budaya selingkuh di masyarakat kota tersebut dituturkan oleh seorang supir kepada majikan nyonyanya. Menggambarkan betapa budaya selingkuh tersebut telah menjadi rahasia umum.

c. Penggusuran

Penggusuran adalah tindakan yang dilakukan oleh pemerintah kota atau daerah untuk memindahkan bangunan-bangunan dan pemukiman penduduk yang Universitas Sumatera Utara dianggap tidak sesuai dengan rencana tata kota atau dibangun di tanah milik negara. Banyaknya terjadi penggusuran adalah sebuah realitas yang terjadi di Jakarta pada tahun-tahun menjelang terjadinya reformasi di Indonesia. Penggusuran warga-warga dari tanah negara mewarnai tahun-tahun sebelum reformasi. Realitas inilah yang diangkat di dalam kumpulan cerpen ini. Kenyataan baru dalam cerpen ini dimulai dari kisah pengakuan seorang ibu. Seorang ibu yang tergusur dari tempat tinggalnya. Tempat ia, keluarga, dan anak-anak cucunya telah tinggal selama 31 tahun. Walaupun tanah tersebut adalah tanah negara, si ibu telah tinggal sangat lama dan merasa tempat tersebut adalah kampung halaman baginya dan bagi anak cucunya. Apalagi si ibu bukanlah warga liar. Ia mempunyai Kartu Tanda Penduduk KTP dan rajin membayar Pajak Bumi dan Bangunan PBB seperti halnya warga negara. Rumah mereka dibongkar dan dibakar. Hasil kerja keras selama berpuluh tahun turut terbakar bersama rumah mereka, tidak banyak yang dapat diselamatkan. Ganti rugi yang mereka dapatkan hanya Rp. 400.000,- Jumlah yang tidak cukup untuk jaminan kehidupan satu bulan atau sekadar untuk kontrak rumah. Mereka menuntut keadilan. Warga yang digusur rumahnya marah dan melawan. “Ibunya menghela nafas. Di manakah batas antara dongeng dan kenyataan? “Dengarlah Sari, cerita ini dimulai dengan pengakuan seorang ibu.” Lantas ibunya membaca berita itu. Saya sudah tinggal di sini sejak usia delapan tahun sampai memiliki tiga anak dan seorang cucu. Tiba-tiba saja, pada usia yang ke-39 sekarang ini – jadi setelah 31 tahun hidup di sini, setelah saya makin merasa bahwa inilah kampung halaman saya, kampung halaman anak-anak dan cucu saya- saya dipaksa pindah dan hanya diberi uang Rp. 400.000. Siapa yang tidak marah diperlakukan seperti itu? Adilkah ganti rugi dengan nilai Universitas Sumatera Utara sekecil itu? Saya bersama suami saya memang tinggal di atas tanah negara. Tapi saya punya KTP, taat membayar PBB dan tak pernah melawan pemerintah. Kini, setelah rumah saya terbakar dan dibongkar, setelah barang-barang kami rusak semua, kami tidak memiliki apa-apa lagi. Seharusnya mereka tidak membiarkan kami seperti ini, kami juga tidak tahu harus ke mana setelah ini. Apa yang bisa saya lakukan sekarang hanyalah mengungsikan sebagian anak-anak saya. Saya kini menunggu kepastian. Uang Rp 400.000 untuk kontrak sebuah keluarga yang layak, sangat tidak cukup. Uang sebesar ini hanya bisa dipakai untuk kontrak rumah ala kadarnya selama tiga bulan. Ini pun kalau belum naik, dan jika uang itu hanya dipakai untuk kontrak rumah saja. Bagaimana jika kami harus menyewa truk untuk mengangkat sisa barang kami? Saya juga meragukan bisa tinggal di rumah susun. Untuk membayangkan saja belum pernah, apalagi mempercayai janji bahwa kami bisa hidup lebih baik di rumah susun itu nanti.” Dongeng Sebelum Tidur, ITPM: 19-21 Membaca cerpen “Dongeng Sebelum Tidur” ini menggoda kita untuk mencari referensi atau acuan di luar cerita yakni di dunia nyata, peristiwa- peristiwa historis di luar teks. Cerpen ini mengajak kita pergi kepada teks lain. Yakni surat kabar, yang pada gilirannya mengacu pada sebuah peristiwa aktual dunia ekstra-tekstual, peristiwa penggusuran di Bendungan Hilir Benhil pada tahun 1994. Kutipan kisah pengakuan dari ibu tersebut juga diangkat SGA dari sebuah surat kabar harian Nasional Republika, Minggu 16 Oktober 1994, halaman 2, “Mereka Bicara Soal Benhil”. Ketidakadilan yang dialami warga di daerah Bendungan Hilir inilah yang diangkat SGA. Padahal sebenarnya dalam undang-undang pertanahan, walaupun tinggal di tanah negara, sudah berpuluh tahun dan taat membayar pajak, mereka tidak dapat digusur dengan semena-mena. Apalagi dengan ganti rugi yang tidak layak. Realitas ini disajikan SGA dengan menjadikannya sebagai sebuah dongeng pengantar tidur seorang ibu kepada anaknya bernama Sari. Awalnya dongeng yang dikisahkan si ibu setelah membaca sebuah berita di surat kabar ini, Universitas Sumatera Utara hanya karena si ibu kehabisan stok cerita. Dongeng yang disampaikan kali ini sangat berbeda dengan dongeng yang biasa diceritakannya. Bukan tentang sebuah negeri khayalan di mana ada seorang puteri cantik, seorang pangeran tampan, dan selalu diakhiri dengan klausa “dan mereka pun hidup bahagia selamanya”. Hari itu, ibu Sari bercerita tentang kenyataan. Kenyataan yang membuat Sari terperangah dan tidak dapat tidur. Kenyataan yang baru tentang penderitaan masyarakat yang tergusur. Kenyataan yang menyesakkan. Setelah selesai bercerita Ibu Sari merasa habis berlari lama sekali sehingga ia terengah-enggah. hlm. 22 Membuatnya bertanya di dalam hati, “Dimanakah batas antara dongeng dan kenyataan?” “Dongeng-dongeng sebelum tidur yang diceritakan ibunya biasanya sangat romantis, indah, dan membayangkan suatu alam yang tenang. Tapi kini debu mengepul dalam bayangan sari, buldozer menggasak tembok- tembok rumah penduduk, dalam waktu singkat satu kampung menjadi rata dengan tanah. Ibu-ibu diseret, anak-anak menangis, dan bapak-bapak berkelahi melawan para petugas. Sari memejamkan mata, namun ibunya terus bercerita tentang kebakaran yang berkobar-kobar, jeritan orang- orang yang kehilangan rumah, dan terik matahari yang seakan menjadi lebih menyengat dari biasanya.” Dongeng Sebelum Tidur, ITPM: 21 Situasi yang menyesakkan tersebut digambarkan dengan terik matahari yang seakan lebih menyengat dari biasanya. Imajinasi pembaca dibawa kepada imajinasi pengarang. Melihat realitas yang ditampilkan di dalam teks tentang penggusuran, perlawanan warga, jerit tangis, dan air mata orang-orang yang kehilangan tempat tinggalnya. d. Mental “Bebek” Masyarakat Mental “bebek” masyarakat adalah sikap sosial masyarakat yang tidak memiliki integritas. Masyarakat tidak berani mengambil sikap dan tindakan terhadap setiap keputusan pemimpinnya, meskipun tidak sesuai dengan cita-cita Universitas Sumatera Utara ideal mereka. Masyarakat di Kota Bebek adalah masyarakat tanpa prinsip. Inilah kenyataan di dalam kumpulan cerpen ITPM. “Kwek” Hanya itu yang bisa dikatakan Kwek. Dasar bebek. Kematian Paman Gober, ITPM:6 Tidak ada yang berani melawan. Tidak ada yang berani bicara, semua warga Kota Bebek hanya diam dan menunggu. Menunggu tibanya hari kematian Paman Gober yang entah kapan akan terjadi. “Dasar Bebek” Penekanan, betapa tidak berdayanya menjadi bebek, seolah-olah ketidakberdayaan, ketidakmampuan tersebut adalah sebuah takdir. Realitas inilah yang terjadi di Indonesia pada 32 tahun pemerintahan Soeharto. Selama 32 tahun, masyarakat tidak berani angkat bicara. Tidak ada perubahan, tidak ada yang melakukan perubahan walau semua orang diam-diam merindukan perubahan. Masyarakat Indonesia seperti warga Kota Bebek. Tak ada yang bisa dikatakan, hanya “Kwek” Kata bermakna ketidakberdayaan dan kelemahan. Realitas tersebut disajikan dengan mengimajinasikan masyarakat Indonesia sebagai warga kota bebek. Bebek secara semiotik mengacu kepada keadaan masyarakat yang suka ikut-ikutan. Tidak berani, tidak percaya diri, mengikuti apa yang sudah diarahkan oleh pemimpin di atasnya.

e. Masyarakat yang Teralienasi