Masalah Imunitas Kapal Perang Berkaitan Dengan Ketentuan-

pembelaan diri atau ”self defence”, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 51 Piagam PBB, apabila pelanggaran yang dilakukan dirasakan telah mengancam danelanghgar integritas politik dan nasional negara pantai. Terhadap imunitas yang dimiliki oleh sebuah kapal perang bersandar prinsip “par in parem non habet imperium”, yang artinya tidak ada satu negara yang dapat n\mengadili negara lainnya. Dan dalam kaitannya dengan masalah pelanggaran yang dilakukan kapal perang terhadap integritas politik dan nasional negara pantai, maka pengadilan lokal negara pantai dianggap tidak pantas untuk menyelidiki apakah benar suatu kapal perang melakukan pelanggaran terhadap integritas politik dan nasional negara pantai. Selain itu pengadilan lokal negara pantai juga tidak didesain untuk mengadili permasalahan antar negara, karena masalah antar negara lebih tepat untuk diselesaikan oleh hukum internasional.

B. Masalah Imunitas Kapal Perang Berkaitan Dengan Ketentuan-

ketentuan Pencemaran di Laut Salah satu dari sumber pencemaran di laut adalah diakibatkan oleh kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh kapal-kapal. Kapal-kapal yang pada umumnya dioperasikan dengan mesin diesel dapat mencemarkan laut dengan tumpahan bahan bakarnya yang terkadang tanpa sengaja jatuh ke dalam laut, demikian pula halnya asap sisa pembakaran yang keluar dari saluran pembuangan asap pada akhirnya akan jatuh ke laut. Selain itu kapal-kapal bertenaga nuklir pada umumnya kapal perang dapat mengakibatkan pencemaran laut dengan bahan-bahan radioaktifnya. Setiap kapal, apapun Universitas Sumatera Utara jenisnya, pasti akan mencemari laut apabila mereka membuang sampahnya ke laut atau apabila kapal tersebut melepaskan secara langsung limbah kotorannya ke dalam laut tanpa diolah terlebih dahulu. Sementara itu sumber pencemaran terbesar dari kegiatan-kegiatan kapal adalah berasal dari kargo yang mereka angkut. Minyak adalah komoditi yang paling umum, selain itu kargo-kargo lain yang berbahaya karena dapat mencemari laut adalah antara lain; bahan-bahan kimia, LPG cair, dan bahan-bahan radioaktif. Ada dua ketentuan hukum internasional yang meruakansumber utama dalam rangka pengaturan masalah pencemaran laut yang diakibatkan oleh kegiatan-kegiatan kapal, yang pertama adalah Konvensi Hukum Laut 1982 dan yang kedua adalah International Convention for The Prevention of Pollution from Ship tahun 1973 yang lebih dikenal dengan MARPOL Convention Marine Pollution, ketentuan ini dilengkapi dengan Protokol tahun 1978. Oleh karena itu ketentuan hukum internasional ini dikenal dengan nama MARPOL 7378. Namun demikian sangat disayangkan kedua ketentuan hukum internasional utama mengenai pencemaran laut oleh kegiatan kapal tersebut hanya berlaku terhadap kapal-kapal dagang dan kapal-kapal umum lainnya dan tidak terhadap kapal perang dan kapal-kapal negara lainnya. 111 Hal ini dikarenakan di dalam kedua ketentuan tersebut terdapat ketentuan yang mengecualikan keberlakuannya terhadap kapal-kapal negarapemerintah dan kapal-kapal perang. Padahal banyak survey menunjukan bahwa kapal-kapal perang dan kapal-kapal 111 Jeffrey S. Dehner, Vessel Source Pllution and Public Vessels; Sovereign Immunity V. Compliance, Implications for International Environmental law, http:www.law.emory.eduEILRVolumesfall95 dehner, html diakses 05Agustus 2010 Universitas Sumatera Utara negara pemerintah turut memberikan kontribusi terhadap peningkatan pencemaran di laut yang diakibatkan oleh kegiatan-kegiatan kapal. Setidaknya sejumlah angkatan laut di dunia dengan kira-kira 771.500 orang anggota awaknya setiap tahun berlayar ldi laut, menghasilkan lebih dari 74.000 ton sampah per tahunnya. Amerika Serikat sebagai salah satu negara maritim besar di dunia yang memiliki lebih dari 2000 kapal, termasuk 600 kapal perang dengan jumlah anggota awak kira-kira 300.000 orang, pada tahun 1993, menghasilkan setidaknya lebih dari 63.356 ton sampah per tahun, hal tersebut baru terhitung hanya untuk sampah yang dibuang di perairan domestik saja. 112 Ketentuan mengenai masalah perlindungan lingkungan laut diatur oleh Konvensi Hukum, Laut tahun 1982 di dalam Bab XII, khususnya Bagian 5 yang berjudul “Peraturan-peraturan Internasional dan Perundang-undangan Nasional untuk Mencegah, Mengurangi dan Mengendalikan Pencemaran Lingkungan Laut.” Bagian ini mengatur mengenai pencemaran laut yang berasal dari daratan, 113 yang berasal dari kegiatan-kegiatan di kawasan dasar laut 114 , yang berasal dari dumping 115 , dan yang berasal dari kegiatan-kegiatan kapal. 116 Khusus berakitan dengan perlindungan lingkungan laut dari pencemaran yang diakibatkan oleh kegiatan-kegiatan kapal, pasal 211 Konvensi Hukum Laut 1982 menerangkan bahwa “negara-negara akan menetapkan ketentuan-ketentuan hukum dan standar-standar internasional untuk mencegah, mengurangi dan 112 Ibid. 113 Pasal 207 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 114 Pasal 208 dan 209 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 115 Pasal 210 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 116 Pasal 211 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 Universitas Sumatera Utara mengontrol pencemaran terhadap lingkungan laut yang diakibatkan oleh kegiatan- kegiatan kapal.” Kemudian dalam beberapa pasal berikutnya dijelaskan bahwa pemaksaan pentaatan terhadap ketentuan-ketentuan hukum dan standar-standar hukum internasional tersebut dilaksanakan oleh negara-negara pantai 117 , negara-negara pelabuhan 118 , dan negara-negara bendera kapal. 119 Ketentuan-ketentuan yang kiranya cukup baik tersebut menjadi tidak cukup efektif dikarenakan adanya ketentuan yang mengecualikan keberlakuannya terhadap kapal perang untuk mematuhinya. Sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 236 yang menyatakan bahwa kapal perang dan kapal pemerintah yang digunakan untuk tujuan non-komersial, dikecualikan dari ketentuan-ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 yang berkaitan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Meskipun dalam lanjutan bunyi kalimat pasal 236 dijelaskan mengenai jaminan negara untuk mengambil tindakan-tindakan, sepanjang beralasan dan dapat dilakukan, agar kepal perang mentaati ketentuan-ketentuan dalam konvensi. Kedua ketentuan tersebut diatas adalah merupakan ketentuan mengenai imunitas negara. Meskipun dalam kedua ketentuan tersebut juga dilengkapi dengan klausul “itikad baik” yang menyatakan bahwa negara-negara akan menjamin untuk mengambil tindakan-tindakan, sepanjang beralasan dapat dilakukan, agar kepal perangnya mentaati ketentuan-ketentuan dalam konvensi, namun seberapa efektif klausul “itikad biaik” tersebut dapat berlaku adalah suatu 117 Pasal 220 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 118 Pasal 218 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 119 Pasal 217 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 Universitas Sumatera Utara masalah. Apabila kita merujuk pada bunyi kalimat yang ada dalam pasal, khususnya kalimat “reasonable and practicable” yang jika diartikan “sepanjang beralasan dan dapat dilakukan” jelas ltidak memberikan petunjuk pasti mengenai seberapa besar tingkat pemaksaan yang dapat diterima. Konsepsi imunitas negara berakar dari gagasan mengenai kedaulatan negara. Dalam konteks keberlakuan ketentuan-ketentuan hukum internasional banyak fakta menunjukan bahwa gagasan kedaulatan negara telah mengalami erosi setidaknya dalam hal-hal tertentu. Masalah kejahtan internasional, misalnya dalam kaitan tersebut gagasan kedaulatan negara telah dapat diabaikan. Contoh lainnya yang relevan, mengenai masalah huykum lingkungan internasional, kasus Troa Smelter merupakan contoh lain dari dapat diabaikannya penggunaan alasan kedaulatan negara dan menunjukan penggunaan alasan kedaulatan menjadi sesuatu gagasan yang tidak menjanjikan. Meskipun demikian dalam konteks kepentingan-kepentingan negara atas laut dan hukum laut, persoalan kedaulatan negara menjadi sesuatu lebih rumit. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan kepentingan antara negara- pantai yang menginginkan perluasan kontrol atas wilayah perairannya dan kepentingan- kepentingan negara maritim besar akan kebebasan berlayar. Selain itu apabila kita berbicara mengenai hakekat imunitas kapal perang, maka hal tersebut akan sangat terkait erat dengan kepentingan negara atas laut di bidang keamanan security interest. Meskipun terdapat kecenderungan pada saat sekarang dalam hukum internasional yang mengarah kepada pertanggungjawaban negara dan Universitas Sumatera Utara akuntabilitas, namun pada umumnya kapal perang dan kapal negarapemerintah lainnya tetap beroperasi berdasarkan prinsip imunitas yang absolutmutlak. Sementara itu masalah kewajibanuntuk mematuhi ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan lingkungan hidup laut adalah sesuatu yang seharunya berlaku terhadap setiap obyek hukum laut internasional. Akan tetapi yang menjadi persoalan kemudian apakah ide-ide mengenai keamanan dalam imunitas kapal perang tersebut dapat diubah dalam rangka memaksa kapal perang mentaati ketentuan-ketentuan hukum internasional mengenai perlindungan lingkungan laut. Jawabannya adalah sangatlah tidak realistis untuk memaksa kapal perang terikat dengan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan tersebut, sementara diketahui adalah penting bagi kapal perang tetap mempertahankan fungsi kepentingan keamanannya. Alasan mengapa negara-negara mengecualikan pengaturan ketentuan pasal 236 Konvensi Hukum Laut tahun 1982, maupunpasal 3 ayat 3 ketentuan MARPOL 7378 adalah karena dengan melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam kedua konvensi tersebut, brarti negara yang meratifikai harus bersiap untuk menyesuaikan segala hal yang berkaitan dengan pengoperasian, ketahanan, pemeliharaan dan terhadap kualitas dari kapal perang, dimana hal tersebut rasanya sulit untuk dilakukan, bahkan akan membebankan, ketika kapal perang harus terbentur dengan masalah kepentingan keamanan. 120 120 “Maritime Environmental Protection Strategy for Enhancing Neval Operations Through Ship And Equipment Design and Management Practices”, http:www.nato.intstructurAC141documentsD8 20for 20 Publc 20 Domain 20Web 20Site,doc diakses pada 15 Agustus 2010 Universitas Sumatera Utara Oleh karena itu salah satu jalan keluar yang paling tepat adalah tidak dengan menghapus imunitas yang imiliki kapal perang, akan tetapi dengan tetap mempertahankan imunitas kapal perang dalam ketentuan hukum internasional dengan memberikan wewenang mengnai pelaksanaannya pentaatan sepenuhnya kepada negara bendera kapal perang. Cara pemaksaan pentaatan ketentuan-ketentuan hukum internasional mengenai perlindungan lingkungan laut khususnya terhadap kapal prang seperti tersebut diatas, telah mulai banyak dilakukan oleh beberapa negara. Amerika Serikata, misalnya telah membentuk ketentuan-ketentuanhukum nasional mengenai pencemaran laut oleh kegiatan-kegiatan kapal, yang brlaku juga terhadap kapal perang, ketentuan-ketentuan tersebut adalah implementasi dari ketentuan-ketentuan yang ada dalam MARPOL 7378. 121 Usaha lain yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan kerjasama antara negara. Beberapa negara Eropa Barat yang tergabung dalam NATO, misalnya telah membentuk suatu kelompok kerjasama, dikenal dengan Special Working Group Twelve disingkat dengan SWG12, kelompok kerjasama ini bertujuan mengembangkan “The Environmentally Sound Ship of The Twenty-First Century”, yaitu suatu kapal yang dapat dioperasikan dalam segala macam kondisi perairan di seluruh dunia, tanpa menimbulkan dampak yang merugikan lingkungan hidup sehingga dapat mematuhi setiap ketentuan-ketentuan hukum internasional mengenai lingkungan hidup yang berlaku. 121 Undang-undang dengan nama Marine Plastic Pollution Research and Control Act 1987, atau disingkat dengan MPPRCA 1987, adalah merupakan ketentuan yang merupakan implementasi dari Annex V MARPOL 7378. Universitas Sumatera Utara Tugas SWG12 adalah untuk mempromosikan melalui p;ertukaran informasi, pengembangan kemampuan diantara negara NATO untuk mematuhi ketentuan- ketentuan dan peraturanper-peraturan hukum internasional dan nasional yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan hidup, dan untuk membantu melalui usaha-usaha kerjasama untuk menghasilkan kapal yang ramah lingkungan. Ada tiga bidang kerja utama yang kini dilakuan SWG12, meliputi : 1 mengerjakan perltukaran informasi dan persiapan dokumen-dokumen; 2 melakukan identifikasi terhadap peluang kerjasama di bidang teknologi; 3 melakukan koordinasi dengan organisasi-organisasi dalam NATO lainnya. 122 Mengharapkan dihapuskannya status imunitas mutlak yang dimiliki oleh kapal perang sekarang ini sepertinya akan sangat sulit untukdilakukan. Hal tersebut dikarenakan masalah status imunitas kapal perang sangat berkaitan erat dengan kepentingan negara-negara di bidang keamanan, khususnya negara maritim besar. Sehingga solusi yang paling mungkin yang dapat dilakukan adalah dengan jalan memajukan kerjasama antara negara di bidang perlindungan lingkungan laut, selain dengan terus mendorong negara-negara agar terus mengimplementasikan ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya, khususnya yang berkaitan dengan pencemaran yang dilakukan oleh kegiatan-kegiatan kapal terhadap kapal perang. 122 Ibid. Universitas Sumatera Utara

C. Masalah Kontraversi Hak Lintas Damai Kapal Perang Melalui Laut