Masalah Imunitas Dan Penangkapan Lintas Pelayaran Kapal Perang Pada Masa Damai Ditinjau Dari Hukum Internasional.

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Atje Muhjiddin Misbach. Status Hukum Perairan Kepulauan Indonelsia dan Hak Lintas Kapal Asing.Cet. Ke-1. Bandung: Penerbit Alumni, 1993.

Bakhti,  Yudha Andiwirasta.  Imunitas Kedaulatan Negara di Forum Pengadilan

Asing, , Alumni, Bandung, 1999 

 

Churchill, R.R. and Lowe, A.V. The Law of The Sea. Rev. ed. Manchester: Manchester University Press, 1992.

Colombos, John C. The Inrternational Law of The Sea, 4th Revised Ed. London: Longmans, 1959.

Dixon, M. dan McCorquodale, R. Cases and Materials on International Law. 2nd Ed. London: Blackstone Press Ltd, 1998.

G. P. H. Djatikoesomo. Hukum Internasional Bagian Perang. Jakarta: Penerbit Pemandangan, 1956.

Hasjim Fjalal. Perjuangan Indonelsia di Bidang Hukum Laut Cet. Ke-1. Bandung: Binacipta, 1979.

Institute of International Law. International Law. Moscows:

Malanczuk, Peter. Akehurst’s Modern Introduction to International Law. 7th rev. ed. London: Routledge.

Mochtar Kusumaatmadja.Konvensi-konvensi Palang Merah 1949. Cet ke-1. Bandung: Binacipta, 1979.

---. PengantarHukum Internasional. Cet. K4-4.Bandung: Binacipta, 1982.

O’Connell, D.P. International Law. 2nd . London: Stevens& Sons, 1970. --- . International Law. Vol-II. Disputes, War and Neutrality. 8th ed.

London: Longmans, 1967.

Purnadi Purbacaraka dan soerjono Soekanto. Renungan Filsafat Hukum. Cet. Ke-5. Jakarta: C.V. Rajawali, 1982.


(2)

Shaw, M.N. International Law. 3rd Ed. New York: Camridge University Press, 1995,

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. Ke-3. Jakarta: UI Press, 1995.

--- dan Purnadi Purbacaraka. Perihal Kaedah Hukum, Cet. Ke-7. Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 1981.

Starke, J.G. An Introduction to International law. London: Butterworths, 1988. Sudargo Gautama. Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional. Bandung:

Alumni, 1985.

---. Hukum Perdata Internasional Indonesia. Buku I. Cet ke-7. Jakarta: Binacipta, 1988.

---. Segi-segi Hukum Pada Nasionalisasi di Indonesia. Cet. Ke-5. Bandung: P:enerbit Binacipta,

W.J.S. Poerdarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Cet. Ke-5. Jakarta: PT. Balai Pustaka, 1976.

B. INTERNET

Denner, Jeffrey S. Vessel source Pollution and Public Vessels: Sovereign Immunity V. Compliance, Implications for International Environmental lav. Htt://www.law.emory,edu/EILR/Volumes/fal195/dehner. Html tanggal .05 Agustus 2010

“Maritime Environmental Protection Strategy for Enhancing Naval Operations Through Ship And Equipment Design and Management Practices”.

http://www.nato.int/structur/AC/141/dociments/D8 20for 20Publc 20Domai 20Seb 20Site.doc . tanggal 15 Agustus 2010

“National legislation – DOALOS/OLA – United Nations “.bttp://www.un.org/Depts/los/LEGISLATIONANDTREATIES/PDFFI LES 18 Agustus 2010

The Story of the USS Pueblo. Htt://www. Sandiego, edu/-sgreer/pueblo.html . tanggal 20 Agustus 2010


(3)

United States Department of The Navy. “A Handbook for Naval Operations.”

http://www.cpf.navy.mil /pages/legal/nwp 201-14/NWPCH2,htm . tanggal 02 agustus 2010

http://www.docstoc.com/docs/20860696/Jurusan-Hukum-Internasional tanggal 06 Januari 2011 

http://www.ricc.com.cn/Englishversion/library/huominae/frame.htm tanggal 04 Februari 2011

http://www.scribd.com/doc/39504492/Corfu-Channel-Case-1949 tanggal 04 Februari 2011

http://en.wikipedia.org/wiki/Soviet_submarine_S-363 tanggal 04 Februari 2011

C. KONVENSI-KONVENSI Konvensi Brussel 1926

Konvensi Hukum Laut 1982 Konvensi Hukum Laut Teritorial Konvensi Montevideo 1933 Protokol I Tambahan 1934

   


(4)

BAB III

KETENTUAN-KETENTUAN DALAM HUKUM INTERNASIONAL TENTANG IMUNITAS DAN PENGATURAN LINTAS PELAYARAN

KAPAL PERANG PADA MASA DAMAI

A. Pengertian Perang dan Damai

Perang terjadi antara negara pada dasarnya diawali dari pertikaian, yang kemudian akibatnya juga dirasakan oleh negara-negara lain. Oleh sebab itu masalah pertikaian yang kemudian mengakibatkan peperangan termasuk ke dalam bidang yang menjadi obyek pembahasan hukum internasional.

Hukum internasional mendefinisikan perang sebagai suatu persengketaan antara dua atau lebih negara dengan menggunakan angkatan bersenjata yang dimilikinya, yang tujuannya untuk menaklukan pihak lawan dan kemudian pihak yang memenangkan peperangan dapat menentukan syarat-syarat perdamaian menurut keinginannya.

Sejak zaman dahulu praktek-praktek negara mengenai mulainya suatu perang berlainan satu sama lain. Akan tetapi perang sebagai suatu kondisi pertikaian bersenjata antar dua atau lebih negara tersebut, dapat terjadi karena hal-hal sebagai berikut :

1. Melalui pernyataan perang yang dinyatakan secara formal oleh salah satu atau kedua belah pihak yang bertikai;

2. Melalui tindakan-tindakan yang dilakukan oleh angkatan bersenjata, baik oleh satu atau sekelompok negara secara bersama-sama terhadap negara yang menjadi pihak lawan dengan menunjukan maksudnya dalam bentuk

 


(5)

sikap-sikap permusuhan atau tanpa maksud tersebut namun oleh negara lawan dianggap sebagai tindakan perang;

3. Melalui tindakan-tindakan yang dilakukan oleh angkatan bersenjata kedua belah pihak yang bertikai yang dapat dianggap cukup serius untuk melahirkan status perang, meskipun kedua belah pihak tersebut menyanggah adanya maksud yang bersifat permusuhan.

Sementara itu sebab-sebab terjadinya perang dipengaruhi oleh banyak hal. Masalah persatuan nasional atau keutuhan wilayah suatu negara dan kemerdekaan, persaingan antar dua negara, timbulnya cita-cita nasional suatu negara tertentu, usaha memperluas agama atau ideologi, sengketa wilayah, persaingan ekonomi antar negara dan masih banyak faktor-faktor lain yang apat menjadi sebab terjadinya perang.57

Tujuan perang itu sendri adalah ditentukan oleh sebab atau sebab terjadinya perang. Antara tujuan perang harus dibedakan dengan maksud perang. Maksud perang adalah selalu sama; munundukan lawan dengan kekerasan tetap tujuan perang selalu berbeda-beda. Di samping itu, perang juga merupakan alat kelanjutan dari suatu kebijaksanaan dan pada umumnya merupakan sanksi terakhir hukum internasional, bahwa perang dilakukan tidak sebagai tujuan, namun sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu mempertahankan kekuasaan hukum (“rule of law”).58

Sementara itu mengenai pengertian atau definisi damai, kurang mendapat perhatian yang seharusnya dari banyak sarjana, berbeda dengan lawan katanya

       57

G. P. H. Djatikoesomo, HukumInternasional Bagian Perang, Jakarta: Penerbit Pemandangan, 1965 hal. 13.

58


(6)

perang, meskipun ide mengenai keduanya telah ada sejak awal peradaban manusia. Pengertian damai dikenal dalam pengertian hukum dengan suatu keadaan dimana terjadi keserasian antara kebebasan dengan ketertiban.59

Dalam hukum internasional masalah perang diatur secara khusus ke dalam salah satu bidang hukum internasional dikenal dengan “hukum perang” atau “hukum humaniter internasional”. Hukum perang atau hukum humaniter internasional ini terdiri atas sekumpulan pembatasan oleh hukum internasional dalam mana kekuatan yang diperlukan untuk mengalahkan musuh boleh digunakan dan mengenai prinsip-prinsip yang mengatur perlakuan terhadap individu-individu pada saat berlangsungnya perang60, atau dengan kata lain hukum perang atau hukum humaniter internasional pada hakekatnya mengatur mengenai sebagai berikut: 61

a. Jus ad bellum, yakni hukum tentang perang; mengatur dalam hal

bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata. b. Jus in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang.

Hukum ini dibagi dua,yaitu:

1. Yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war). Bagian ini biasanya disebut: Hague Laws

2. Yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang. Ini lazimnya disebut dengan Geneva Laws

       59

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Renungan Filsafat Hukum, Cet ke-5. Jakarta: C.V. Rajawali, 1982 hal. 16.

60

J. G. Starke, Op. Cit., hal 727. 61

Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-konvensi Palang Merah 1949, cet ke-1, Bandung: Binacipta, 1979 hal 12.


(7)

Berasal dari kaedah-kaedah hukum kebiasaan, kaedah hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war), pada tahun 1899 dan 1907 kemudiandibentuk ke dalam konvensi-konvensi yang dikenal dengan Konvensi The Hague 1899 dan 1907. Konvensi Hague ini berisi pengaturan-pengaturan hukum perang darat dan laut.62

Khusus mengenai kaedah-kaedah hukum perang laut selain diatur dalam Konvensi-konvensi The Hague 1907, yaitu Konvensi Hague VI (mengatur mengenai status kapal dagang pada saat pecahnya perang), Konvensi Hague VII (mengenai perubahan kapal dagang menjadi kapal perang), Konvensi Hague VIII (mengenai penempatan ranjau laut anti kapal selam), Konvensi hague IX (mengenai pemboman laut), Konvensi Hague X, Konvensi Hague XI, dan Konvensi Hague XII (mengenai hak-hak dan kewajibgan pihak netral dalam perang laut), sebagian lagi diatur dalam Deklarasi Paris 1856 (misalnya mengenai larangan penugasan kapal-kapal dagang swasta untuk melakukan serangan), dan sebagian lainnya dalam London Rules Protokol 1936 (mengenai larangan penggunaan kapal-kapal selam terhadap kapal-kapal dagang musuh).63

Tidak seperti perang darat yang bertujuan mengalahkan musuh dan menguasai wilayah musuh, tujuan dalam perang laut tidak hanya untuk mengalahkan angkatan bersenjata musuh di laut, melainkan juga untuk melemahkan musuh dalam bidang ekonomi dengan cara menangkap kapal-kapal dagang musuh dan mengambil alih isi dari kapal-kapal dagang tersebut, bahkan

       62

Pada tahun lahirnya, Konvensi The Hague belum meliputi ketentuan-ketentuan hukum mengenai hukum perang udara, hal ini dikarenakan pada saat itu pesawat udara belum mendapatkan peranen yang cukup signifikan dalam perang, tidak seperti sekarang ini.

63


(8)

terkadang dalam hal-hal tertentu termasuk menguasai kapal-kapal dagang pihak netral yang tujuannya negara lawannya tersebut, dengan tujuan melemahkan perekonomian musuh.64

Tidak seperti perang darat yang bertujuan mengalahkan musuh dan menguasai wilayah musuh, tujuan dalam perang laut tidak hanya untuk mengalahkan angkatan bersenjata musuh di laut, melainkan juga untuk melemahkan musuh dalam bidang ekonomi dengan cara menangkap kapal-kapal dagang musuh dan mengambil alih isi dari kapal-kapal dagang tersebut,bahkan terkadang dalam hal-hal tertentu termasuk menguasai kapal-kapal dagang pihak netral yang tujuannya ke negara lawannya tersebut, dengan tujuan melemahkan perekonomian musuh.

Dari penjelasan-penjelasan mengenai pengertian perang dan damai tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hukum internasional mengenal perbedaan kondisi perang dan damai. Oleh karena itu dalam hukum internasional dikenal istilah hukum internasional masa damai dan hukum internasional masa perang.

Apabila dikaitkan dengan permasalahan yang sedang penulis bahas yaitu mengenai kapal perang, maka dalam hal ini, kapal perang juga memperoleh pengaturan hukum internasional yang berbeda pada waktu masa perang dan masa damai.

       64


(9)

B. Imunitas Kapal Perang Dalam Ketentuan-Ketentuan Hukum Internasional

B.1. Konvensi Brussel Tahun 1926

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa tidak banyak ketentuan-ketentuan hukum internasional yang mengatur secara khusus mengenai imunitas negara, terutama ketentuan mengenai imunitas kapal perang. Meskipun demikian hal tersebut tidak berarti bahwa ketentuan mengenai imunitas kapal perang tideak diatur sama sekali dalam hukum internasional.

Salah satu traktat multilateral internasional yang didalamnya terdapat ketentuan yang mengatur mengenai imunitas kapal perang adalah Konvensi Brussel tahun 1926. Konvensi dengan nama International Convention for Unification of Certain Rules Concerning the Immunities of Goverment Vessels ini ditandatangani pada tanggal 10 April 1926, di Brussel, Belgia oleh sejumlah negara. Konvensi ini dilengkapi dengan Protokol Tambahan tahun 1934.

Negara-negara yang meratifikasi dan mengaksesinya adalah Jerman, Belgia, Chili, Denmark, Eslandia, Sponyol, Estonia, Perancis, Inggris, Irlandia, India, Hungaria, Italia, Jepang, Latvia, Meksiko, Norwegia, Belanda, Polandia, Portugal, Rumania, Serbia, Kroasia, Slovenia,dan Swedia, Konvensi ini mulai berlaku pada tahun 1937.65

Konvensi Brussel tahun 1926 ini sebenarnya lebih ditujukan untukmengatur mengenai imunitas kapal dagang negara. Meskipun demikian

       65

http://www.ricc.com.cn/Englishversion/library/huominae/frame.htm diakses tanggal 04 Februari 2011


(10)

ketentuan mengenai imunitas kapal perang dapat ditemukan dalam pasal 3 ayat 1, yang berbunyi sebagai berikut :

“ The Provisions of the two proceeding articles shall not apply to ships of war, state-owned yachts, patrol vessels, hospital ships, fleet auxiliaries, supply ships an other vessels owned or operated by a state and employed exclusively at the time when the cause of action arises on government and non-commercial service, and such ships shall not be subject to seizure, arrest or detention by anu legal rocess, nor any proceedings in rem. Nevertheless, claimantsshall have the right to proceed before appropriate courts of the state which owns or operates the ship in the following cases : (i) Claims in respect of collision or other accidents of navigation;

(ii) Claims in respect of salvage or in the nature of salvage and in

respect of general average;

(iii) Claims in respect of repairs, supplies, or other contracts relating to the ship; and the State shall not entitled to rely upon any immunity as a defence.”

Jadi menurut ketentuan pasal 3 ayat 1 tersebut di atas kapal-kapal perang memiliki imunitas terhadap gugatan-gugatan yang mungkin dilakukan terhadapnya, kecuali dalam beberapa hal berikut :

1. Dalam kaitannya dengan klaim-klaim yang berkaitan dengan tabrakan di laut dan kecelakaan yang berhubungan dengan pelayaran;

2. Yang berhubungan dengan klaim-klaim pengangkatan kapal karam dan hal-hal lain yang berkaitan dengan permasalahan tersebut;

3. Permasalahan yang terkait dengan kontrak-kontrak perbaikan kapal, penyediaan suplai dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pemeliharaan kapal.


(11)

B.2. Konvensi Hukum Laut Jenewa Tahun 1958

Ketentuan mengenai imuitas kapal perang dalam Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958, dapat ditemukan dalam Pasal 9 Konvensi II tentang Laut Bebas, yang berbunyi sebagai berikut :

“Ships owned or operated by a state and used only on government non-commercial service shall, on the high seas, have complete immunity from jurisdiction of any state other than the flag state.”

Yang artinya kapal yang dimiliki atau dioperasikan oleh sebuah negara dan hanya digunakan untuk melayani pemerintah non komersial di laut lepas yang memiliki kekebalan dari yuridiksi negara lain daripada negara bendera. Meskipun tidak secara khusus menyebutkan “kapal perang”, ketentuan ini menjadi dasar keberlakuan imunitas yang dimiliki oleh kapal perang di laut bebas.

Satu hal lain yang penting dari Konvensi ini yang berkaitan dengan imunitas kapal perang adalah pengaruh Konvensi Brussel 1926 terhadap ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958, yakni mengenai adanya pembedaan antara kapal-kapal pemerintah/ negara untuk tujuan komersial dengan kapal-kapal pemerintah untuk tujuan non-komersial di dalam konvensi.

B.3. Marpol 73/78

Konvensi ini lahir pada tahun 1973 dan ditujukan untuk mengatasi berbagai bentuk pencemaran di laut yang diakibatkan oleh kegiatan-kegiatan kapal, diluarpencemaran dalam bentuk pembuangan limbah di laut. Konvensi dengan nama Convention for the Prevention of Pollution by Ships 1973, juga dilengkapi dengan Protokol Tambahan tahun 1978. Konvensi dan protokol


(12)

konvensi ini harus dipandang sebagai satu instrumen, yaitu MARPOL 37/78, keduanya mulai berlaku pada tanggal 2 Oktober 1983.

Sebagian besar langkah teknis yang berkaitan dengan pencegahan pencemaran laut oleh kapal, diatur dalam konvensi ini dalam kelima Annex-nya, yang masing-masing mengatur:66

1. Annex I, mengenai pencegahan pencemaran oleh minyak/oil;

2. Annex II, mengenai kontrol pencemaran oleh bahan-bahan cair beracun

dalam jumlah besar (noxious liquid substances carried in bulk);

3. Annex III, berkaitan dengan pencegahan pencemaran yang diakibatkan

oleh bahan-bahan yang berbahaya yang diangkut dalam bentuk terbungkus (harmful substances carried in packages), misalnya : Tangki-tangki dan peti-peti kemas;

4. Annex IV, mengenai pencegahan pencemaran oleh koitoran (sewage);

5. Annex V, berkaitan dengan pencegahan oleh sampah (garbage).

Ketentuan mengenai imunitas kapal perang dalam Konvensi MARPOL 73 diatur dalam pasal 3 ayat 3, yang bunyinya sebagai berikut:

“3. The present Convention shall not apply to any warship, naval auxiliary of other ships owned or operated by a state and use, for the time being only on government non-commercial service. However, each party shall ensure by adoption of appropriate measures not impairing the operations or oerational capabilities of such ships owned or operated by it, that such ships act in a manner consistent, so far as is reasonable and practicable, wiht the present Convention.”

Yang artinya, ketentuan konvensi ini yang berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut tidak berlaku bagi kapal perang, kapal bantuan,

       66


(13)

kendaraan air lainnya atau pesawat udara milik atau yang sedang dioperasikan oleh suatu negara serta digunakan, pada saai ini, hanya untuk keperluan pemerintah yang bukan bersifat komersial. Walaupun demikian, setiap negara harus menjamin dengan menetapkan tindakan-tindakan yang tepat yang tidak menghalangi operasi atau kemampuan operasional kendaraan air atau pesawat udara yang dimiliki atau dioperasikannya, bahwa kendaraan air atau pesawat udara dimaksud bertindak menurut cara yang konsisten sepanjang hal itu beralasan dan dapat dilakukan, dengan konvensi ini.

Jadi menurut ketentuan diatas, ketentuan-ketentuan dalam MARPOL 73 tidak dapat diterapkan pada kapal-kapal perang atau kapal-kapal pemerintah/negara untuk tujuan non-komersial.

B.4. Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982

Ketentuan-ketentuan mengenai mengenai imunitas kapal perang dapat ditemukan dalam beberapa pasal dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Berbeda dengan Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958, yang hanya mengatur satu pasal mengenai imunitas kapal perang. Dalam Konvensi Hukum Laut Tahun 1982, imunitas kapal perang diatur dalam beberapa pasal, meliputi:

Pasal 32 Konvensi HukumLaut 1982, yang bunyi pasalnya sebagai berikut:

“ Whit such exception as are contained in subsection A and in articles 30 and 31, nothingin this Convention affects the immunities of warships and other government ships operated for non-commercial purposes.”

Artinya adalah, dengan pengecualian sebagaimana tercantum dalam sub-bagian A dan dalam pasal-pasal 30 dan 31, tidak satupun ketentuan dalam konvensi ini


(14)

mengurangi kekebalan kapal perang dan kapal pemerintah lainnya yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial.

Pasal 95 Konvensi Hukum Laut 1982, yang berbunyi :

“Warships on the high seas have complete immunity from the jurisdiction of any state other than the flag state.”

Artinya adalah, kapal perang di laut lepas memiliki kekebalan penuh terhadap yuridiksi negara manapun selain negara bendera.

Pasal 236 Konvensi Hukum Laut 1982, yang berbunyi:

“The Provisions of this Convention regarding the protection and preservation of the marine environment do not apply to any warships, naval auxiliary, other vessels or aircraft owned or operated by a state and use, for time being, only on government non-commercial service. However, each state shall ensure, by the adoption of appropriate measures not impairing operations or operational capabilities of such vessels or aircraft owned or operated by it, that such vesels or aircraft act in a manner consistent, so far as is reasonable and practicable, with this Convention.”

Artinya adalah, ketentuan konvensi ini yang berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut tidak berlaku bagi kapal perang, kapal bantuan, kendaraan air lainnya atau pesawat udara milik atau yang sedang dioperasikan oleh suatu negara serta digunakan, pada saai ini, hanya untuk keperluan pemerintah yang bukan bersifat komersial. Walaupun demikian, setiap negara harus menjamin dengan menetapkan tindakan-tindakan yang tepat yang tidak menghalangi operasi atau kemampuan operasional kendaraan air atau pesawat udara yang dimiliki atau dioperasikannya, bahwa kendaraan air atau pesawat udara dimaksud bertindak menurut cara yang konsisten sepanjang hal itu beralasan dan dapat dilakukan, dengan konvensi ini.


(15)

C. Pengaturan Lintas Pelayaran Kapal Perang Dalam Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982

Hukum laut internasional merupakan ketentuan hukum internasional yang paling besar dan terpenting bagi masyarakat dunia internasional. Hal tersebut dapat diketahui dan terefleksikan dari kayanya traktat-traktat hukum, hukum-hukum kebiasaan dan yurisprudensi-yurisprudensi yang berkaitan dengan subyek ini.67

Permasalahan yang menyangkut hukum laut begitu luas. Konvensi Hukum Laut 1982 sebagai kodifikasi hukum laut internasinal pada dasarnya berusaha memberikan pengaturan mengenai hukum laut secara komprehensif, dengan kata lain secara luas dan menyeluruh, meliputi semua obyek hukum laut, termasuk dalam hal ini ketentuan-ketentuan mengenai kapal perang.

Berkaitan dengan pengaturan lintas pelayaran kapal perang pada masa damai dalam Konvensi Hukum Laut tahun 1982, dibedakan pengaturannya atas lima rezim hukum sebagai berikut:68

1. Pengaturan lintas kepal perang melalui wilayah perairan pedalaman; 2. Pengaturan lintas pelayaran kapal perang melalui wilayah laut teritorial; 3. Pengaturan lintas pelayaran kapal perang melalui selat-selat internasional; 4. Pengaturan lintas pelayaran kapal perang melalui wilayah perairan laut

negara kepulauan;

5. Pengaturan lintas pelayaran kapal perang melalui laut bebas.

       67

M. Dixon dan R. McCorquodale, Cases and MNaterials on International Law, 2nd Ed., London: BlackstonePress Ltd, 1988 hal. 406.

68

http://www.docstoc.com/docs/20860696/Jurusan-Hukum-Internasional diakses tanggal 04 Februari 2010


(16)

C.1. Melalui Perairan Pedalaman

Sejak dahulu adalah sudah merupakan kebiasaan internasional bahwa negara pantai mempunyai yurisdiksi penuh atas perairan pedalamannya sama dengan wilayah teritorial darat dan udaranya.

Konvensi Hukum Laut tahun 1982 memberikan pengertian perairan pedalaman sebagai berikut :

“1. Except as provided in part IV, waters on the landward side of the baseline of the territorial sea form part of the internal waters of the state.”69

Dari definisi tersebut diatas, maka yang dimaksudkan dengan perairan pedalaman meliputi seluruh wilayah perairan yang berada pada sisi dalam garis pangkal (baseline) laut teritorial. Dalam hal ini teluk, muara sungai, pelabuhan dan perairan lain yang letaknya berada di sisi dalam garis pangkal (baseline) laut teritorial adalah merupakan perairan pedalaman.

Setiap kapal-kapal asing yang berada di perairan pedalaman tunduk sepenuhnya atas yurisdiksi negara pantai. Tidak ada hak lintas pelayaran kapal asing di dalamnya,dengan kata lain bagi kapal-kapal asing yang bermaksud memasuki wilayah perairan pedalaman negara lain harus terlebih dahulu mendapatkanizin dari negara pantai, dan dalam hal kapal perang asing diperlukan izin khusus dari negara pantai, kecuali dalam hal apabila suatu kapal asing tersebut dalam keadaan mengalami kesulitan atau force majeure,dalam kaitannya terhadap perrairan pedalamanyang terjadi sebagai akibatpenarikan garis pangkal

       69


(17)

lurus sebagaimana diatur dalam pasal 7 Konvensi hukum laut 198270, dan bila diantara negara kapal perang asing dan negara pantai telah terdapat perjanjian bilateral dan multilateral.

Ketika memasuki wilayah perairan pedalaman negara lain, kapal-kapal asing menempatkan diri mereka dalam kekuasaan teritorial negara pantai. Oleh karenanya negara pantai berhak untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan hukumnya terhadap kapal dan orang-orang yang berada diatas kapal tersebut, pengecualian dari ketentuan-ketentuan umum ini adal;ah dalam hal kaitannya dengan imunitas negara dan imunitas diplomatik, dimana hal tersebut pada umumnya dimiliki kapal-kapal pemerintah/negara, termasuk kapal-kapal perang.71

Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982 menetapkan lebar laut teritorial tersebut tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal/baseline.72 Setiap negara memiliki kedaulatan atas laut teritorialnya, sebagaimana halnya atas ruang udara diatasnya, serta dasar laut dan tanah dibawahnya,73 akan tetapi dibatasi oleh berlakunya hak lintas lintas damai (rigt of innocent passage) bagi setiap kapal-kapal asing yang merupakan hak yang dimiliki oleh setiap negara.74 Pengertian setiap kapal disini artinya tentu termasuk kapal perang.

Pengaturan lintas pelayaran melalui laut territorial dimuat dalam Section III. Section III ini terdiri atas tiga Subsection, yakni :

1. Subsection A berisi “Rules Applicable to All Ships” (pasal 17 s/d pasal 26)

       70

Pasal 8 ayat (2) Konvensi Hukum Laut 1982 71

A.V. Lowe dan R.R. Churchill, Op. Cit., hal 54 72

A.M. Muhjiddin, Op. Cit., hal. 106 73

Pasal 3 Konvensi Hukum Laut 1982 74


(18)

2. Subsection B berisi “Rules Appllicable to Merchant Ships and Government Ships Operated for Commercial Purposes” (pasal 27 dan pasal 28)

3. Subsection C berisi “Rules Applicable to Warships and Other Government

Ships Operated for Non-Commercial Purposes” (pasal 29 s/d pasal 32) Pembagian tersebut diatas pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan pembagian dalam Konvensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958. Namun pada Konvensi Hukum Laut 1982 tersebut, perumusannya menjadi lebih jelas dan lebih luas jangkauan pengaturannya.

Pengertian dari lintas (passage) menurut Konvensi Hukum Laut 1982 adalah navigasi (pelayaran) melalui laut teritorial untuk keperluan:

a. hanya untuk melintas tanpa memasuki perairan pedalaman; b. singgah di dermaga di luar perairan pedalaman;

c. ke atau dari perairan pedalaman;

d. singgah di dermaga/fasilitas pelabuhan yang lain.75

Dihubungkan dengan definisi “lintas” yang termuat dalam pasal 14 ayat 2 dan 3 Konvensi Hukum Jenewa tahun 1958, maka definisi lintas yang diatur dalam pasal 18 tersebut lebih lua karena ada penambahan penyebutan dermaga (roadstead) di luar perairan pedalaman untuk melengkapi perumusan-perumusan dalam konvensi-konvensi sebelumnya.

Lintas (passage) harus terus menerus, langsung serta secepat mungkin. Jadi tidak termasuk berhenti atau buang jauh, kecuali apabila berhenti atau buang

       75


(19)

sauh terjadi karena mengalami keadaan bencana atau force majeure atau untuk maksud pembierian pertolongan kepada orang, kapal atau peawat udara yang berada dalam keadaan bahaya atau mendapat bencana.76

Menurut pasal 19 ayat 1 Konvensi Hukum Laut 1982 suatu lintas dinyatakan sebagai lintas damai, apabila lintas tersebut tidak membahayakan perdamaian, ketertiban dan keamanan dari negara pantai (not prejudicial to the peace, good order and security of the coastal state).

Tindakan-tindakan apa saja yang termasuk sebagai membahayakan perdamaian, ketertiban dan keamanan negara pantai, yang tidak terjawab dalam konvensi-konvensi sebelumnya, terjawab dan eijelaskan dalam paal 19 ayat (2) Konvensi Hukum Laut 1982.

Selanjutnya dalam Konvensi Hukum Laut 1982 diatur mengenai keharusan kapal selam untuk melakukan navigasi diatas permukaan air dan menunjukan benderanya.77

Disamping itu, kapal-kapal yang bertenaga nuklir/yang mengangkut nuklir atau bahan lain yang berbahaya, apabila melaksanakan hak lintas damai melalui laut territorial harus membawa dokumen dan mematuhi tindakan pencegahan khusus yang titetapkan oleh perjanjian internasional bagi kapal demikian.78

Berbeda dengan kapal dagang/kapal pemerintah yang dipergunakan untuk tujuan dagang, dimana terhadapnya selama berada di wilayah laut territorial suatu negara berlaku yurisdiksi kriminal dan sipil dari negara pantai, maka tidak

       76

Pasal 18 ayat (2) Konvensi Hukum Laut tahun 1982 77

Pasal 20 Konvensi Hukum laut tahun 1982 78


(20)

demikian halnya bagi kapal perang dimana yurisdiksi kriminal dan sipil tidak berlaku terhadapnya.

Apabila suatu kapal perang tidak mematuhi hukum dan peraturan yang dikeluarkan negara pantai mengenai lintas damai di wilayahnya dan mengabikan permintaan untuk mematuhinya, negara pantai dapat meminta kapal perang itu segera meninggalkan laut territorialnya dengan segera.79

Selain itu Konvensi Hukum Laut tahun 1982 juga memuat ketentun yang mengatur mengenai tanggung jawab kapal perang sebagai akibat tidak ditaatinya peraturan perundang-undangan negara pantai mengenai lintas melalui laut teritorial.80 Pertanggungjawaban seperti ini diperlukan untuk tetap menjaga hubungan baik antar negara dalam lingkup pergaulan internasional.

Menurut pasal 31 tersebut, bukanlah sebagai pengecualian dari imunitas sebagaimana yang tercantum dalam pasal 32 Konvensi Hukum Laut 1982, melainkan merupakan akibat hukum dari kenyataan bahwa kapal-kapal perang merupakan perangkat kedaulatan atau sebagai alat militer dan politik dari negara bendera, yang walaupun memiliki imunitas dari yurisdiksi negara pantai, akan tetapi dalam hubungannya dengan pelaksanaan hak lintas damai ia tidak dapat mengelak dari keharusan mentaati peraturan negara pantai dan ketentuan-ketentuan konvensi tentang hak lintas damai terebut.

       79

Pasal 30 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 80


(21)

C.2. Melalui Wilayah Laut Teritorial

Kapal perang untuk maksud Konvensi Hukum Laut 1982, adalah suatu kapal yang dimiliki oleh angkatan bersenjata suatu Negara yang memamkai tanda luar yang menunjukkan ciri khusus kebangsaan kapal tersebut, di bawah komando seorang perwira, yang diangkat oleh pemerintah Negaranya dan namanya terdaftar dinas militer yang tepat atau daftar yang serupa yang diawasi oleh awak kapal yang tunduk pada disiplin angkatan bersenjata reguler.

Dalam melakukan lintas damai di laut teritorial suatu Negara, apabila suatu kapal perang tidak mentaati dan tidak mengindahkan peraturan perundang-undangan Negara pantai mengani lintas damai yang disampaikan kepadanya, Negara pantai dapat menuntut kapal perang itu meninggalkan laut teritorialnya. Negara bendera memikul tanggung jawab internasional untuk setiap kerugian yang diderita Negara sebagai akibat tidak dipatuhinya peraturan perundang-undangan Negara pantai mengenai lintas melalui laut teritorial yang dilakukan oleh kapal perang dan kapal pemerintah lainnya yang dioperasikan untuk tujuan non komersial (lihat pasal 30 dan 31 Konvensi Hukum Laut 1982).81

Adapun peraturan perundang-undangan yang dibuat Negara pantai sehubungan dengan lintas damai bagi kapal asing di laut teritorial sesuai dengan Konvensi ini dan hukum internasional lainnya mengenai setiap hal berikut : (a) Keselamatan navigasi dan pengaturan lalu lintas maritim

(b) Perlindungan alat-alat pembantu dan fasilitas navigasi serta fasilitas instalasi lainnya

       81

http://www.docstoc.com/docs/20860696/Jurusan-Hukum-Internasional diakses tanggal 06 Januari 2011


(22)

(c) Perlindungan kabel bawah laut (d) Konservasi kekayaan hayati laut

(e) Pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan Negara pantai

(f) Pelestarian lingkungan Negara pantai dan pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemarannya

(g) Penelitian ilmiah kelautan dan survey hodrografy

(h) Pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal, imigrasi atau saniter Negara pantai

Dalam hal ini Negara pantai harus mengumumkan semua peraturan perundang-undangan tersebut. Dan bagi kapal asing harus mematuhi semua peraturan perundang-undangan demikian dan juga semua peraturan internasional bertalian dengan pencegahan tubrukan di laut yang diterima secara umum. Bahkan apabila perlu dengan memperhatikan keselamatan pelayaran atau navigasi, kapal asing yang melakukan pelayaran di laut teritorialnya, dapat diwajibkan untuk mempergunakan alur laut dan skema pemisah lalu lintas sebagaimana yang ditetapkan dan yang harus diikuti untuk pengaturan lintas kapal (lihat pasal 21 dan 22 Konvensi Hukum Laut 1982).

Negara pantai tidak boleh menghalangi lintas damai kapal asing melalui laut teritorialnya, kecuali dengan ketentuan Konvensi atau perundang-undangan yang dibuat sesuai dengan ketentuan Konvensi. Negara pantai juga tidak boleh menetapkan persyaratan atas kapal asing yang secara praktis berakibat penolakan atau pengurangan hak lintas damai. Lain dari pada itu Negara pantai tidak boleh mengadakan diskriminasi formil atau diskriminasi nyata terhadap kapal Negara


(23)

manapun. Untuk keselamatan pelayaran, Negara pantai harus secepatnya mengumumkan bahaya apapun bagi navigasi dalam laut teritorialnya yang diketahuinya.

Selanjutnya mengenai hak perlindungan bagi keamanan Negaranya, Negara pantai dapat mengambil langkah yang diperlakukan untuk mencegah lintas yang tidak damai di laut teritorialnya. Negara pantai juga berhak untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran apapun terhadap persyaratan yang ditentukan bagi masuknya kapal ke perairan pedalaman atau ke persinggahan demikian. Tanpa diskriminasi formil atau diskriminasi nyata di antara kapal, Negara pantai dapat menangguhkan sementara pada daerah tertentu di laut teritorialnya untuk perlindungan keamanannya termasuk keperluan latihan senjata. Penangguhan ini berlaku setelah diumumkan terlebih dahulu. (Pihat pasal 25 Konvensi Hukum Laut 1982)

Di dalam pasal 26 menyatakan, tidak ada pungutan biaya yang dapat dibebankan pada kapal asing yang melakukan lintas damai di laut teritorial oleh suatu Negara pantai. Kecuali pungutan dapat dibebankan hanya untuk pembayaran khusus dan dalam pemungutan ini dibebankan tanpa diskriminasi.

C.3. Melalui Wilayah Selat-selat Internasional

Wilayah perairan yang brupa selat yang dipergunakan untuk perlayaran internasional yang terjadi karena perubahan lebar laut teritorial menjadi 12 mil, berubah statusnya menjadi berada dibawah kedaulatan negara yang berbatasan dengan selat tersebut.82

       82


(24)

Dalam selat yang dipergunakan untuk pelayaran internasional di antara satu bagian laut bebas atau Zona ekonomi Eksklusif (ZEE), setiap kapal termasuk kapal perang dan pesawat udara menikmati hak lintas transit “transit passage” yang tidak dihalang-halangi (shall not be impeded).

Namun demikian jika selat tersebut terbentuk oleh suatu pulau dan daratan utama dari suatu pulau dan daratan utama dari suatu negara maka ketentuan mengenai hak lintas transit tidak berlaku. Pengecualian lainnya yakni apabila ada rute lain yang melewati laut bebas atau ZEE dengan kenyamanan yang sama dalam kaitannya dengan karakteristik hidgorafi dan pelayaran.83

Pengertian lintas transit (Transit passage) adalah kebebasan untuk melakukan pelayaran dan penerbangan semata-mata untuk tujuan transit yang terus menerus, langsung, dan secepat mungkin antara satu bagian laut bebas atau ZEE ke bagian lain dari laut bebas atau ZEE. Namun demikian, hal tersebut tidak mempengaruhi lintas pelayaran yang dilakukan melewati selat dengan tujuan memasuki meninggalkan atau kembali dari negara yang berbatasan dengan selat tersebut yang tunduk kepada syarat-syarat untuk memasuki negara tersebut.84

Kewajiban dari setiap kapal atau pesawat udara yang melakukan hak lintas transit, meliputi :

1. Lewat dengan cepat melalui atau di atas selat;

2. Menghindarkan diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan apapun terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara yang berbatasan selat, atau dengan cara lain apapun yang melanggar

asas-       83

Pasal 37 dan 38 ayat (1) Konvensi Hukum Laut tahun 1982 84


(25)

asas hukum internasional yang tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa;

3. Menghindarkan diri dari kegiatan apapun selain transit secara terus menerus langsung dan secepat mungkin dalam cara normal kecuali diperlukan karena force majeure atau karena kesulitan.

Setiap kapal dari negara asing yang melakukan lintas transit (transit passage) harus mematuhi hukum danpperaturan dari negara pantai. Jika hal terebut dilanggar, negara bendera kapal harus bertanggung jawab terhadap setiap kerugian atau kerusakan yang ditimbulkan terhadap negara yang berbatasan dengan selat.85

Kewajiban dari negara-negara pantai yang berbatasan dengan selat intrnasional, yaitu :

a. Tidak menghalangi hak linta transit;

b. Memberikan pengumuman tentang adanya bahaya terhadap pelayaran di seluruh bagian selat;

c. Tidak boleh ada penangguhan lintas transit.

Hal tersebut diatas merupakan perbedaan antasra lintas transit dengan lintas damai karena dalam lintas damai diperkenankan adanya penundaan.

Ketentuan mengenai lintas damai berlaku pula terhadap selat-selat internasional, yaitu yang menurut ketentuan pasal 38 ayat 1, dikecualikan dari pelaksanaan rezim lintas transit; atau selat internasional yang terletak antar bagian laut lepas atau suatu zona ekonomi eksklusif dan laut territorial suatu negara asing.

       85


(26)

Namun demikian satu hal yang perlu dicatat, meskipun berlaku lintas damai melalui selata-selat demikian tersebut, tidak berarti negara pantai boleh menunda atau menghalangi lintas damai di selat internasional.

Sementara itu dalam kaitannya dengan hak lintas pelayaran kapal selam di selat-selat internasional, dikarenakan tidak adanya ketentuan yang secara jelas yang mengatur mengenai apakah kapal selam diharuskan berada di permukaan air pada saat melaksanakan lintas transit, akibatnya terdapat perbedaan penafsiran di antara negara-negara. Negara-negara maritim besar yang memiliki kepentingan atas armada lautnya agar bebas bergerak menganggap yang dimaksud “normal mode” pada pasal 39 ayat 1 (C) adalah tidak termasuk kewajiban untuk berada diatas lpermukaan dan menunjukkan bendara kapal, sementara negara-negara pantai beranggapan sebaliknya.

Namun demikian apabila kita merujuk pada tujuan penggunaan dari kapal selam adalah untuk pelayaran dibawah air, maka terhadap arti kata “normal mode” tersebut, seharusnya dapat dibenarkan apabila kapal selam berlayar di bawah air, meskipun hal tersebut harus tetap memperhatikan kondisi geografis, densitas lalu lintas dan faktor keselamatan tidak memungkinkan atau adanya ketentuan yang mengharuskannya.

C.4. Melalui Wilayah Perairan Negara Kepulauan

Yang dimaksud dengan negara kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau ebih kepulaua dan dapat mencakup pulau-pulau lain.86

Pengertian “kepulauan” itu sendiri adalah suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan diantaranya dan lain-lain wujud alamiah yang

       86


(27)

hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografis, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap sebagai demikian.

Kedaulatan dari suatu negara kepulauan meliputi perairan yang tercakup dalam garis pangkal yang disebut perairan kepulauan tanpa memperhitungkan kedalaman atau jaraknya dari pantai. Kedaulatan tersebut meliputi pula ruang udara diatasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya serta sumber-sumber alam yang terkandung dibawahnya.87

Setiap kapal, termasuk kapal-kapal perang, menikmati hak lintas alur laut kepulauan di wilayah perairan kepulauan yang merupakan alur laut kepulauan88, dan menikmati hak lintas damai di wilayah perairan kepulauan di luar lalur laut kepulauan.89

Yang dimaksud dengan lintas alur laut kepulauan adalah pelaksanaan hak pelayaran dan penerbangan sesuai dengan ketentuan-ketentuan konvensi ini dalam cara normal semata-mata untuk melakukan transit yang terus-menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang antara satu bagian laut bebas atau zona Ekonomi Eksklusif dan bagian laut bebas atau Zona Ekonomi Ekskusif lainnya.90

Menurut pasal 53 ayat 5 Konvensi Hukum Laut 1982 disebutkan bahwa alur laut dean rute udara harus diartikan sebagai rangkaian dari garis sumbu yang bersambungan mulai dari tempat masuk rute llintas hingga tempat ke luar. Kapal dan pesawat udara yang melakukan lintas melalui alur laut kepulauantideak boleh

       87

Pasal 46 butir (b) Konvensi Hukum Laut tahun 1982 88

Pasal 53 ayat 2 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 89

Pasal 52 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 90


(28)

menyimpang lebih daripada 25 mil laut ke dua sisi garis sumbu demikian, dengan ketentuan bahwa kapal dan pesawat udara tersebut tidak boleh berlayar atau berbang dekat ke pantai kurang dari 108 jarak antara titik-titik yang terdekat pada pulau-pulau perbatasan dengan alur laut tersebut.

Jadi misalnya alur laut kepulauan tersebut lebarnya 50 mil, maka kapal atau pesawat udara diperbolehkan menyimpang tidak lebih dari 15 mil ke tia sisi dari garis sumbu.

Selain menentukan alur laut, negara kepulauan juga dapat menentukan skema pemisah lalu lintas (Traffic Separation Schemes) untuk keperluan keamanan pelayaran lintas kapal, dan apabila keadaan menghendaki, setelah mengadakan pengumuman sebagaimana mestinya,dapat mengganti alur/skema pemisah lalu lintas terebut.91

Alur laut dan skema pemisah lalu lintas tersebut harus sesuai dengan peraturan internasional.92 Dalam menentukan atau mengganti skema pemisah lalu lintas, negara kepualauan harus mengajukannya kepada organisasi internasional yang berwenang.93

Apabila suatu negara kepulauan tidak menentukan alur laut atau rute penerbangan, maka hak lintas alur laut kepulauan dapat di laksanakan melalui rute yang biasa digunakan untuk pelayaran internasinal.94

Hak lintas alur laut kepulauan apabila dilihat dari substansinya pada hakekatnya identik dengan hak lintas transit yang terdapat di selat internasional.95

       91

Pasal 53 ayat 1, 6 dan 7 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 92

Pasal 53 ayat 8 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 93

Pasal 53 ayat 9 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 94


(29)

C.5. Melalui Wilayah Laut Bebas

Laut Bebas adalah terbuka untuk semua negara, baik negara pantai atau tidak berpantai. Kebebasan laut bebas menurut Konvensi Hulum Laut 1982, meliputi :

a. kebebasan berlayar; b. kebebasan penerbangan;

c. kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah laut;

d. kebebasan untu membangun pulau buatan dan instalasi lainnya yang diperbolehkan berdasarkan hukum internasinal;

e. kebebasan menangkap ikan; f. kebebasan riset ilmiah.96

Namun demikian kebebasan tersebut diatas, juga dengan memperhatikan kepentingan negara lain97, dan melaksanakan kedaulatannya di laut bebas.98

Setiap kapal, termasuk kapal perang menikmati kebebasan berlayar di laut bebas99, kebebasan berlayar tersebut bagi kapal-kapal perang adalah termasuk melakukan manuver-manuver, latihan-latihan perang,uji coba senjata dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kegiatan militr lainnya di laut.100 Meskipun demikian dalam pasal 88 dijelaskan pula bahwa negara-negara dalam menikmati kebebasan laut bebasnya tersebut harus dimaksudkan untuk tujuan-tujuan damai.

        95

Lihat Pasal 54 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 96

Pasal 87 ayat 1 Konvensi Hukum Laut thaun 1982 97

Pasal 87 ayat 2 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 98

Pasal 89 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 99

Pasal 90 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 100

United States Department of The Navy, “A Hasndbook for Naval Operations,”http;//www.opt.havy,mil/pages/legal/nwp 820-14/NWPCH2.htm., diakses 02Agustus 2010


(30)

Dalam Konvensi Hukum Laut tahun 1982 juga disebutkan mengenai sejumlah hak dan kewajiban kapal perang di laut bebas. Hak-hak tersebut antara lain meliputi : hak melakukan penyitaan karena perompakan/bajak laut101; hak melakukan pemeriksaan (right of visit)102 terhadap setiap kapal di laut bebas yang diduga terlibat dalam perompakan/bajak laut, perdagangan budak, penyiaran gelap, dan terhadap kapal tanpa kebangsaa; dan hak pengejaran seketika (hot pursuit).103 Sementara itu berkaitan dengan kewajiban kapal perang disebutkan; kewajiban setiap kapal memberikan bantuan terhadap kapal yang sedang membutuhkan pertolongan104, kewajiban berlayar dibawah satu bendera kapal105, dan kewajiban memiliki kelaian ketika kapal akan berlayar.106

Sementara itu berkaitan dengan pelaksanaan hak kebebasan berlayar bagi kapal perang tersebut,beberapa negara maritim besar (antara lain Amerika serikat, Uni Sovyet sekarang Rusia, dan Inggris) mengambil inisiatif dengan menghasilkan perjanjian bilateral mengenai pencegahan terjadinya insiden antar kapal perang dari angkatan laut masing-masing negara maritim besar tersebut, di luar laut territorial khususnya di laut bebas. Perjanjian bilateral dengan nama”The Agreement on The Prevention of Incidents on and Over the High Seas”, antara Amerika serikat dengan Uni Sovyet ditandangani pada tahun 1972, yang kemudian disusul dengan protokolnya pada tahun 1973. Sementara perjanjian yang sama ditandatangani antara Uni Sovyet dan Inggris pada tahun 1986.107

       101

Pasal 107 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 102

Pasal 110 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 103

Pasal 11 ayat 5 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 104

Pasal 98 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 105

Pasal 92 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 106

Pasal 94 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 107


(31)

Perjanjian bilateral yang dikenal dengan nama INCSEA ( Incidents at Sea) tersebut beri ketentuan-ketentuan mengenai kewajiban-kewajiban kapal-kapal perang dan atau pesawat udara masing pihakuntuk melakukan tindakan-tindakan pencegahan terjadinya tabrakan antar kapal perang dengan cara mematuhi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam “Konvensi Mengenai Pengaturan Pencegahan Tabrakan Antar Kapal di Laut tahun 1972”, dikenal dengan nama COLREG 1972 (The International Regulations for Preventing Collisions at Sea), selain itu setiap kapal perang dan atau pesawat udara dan pesawat udara militer masing-masing pihak diwajibkan untuk menghindarkan diri dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat memicu terjadinya insiden antar kapal perang dan pesawat udara militer, salah satunya dengan tidak mensimulasikan persenjataan yang dimilikinya ke arah kapal perang dan atau pesawat udara militer pihak lainnya, ketika kapal perang dan pesawat udara militer pihak lain berada didekatnya. Perjanjian bilateral ini juga berisi kewajiban masing-masing pihak untuk melakukan tukar menukar informasi apabila suatu saat terjadi insiden diantara kapal perang dan pesawat udara militer kedua belah pihak.


(32)

BAB IV

PEMBAHASAN ATAS MASALAH IMUNITAS DAN PENGATURAN LINTAS PELAYARAN KAPAL PERANG

PADA MASA DAMAI

A. Masalah Imunitas Kapal Perang Dan Pelanggaran Terhadap Integritas Politik dan Nasional Negara Pantai

Setiap negara yang berdaulat sudah pasti tidak menginginkan integritas politik dan nasional negaranya dilanggar oleh negara lain, karena hakekat berdirinya suatu negara itu adalah untuk memiliki kedaulatan secara penuh atas seluruh wilayah beserta isinya, bebas dari kontrol negara lain.

Konvensi Hukum Laut tahun 1982 yang merupakan ketentuan hukum internasional yang mengatur mengenai pemanfaatan laut secara komprehensif menekankan pentingnya menghormati kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekatan politik setiap negara di dunia. Hal tersebut tercermin dalam beberapa ketentuannya yang secara tegas melarang setiap negara untuk melakukan pelanggaran terhadap integritas politik dan nasional negara lain.

Dalam ketentuan pasal 19 ayat 2 butir a disebutkan bahwa setiap kapal dianggap melakukan lintas tidak damai apabila melakukan:

“(a) any threat or use of force against the sovereignty, territorial integrity or political independence of the caoastal state, or in any other manner in violation of the principles of international law embodied in the charter of the United Nations.”

Yang artinya, setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara pantai, atau dengan cara lain

 


(33)

apapun yang merupakan pelanggaran asas hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Selanjutnya dalam pasal 39 ayat 1 butir b disebutkan mengenai kewajiban setiap kapal dan pesawat udara sewaktu lintas trnsit untuk :

“(b) refrain from any threat or use of force against the sovereignty territorial integrity or political independence of state bordering the strait, or any other manner in violation in principles of international law embodied in the charter of the United National.”

Yang artinya, menghindarkan diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan apapun terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara yang berbatasan dengan selat, atau dengan cara lain apapun yang melanggar asas-asas hukum internasional yang tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Hal yang sama juga berlaku dalam ketentuan pasal 54 mengenai hak lintas alur aut kepulauan dan pasal 301 mengenai penggunaan laut untuk maksud-maksud damai.

Jadi meskipun setiap kapal termasuk kapal perang memiliki hak-hak berlayar yang dilindungi oleh ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982, terdapat pula kewajiban untuk menghormati integritas politik dan nasional negara pantai.

Ketentuan mengenai larangan untuk melakukan kegiatan yang mengancam dan melanggar integritas politik dan nasional negara llain, khususnya terhadap negara pantai dalam Konvensi Hukum Laut 1982 pada hakekatnya merupakan hasil kompromi dari dua kepentingan. Antara kepentingan negara-negara pantai untuk melindungi keamanan dan keutuhan wilayahnya dengan kepentingan


(34)

negara-negara maritim besar yang menghendaki kebebasan dan nkelancaran pelayarannya melalui wilayah perairan negara lain untuk berbagai keperluan, termasuk untuk kepentingan mobilitas armada kapal perangnya.

Sementara itu, sebagaimana telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, adalah merupakan ketentuan hukum internasional yang sejak lama telah ada yang menyatakan bahwa kapal perang memiliki imunitas/kekebalan dari proses hukum, eksekusi dan tindakan-tindakan lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan yurisdiksi negara selain negara bendera kapal perang. Dalam Konvensi Hukum laut tahun 1982 ketentuan-ketentuan mengenai imunitas kapal perang tersebut tercantum dalam pasal 32, pasal 95 dan pasal 236.

Yang menjadi persoalan kemudian bagaimanakah apabila kapal perang suatu negara melakukan pelanggaran terhadap integritas politik dan nasional negara lain yang berarti juga melakukan lintas tidak damai dan atau tidak melaksanakan kewajiban yang seharunya dilakukan pada waktu lintas transit atau lintas alur laut kepulauan. Sementara itu kapal perang memiliki imunitas, yang artinya negara yang dilanggar tentu tidak dapat melaksanakan yurisdiksi yang dimilikinya terhadap kapal perang yang melakukan pelanggaran tersebut.

Menurut ketentuan dalam pasal 25 ayat 1 Konvensi Hukum Laut tahun 1982, suatu negara pantai dapat “take the necessary steps” untuk mencegah terjadinya lintas yang tidak damai. Apabila kita memperhatikan bunyi kalimat dalam pasal 25 ayat 1 tersebut secara seksama, maka atas dasar panafsiran dari arti kalimat “the necessary steps”, negara yang dilanggar dapat melakukan tindakan-tindakan yang dapat bergerak dari titik ekstrim yang satu titik ekstrim


(35)

lain. Artinya tindakan tersebut bisa bersifat sangat lunak, bisa juga bersifat sangat keras.

Apabila dikaitkan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh kapal perang, maka ltindakan yang sangat lunak tersebut kiranya dapat ditafsirkan dalam bentuk meminta kapal perang yang melanggar untuk segera meninggalkan perairan teritorial negara pantai108, yang dapat pula disertai dengan pernyataan protes melalui saluran diplomatik.

Ketentuan dalam pasal 30 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 tersebut pada hakekatnya adalah merupakan suatu bentuk metode konvensional yang diberikan oleh Konvensi Hukum Laut 1982 bagi negara-negara pantai untuk mengatasi masalah pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh kapal-kapal perang asing di wilayah perairan laut teritorialnya. Ketentuan ini akan akan cukup efektif untuk mengatasi pelanggaran-pelanggaran yang bersifat ringan seperti pelanggaran terhadap tidak dipatuhinya hukum dan peraturan negara pantai, mengenai navigasi misalnya.109

Sementara itu terhadap pelanggaran-pelanggaran yang lebih besar eskalasenya seperti pelanggaran terhadap intergritas politik dan nasional, negara lain, tentu tidak cukup dengan hanya meminta kapal perang negara yang melanggar untuk dengan segera meninggalkan wilayah negara yang dilanggar.

Menurut ketentuan hukum internasional klasik, suatu negara yang kedaulatannya dilanggar oleh negara lain dapat melakukan sejumlah tindakan bersifat non-yuridis terhadap negara yang melanggar kedaulatannya. Tindakan ini

       108

Pasal 30 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 109


(36)

dalam hukum internasional dikenal dengan hak pembelaan diri atau “self defence”. Dalam hukum ternasional hak pembelaan diri tersebut ada meskipun pelanggaran yang dilakukan bukan merupakan suatu serangan bersenjata/ “armed attack” dan pelanggaran yang dilakukan tersebut tidak harus merupakan suatu agresi, bahkan ada juga yang berpendapat bahwa hak bela diri sepenuhnya berhubungan dengan tindakan yang bertujuan menghentikan pelanggaran memasuki wilayah negara lain tanpa izin. Oleh karena itu terkait dengan hakekat/sifat pengoperasian kapal perang itu sendri, maka pertimbangan penggunaan prinsip pembelaan diri menjadi sangat terkait erat.

Aturan yang secara normal perlu dipenuhi mengenai penggunaan ketentuan hak pembelaan diri adalah adanya prinsip dasar bahwa penggunaan tindakan tersebut dilakukan atas dasar “necessary” atau keperluan, suatu kondisi yang timbul dari sebab/keadaan yang menyebabkan diperlukannya tindakan pembelaan diri dan aturan edua yang juga wajib untuk dipenuhi adalah bahwa tindakan tersebut harus dilakukan secara “proportional” atau seimbang, seimbang dengan pelanggaran yang dilakukan.110

Namun demikian perlu juga diingat untuk mencegah adanya tuntutan dari negara yang ditindak setelah dilakukannya tindakan pembelaan diri, bahwa “tindakan berlebihan” telah dilakukan dan guna mencegah akibat dari tindakan tersebut menjadi konflik dalam eskalasi yang lebih besar, sebelum dilaksanakannya tindakan tersebut negara yang dilanggar kiranya wajib terlebih dahulu melakukan verifikasi apakah kapal perang tersebut memasuki wilayah

       110


(37)

karena mengalami kesulitan atau oleh karena sebab lain. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara memberikan peringatan sebelum langkah terakhir yaitu tindakan pembelaan diri terhadap kapal perang yang diduga melakukan pelanggaran terhadap integritas politik dan nasional negara pantai dilakukan.

Yang dimaksud dengan imunitas dalam hukum internasional adalah bahwa seseorang atau suatu obyek itu dikecualikan dari yurisdiksi pengadilan lokal dan atas segala tindakan yang dilakukan oleh pihak berwenang negara lain. Imunitas yang dimiliki oleh kapal perang bersifat absolut atau mutlak, yang artinya dengan kata lain tidak ada jelan sedikitpun untuk membawa kapal perang ke hadapan forum hakim nasional negara lain.

Akan tetapi hal tersebut tidak brarti bahwa negara yang dilanggar tidak dapat berbuat sesuatu sama sekali ketika wilayah teritorialnya dilanggar oleh sebuah kapal perang negara lain. Negara pantai yang dilanggar dapat melakukan tindakan-tindakan yang diakui oleh hukum internasional, tindakan-tindakan tersebut dapatberupa meminta kapal

Akan tetapi hal tersebut tidak brarti bahwa negara yang dilanggar tidak dapat berbuat sesuatu sama sekali ketika wilayah teritorialnya dilanggar oleh sebuah kapal perang negara lain. Negara pantai yang dilanggar dapat melakukan tindakan-tindakan yang diakui oleh hukum internasional, tindakan-tindakan tersebut dapatberupa meminta kapal ang yang melanggar untuk segera meninggalkan wilayah perairan teritorial negara pantai, yang dapat disertai dengan permintaan ganti rugi apabila pelanggaran kapal perang mengakibatkan kerugian bagi negara pantai, hingga tindakan yang lebih keras berupa tindakan


(38)

pembelaan diri atau ”self defence”, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 51 Piagam PBB, apabila pelanggaran yang dilakukan dirasakan telah mengancam danelanghgar integritas politik dan nasional negara pantai.

Terhadap imunitas yang dimiliki oleh sebuah kapal perang bersandar prinsip “par in parem non habet imperium”, yang artinya tidak ada satu negara yang dapat n\mengadili negara lainnya. Dan dalam kaitannya dengan masalah pelanggaran yang dilakukan kapal perang terhadap integritas politik dan nasional negara pantai, maka pengadilan lokal negara pantai dianggap tidak pantas untuk menyelidiki apakah benar suatu kapal perang melakukan pelanggaran terhadap integritas politik dan nasional negara pantai. Selain itu pengadilan lokal negara pantai juga tidak didesain untuk mengadili permasalahan antar negara, karena masalah antar negara lebih tepat untuk diselesaikan oleh hukum internasional.

B. Masalah Imunitas Kapal Perang Berkaitan Dengan Ketentuan-ketentuan Pencemaran di Laut

Salah satu dari sumber pencemaran di laut adalah diakibatkan oleh kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh kapal-kapal.

Kapal-kapal yang pada umumnya dioperasikan dengan mesin diesel dapat mencemarkan laut dengan tumpahan bahan bakarnya yang terkadang tanpa sengaja jatuh ke dalam laut, demikian pula halnya asap sisa pembakaran yang keluar dari saluran pembuangan asap pada akhirnya akan jatuh ke laut. Selain itu kapal-kapal bertenaga nuklir (pada umumnya kapal perang) dapat mengakibatkan pencemaran laut dengan bahan-bahan radioaktifnya. Setiap kapal, apapun


(39)

jenisnya, pasti akan mencemari laut apabila mereka membuang sampahnya ke laut atau apabila kapal tersebut melepaskan secara langsung limbah kotorannya ke dalam laut tanpa diolah terlebih dahulu.

Sementara itu sumber pencemaran terbesar dari kegiatan-kegiatan kapal adalah berasal dari kargo yang mereka angkut. Minyak adalah komoditi yang paling umum, selain itu kargo-kargo lain yang berbahaya karena dapat mencemari laut adalah antara lain; bahan-bahan kimia, LPG cair, dan bahan-bahan radioaktif.

Ada dua ketentuan hukum internasional yang meruakansumber utama dalam rangka pengaturan masalah pencemaran laut yang diakibatkan oleh kegiatan-kegiatan kapal, yang pertama adalah Konvensi Hukum Laut 1982 dan yang kedua adalah International Convention for The Prevention of Pollution from Ship tahun 1973 yang lebih dikenal dengan MARPOL Convention (Marine Pollution), ketentuan ini dilengkapi dengan Protokol tahun 1978. Oleh karena itu ketentuan hukum internasional ini dikenal dengan nama MARPOL 73/78.

Namun demikian sangat disayangkan kedua ketentuan hukum internasional utama mengenai pencemaran laut oleh kegiatan kapal tersebut hanya berlaku terhadap kapal-kapal dagang dan kapal-kapal umum lainnya dan tidak terhadap kapal perang dan kapal-kapal negara lainnya.111 Hal ini dikarenakan di dalam kedua ketentuan tersebut terdapat ketentuan yang mengecualikan keberlakuannya terhadap kapal-kapal negara/pemerintah dan kapal-kapal perang. Padahal banyak survey menunjukan bahwa kapal-kapal perang dan kapal-kapal

       111

Jeffrey S. Dehner, Vessel Source Pllution and Public Vessels; Sovereign Immunity V. Compliance, Implications for International Environmental law,


(40)

negara/ pemerintah turut memberikan kontribusi terhadap peningkatan pencemaran di laut yang diakibatkan oleh kegiatan-kegiatan kapal.

Setidaknya sejumlah angkatan laut di dunia dengan kira-kira 771.500 orang anggota awaknya setiap tahun berlayar ldi laut, menghasilkan lebih dari 74.000 ton sampah per tahunnya. Amerika Serikat sebagai salah satu negara maritim besar di dunia yang memiliki lebih dari 2000 kapal, termasuk 600 kapal perang dengan jumlah anggota awak kira-kira 300.000 orang, pada tahun 1993, menghasilkan setidaknya lebih dari 63.356 ton sampah per tahun, hal tersebut baru terhitung hanya untuk sampah yang dibuang di perairan domestik saja.112 Ketentuan mengenai masalah perlindungan lingkungan laut diatur oleh Konvensi Hukum, Laut tahun 1982 di dalam Bab XII, khususnya Bagian 5 yang berjudul “Peraturan-peraturan Internasional dan Perundang-undangan Nasional untuk Mencegah, Mengurangi dan Mengendalikan Pencemaran Lingkungan Laut.” Bagian ini mengatur mengenai pencemaran laut yang berasal dari daratan,113 yang berasal dari kegiatan-kegiatan di kawasan dasar laut114, yang berasal dari dumping115, dan yang berasal dari kegiatan-kegiatan kapal.116

Khusus berakitan dengan perlindungan lingkungan laut dari pencemaran yang diakibatkan oleh kegiatan-kegiatan kapal, pasal 211 Konvensi Hukum Laut 1982 menerangkan bahwa “negara-negara akan menetapkan ketentuan-ketentuan hukum dan standar-standar internasional untuk mencegah, mengurangi dan

       112

Ibid. 113

Pasal 207 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 114

Pasal 208 dan 209 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 115

Pasal 210 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 116


(41)

mengontrol pencemaran terhadap lingkungan laut yang diakibatkan oleh kegiatan-kegiatan kapal.”

Kemudian dalam beberapa pasal berikutnya dijelaskan bahwa pemaksaan pentaatan terhadap ketentuan-ketentuan hukum dan standar-standar hukum internasional tersebut dilaksanakan oleh negara-negara pantai117, negara-negara pelabuhan118, dan negara-negara bendera kapal.119

Ketentuan-ketentuan yang kiranya cukup baik tersebut menjadi tidak cukup efektif dikarenakan adanya ketentuan yang mengecualikan keberlakuannya terhadap kapal perang untuk mematuhinya. Sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 236 yang menyatakan bahwa kapal perang dan kapal pemerintah yang digunakan untuk tujuan non-komersial, dikecualikan dari ketentuan-ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 yang berkaitan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Meskipun dalam lanjutan bunyi kalimat pasal 236 dijelaskan mengenai jaminan negara untuk mengambil tindakan-tindakan, sepanjang beralasan dan dapat dilakukan, agar kepal perang mentaati ketentuan-ketentuan dalam konvensi.

Kedua ketentuan tersebut diatas adalah merupakan ketentuan mengenai imunitas negara. Meskipun dalam kedua ketentuan tersebut juga dilengkapi dengan klausul “itikad baik” yang menyatakan bahwa negara-negara akan menjamin untuk mengambil tindakan-tindakan, sepanjang beralasan dapat dilakukan, agar kepal perangnya mentaati ketentuan-ketentuan dalam konvensi, namun seberapa efektif klausul “itikad biaik” tersebut dapat berlaku adalah suatu

       117

Pasal 220 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 118

Pasal 218 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 119


(42)

masalah. Apabila kita merujuk pada bunyi kalimat yang ada dalam pasal, khususnya kalimat “reasonable and practicable” yang jika diartikan “sepanjang beralasan dan dapat dilakukan” jelas ltidak memberikan petunjuk pasti mengenai seberapa besar tingkat pemaksaan yang dapat diterima.

Konsepsi imunitas negara berakar dari gagasan mengenai kedaulatan negara. Dalam konteks keberlakuan ketentuan-ketentuan hukum internasional banyak fakta menunjukan bahwa gagasan kedaulatan negara telah mengalami erosi setidaknya dalam hal-hal tertentu. Masalah kejahtan internasional, misalnya dalam kaitan tersebut gagasan kedaulatan negara telah dapat diabaikan. Contoh lainnya yang relevan, mengenai masalah huykum lingkungan internasional, kasus Troa Smelter merupakan contoh lain dari dapat diabaikannya penggunaan alasan kedaulatan negara dan menunjukan penggunaan alasan kedaulatan menjadi sesuatu gagasan yang tidak menjanjikan.

Meskipun demikian dalam konteks kepentingan-kepentingan negara atas laut dan hukum laut, persoalan kedaulatan negara menjadi sesuatu lebih rumit. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan kepentingan antara negara- pantai yang menginginkan perluasan kontrol atas wilayah perairannya dan kepentingan-kepentingan negara maritim besar akan kebebasan berlayar. Selain itu apabila kita berbicara mengenai hakekat imunitas kapal perang, maka hal tersebut akan sangat terkait erat dengan kepentingan negara atas laut di bidang keamanan (security interest).

Meskipun terdapat kecenderungan pada saat sekarang dalam hukum internasional yang mengarah kepada pertanggungjawaban negara dan


(43)

akuntabilitas, namun pada umumnya kapal perang dan kapal negara/pemerintah lainnya tetap beroperasi berdasarkan prinsip imunitas yang absolut/mutlak. Sementara itu masalah kewajibanuntuk mematuhi ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan lingkungan hidup laut adalah sesuatu yang seharunya berlaku terhadap setiap obyek hukum laut internasional.

Akan tetapi yang menjadi persoalan kemudian apakah ide-ide mengenai keamanan dalam imunitas kapal perang tersebut dapat diubah dalam rangka memaksa kapal perang mentaati ketentuan-ketentuan hukum internasional mengenai perlindungan lingkungan laut.

Jawabannya adalah sangatlah tidak realistis untuk memaksa kapal perang terikat dengan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan tersebut, sementara diketahui adalah penting bagi kapal perang tetap mempertahankan fungsi kepentingan keamanannya.

Alasan mengapa negara-negara mengecualikan pengaturan ketentuan pasal 236 Konvensi Hukum Laut tahun 1982, maupunpasal 3 ayat 3 ketentuan MARPOL 73/78 adalah karena dengan melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam kedua konvensi tersebut, brarti negara yang meratifikai harus bersiap untuk menyesuaikan segala hal yang berkaitan dengan pengoperasian, ketahanan, pemeliharaan dan terhadap kualitas dari kapal perang, dimana hal tersebut rasanya sulit untuk dilakukan, bahkan akan membebankan, ketika kapal perang harus terbentur dengan masalah kepentingan keamanan.120

       120

“Maritime Environmental Protection Strategy for Enhancing Neval Operations Through Ship And Equipment Design and Management Practices”,

http://www.nato.int/structur/AC/141/documents/D8 20for 20 Publc 20 Domain 20Web 20Site,doc diakses pada 15 Agustus 2010


(44)

Oleh karena itu salah satu jalan keluar yang paling tepat adalah tidak dengan menghapus imunitas yang imiliki kapal perang, akan tetapi dengan tetap mempertahankan imunitas kapal perang dalam ketentuan hukum internasional dengan memberikan wewenang mengnai pelaksanaannya pentaatan sepenuhnya kepada negara bendera kapal perang.

Cara pemaksaan pentaatan ketentuan-ketentuan hukum internasional mengenai perlindungan lingkungan laut khususnya terhadap kapal prang seperti tersebut diatas, telah mulai banyak dilakukan oleh beberapa negara. Amerika Serikata, misalnya telah membentuk ketentuan-ketentuanhukum nasional mengenai pencemaran laut oleh kegiatan-kegiatan kapal, yang brlaku juga terhadap kapal perang, ketentuan-ketentuan tersebut adalah implementasi dari ketentuan-ketentuan yang ada dalam MARPOL 73/78.121

Usaha lain yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan kerjasama antara negara. Beberapa negara Eropa Barat yang tergabung dalam NATO, misalnya telah membentuk suatu kelompok kerjasama, dikenal dengan Special Working Group Twelve disingkat dengan SWG/12, kelompok kerjasama ini bertujuan mengembangkan “The Environmentally Sound Ship of The Twenty-First Century”, yaitu suatu kapal yang dapat dioperasikan dalam segala macam kondisi perairan di seluruh dunia, tanpa menimbulkan dampak yang merugikan lingkungan hidup sehingga dapat mematuhi setiap ketentuan-ketentuan hukum internasional mengenai lingkungan hidup yang berlaku.

       121

Undang-undang dengan nama Marine Plastic Pollution Research and Control Act 1987, atau disingkat dengan MPPRCA 1987, adalah merupakan ketentuan yang merupakan implementasi dari Annex V MARPOL 73/78.


(45)

Tugas SWG/12 adalah untuk mempromosikan melalui p;ertukaran informasi, pengembangan kemampuan diantara negara NATO untuk mematuhi ketentuan-ketentuan dan peraturanper-peraturan hukum internasional dan nasional yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan hidup, dan untuk membantu melalui usaha-usaha kerjasama untuk menghasilkan kapal yang ramah lingkungan. Ada tiga bidang kerja utama yang kini dilakuan SWG/12, meliputi : 1) mengerjakan perltukaran informasi dan persiapan dokumen-dokumen; 2) melakukan identifikasi terhadap peluang kerjasama di bidang teknologi; 3) melakukan koordinasi dengan organisasi-organisasi dalam NATO lainnya.122

Mengharapkan dihapuskannya status imunitas mutlak yang dimiliki oleh kapal perang sekarang ini sepertinya akan sangat sulit untukdilakukan. Hal tersebut dikarenakan masalah status imunitas kapal perang sangat berkaitan erat dengan kepentingan negara-negara di bidang keamanan, khususnya negara maritim besar. Sehingga solusi yang paling mungkin yang dapat dilakukan adalah dengan jalan memajukan kerjasama antara negara di bidang perlindungan lingkungan laut, selain dengan terus mendorong negara-negara agar terus mengimplementasikan ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya, khususnya yang berkaitan dengan pencemaran yang dilakukan oleh kegiatan-kegiatan kapal terhadap kapal perang.

       122


(46)

C. Masalah Kontraversi Hak Lintas Damai Kapal Perang Melalui Laut Teritorial

Pertanyaan mengenai apakah kapal perang memiliki hak lintas damai telah menjadi salah satu persoalanyang paling kontroversial dari pembahasan hukum laut.123 Hukum kebiasaan internasional yang merupakan salah satu sumber hukum dari hukum laut internasional tidak mengatur hal tersebut secara konsisten, demikian pula halnya praktek negara-negara dan ketentuan-ketentuan hukum nasional di tiap negara yang saling bertentangan satu sama lain.

Sumber permasalahan mengapa hal tersebut menjadi kontroversi adalah jelas, negara-negara maritim besar (salah satu diantaranya setelah perang dunia pertama adalh Amerika serikat) mengharapkan kebebasan untuk melakukan manuver kapal perangnya secara maksimal, dalam rangka melindungi kepentingan-kepentingan, sementara itu di lain pihak negara-negara lain (pada umumnya negara-negara kecil dan berkembang) menolak ke madirian kapal-kapal perang asing mendekati wilayah perairan pantainya, dalam rangka melindungi kepentingan keamanan nasionalnya.124

Pembahasan atas masalah hak lintas damai kapal perang asing melalui laut teritorial telah dimulai sejak Konferensi Kodifikasi Den Haag tahun 1930, bahkan pada masa sebelumnya.

Pembahasan mengeai pembedaan antara kapal perang dan kapal-kapal lain pada umumnya, hususnya yang bekaitan dengan hak lintas damai, mulai timbul pada awal abad ke-19. Beberapa negara pada masa itu menganggap pelaksanaan

       123

R.R. Churchill dan A.V. Lowe, Op. Cit., hal. 74 124


(47)

hak lintas damai oleh kapal perang sebagai semata-mata suatu komitas/comity atau pengejewantahan rasa hormat antar bangsa, sehingga dapat tingguhkan, dan satu-satunya konskewnsi dari penangguhan tersebut, negara pantai hanya dianggap melakukan tindakan yang tidak bersahabat. Oleh karenanya mereka menekankan perlunya izin dan atau pemberitahuan terlebih dahulu dari negara pantai sebelum kapal perang asing dapat melaksanakan hak lintas damainya tersebut. Sebaliknya sebagian negara lain memiliki pandangan bahwa kapal perang seharusnya memiliki hak lintas damai yang semestinya tidak dfibatasi, dimana dalam prakteknya pada masa damai tidak terdapat keberatan dari negara-negara mengenai hal tersebut.125 Perbedaan antara kedua kelompok negara ini terus bertahan sepanjang Konferensi Kodifikasi Den Haag 1930 dan untuk setrusnya. Perbedaan inilah yang kemudian menjadi kpenyebab kegagalan negara-negara untuk menentukan ketentuan yang jelas mengenai masalah hak lintas damai bagi kapal perang pada masa damai.126 Meskipun demikian Konferensi Kodifikasi Den Haag 1930 berhasil menghasilkan suatu kompromi diantara kedua kelompok negara yang berbeda pandangan tersebut, suatu kompromi yang akan menjadi cikal bakal dari ketentuan selanjutnya mengenai hak lintas kapal perang di wilayah laut teritorial pada masa damai.

Hal tersebut dapat ditemukan dalam ketentuan pasal 12 dan pasal 13 Final Act dari Konferensi Kodifikasi Mengenai Laut Tritorial, yang berbunyi :

       125

Ibid. 126


(48)

Pasal 12 menyatakan bahwa :

“As a generalrule, a coastal state will not forbid the passage of warships in its teritorial sea and will not require a previous authorisation or notification, (although) the coastal state has teh right to regulate the conditions of such passage.”

Yang artinya, sebagian umum Negara pantai tidak akan melarang berlalunya kapal perang di laut territorial dan tidak akan memerlukan pemberitahuan sebelumnya walaupun Negara pantai memiliki hak untuk mengatur kondisi dari bagian tersebut.

Dan pasal 13 selanjutnya menerangkan :

“if a foreign warships passing through the territorial sea does not comply with the regulations of the coastal state and disregards any request for compliance which may be brought to its notice, the coastal state may require the warships to leav the territorial sea.”

Yang artinya, jika kapal perang asing melintasi laut territorial tidak sesuai dengan peraturan Negara pesisir dan mengabaikan permintaan untuk kepatuhan sebagai pemberitahuan kepada Negara pantai dapat menuntut kapal perang untuk meninggalkan laut territorial.

Permasalahan mengenai hak lintas damai kapal perang kemudian kembali dibicarakanpada waktu Mahkamah Internasional mengadili “Kasus Selat Corfu” Sementara kasus Selat Corfu tersebut berhasil menuntaskan mengenai masalah isu hak lintas damai kapal perang melalui selat Internasional, meskipun sempat terdapat pembahasan diantara para sarjana, akan tetapi tidak berarti pembahasan masalah mengenai hak lintas damai kapal perang melalui laut teritorial tersebut kemudian menjadi lebih jelas.


(49)

Setelah kasus Selat Corfu yang adalah merupakan cause celebre, dengan menggunakan kasus Selat Corfu tersebut sebagai precedent dan hasil dari Konferensi Kodifikasi Den Haag 1930 sebagai sumbernya, Komisi Hukum Internasional (Intrnational Law Commission), pada tahun 1954 mulai melakukan pembahasan dan perdebatan diantara para anggotanya berkaitan dengan hak lintas damai kapal perang melalui perairan laut teritorial negara asing.

Hasil yang didapat dari pembahasan Komisi Hukum Internasional pada waktu itu adalah sebagaimana tercantum dalam di dalam pasal 24 Rancangan Akhir Komisi Hukum Internasional dijelaskan ketentuan mengenai hak lintas damai kapal perang berbunyi, sebagai berikut:

“the coastal state may make the passage of warships through the teritorial sea subject to previous authorisation or notification. Normally, it shall grant innocent passage subject to obsevance of the provisions of articles 17 and 18.” (ketentuan pasal 17 dan pasal 18 tersebut berakitan dengan hak-hak perlindungan dari negara-negara pantai dan kewajiban-kewajiban kapal asing pada waktu melaksanakan hak lintas damai)

Ketentuan pasal 24 Rancangan Komisi Hukum Internasional tersebut, pada saat Konferensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958, seharusnya kemudian menjadi salah satu ketentuan dalam Konvensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958. Namun hasil berbeda muncul ketika sebagian negara pendukung hak lintas damai kapal perang tanpa izin dan pemberitahuan terlebih dahulu menolak ketentuan yang dihasilkan oleh Komisi Hukum Internasional tersebut. Akhirnya satu-satunya ketentuan mengenai hak lintas damai kapal perang yang dihasilkan dalam Konfrensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958 tersebut, adalah pasal 23 Konvensi Hukum Laut Teritorial, yang brbunyi :


(50)

“if any warships does not comply with the regulations of the coastal state concerning passage through the territorial state and disregards any request for complianced which is made to it, the coastal state may require the warships to leave the territorial sea.”

Yaitu, jika ada kapal perang yang tidak sesuai dengan perutan Negara pantai mengenai lintas melalui Negara territorial dan mengabaikan permintaan pemenuhan yang dibuat oleh Negara pantai, Negara pantai dapat menuntut kapal perang untuk meninggalkan laut territorial.

Negara-negara yang mendukung hak lintas damai kapal perang damai dengan atau tanpa izin dan pemberitahuan terlebih dahulu pada saat Konferensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958 menganggap permasalahan mengenai hak lintas damai kapal perang telah jelas, yaitu bahwa kapal perang menikmati hak lintas damai seperti umumnya kapal-kapal lain. Dasar hukum argumentasi negara-negara tersebut adalah pasal 14 ayat 1 Konvensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958, yang menyatakan bahwa setiap kapal baik itu milik negara berpantai atau tidak menikmati hak lintas damai kapal melalui laut teritorial.

Sebaliknya hal tersebut ditentang oleh negara-negara yang mendukung hak lintas damai kapal perang dengan atau tanpa izin dan pemberitahuan terlebih dahulu, yang beranggapan bahwa permasalahan tersebut belum secara jelas diatur oleh Konvensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958. Bahkan sebagian dari negara-negara tersebut kemudian termasuk negara-negara-negara-negara yang pada saat ratifikasi melakukan deklarasi dengan melakukan klaim bahwa hak lintas damai kapal perang melalui laut teritorialnya harus dengan seizin negara pantai.127

       127


(51)

Setelah hasil yang dicapai oleh negara-negara dalam Konferensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958 tersebut. Praktek-praktek negara-negara menunjukan bahwa negara-negara di dunia cenderung mengambil posisi untuk tidak secara langsung berkonfrontasi dalam membahas mengenai permasalahan hak lintas damai kapal perang melalui laut teritorial tersebut.

Apabila pada suatu negara pantai tidak menentukan permintaah izin atau pembritahuan terlebih dahulu bagi kapal perang asing yang melalui laut teritorialnya, maka kapal-kapal perang negara asing (biasanya negara maritim besar seperti amerika Serikat) melaksanakan hak lintas damai seperti halnya kapal-kapal lain pada umumnya. Namun apabila suatu negara pantai menetapkan syarat-syarat tertentu bagi kapal perang asing yang akan melaksanakanhak lintas damai di laut teritorialnya, maka kontak-kontak diplomatik pada level-level tertentu, biasanya pada level atase militer angkatan laut dilakukan dan pada umumnya kontak tersebut dilakukan secara informal.128

Pada saat Konferensi Hukum Laut Laut PBB III tahun 1982, pembahasan mengenai kewajiban untuk meminta izin dan atau pemberitahuan terlebih dahulu bagi kapal-kapal perang yang akan melaksanakan lintas damai melalui laut teritorial kembali muncul ke permukaan dalam beberapa seri pembahasan usulan mengenai harmonisasi ketentuan-ketentuan huum nasional dengan Konvensi Hukum Laut 1982 yang akan datang.

Seperti sebelumnya dua negara yang menentang usulan kewajiban untuk meminta izin dan atau pemberitahuan terlebih dahulu kembali datang dari Inggris

       128


(52)

dan amerika Serikat. Masih dengan argumentasiyang tidak jauh berbeda yaitu bahwa kewajiban melakukan permintaan izin dan atau pemberitahuan terlebih dahulu merupakan suatu tindakan tidak realistis dan bersifat diskriminatif serta bertentangan dengan kebebasan pelayaran, karena hak lintas damai adalah merupakan hak yang dimiliki oleh setiap kapal, termasuk kkapal perang.

Sementara itu negarayang mendukung diaturnya kewajiban untuk melakukan permintaan izin dan atau pemberitahuan terlebih dahulu bagi kapal perang yang akan melakukan hak lintas damai, pada Konferensi Hukum Laut PBB III tahun 1982, kini dimotori oleh Cina dan Spanyol dengan tambahan beberapa negara kecil. Argumentasi yang mereka utarakan berbagai macam, dari mulai pertimbangan “hak kedaulatan secara penuh yang tidak terbantahkan” dan “keamanan nasional” hingga seperti yang diutarakan oleh salah satu negara pendukung yang menyatakan “adanya kewajiban untuk meminta izin terlebih dahulu... merupaka prasyarat bagi terjaganya perdamaian, ketertiban dan keamanan... tidak hanya dimaksudkan terhadap negara-negara atau kapal-kapal akan tetapi terhadap maksud dan kebijaksanaan.”

Sementara itu Uni Sovyet yang pada saat Konferensi Hukum Laut jenewa tahun 1958 adalah merupakan termasuk negarapendukung kewajiban untuk meminta izin dan autau pemberitahuan terlebih dahulu, pada saat Konferensi Hukum Laut PBB III tahun 1982 cenderung mengambil posisi ambivalen, yaitu dengan mendukung amerika Serikat, tetapi tidak terhadap hak lintas kapal perang yang melalui laut teritorialnya.


(53)

Setelah melalui perdebatan yang panjang diantara kedua kelompok negara yang mendukung dan yang menolak, negara-negara kembali gagal mencapai ‘konsensus dan merumuskan ketentuan hukum internasional yang jelas mengenai hak lintas damai kapal perang melalui laut terotorial, dan akhirnya sebagaimana Konferensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958, memutuskan untuk membiarkan masalah hak lintas damai kapal perang melalui laut teritorial tanpa penyelesaian. Satu-satunya ketentuan yang telah jelas adalah bahwa kapal selam yang melaksanakan lintas damai melalui laut teritorial diwajibkan untuk berlayar di atas permukaan.

Terlepas dari persoalan ketidak jelasan mengenai pengaturan hak lintas damai kapal perang dalam Konvensi Hukum Laut tahun 1982. Saat ini kurang lebih lima puluh negara di dunia masih memakai pengaturan hak lintas damai bagi kapal prang dengan kewajiban meminta izin dan atau pemberitahuan terlebih dahulu dalam ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya. Negara-negara yang mewajibkan kapal-kapal perang asing untuk meminta izin terlebih dahulu contohnya antara lain: Albania, aljazair, Kamboja, Djibouti, Republik Rakyat Cina, Mesir, India, Iran, Malta, rumanbia, Strilangka, Bangladesh, dan Vietnam. Sementara negara-negara yang mengatur kewajiban plemberitahuan terlebih dahulu antara lain : Spanyol, Denmark, Indonesia, Brazil, Korea Selatan, dan Kroasia.129

Memperhatikan perkembangan pembahasan masalah hak lintas damai kapal perang melalui laut teritorial tersebut dalam hukum laut internasional, dapat

       129

“National legislation-DOALOS/OLA-United Nations”,

http://www.un.org/Depts/los/LEGISLATIONANDTREATIES/PDFFILES diakses pada 18 Agustus 2010


(1)

7. Bapak Malem Ginting, SH. M.Hum, sebagai Dosen Wali yang memberikan bimbingan, saran, motivasi, bantuan agar penulis menyelesaikan studi.

8. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang memberikan perkuliahan dan bimbingan darai smester I sampai selesai.

9. Seluruh Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang memberikan layanan dengan cepat dan baik yang berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar.

10.Shadrina, Chaca, Mellisa yanwar, Ika, Cymot yang telah menemani penulis di masa perkuliahan yang sudah banyak membantu dan selalu menjadi yang terbaik disaat-saat suka dan duka penulis, yang selalu menjadi tempat “curhat” penulis yang tidak bosan-bosan mendukung penulis, menjadi supporter terbaik, semoga persahabatan ini kekal selamanya.

11.Milsa, Abeh, Redy, Iwan, Naldy, Indy, Mak etek, Opie, Bang Riko, dan My Team, yang memberikan dukungan dan selalu memberikan canda tawa kepada penulis disaat duka, ayoook segera menyusul selesaikan skripsi kalian.

12.Seluruh rekan-rekan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya stambuk 2007 yang telah memberikan motivasi penulis selama ini.


(2)

13.Teman-teman Penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu serta semua pihak yang telah ikut membantu menyelesaikan skripsi ini.

Terakhir semoga Allah SWT memberikan rahmat dan kasih saying-Nya kepada semua pihak yang telah membantu penulis baik langsung maupun tidak langsung selama masa menuntut ilmu dan penyelesaian skripsi.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pembaca dan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Medan, Januari 2011 Hormat Saya


(3)

ABSTRAK

Indonesia merupakan negara yang dua pertiga dari wilayahnya berupa lautan, berkaitan dengan pengaturan lalu lintas pelayaran kapal perang pada masa damai yang hingga saat ini belum terselesaikan dan menjadi kontroversi, adalah masalah hak lalu lintas damai kapal perang diwilayah laut teritorial.

Setiap Negara memiliki kedaulatan karena kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki Negara. Suatu Negara hanya memiliki kekuasaan tertinggi di dalam batas wilayahnya. Setiap Negara harus mematuhi kedaulautan suatu Negara lain agar tidak terjadi pertentangan antar negara.

Sementara itu dalam hukum internasional istilah imunitas atau immunity dikenal sebagai aturan-aturan dan prinsip-prinsip hukum mengenai hak-hak yang dimiliki oleh kategori orang-orang atau badan-badan tertentu, yang berdasarkan hukum internasional memperoleh kekebalan atau dikecualikan dari yurisdiksi negara lain

Kapal perang memiliki imunitas atau kekebalan yang bersifat mutlak (absolut) artinya bahwa terhadap kapal perang dapat segala hal tidak dapat dilakukan gugatan terhadapnya di pengadilan Negara lain, kecuali dengan persetujuan dari Negara yang bersangkutan.

Dari latar belakang di atas, permasalahan yang perlu dirumuskan adalah bagaimanakah paham imunitas Negara dan Act Of State menurut ketentuan hukum internasional serta bagaimanakah pengaturan lalu lintas pelayaran kapal perang pada masa damai menurut ketentuan hukum Internasional. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan library research, spesifikasi penelitian deskriptif analitis, dengan metode analisis data yang dipergunakan adalah metode analisis kualitatif normatif. Hasil penelitian yang diperoleh adalah saat ini terdapat berbagai peraturan Perundangan-Undangan yang telah membahas mengenai masalah imunitas dan Penangkapan Lintas Pelayaran Kapal Perang pada masa damai.

Hasil penelitian yang diperoleh yaitu ketentuan yang ada dalam menampung kepentingan semua Negara di dunia yang selama ini memiliki pengaturan yang kurang jelas harus menemukan konsensus bersama yang dapat diterima semua pihak dan tidak lagi membiarkan persoalan hak lintas damai kapal perang melalui laut territorial sehingga membutuhkan peraturan internasional yang lebih jelas, selain itu terdapat ketentuan-ketentuan peraturan Internasional yang terdiri dari atas Konvensi Brussel Tahun 1926, Konvensi Hukum Laut Jenewa Tahun 1958, Marpol 73/78, serta Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982.


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... v

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Permasalahan ... 6

C. Tujuan Penulisan ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Metodologi Penulisan ... 12

G. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II PAHAM IMUNITAS NEGARA DAN ACT OF STATE DOCTRINE ... 15

A. Pengertian Kedaulatan Negara ... 15

B. Pengertian Imunitas ... 19

C. ACT Of State Doctrine ... 21

D. Teori-Teori Imunitas Negara ... 23

D.1. Teori Imunitas Negara Mutlak (Absolute Sovereign Immunity) ... 23 D.2. Teori Imunitas Negara Terbatas (Restrictive


(5)

Sovereign Immunity) ... 25

E. Imunitas Kapa-Kapal Pemerintah/Negara ... 27 ... E.1. Kapal Perang ... 28 E.2. ... Kapal Negara Yang Tidak

Dipersenjatai Yang Digunakan

UntukFungsi-Fungsi Pemerintahan ... 30 ... E.3. Kapal Dagang Pemerintah / Negara ... 30 F. Defenisi Kapal Perang ... 33

F.1. Menurut Konvensi Hukum Laut Bebas

Jenewa Tahun 1958 ... 33 F.2. Menurut Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982 35 G. Fungsi Kapal Perang ... 36

BAB III KETENTUAN-KETENTUAN DALAM HUKUM

INTERNASIONAL TENTANG IMUNITAS DAN PENGATURAN LINTAS PELAYARAN KAPAL PERANG PADA MASA DAMAI A. Pengertian Perang Dan Damai ... 39 B. Imunitas Kapal Perang Dalam Ketentuan-Ketentuan


(6)

B.2. Konvensi Hukum Laut Jenewa Tahun 1958 ... 46

B.3. Marpol 73 / 78... 46

B.4. Konvensi Hukum Laut Pbb Tahun 1982 ... 48

C. Pengaturan Lintas Pelayaran Kapal Perang Dalam Konvensi Hukum Laut Pbb Tahun 1982 ... 50

C.1. Melalui Perairan Pedalaman ... 51

C.2. Melalui Wilayah Laut Teritorial ... 56

C.3. Melalui Selat-Selat Internasional ... 59

C.4. Melalui Wilayah Perairan Negara Kepulauan ... 62

C.5. Melalui Wilayah Laut Bebas ... 64

BAB IV ... PEMBA HASAN ATAS MASALAH IMUNITAS DAN PENGATURAN LINTAS PELAYARAN KAPAL PERANG PADA MASA DAMAI ... 67

A.Masalah Imunitas Kapal Perang Dan Pelanggaran Terhadap Integritas Politik Dan Nasional Negara Pantai ... 67

B.Masalah Imunitas Kapal Perang Berkaitan Dengan Ketentuan – Ketentuan Pencemaran Di Laut ... 73

C.Masalah Kontroversi Hak Lintas Damai Kapal Perang Melalui Laut Teritorial ... 81

D.Contoh-Contoh Kasus Dan Insiden ... 90

BAB V PENUTUP ... 102