BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Jarimah maisir perjudian di Nanggroe Aceh Darussalam diatur dalam
Qanun Nomor 13 Tahun 2003 yang terdiri dari 10 Bab dan 34 Pasal. Maisir perjudian hukumnya haram, keharaman ini seperti terlihat dalam
Pasal 4, 5, 6, dan 7 Qanun Nomor 13 Tahun 2003 meliputi perbuatan maisir atau judi itu sendiri, kegiatan atau usaha yang secara sengaja dibuat agar dapat
digunakan orang lain untuk melakukan maisir atau perjudian, serta pemberian fasilitas dan perlindungan untuk perbuatan maisir atau perjudian, baik oleh
orang pribadi ataupun badan hukum termasuk pemerintah. Bentuk hukuman dalam Qanun Nomor 13 Tahun 2003 adalah ‘uqubat
cambuk di depan umum maksimal 12 dua belas kali, minimum 6 enam kali dan ‘uqubat denda gharamah paling banyak Rp 35.000.000,- tiga puluh
lima juta rupiah, minimal Rp 15.000.000,- lima belas juta rupiah serta hukuman administratif berupa pencabutan dan pembatalan izin usaha yang
telah diberikan. ‘Uqubat terhadap jarimah maisir adalah hukuman ta’zir yaitu hukuman yang belum ditentukan oleh syara’, melainkan diserahkan kepada
ulil amri, baik penentuannya maupun pelaksanaannya. Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir perjudian mengandung hukum
materiel dan hukum formiel; sepanjang tidak diatur dalam qanun maka masih
Universitas Sumatera Utara
tetap berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP. 2.
Tugas penegakan hukum di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam kasus jinayah diemban oleh sistem peradilan pidana criminal justice
system yang terdiri dari sub sistem dinas Syari’at Islam, Wilayatul Hisbah WH, kepolisian, kejaksaan, dan mahkamah syar’iyah.
Pelaksanaan ‘uqubat cambuk adalah wewenang dan tanggung jawab jaksa selaku eksekutor. Dalam melaksanakan wewenang dan tanggung jawab itu
jaksa menunjuk pencambuk yang biasanya petugas dari Wilayatul Hisbah WH.
Secara teknis pelaksanaan ‘uqubat cambuk harus memenuhi prosedur yang diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 10 Tahun 2005 dan Pasal 28 sampai
dengan Pasal 31 Qanun Nomor 13 Tahun 2003. Pelaksanaan hukuman cambuk dilaksanakan di halaman mesjid setelah shalat Jum’at dan
disaksikan khalayak ramai untuk memberi efek jera dan malu kepada pelaku maisir sesuai dengan tujuan hukuman ta’zir yaitu hukuman bukan saja untuk
pembalasan akan tetapi juga sebagai sarana untuk mendidik dan merubah perilaku pelaku pelanggaran maisir ke arah yang lebih baik. Pelaksanaan
‘uqubat cambuk di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sangat mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan kesehatan.
3. Pelaksanaan putusan maisir di wilayah hukum Kota Lhokseumawe mengalami banyak hambatan, antara lain:
a. Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir perjudian belum
Universitas Sumatera Utara
lengkap; b. Asas personalitas;
c. Birokrasi yang panjang; dan d. Hakim pengawas dan pengamat wasmat tidak berfungsi.
Solusi atau upaya yang dilakukan terhadap hambatan-hambatan tersebut adalah semua sub sistem peradilan di Kota Lhokseumawe memberi
masukan kepada Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh DPRA melalui Dewan Perwakilan Rakyat Kota DPRK Lhokseumawe
untuk menyempurnakan Qanun Nomor 13 Tahun 2003. Majelis Permusyawaratan Ulama MPU Kota Lhokseumawe juga memberi
masukan kepada Pemerintah Kota Lhokseumawe dan Dewan Perwakilan Rakyat Kota DPRK Kota Lhokseumawe baik diminta maupun tidak diminta
untuk kesempurnaan qanun-qanun jinayah yang berlaku sekarang dan melaksanakan semua amanat dalam qanun-qanun jinayah yang salah satunya
adalah pelaksanaan hukuman cambuk.
B. Saran