Penyadapan Telepon REALITAS DAN IMAJINASI DALAM KUMPULAN CERPEN

ketidakberpihakan, sikap tanpa kepentingan apa pun. Ketidakberpihakkannya ini telah membuka matanya. Drama dalam tubuh partai pengemis itu pun terbuka sudah. “Di tepi sebuah sungai, Pendekar Walet Merah itu membasuh wajahnya. Drama di tubuh partai pengemis itu telah membuka matanya.” Partai Pengemis, ITPM:125

b. Penyadapan Telepon

Peristiwa yang membuat heboh Indonesia dan tidak dengan mudah dilupakan adalah skandal telepon Ghalib dan Habibie. Cerpen “Kisah Seorang Penyadap Telepon” dalam kumpulan cerpen ITPM ini menceritakan realitas yang pernah terjadi di Indonesia ini. Cerpen ini menceritakan kisah seorang penyadap telepon. Setiap hari pekerjaannya adalah menyadap telepon. Penyadap telepon ini berasal dari keluarga penyadap. Kakeknya seorang penyadap karet dan ayahnya seorang penyadap nira. Sebuah penarikan garis keturunan yang tidak ada hubungannya sama sekali, tetapi cenderung membuat pembaca tersenyum. “Hari ini aku menyadap lagi. Aku memang berasal dari keluarga penyadap. Kakekku seorang penyadap karet. Ayahku seorang penyadap nira. Aku sendiri seorang penyadap telepon.” Kisah Seorang Penyadap Telepon, ITPM: 139 Awalnya ia begitu menikmati pekerjaannya sebagai penyadap telepon, pekerjaan ini membawanya masuk ke dalam rahasia orang lain. Lama-kelamaan ia menjadi jenuh, percakapan yang ia dengar pun kadang-kadang sama sekali tidak penting. Bukan percakapan politik, perencanaan demonstrasi, dan sebagainya. “Busyet. Begitu diterima aku langsung menyadap. Sampai hari ini sudah tidak terhitung lagi hasil saduranku yang dianalisis atasanku. Mereka memisah-misahkan, mana yang harus diculik dan mana yang tidak, mana yang dibiarkan saja untuk menelusuri komplotannaya, dan mana Universitas Sumatera Utara yang bisa mengkhianati teman-temannya.” Kisah Seorang Penyadap Telepon, ITPM: 140 “Pekerjaan menyadap telepon ini mula-mula mengasyikkan, karena seperti masuk ke dalam rahasia orang lain. Namun setelah 32 tahun, aku mulai bosan, karena pembicaraan mereka tidak penting sama sekali. Dalam arti tidak selalu berisi rencana demonstrasi dan semacamnya – yang begitu-begitu malah jarang sekali. Mungkin karena mereka tahu kalau telepon merek sering disadap.” Kisah Seorang Penyadap Telepon, ITPM: 141 Bekerja selama lebih dari tiga puluh tahun sebagai penyadap telepon menyebabkan tokoh menderita penyakit, telinganya terus-menerus berdengung. Suara-suara yang telah ia sadap, ia curi dengar selama puluhan tahun berdesak- desakan untuk keluar. Oleh karena itu, ia berobat kepada dokter. Kata dokter ia terkena karma karena telah melanggar privasi orang lain walaupun yang ia lakukan adalah perintah atasan dengan alasan demi menjaga keamanan negara. “Tolonglah saya, dok. Semua kalimat yang masuk ke telinga saya tidak mau keluar lagi. Mereka berdengung terus-menerus. Kalimatnya terulang-ulang terus seperti rekaman rusak. Kisah Seorang Penyadap Telepon, ITPM: 145 Kusodorkan salah satu. Ia melihat dengan senternya. Kemudian menempelkan stetoskopnya ke telingaku. “Busyet,” katanya. “Kenapa Dok?” “Aku mendengar suara-suara,” ujarnya seperti main drama. Ia nampak mendengarkan dengan asik. “Apa Dok?” “Semuanya, semua kalimat yang telah kau dengar.” Kisah Seorang Penyadap Telepon, ITPM: 146 “Ya begitu kan? Kalau kebanyakan mendengar percakapan yang bukan haknya, selama 32 tahun lagi, ya kamu kena hukum karma. Kalimat- kalimat yang terhampas itu menghukummu. “Tapi saya cuma menjalankan perintah atasan dok.” “Nah, atasanmu akan menerima hukum karma juga.” “Kupingnya berdengung juga?” Kisah Seorang Penyadap Telepon, ITPM: 148 “Lho, boss, menyadap pembicaraan orang ini kan melanggar privacy?” “Taik kucing dengan privacy, ini semua demi keamanan negara” Universitas Sumatera Utara “Jadi, kantor ini memang kantor keamanan negara Boss?” “Bego lu” Kisah Seorang Penyadap Telepon, ITPM: 139 Untuk menyembuhkan penyakitnya, dokter memberikannya pil budheg. Dengan menjadi pil tersebut ia menjadi tuli. Tidak ada lagi suara mendengung yang mengganggu pendengarannya. Ia ada dalam keheningan yang abadi. Tidak ada yang tahu ketuliannya karena ia merahasiakannya dari siapapun. Ia tetap bekerja seperti biasa sebagai penyadap telepon dan membuat laporan. Mengelabui atasannya, ia bertindak seolah-olah masih dapat mendengar, perangkat penyadap masih terpasang di telinganya. Laporan yang ia tulis ia karang-karang tanpa satu orang pun yang curiga. “Memang itulah yang kemudian kulakukan. Setelah minum pil budheg aku jadi tuli. Tenggelam dalam keheningan abadi. Semua orang cuma kulihat mangap-mangap mulutnya, tapi aku tidak bisa mendengar kata- kata mereka. Aku tetap bergaya seperti mendengar. Kutempelkan LUHIL-X ke telingaku dengan gaya meyakinkan.” Kisah Seorang Penyadap Telepon, ITPM: 149 SGA memperolok peristiwa penyadapan yang pernah terjadi tersebut dengan mengimajinasikan pelaku panyadapan telepon tersebut seorang yang tuli. “Aku sering tertawa dalam hati, laporan penyadapan telepon dibuat orang tuli Hahahaha” Kisah Seorang Penyadap Telepon, ITPM: 149

c. Kejahatan yang Tidak Pernah Berakhir