Masalah Imunitas Kapal Perang Dan Pelanggaran Terhadap Integritas

BAB IV PEMBAHASAN ATAS MASALAH IMUNITAS DAN

PENGATURAN LINTAS PELAYARAN KAPAL PERANG PADA MASA DAMAI

A. Masalah Imunitas Kapal Perang Dan Pelanggaran Terhadap Integritas

Politik dan Nasional Negara Pantai Setiap negara yang berdaulat sudah pasti tidak menginginkan integritas politik dan nasional negaranya dilanggar oleh negara lain, karena hakekat berdirinya suatu negara itu adalah untuk memiliki kedaulatan secara penuh atas seluruh wilayah beserta isinya, bebas dari kontrol negara lain. Konvensi Hukum Laut tahun 1982 yang merupakan ketentuan hukum internasional yang mengatur mengenai pemanfaatan laut secara komprehensif menekankan pentingnya menghormati kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekatan politik setiap negara di dunia. Hal tersebut tercermin dalam beberapa ketentuannya yang secara tegas melarang setiap negara untuk melakukan pelanggaran terhadap integritas politik dan nasional negara lain. Dalam ketentuan pasal 19 ayat 2 butir a disebutkan bahwa setiap kapal dianggap melakukan lintas tidak damai apabila melakukan: “a any threat or use of force against the sovereignty, territorial integrity or political independence of the caoastal state, or in any other manner in violation of the principles of international law embodied in the charter of the United Nations.” Yang artinya, setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara pantai, atau dengan cara lain 68 Universitas Sumatera Utara apapun yang merupakan pelanggaran asas hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Selanjutnya dalam pasal 39 ayat 1 butir b disebutkan mengenai kewajiban setiap kapal dan pesawat udara sewaktu lintas trnsit untuk : “b refrain from any threat or use of force against the sovereignty territorial integrity or political independence of state bordering the strait, or any other manner in violation in principles of international law embodied in the charter of the United National.” Yang artinya, menghindarkan diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan apapun terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara yang berbatasan dengan selat, atau dengan cara lain apapun yang melanggar asas- asas hukum internasional yang tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa- Bangsa. Hal yang sama juga berlaku dalam ketentuan pasal 54 mengenai hak lintas alur aut kepulauan dan pasal 301 mengenai penggunaan laut untuk maksud- maksud damai. Jadi meskipun setiap kapal termasuk kapal perang memiliki hak-hak berlayar yang dilindungi oleh ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982, terdapat pula kewajiban untuk menghormati integritas politik dan nasional negara pantai. Ketentuan mengenai larangan untuk melakukan kegiatan yang mengancam dan melanggar integritas politik dan nasional negara llain, khususnya terhadap negara pantai dalam Konvensi Hukum Laut 1982 pada hakekatnya merupakan hasil kompromi dari dua kepentingan. Antara kepentingan negara-negara pantai untuk melindungi keamanan dan keutuhan wilayahnya dengan kepentingan Universitas Sumatera Utara negara-negara maritim besar yang menghendaki kebebasan dan nkelancaran pelayarannya melalui wilayah perairan negara lain untuk berbagai keperluan, termasuk untuk kepentingan mobilitas armada kapal perangnya. Sementara itu, sebagaimana telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, adalah merupakan ketentuan hukum internasional yang sejak lama telah ada yang menyatakan bahwa kapal perang memiliki imunitaskekebalan dari proses hukum, eksekusi dan tindakan-tindakan lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan yurisdiksi negara selain negara bendera kapal perang. Dalam Konvensi Hukum laut tahun 1982 ketentuan-ketentuan mengenai imunitas kapal perang tersebut tercantum dalam pasal 32, pasal 95 dan pasal 236. Yang menjadi persoalan kemudian bagaimanakah apabila kapal perang suatu negara melakukan pelanggaran terhadap integritas politik dan nasional negara lain yang berarti juga melakukan lintas tidak damai dan atau tidak melaksanakan kewajiban yang seharunya dilakukan pada waktu lintas transit atau lintas alur laut kepulauan. Sementara itu kapal perang memiliki imunitas, yang artinya negara yang dilanggar tentu tidak dapat melaksanakan yurisdiksi yang dimilikinya terhadap kapal perang yang melakukan pelanggaran tersebut. Menurut ketentuan dalam pasal 25 ayat 1 Konvensi Hukum Laut tahun 1982, suatu negara pantai dapat “take the necessary steps” untuk mencegah terjadinya lintas yang tidak damai. Apabila kita memperhatikan bunyi kalimat dalam pasal 25 ayat 1 tersebut secara seksama, maka atas dasar panafsiran dari arti kalimat “the necessary steps”, negara yang dilanggar dapat melakukan tindakan-tindakan yang dapat bergerak dari titik ekstrim yang satu titik ekstrim Universitas Sumatera Utara lain. Artinya tindakan tersebut bisa bersifat sangat lunak, bisa juga bersifat sangat keras. Apabila dikaitkan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh kapal perang, maka ltindakan yang sangat lunak tersebut kiranya dapat ditafsirkan dalam bentuk meminta kapal perang yang melanggar untuk segera meninggalkan perairan teritorial negara pantai 108 , yang dapat pula disertai dengan pernyataan protes melalui saluran diplomatik. Ketentuan dalam pasal 30 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 tersebut pada hakekatnya adalah merupakan suatu bentuk metode konvensional yang diberikan oleh Konvensi Hukum Laut 1982 bagi negara-negara pantai untuk mengatasi masalah pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh kapal-kapal perang asing di wilayah perairan laut teritorialnya. Ketentuan ini akan akan cukup efektif untuk mengatasi pelanggaran-pelanggaran yang bersifat ringan seperti pelanggaran terhadap tidak dipatuhinya hukum dan peraturan negara pantai, mengenai navigasi misalnya. 109 Sementara itu terhadap pelanggaran-pelanggaran yang lebih besar eskalasenya seperti pelanggaran terhadap intergritas politik dan nasional, negara lain, tentu tidak cukup dengan hanya meminta kapal perang negara yang melanggar untuk dengan segera meninggalkan wilayah negara yang dilanggar. Menurut ketentuan hukum internasional klasik, suatu negara yang kedaulatannya dilanggar oleh negara lain dapat melakukan sejumlah tindakan bersifat non-yuridis terhadap negara yang melanggar kedaulatannya. Tindakan ini 108 Pasal 30 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 109 Ibid., hal 73. Universitas Sumatera Utara dalam hukum internasional dikenal dengan hak pembelaan diri atau “self defence”. Dalam hukum ternasional hak pembelaan diri tersebut ada meskipun pelanggaran yang dilakukan bukan merupakan suatu serangan bersenjata “armed attack” dan pelanggaran yang dilakukan tersebut tidak harus merupakan suatu agresi, bahkan ada juga yang berpendapat bahwa hak bela diri sepenuhnya berhubungan dengan tindakan yang bertujuan menghentikan pelanggaran memasuki wilayah negara lain tanpa izin. Oleh karena itu terkait dengan hakekatsifat pengoperasian kapal perang itu sendri, maka pertimbangan penggunaan prinsip pembelaan diri menjadi sangat terkait erat. Aturan yang secara normal perlu dipenuhi mengenai penggunaan ketentuan hak pembelaan diri adalah adanya prinsip dasar bahwa penggunaan tindakan tersebut dilakukan atas dasar “necessary” atau keperluan, suatu kondisi yang timbul dari sebabkeadaan yang menyebabkan diperlukannya tindakan pembelaan diri dan aturan edua yang juga wajib untuk dipenuhi adalah bahwa tindakan tersebut harus dilakukan secara “proportional” atau seimbang, seimbang dengan pelanggaran yang dilakukan. 110 Namun demikian perlu juga diingat untuk mencegah adanya tuntutan dari negara yang ditindak setelah dilakukannya tindakan pembelaan diri, bahwa “tindakan berlebihan” telah dilakukan dan guna mencegah akibat dari tindakan tersebut menjadi konflik dalam eskalasi yang lebih besar, sebelum dilaksanakannya tindakan tersebut negara yang dilanggar kiranya wajib terlebih dahulu melakukan verifikasi apakah kapal perang tersebut memasuki wilayah 110 Ibid. Universitas Sumatera Utara karena mengalami kesulitan atau oleh karena sebab lain. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara memberikan peringatan sebelum langkah terakhir yaitu tindakan pembelaan diri terhadap kapal perang yang diduga melakukan pelanggaran terhadap integritas politik dan nasional negara pantai dilakukan. Yang dimaksud dengan imunitas dalam hukum internasional adalah bahwa seseorang atau suatu obyek itu dikecualikan dari yurisdiksi pengadilan lokal dan atas segala tindakan yang dilakukan oleh pihak berwenang negara lain. Imunitas yang dimiliki oleh kapal perang bersifat absolut atau mutlak, yang artinya dengan kata lain tidak ada jelan sedikitpun untuk membawa kapal perang ke hadapan forum hakim nasional negara lain. Akan tetapi hal tersebut tidak brarti bahwa negara yang dilanggar tidak dapat berbuat sesuatu sama sekali ketika wilayah teritorialnya dilanggar oleh sebuah kapal perang negara lain. Negara pantai yang dilanggar dapat melakukan tindakan-tindakan yang diakui oleh hukum internasional, tindakan-tindakan tersebut dapatberupa meminta kapal Akan tetapi hal tersebut tidak brarti bahwa negara yang dilanggar tidak dapat berbuat sesuatu sama sekali ketika wilayah teritorialnya dilanggar oleh sebuah kapal perang negara lain. Negara pantai yang dilanggar dapat melakukan tindakan-tindakan yang diakui oleh hukum internasional, tindakan-tindakan tersebut dapatberupa meminta kapal ang yang melanggar untuk segera meninggalkan wilayah perairan teritorial negara pantai, yang dapat disertai dengan permintaan ganti rugi apabila pelanggaran kapal perang mengakibatkan kerugian bagi negara pantai, hingga tindakan yang lebih keras berupa tindakan Universitas Sumatera Utara pembelaan diri atau ”self defence”, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 51 Piagam PBB, apabila pelanggaran yang dilakukan dirasakan telah mengancam danelanghgar integritas politik dan nasional negara pantai. Terhadap imunitas yang dimiliki oleh sebuah kapal perang bersandar prinsip “par in parem non habet imperium”, yang artinya tidak ada satu negara yang dapat n\mengadili negara lainnya. Dan dalam kaitannya dengan masalah pelanggaran yang dilakukan kapal perang terhadap integritas politik dan nasional negara pantai, maka pengadilan lokal negara pantai dianggap tidak pantas untuk menyelidiki apakah benar suatu kapal perang melakukan pelanggaran terhadap integritas politik dan nasional negara pantai. Selain itu pengadilan lokal negara pantai juga tidak didesain untuk mengadili permasalahan antar negara, karena masalah antar negara lebih tepat untuk diselesaikan oleh hukum internasional.

B. Masalah Imunitas Kapal Perang Berkaitan Dengan Ketentuan-