BAB II PENGATURAN TENTANG
MAISIR PERJUDIAN DALAM
QANUN NOMOR 13 TAHUN 2003
A. Peradilan Syari’at di Nanggroe Aceh Darussalam
Berpijak pada Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dapat dipelajari mengenai kewenangan yang diperoleh keempat
lingkungan peradilan. Pada prinsipnya kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh
Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, peradilan syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang putusannya ditentukan pada Mahkamah Syar’iyah Kota atau
Kabupaten untuk tingkat pertama dan Mahkamah Syar’iyah Propinsi untuk tingkat banding, jika dilihat berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, mempunyai keunikan yang berbeda dengan badan peradilan khusus lainnya karena ia
merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan
pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenanganya menyangkut kewenangan peradilan umum.
Mahkamah syar’iyah propinsi bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan perkara yang menjadi kewenangan mahkamah syar’iyah dalam tingkat
banding. Mahkamah Syar’iyah Propinsi juga bertugas dan berwenang
Universitas Sumatera Utara
mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan antar mahkamah syar’iyah di Nanggroe Aceh Darussalam. Sementara sengketa wewenang antara
mahkamah syar’iyah dan pengadilan dalam lingkungan peradilan lain menjadi wewenang Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk tingkat pertama dan tingkat
terakhir. Mahkamah syar’iyah untuk pengadilan tingkat kasasi dilakukan pada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Kewenangan mahkamah syar’iyah
sebagaimana termaksud di atas, diberlakukan bagi pemeluk agama Islam. Seperti diketahui bahwa syari’at Islam mencakup seluruh aspek hukum, baik
dalam aspek hukum publik maupun privat. Oleh karenanya kekuasaan dan kewenangan mahkamah syar’iyah yang ditetapkan dalam Qanun Nomor 10 Tahun
2002 mencakup pula seluruh aspek hukum yang memerlukan penyelesaiannya melalui lembaga peradilan. Pokok pikiran tersebut antara lain termaktub dalam penjelasan
umum angka 4 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam adalah untuk memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara-perkara dalam bidang:
41
1. Ahwal al-Syakhshiyah meliputi: perkawinan, waris, wasiat, zakat, infak, dan
ekonomi syariah;
42
2. Muamalah yang meliputi hukum kebendaan dan perikatan: jual beli, hutang
piutang, qiradh permodalan, musaqah, muzaraah, mukhabarah bagi hasil
____________________
41
Lihat Pasal 49 dan penjelasan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam.
42
Lihat Penjelasan Pasal 49 Huruf a Qanun No. 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam dan Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Universitas Sumatera Utara
pertanian, wakilah kuasa, syirkah perkongsian, ariyah pinjam meminjam, hajru penyitaan harta, syufah hak langgeng, ruhnun gadai, ihyaul mawat
pembukaan lahan, ma’din tambang, luqathah barang temuan, perbankan, ijarah sewa menyewa, takaful, perburuhan, harta rampasan, waqaf, hibah,
shadaqah dan hadiah;
43
3. Jinayah,
44
yang terdiri dari: a.
Hudud
45
yang meliputi: zina, menuduh berzina, mencuri, merampok, minuman keras dan Napza, murtad, pemberontakan;
b. Qishash
46
yang meliputi: pembunuhan, penganiayaan; c.
Ta’zir
47
yang meliputi: maisir perjudian, penipuan, pemalsuan, khalwat, meninggalkan shalat fardhu dan puasa Ramadhan.
____________________
43
Lihat Penjelasan Pasal 49 huruf b. Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam.
44
Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainnya.
45
Hudud adalah pelanggaran yang sanksinya sudah ditentukan oleh Allah dan tidak berubah; ia disebut juga sebagai haqq Allah semata.
46
Qishash yaitu pelanggaran yang sanksinya sudah ditentukan oleh Allah, tapi dapat berubah disebabkan oleh yang lain; ia disebut juga sebagai pencampuran antara haqq Allah
dengan hak hamba. Umpama seseorang membunuh kawannya. Sanksi bagi yang melakukan pembunuhan dengan sengaja adalah dibunuh lagi QS. Al-Ma’idah 5: 45; akan tetapi,
pembunuh dapat terbebas dari sanksi tersebut apabila keluarga yang dibunuh memaafkannya, dan sebagai sanksi yang harus dijalankannya adalah diyat, yaitu pembunuh memberikan
sejumlah harta kepada keluarga yang dibunuh.
47
Ta’zir yaitu suatu tindak pidana atau kejahatan yang sanksinya tidak ditentukan oleh Allah, tetapi sepenuhnya diserahkan kepada manusia. Umpamanya dalam Al-Quran terdapat
cegahan untuk meminum khamr; akan tetapi dalam Al-Quran dan sunnah tidak terdapat sanksi bagi yang meminum khamr; disebut juga sebagai hak hamba semata.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 53 dan Pasal 54 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam menyatakan bahwa: Hukum materiel dan hukum formiel yang akan digunakan
dalam menyelesaikan perkara ahwal al-syakhshiyah, mu’amalah dan jinayah adalah yang bersumber dari atau sesuai dengan Syari’at Islam yang akan diatur dalam
qanun.
48
Adapun qanun tentang jinayah yang sudah berlaku di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah:
1. Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Larangan Khamar dan sejenisnya;
2. Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Larangan Maisir judi; dan 3. Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Larangan Khalwat mesum.
B. Pengertian Jarimah dan Maisir 1. Pengertian