Imunitas Kapal Perang Dalam Ketentuan-Ketentuan Hukum

B. Imunitas Kapal Perang Dalam Ketentuan-Ketentuan Hukum

Internasional B.1. Konvensi Brussel Tahun 1926 Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa tidak banyak ketentuan-ketentuan hukum internasional yang mengatur secara khusus mengenai imunitas negara, terutama ketentuan mengenai imunitas kapal perang. Meskipun demikian hal tersebut tidak berarti bahwa ketentuan mengenai imunitas kapal perang tideak diatur sama sekali dalam hukum internasional. Salah satu traktat multilateral internasional yang didalamnya terdapat ketentuan yang mengatur mengenai imunitas kapal perang adalah Konvensi Brussel tahun 1926. Konvensi dengan nama International Convention for Unification of Certain Rules Concerning the Immunities of Goverment Vessels ini ditandatangani pada tanggal 10 April 1926, di Brussel, Belgia oleh sejumlah negara. Konvensi ini dilengkapi dengan Protokol Tambahan tahun 1934. Negara-negara yang meratifikasi dan mengaksesinya adalah Jerman, Belgia, Chili, Denmark, Eslandia, Sponyol, Estonia, Perancis, Inggris, Irlandia, India, Hungaria, Italia, Jepang, Latvia, Meksiko, Norwegia, Belanda, Polandia, Portugal, Rumania, Serbia, Kroasia, Slovenia,dan Swedia, Konvensi ini mulai berlaku pada tahun 1937. 65 Konvensi Brussel tahun 1926 ini sebenarnya lebih ditujukan untukmengatur mengenai imunitas kapal dagang negara. Meskipun demikian 65 http:www.ricc.com.cnEnglishversionlibraryhuominaeframe.htm diakses tanggal 04 Februari 2011 Universitas Sumatera Utara ketentuan mengenai imunitas kapal perang dapat ditemukan dalam pasal 3 ayat 1, yang berbunyi sebagai berikut : “ The Provisions of the two proceeding articles shall not apply to ships of war, state-owned yachts, patrol vessels, hospital ships, fleet auxiliaries, supply ships an other vessels owned or operated by a state and employed exclusively at the time when the cause of action arises on government and non-commercial service, and such ships shall not be subject to seizure, arrest or detention by anu legal rocess, nor any proceedings in rem. Nevertheless, claimantsshall have the right to proceed before appropriate courts of the state which owns or operates the ship in the following cases : i Claims in respect of collision or other accidents of navigation; ii Claims in respect of salvage or in the nature of salvage and in respect of general average; iii Claims in respect of repairs, supplies, or other contracts relating to the ship; and the State shall not entitled to rely upon any immunity as a defence.” Jadi menurut ketentuan pasal 3 ayat 1 tersebut di atas kapal-kapal perang memiliki imunitas terhadap gugatan-gugatan yang mungkin dilakukan terhadapnya, kecuali dalam beberapa hal berikut : 1. Dalam kaitannya dengan klaim-klaim yang berkaitan dengan tabrakan di laut dan kecelakaan yang berhubungan dengan pelayaran; 2. Yang berhubungan dengan klaim-klaim pengangkatan kapal karam dan hal-hal lain yang berkaitan dengan permasalahan tersebut; 3. Permasalahan yang terkait dengan kontrak-kontrak perbaikan kapal, penyediaan suplai dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pemeliharaan kapal. Universitas Sumatera Utara B.2. Konvensi Hukum Laut Jenewa Tahun 1958 Ketentuan mengenai imuitas kapal perang dalam Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958, dapat ditemukan dalam Pasal 9 Konvensi II tentang Laut Bebas, yang berbunyi sebagai berikut : “Ships owned or operated by a state and used only on government non- commercial service shall, on the high seas, have complete immunity from jurisdiction of any state other than the flag state.” Yang artinya kapal yang dimiliki atau dioperasikan oleh sebuah negara dan hanya digunakan untuk melayani pemerintah non komersial di laut lepas yang memiliki kekebalan dari yuridiksi negara lain daripada negara bendera. Meskipun tidak secara khusus menyebutkan “kapal perang”, ketentuan ini menjadi dasar keberlakuan imunitas yang dimiliki oleh kapal perang di laut bebas. Satu hal lain yang penting dari Konvensi ini yang berkaitan dengan imunitas kapal perang adalah pengaruh Konvensi Brussel 1926 terhadap ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958, yakni mengenai adanya pembedaan antara kapal-kapal pemerintah negara untuk tujuan komersial dengan kapal-kapal pemerintah untuk tujuan non-komersial di dalam konvensi. B.3. Marpol 7378 Konvensi ini lahir pada tahun 1973 dan ditujukan untuk mengatasi berbagai bentuk pencemaran di laut yang diakibatkan oleh kegiatan-kegiatan kapal, diluarpencemaran dalam bentuk pembuangan limbah di laut. Konvensi dengan nama Convention for the Prevention of Pollution by Ships 1973, juga dilengkapi dengan Protokol Tambahan tahun 1978. Konvensi dan protokol Universitas Sumatera Utara konvensi ini harus dipandang sebagai satu instrumen, yaitu MARPOL 3778, keduanya mulai berlaku pada tanggal 2 Oktober 1983. Sebagian besar langkah teknis yang berkaitan dengan pencegahan pencemaran laut oleh kapal, diatur dalam konvensi ini dalam kelima Annex-nya, yang masing-masing mengatur: 66 1. Annex I, mengenai pencegahan pencemaran oleh minyakoil; 2. Annex II, mengenai kontrol pencemaran oleh bahan-bahan cair beracun dalam jumlah besar noxious liquid substances carried in bulk; 3. Annex III, berkaitan dengan pencegahan pencemaran yang diakibatkan oleh bahan-bahan yang berbahaya yang diangkut dalam bentuk terbungkus harmful substances carried in packages, misalnya : Tangki-tangki dan peti-peti kemas; 4. Annex IV, mengenai pencegahan pencemaran oleh koitoran sewage; 5. Annex V, berkaitan dengan pencegahan oleh sampah garbage. Ketentuan mengenai imunitas kapal perang dalam Konvensi MARPOL 73 diatur dalam pasal 3 ayat 3, yang bunyinya sebagai berikut: “3. The present Convention shall not apply to any warship, naval auxiliary of other ships owned or operated by a state and use, for the time being only on government non-commercial service. However, each party shall ensure by adoption of appropriate measures not impairing the operations or oerational capabilities of such ships owned or operated by it, that such ships act in a manner consistent, so far as is reasonable and practicable, wiht the present Convention.” Yang artinya, ketentuan konvensi ini yang berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut tidak berlaku bagi kapal perang, kapal bantuan, 66 R.R. Churchill dan A. V. Lowe, Op. Cit., hal. 249-250. Universitas Sumatera Utara kendaraan air lainnya atau pesawat udara milik atau yang sedang dioperasikan oleh suatu negara serta digunakan, pada saai ini, hanya untuk keperluan pemerintah yang bukan bersifat komersial. Walaupun demikian, setiap negara harus menjamin dengan menetapkan tindakan-tindakan yang tepat yang tidak menghalangi operasi atau kemampuan operasional kendaraan air atau pesawat udara yang dimiliki atau dioperasikannya, bahwa kendaraan air atau pesawat udara dimaksud bertindak menurut cara yang konsisten sepanjang hal itu beralasan dan dapat dilakukan, dengan konvensi ini. Jadi menurut ketentuan diatas, ketentuan-ketentuan dalam MARPOL 73 tidak dapat diterapkan pada kapal-kapal perang atau kapal-kapal pemerintahnegara untuk tujuan non-komersial. B.4. Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982 Ketentuan-ketentuan mengenai mengenai imunitas kapal perang dapat ditemukan dalam beberapa pasal dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Berbeda dengan Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958, yang hanya mengatur satu pasal mengenai imunitas kapal perang. Dalam Konvensi Hukum Laut Tahun 1982, imunitas kapal perang diatur dalam beberapa pasal, meliputi: Pasal 32 Konvensi HukumLaut 1982, yang bunyi pasalnya sebagai berikut: “ Whit such exception as are contained in subsection A and in articles 30 and 31, nothingin this Convention affects the immunities of warships and other government ships operated for non-commercial purposes.” Artinya adalah, dengan pengecualian sebagaimana tercantum dalam sub-bagian A dan dalam pasal-pasal 30 dan 31, tidak satupun ketentuan dalam konvensi ini Universitas Sumatera Utara mengurangi kekebalan kapal perang dan kapal pemerintah lainnya yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial. Pasal 95 Konvensi Hukum Laut 1982, yang berbunyi : “Warships on the high seas have complete immunity from the jurisdiction of any state other than the flag state.” Artinya adalah, kapal perang di laut lepas memiliki kekebalan penuh terhadap yuridiksi negara manapun selain negara bendera. Pasal 236 Konvensi Hukum Laut 1982, yang berbunyi: “The Provisions of this Convention regarding the protection and preservation of the marine environment do not apply to any warships, naval auxiliary, other vessels or aircraft owned or operated by a state and use, for time being, only on government non-commercial service. However, each state shall ensure, by the adoption of appropriate measures not impairing operations or operational capabilities of such vessels or aircraft owned or operated by it, that such vesels or aircraft act in a manner consistent, so far as is reasonable and practicable, with this Convention.” Artinya adalah, ketentuan konvensi ini yang berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut tidak berlaku bagi kapal perang, kapal bantuan, kendaraan air lainnya atau pesawat udara milik atau yang sedang dioperasikan oleh suatu negara serta digunakan, pada saai ini, hanya untuk keperluan pemerintah yang bukan bersifat komersial. Walaupun demikian, setiap negara harus menjamin dengan menetapkan tindakan-tindakan yang tepat yang tidak menghalangi operasi atau kemampuan operasional kendaraan air atau pesawat udara yang dimiliki atau dioperasikannya, bahwa kendaraan air atau pesawat udara dimaksud bertindak menurut cara yang konsisten sepanjang hal itu beralasan dan dapat dilakukan, dengan konvensi ini. Universitas Sumatera Utara

C. Pengaturan Lintas Pelayaran Kapal Perang Dalam Konvensi Hukum