Masalah Kontraversi Hak Lintas Damai Kapal Perang Melalui Laut

C. Masalah Kontraversi Hak Lintas Damai Kapal Perang Melalui Laut

Teritorial Pertanyaan mengenai apakah kapal perang memiliki hak lintas damai telah menjadi salah satu persoalanyang paling kontroversial dari pembahasan hukum laut. 123 Hukum kebiasaan internasional yang merupakan salah satu sumber hukum dari hukum laut internasional tidak mengatur hal tersebut secara konsisten, demikian pula halnya praktek negara-negara dan ketentuan-ketentuan hukum nasional di tiap negara yang saling bertentangan satu sama lain. Sumber permasalahan mengapa hal tersebut menjadi kontroversi adalah jelas, negara-negara maritim besar salah satu diantaranya setelah perang dunia pertama adalh Amerika serikat mengharapkan kebebasan untuk melakukan manuver kapal perangnya secara maksimal, dalam rangka melindungi kepentingan-kepentingan, sementara itu di lain pihak negara-negara lain pada umumnya negara-negara kecil dan berkembang menolak ke madirian kapal-kapal perang asing mendekati wilayah perairan pantainya, dalam rangka melindungi kepentingan keamanan nasionalnya. 124 Pembahasan atas masalah hak lintas damai kapal perang asing melalui laut teritorial telah dimulai sejak Konferensi Kodifikasi Den Haag tahun 1930, bahkan pada masa sebelumnya. Pembahasan mengeai pembedaan antara kapal perang dan kapal-kapal lain pada umumnya, hususnya yang bekaitan dengan hak lintas damai, mulai timbul pada awal abad ke-19. Beberapa negara pada masa itu menganggap pelaksanaan 123 R.R. Churchill dan A.V. Lowe, Op. Cit., hal. 74 124 R.R. Churchill dan A.V. Lowe, Op. Cit. Universitas Sumatera Utara hak lintas damai oleh kapal perang sebagai semata-mata suatu komitascomity atau pengejewantahan rasa hormat antar bangsa, sehingga dapat tingguhkan, dan satu-satunya konskewnsi dari penangguhan tersebut, negara pantai hanya dianggap melakukan tindakan yang tidak bersahabat. Oleh karenanya mereka menekankan perlunya izin dan atau pemberitahuan terlebih dahulu dari negara pantai sebelum kapal perang asing dapat melaksanakan hak lintas damainya tersebut. Sebaliknya sebagian negara lain memiliki pandangan bahwa kapal perang seharusnya memiliki hak lintas damai yang semestinya tidak dfibatasi, dimana dalam prakteknya pada masa damai tidak terdapat keberatan dari negara- negara mengenai hal tersebut. 125 Perbedaan antara kedua kelompok negara ini terus bertahan sepanjang Konferensi Kodifikasi Den Haag 1930 dan untuk setrusnya. Perbedaan inilah yang kemudian menjadi kpenyebab kegagalan negara- negara untuk menentukan ketentuan yang jelas mengenai masalah hak lintas damai bagi kapal perang pada masa damai. 126 Meskipun demikian Konferensi Kodifikasi Den Haag 1930 berhasil menghasilkan suatu kompromi diantara kedua kelompok negara yang berbeda pandangan tersebut, suatu kompromi yang akan menjadi cikal bakal dari ketentuan selanjutnya mengenai hak lintas kapal perang di wilayah laut teritorial pada masa damai. Hal tersebut dapat ditemukan dalam ketentuan pasal 12 dan pasal 13 Final Act dari Konferensi Kodifikasi Mengenai Laut Tritorial, yang berbunyi : 125 Ibid. 126 R.R. Churchill dan A.V. Lowe, Op. Cit. Universitas Sumatera Utara Pasal 12 menyatakan bahwa : “As a generalrule, a coastal state will not forbid the passage of warships in its teritorial sea and will not require a previous authorisation or notification, although the coastal state has teh right to regulate the conditions of such passage.” Yang artinya, sebagian umum Negara pantai tidak akan melarang berlalunya kapal perang di laut territorial dan tidak akan memerlukan pemberitahuan sebelumnya walaupun Negara pantai memiliki hak untuk mengatur kondisi dari bagian tersebut. Dan pasal 13 selanjutnya menerangkan : “if a foreign warships passing through the territorial sea does not comply with the regulations of the coastal state and disregards any request for compliance which may be brought to its notice, the coastal state may require the warships to leav the territorial sea.” Yang artinya, jika kapal perang asing melintasi laut territorial tidak sesuai dengan peraturan Negara pesisir dan mengabaikan permintaan untuk kepatuhan sebagai pemberitahuan kepada Negara pantai dapat menuntut kapal perang untuk meninggalkan laut territorial. Permasalahan mengenai hak lintas damai kapal perang kemudian kembali dibicarakanpada waktu Mahkamah Internasional mengadili “Kasus Selat Corfu” Sementara kasus Selat Corfu tersebut berhasil menuntaskan mengenai masalah isu hak lintas damai kapal perang melalui selat Internasional, meskipun sempat terdapat pembahasan diantara para sarjana, akan tetapi tidak berarti pembahasan masalah mengenai hak lintas damai kapal perang melalui laut teritorial tersebut kemudian menjadi lebih jelas. Universitas Sumatera Utara Setelah kasus Selat Corfu yang adalah merupakan cause celebre, dengan menggunakan kasus Selat Corfu tersebut sebagai precedent dan hasil dari Konferensi Kodifikasi Den Haag 1930 sebagai sumbernya, Komisi Hukum Internasional Intrnational Law Commission, pada tahun 1954 mulai melakukan pembahasan dan perdebatan diantara para anggotanya berkaitan dengan hak lintas damai kapal perang melalui perairan laut teritorial negara asing. Hasil yang didapat dari pembahasan Komisi Hukum Internasional pada waktu itu adalah sebagaimana tercantum dalam di dalam pasal 24 Rancangan Akhir Komisi Hukum Internasional dijelaskan ketentuan mengenai hak lintas damai kapal perang berbunyi, sebagai berikut: “the coastal state may make the passage of warships through the teritorial sea subject to previous authorisation or notification. Normally, it shall grant innocent passage subject to obsevance of the provisions of articles 17 and 18.” ketentuan pasal 17 dan pasal 18 tersebut berakitan dengan hak-hak perlindungan dari negara-negara pantai dan kewajiban-kewajiban kapal asing pada waktu melaksanakan hak lintas damai Ketentuan pasal 24 Rancangan Komisi Hukum Internasional tersebut, pada saat Konferensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958, seharusnya kemudian menjadi salah satu ketentuan dalam Konvensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958. Namun hasil berbeda muncul ketika sebagian negara pendukung hak lintas damai kapal perang tanpa izin dan pemberitahuan terlebih dahulu menolak ketentuan yang dihasilkan oleh Komisi Hukum Internasional tersebut. Akhirnya satu-satunya ketentuan mengenai hak lintas damai kapal perang yang dihasilkan dalam Konfrensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958 tersebut, adalah pasal 23 Konvensi Hukum Laut Teritorial, yang brbunyi : Universitas Sumatera Utara “if any warships does not comply with the regulations of the coastal state concerning passage through the territorial state and disregards any request for complianced which is made to it, the coastal state may require the warships to leave the territorial sea.” Yaitu, jika ada kapal perang yang tidak sesuai dengan perutan Negara pantai mengenai lintas melalui Negara territorial dan mengabaikan permintaan pemenuhan yang dibuat oleh Negara pantai, Negara pantai dapat menuntut kapal perang untuk meninggalkan laut territorial. Negara-negara yang mendukung hak lintas damai kapal perang damai dengan atau tanpa izin dan pemberitahuan terlebih dahulu pada saat Konferensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958 menganggap permasalahan mengenai hak lintas damai kapal perang telah jelas, yaitu bahwa kapal perang menikmati hak lintas damai seperti umumnya kapal-kapal lain. Dasar hukum argumentasi negara- negara tersebut adalah pasal 14 ayat 1 Konvensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958, yang menyatakan bahwa setiap kapal baik itu milik negara berpantai atau tidak menikmati hak lintas damai kapal melalui laut teritorial. Sebaliknya hal tersebut ditentang oleh negara-negara yang mendukung hak lintas damai kapal perang dengan atau tanpa izin dan pemberitahuan terlebih dahulu, yang beranggapan bahwa permasalahan tersebut belum secara jelas diatur oleh Konvensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958. Bahkan sebagian dari negara- negara tersebut kemudian termasuk negara-negara yang pada saat ratifikasi melakukan deklarasi dengan melakukan klaim bahwa hak lintas damai kapal perang melalui laut teritorialnya harus dengan seizin negara pantai. 127 127 R.R. Churchill dan A.V. Lowe, Op. Cit., hal 75. Universitas Sumatera Utara Setelah hasil yang dicapai oleh negara-negara dalam Konferensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958 tersebut. Praktek-praktek negara-negara menunjukan bahwa negara-negara di dunia cenderung mengambil posisi untuk tidak secara langsung berkonfrontasi dalam membahas mengenai permasalahan hak lintas damai kapal perang melalui laut teritorial tersebut. Apabila pada suatu negara pantai tidak menentukan permintaah izin atau pembritahuan terlebih dahulu bagi kapal perang asing yang melalui laut teritorialnya, maka kapal-kapal perang negara asing biasanya negara maritim besar seperti amerika Serikat melaksanakan hak lintas damai seperti halnya kapal-kapal lain pada umumnya. Namun apabila suatu negara pantai menetapkan syarat-syarat tertentu bagi kapal perang asing yang akan melaksanakanhak lintas damai di laut teritorialnya, maka kontak-kontak diplomatik pada level-level tertentu, biasanya pada level atase militer angkatan laut dilakukan dan pada umumnya kontak tersebut dilakukan secara informal. 128 Pada saat Konferensi Hukum Laut Laut PBB III tahun 1982, pembahasan mengenai kewajiban untuk meminta izin dan atau pemberitahuan terlebih dahulu bagi kapal-kapal perang yang akan melaksanakan lintas damai melalui laut teritorial kembali muncul ke permukaan dalam beberapa seri pembahasan usulan mengenai harmonisasi ketentuan-ketentuan huum nasional dengan Konvensi Hukum Laut 1982 yang akan datang. Seperti sebelumnya dua negara yang menentang usulan kewajiban untuk meminta izin dan atau pemberitahuan terlebih dahulu kembali datang dari Inggris 128 Ibid. Universitas Sumatera Utara dan amerika Serikat. Masih dengan argumentasiyang tidak jauh berbeda yaitu bahwa kewajiban melakukan permintaan izin dan atau pemberitahuan terlebih dahulu merupakan suatu tindakan tidak realistis dan bersifat diskriminatif serta bertentangan dengan kebebasan pelayaran, karena hak lintas damai adalah merupakan hak yang dimiliki oleh setiap kapal, termasuk kkapal perang. Sementara itu negarayang mendukung diaturnya kewajiban untuk melakukan permintaan izin dan atau pemberitahuan terlebih dahulu bagi kapal perang yang akan melakukan hak lintas damai, pada Konferensi Hukum Laut PBB III tahun 1982, kini dimotori oleh Cina dan Spanyol dengan tambahan beberapa negara kecil. Argumentasi yang mereka utarakan berbagai macam, dari mulai pertimbangan “hak kedaulatan secara penuh yang tidak terbantahkan” dan “keamanan nasional” hingga seperti yang diutarakan oleh salah satu negara pendukung yang menyatakan “adanya kewajiban untuk meminta izin terlebih dahulu... merupaka prasyarat bagi terjaganya perdamaian, ketertiban dan keamanan... tidak hanya dimaksudkan terhadap negara-negara atau kapal-kapal akan tetapi terhadap maksud dan kebijaksanaan.” Sementara itu Uni Sovyet yang pada saat Konferensi Hukum Laut jenewa tahun 1958 adalah merupakan termasuk negarapendukung kewajiban untuk meminta izin dan autau pemberitahuan terlebih dahulu, pada saat Konferensi Hukum Laut PBB III tahun 1982 cenderung mengambil posisi ambivalen, yaitu dengan mendukung amerika Serikat, tetapi tidak terhadap hak lintas kapal perang yang melalui laut teritorialnya. Universitas Sumatera Utara Setelah melalui perdebatan yang panjang diantara kedua kelompok negara yang mendukung dan yang menolak, negara-negara kembali gagal mencapai ‘konsensus dan merumuskan ketentuan hukum internasional yang jelas mengenai hak lintas damai kapal perang melalui laut terotorial, dan akhirnya sebagaimana Konferensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958, memutuskan untuk membiarkan masalah hak lintas damai kapal perang melalui laut teritorial tanpa penyelesaian. Satu-satunya ketentuan yang telah jelas adalah bahwa kapal selam yang melaksanakan lintas damai melalui laut teritorial diwajibkan untuk berlayar di atas permukaan. Terlepas dari persoalan ketidak jelasan mengenai pengaturan hak lintas damai kapal perang dalam Konvensi Hukum Laut tahun 1982. Saat ini kurang lebih lima puluh negara di dunia masih memakai pengaturan hak lintas damai bagi kapal prang dengan kewajiban meminta izin dan atau pemberitahuan terlebih dahulu dalam ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya. Negara-negara yang mewajibkan kapal-kapal perang asing untuk meminta izin terlebih dahulu contohnya antara lain: Albania, aljazair, Kamboja, Djibouti, Republik Rakyat Cina, Mesir, India, Iran, Malta, rumanbia, Strilangka, Bangladesh, dan Vietnam. Sementara negara-negara yang mengatur kewajiban plemberitahuan terlebih dahulu antara lain : Spanyol, Denmark, Indonesia, Brazil, Korea Selatan, dan Kroasia. 129 Memperhatikan perkembangan pembahasan masalah hak lintas damai kapal perang melalui laut teritorial tersebut dalam hukum laut internasional, dapat 129 “National legislation-DOALOSOLA-United Nations”, http:www.un.orgDeptslosLEGISLATIONANDTREATIESPDFFILES diakses pada 18 Agustus 2010 Universitas Sumatera Utara disimpulkan bahwa kegagalan negara-negara untuk menetapkan ketentuan yang jelas dan dapat diterima berkaitan dengan lintas damai kapal perang adalah terutama disebabkan oleh adanya perbedaan kepentingan. Antara kepentingan negara-negara maritim bear yang menuntut kebebasan sebesar-besarnya dalam rangka mengamankan kepentingannya di bidang politik dan keamanan, dan di lain pihak negara-negara pantai yang umumnya negara-negara non mritim brkepentingan melindung integritas politik dan nasionalnya. Selain itu praktek negara-negara khususnya negara-negara maritim besar menunjukan kecenderungan untuk menggunakan cara-cara yang telah ada selama ini dalam melaksanakan hak lintas damai kapal perang melalui laut teritorial, yaitu dengan cara melakukan pendekatan yang lebih informal ketika melaksanakan hak lintas damainya, karena hal tersebut dianggap lebih fleksibel dan nyaman daripada mengikuti ketentuan hukum internasional yang formal dan kaku. D. Contoh-Contoh Kasus dan Insiden D.l. Kasus Selat Corfu