Pertentangan Rasial dan Trauma Sosial

2.1.3 Sesudah

Masa sesudah reformasi adalah masa-masa peralihan. Orang-orang menanti perubahan yang telah dijanjikan reformasi. Cerpen-cerpen di subbab “sesudah” pada kumpulan cerpen ITPM ini menggambarkan situasi sosial di Indonesia pasca reformasi. Berikut ini adalah realitas sosial yang terdapat dalam kumpulan cerpen ITPM.

a. Pertentangan Rasial dan Trauma Sosial

Pertentangan rasial adalah konflik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat karena adanya perbedaan ras. Konflik tersebut membekas menjadi trauma sosial bagi masyarakat. Masyarakat menjadi jadi saling curiga, tidak ada lagi rasa percaya kepada kelompok sosial yang berbeda ras. Mayat-mayat dibiarkan begitu saja teronggok di jalanan. Mayat orang- orang yang dikasihi salah satu golongan masyarakat di negeri latar terjadinya cerita ini, ditinggalkan seperti bangkai-bangkai di tepi jalan. Banyak anggota keluarga mereka yang telah meninggal karena diare, muntah-muntah, atau tidak tahan lagi terhadap luka bacokan yang diterima. Mereka tidak punya waktu lagi untuk mengadakan upacara penghormatan, sekadar pemakaman yang layak. Mereka bukan terlalu sibuk dengan rutinitas kerja, melainkan mereka harus berjuang untuk menyelamatkan diri sendiri. Berlari atau Eksodus sejauh mungkin agar terbebas dari ancaman kelompok lain yang ingin menghabisi keberadaan kelompok mereka di muka bumi. Mereka berjuang menyelamatkan diri. Sebab membuang-buang waktu termasuk untuk pemakaman berarti bunuh diri. Tertinggal di barisan belakang berarti siap-siap menjadi korban hunusan pedang lawan. Universitas Sumatera Utara Realitas inilah yang terjadi pada masyarakat di negeri latar cerita tidak disebutkan nama negerinya. Pertentangan rasial terjadi. Satu kelompok ingin menumpas kelompok rasial lainnnya. Kelompok yang satu merasa terganggu dengan kehadiran kelompok lainnya. Keamanan dan kenyamanan mereka terasa terusik. “Jenazah atawa mayat atawa bangkai itu akhirnya kami tinggalkan begitu saja di tepi jalan. Kami tidak punya waktu untuk segala macam upacara. Setiap kali seseorang meninggal karena diare, muntah-muntah, atau tidak tahan lagi dengan luka-luka bacokan, kami hanya meninggalkannya dengan doa secukupnya.” Eksodus, ITPM:185 Hal yang paling memprihatinkan adalah ketika kelompok minoritas yang terpojokkan tersebut kembali ke tanah asal mereka, mereka ditolak. Mereka dianggap orang asing di negeri yang telah mereka tinggali selama beberapa generasi dan di negeri asal mereka. “Ya, tapi orang tua kami berasal dari sini dan kami tidak mempunyai tempat lain untuk pergi. Di tempat pengungsian orang-orang selalu berkata, “Pergilah kalian wahai pendatang, kalian hanya akan menimbulkan masalah di sini. Tidak ada tempat lain untuk pergi.” “Tidak juga di sini.” Eksodus, ITPM:192 Luka penolakan itu meninggalkan bekas. Menjadi trauma sosial, menjadi ingatan yang hampir hilang. Ingatan tentang hidup tentram yang pernah dijalani bersama orang-orang yang kini berbalik menyerang mereka. Orang-orang yang pernah hidup berdampingan bersama, hidup seperti saudara telah menjadi musuh. Tidak ada lagi senyum ramah atau tawa yang renyah. Semua berubah seringai yang buas dan hati yang kejam tiada ampun. Kenyataan pahit ini menyisakan trauma sosial bagi kelompok minortas ini. Trauma sosial yang akan terus membekas selama beberapa generasi. “Izinkan kamu menyelamatkan diri dengan ingatan yang hampir hilang, hampir terbang karena tiada pernah mengira betapa orang-orang yang Universitas Sumatera Utara pernah hidup seperti saudara dengan senyum mereka yang ramah dan tawa mereka yang renyah bisa tiba-tiba berubah ganas begitu buas begitu kejam tanpa ampun tiada terkira.” Eksodus, ITPM:187 “Mereka merajam siapapun tanpa belas kasihan. Orang tua, wanita dan anak-anak, dan orang sakit, dibunuh dengan kejam. “Para pendatang, pergilah jauh-jauh dan jangan kembali kalau kalian masih ingin hidup. Enyahlah. Pergi. Kami tidak ingin melihat kalian lagi.” Eksodus, ITPM:190 ` Realitas ini jugalah yang terjadi di Indonesia pasca reformasi. Kerusuhan rasial yang terjadi saat reformasi berlangsung masih menyisakan luka dan pertentangan-pertentangan. Kaum-kaum minoritas yang dianggap mengancam kesejahteraan kaum mayoritas masih saja ditekan. Masyarakat Cina dengan segala eksistensinya belum mendapat tempat dalam peradaban pribumi. Cina dianggap sebagai pembuat onar, pengganggu stabilitas hidup masyarakat. Kaum keturunan Tionghoa sebagai korban kerusuhan Mei 1998 tidak dengan cepat dapat melupakan luka, penyiksaan, dan penyerangan yang telah mereka alami. Bekasnya tidak saja pada cacat fisik, kehilangan orang-orang tercinta, dan melahirkan anak hasil pemerkosaan, ada luka batin yang menjadi trauma sosial. Kepercayaan itu tidak dengan mudah menjadi pulih. Banyak yang eksodus, pindah ke luar negeri. Indonesia menyisakan luka pada ingatan. Seperti di tulis Majalah Tempo edisi 25 Mei 2003 tentang trauma yang tersisa di ingatan para korban kerusuhan Mei 1998. Adalah Atju dan Awi suaminya, mereka adalah keturunan Tionghoa korban kerusuhan rasial Mei 1998. Saat Jakarta dilanda kerusuhan hebat, massa tidak melewatkan menjarah dan membakar toko milik Atju. “Peristiwa tragis itu tentu saja menimbulkan trauma yang dalam bagi pasangan suami-istri itu. Apalagi, menurut Bea, mereka membangun toko ini dengan cucuran peluh dan air mata selama 30 tahun. Selalin itu satu- satunya bisnis yang mereka pahami hanya berjualan bumbu masakan. Universitas Sumatera Utara Dalam film hitam-putih, ia Bea Wiharta, Fotografer Reuters merekam setiap kejadian yang dialami keluarga ini, mulai dari puing bangunan yang terbakar hingga toko yang akhirnya berdiri kembali. Bea juga mengabadikan setiap proses yang dilewati oleh pasangan suami-isteri ini. Ada adegan saat mereka tetap gigih berjualan di sela-sela bangunan yang terbakar, megupas bawang dan meracik bumbu untuk dijual kembali, bahkan mengantar barang dagangan ke langganan dengan berjalan kaki atau mengengkol sepeda tua. Dan tanpa harus berkata banyak, esai foto Bea bercerita lebih banyak dari kata-kata itu sendiri.” Tempo edisi 23 Mei 2005: 130 Trauma juga dialami para korban pemerkosaan kerusuhan Mei 1998. Banyak di antara mereka yang tidak ingin kembali dan tinggal di Indonesia lagi. Seperti Dini Tempo edisi 25 Mei 2003:169, Dini salah satu perempuan keturunan Tionghoa korban pemerkosaan yang memilih tinggal di Amerika Serikat. Dini bersaksi kepada majalah Tempo bahwa ia telah diperkosa tiga lelaki tegap berambut cepak sekitar tanggal 15 Mei 1998. Setelah peristiwa itu, Dini memilih tinggal di Amerika Serikat. Cerita yang sama juga terjadi pada Lina, Lina pun akhirnya tinggal bersama dengan tantenya di Taiwan. “Kesaksian lain diungkap Nyonya Wati. Selain Mei Ling, ia juga pernah menolong seorang korban lain. Namanya Lina bukan nama asli, pun keturunan Cina. Umurnya baru 14 tahun. Ketika itu, 14 Mei 1998 sekitar pukul 15.00, Lina baru pulang sekolah. Seperti biasa, begitu tiba di rumahnya di Kawasan Kapuk, ia lalu menyiapkan kue bikinan ibunya untuk dijual ke warung. Baru berjalan beberapa meter, tiba-tiba ia dihadang massa beringas. Gadis itu lari ketakutan ke dalam rumah. Tapi belasan laki-laki mengejarnya. Lina lalu “digarap” beramai-ramai. “Saya tidak ingat berapa orang, pokoknya banyak,” Wati menirukan. Aksi binatang itu membuat jiwa Lina terguncang. Seperti Mei Ling, tiap kali melihat lelaki, juga perempuan bercelana panjang, ia mengkerut ketakutan. Malangnya lagi setelah itu menstruasinya tak kunjung datang. Rupanya dia hamil. Setelah konsultasi dengan dokter dan rohaniawan, keluarga memutuskan dia untuk menggugurkan si jabang bayi. Universitas Sumatera Utara “Saya mengantar dia ke dokter kandungan,” ujar Wati, yang satu setengah tahun menampung Lina dirumahnya. Syukurlah setelah menjalani terapi intensif, remaja itu pulih kembali. Akhirnya, pada tahun 2000 Lina diboyong tantenya ke Taiwan. Setahun lalu ia berkirim surat. Kepada Wati, Lina mengabarkan: kini ia telah menikah.” Tempo edisi 25 Mei 2003: 169 Trauma tersebut tidak hanya terjadi pada masyarakat keturunan Tionghoa korban kerusuhan Mei 1998. Taruma itu juga tersisa pada masyarakat pribumi yang menyaksikan secara langsung persitiwa kerusuhan tersebut. Bambang, seorang purnawirawan menjadi trauma sampai akhirnya mengundurkan diri dari militer. Tak tanggung-tanggung Bambang pun mengabdikan hidupnya pada agama. Ia menyaksikan sendiri kerusuhan Mei. Ia ditugaskan untuk memimpin pasukan untuk mengamankan kerusuhan kala itu, tetapi ia tidak dapat melakukan apapun. Kekuatan massa terlalu besar. Ia hanya bisa marah dan bingung, tanpa bisa berbuat apapun. Akhirnya pasukan pun ditarik. “Mimpi buruk itu rupanya membekas dalam dirinya. Akhirnya, tak lama setelah kerusuhan Mei 1998, Bambang pun memilih mengundurkan diri dari militer. Ia lalu menjauhkan diri dari senjata., dan mengabdikan sisa hidupnya dengan melayani seorang pemuka agama.” Tempo edisi 25 Mei 2003: 160 Pertentangan rasial yang terjadi di Indonesia pasca reformasi tidak hanya antara pribumi dengan masyarakat keturunan Tionghoa. Perang antar suku juga terjadi. Pada November 1998, terjadi tragedi berdarah di Ketapang, Jakarta Pusat. Perkelahian antara pemuda Ketapang dengan kelompok pemuda Ambon. Perkelahian tidak hanya antar suku saja tetapi membawa isu agama. Pada 25 Agustus 1999 juga terjadi bentrokan antara kelompok pro kemerdekaan dengan aparat kubu pro otonomi di Dili. Mereka sama-sama masyarakat Timor-Timur. Berangkat dari realitas tersebut, SGA menyajikannya dalam cerpen Eksodus. Cerpen ini bercerita tentang kerusuhan rasial yang terjadi di suatu Universitas Sumatera Utara negeri. Kelompok minoritas ditindas, dibunuh, dan dicecar. Menggambarkan kengerian tragedi rasial di Indonesia tersebut, SGA menggambarkannya sebagai terkepung seperti binatang buruan. Manusia kehilangan harga dan arti. Manusia dibunuh dan dibantai seperti binatang. Tidak ada lagi perikemanusiaan. “Ketika mereka datang menyerbu dan membakar rumah kami, mereka menembaki siapapun yang lari ke luar dari dalam rumah. Kami terkepung seperti binatang buruan.” Eksodus, ITPM:185 Betapa hebatnya perang antar ras tersebut diceritakan dengan menyebutkan jumlah satu kelompok ras yang tinggal setengahnya karena habis terbantai. Sesampainya di negeri asal mereka, mereka juga dianggap asing lalu diusir. “Ketika kami tiba di tempat yang disebut sebagai tempat asal kami, jumlah kami tinggal separuhnya. Tempat yang disebut sebagai tempat asal kami ini jauh lebih asing daripada tempat di mana kami disebut sebagai pendatang. Kami tidak mengenal apapun di sini. Udaranya terlalu panas bagi kami. Bahasanya memang kami kenal, tapi rasanya diucapkan dengan cara yang lain. Ketika kamu turun dari kapal, orang-orang dari tempat yang disebut sebagai tempat asal kami itu memandangi kami seperti orang-orang asing.” Eksodus, ITPM:191 Sampai akhirnya yang tersisa dari kaum itu hanyalah satu orang saja. Setelah mengembara tanpa henti, mencari tempat yang mau menerima kehadiran mereka, yang tersisa hanya satu orang saja. Si aku, tokoh dalam cerita, pencerita akuan yang mengisahkan perjalanan kelompok suku mereka. Hanya ia yang tersis di bawah terik matahari. Sayangnya tak satu pun juga yang dapat menerima kehadirannya. Meski tinggal seorang diri. Ia dipandang sebagai bagian dari kaum yang mendatangkan petaka dimanapun. Sekalipun ia telah berjanji tidak akan bekerja, hanya mengemis dan bersembahyang saja. Sehingga tidak mungkin ia dapat menguasai perekonomian Universitas Sumatera Utara dan perdagangan. Ia tetap tidak diterima sebagai pendatang. Tidak ada tempat bagi Si Aku di manapun. “Kemudian, dari suku kami yang telah terus mengembara tanpa henti itu, tinggal aku sendiri yang berdiri di bawah terik matahari. Di depan sebuah pintu gerbang kota, seorang penjaga perbatasan menahan diriku.” Eksodus, ITPM:195 “Orang asing, kasihan benar dirimu, tapi aku tidak bisa menolongmu. Kamu tidak boleh memasuki kota ini. Kamu berasal dari suku yang menimbulkan masalah di tempat baru. Maaf, kami tidak bisa menerima kamu.” Eksodus, ITPM:196 “Aku tidak akan bekerja, tidak akan berdagang, dan tidak akan melakukan kegiatan apapun yang mengganggu kehidupan kalian. Aku hanya mau hidup. Meski hanya dengan menjadi pengemis di kota ini. Dengan begitu aku tidak akan pernah mengambil alih , apalagi menguasai kegiatan hidup kalian. Aku hanya akan mengemis dan bersembahyang. Eksodus, ITPM:196

b. Kejahatan yang Abadi