Kerangka Teori Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

terbesar dan terutama, yaitu on kekaisaran. Ruth Benedict juga menekankan 1981:121 kalau on adalah utang yang harus dibayar kembali. Apabila on ini tidak dapat dibayar, mereka kan mendapatkan malu sehingga disebut sebagai kultur haji no bunka. Najane Chie 1981: 175-176 menjabarkan secara jelas bagaimana orang Jepang membutuhkan persahabatan Orang Jepang sangat membutuhkan persahabatan. Mereka membentuk persahabatan atas dasar persamaan tempat kerja, seksi atau lembaga. Diluar itu dapat dikatakan orang luar. Persahabatan orang Jepang bersifat sensitif atau lebih banyak memeras pikiran daripada tenaga karena perasaannya yang luar biasa. Mereka cenderung menyembunyikan keinginan dan perasaan yang sesungguhnya.

1.4.2 Kerangka Teori

Kerangka teori memnurut Koentjaningrat dalam Siarait 2008: 100 berfungsi sebagai pendorong berpikir deduktif yang bergerak dari alam abstarak ke alam konkret, suatu teori yang dipakai oleh peneliti sebagai kerangka yang memberi pembahsan terhadap fakta-fakta konkret yang tidak terbilang banyaknya dalam kenyataan masyarakat yang harus diperhatikan. Penulis menggunakan teori pendekatan kesejarahan untuk melihat aspek sejarah dalam diplomasi Jepang. Menurut Nevins dalam Nazir 1988:55 sejarah adalah pengetahuan yang tetap terhadap apa yang telah terjadi. Sejarah adalah deskripsi yang terpadu dari keadaan-keadaan atau fakta-fakta masa lampau yang ditulis berdasarkan penelitian serta studi yang kritis untuk mencari kebenaran. Penulis menggunakan pendekatan fenomologis. Dalam pandangan fenomologis ada usaha untuk memahami peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap Universitas Sumatera Utara orang-orang biasa dalam situasi tertentu. Mereka berusaha untuk masuk kedalam dunia konseptual para subjek sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh mereka disekitar peristiwa dalam kehidupan sehari-hari. Para fenomolog percaya bahwa pada makhluk hidup terdapat berbagai cara untuk menginterprestasikan pengalaman melalui interaksi dengan orang lain, dan bahwa pengertian pengalaman kitalah yang membentuk kenyataan Moleong, 2002: 9. Perspektif fenomologi phenomology menurut Deutscher dalam Suryanto 2005: 167 memiliki sejarah panjang dalam filosofi dan sosiologi dan mempelajari bagaiamana kehidupan ini berlangsung dan melihat tingkah laku manusia – yang meliputi yang dikatakan dan diperbuat – sebagai hasil dari bagaimana manusia mendefinisikan dunianya. Pendekatan interaksi simbolis membahas semua prilaku manusia mendefinisikan dunianya. Pendekatan interaksi simbolis membahas semua perilaku manusia yang pada dasarnya memiliki social meanings makna-makna sosial. Makna-makna sosial dari perilaku manusia melekat pada dunia sekitarnya itu penting untuk dipahami, hal itu dikatakan oleh Taylor dalam 2005 : 167 Penulis menggunakan pendekatan fenomologi karena dalam penelitaian yang dilakukan penulis melibatkan masyarakat dan perilakunya yang tercermin dalam kehidupan berdiplomasi. Penulis juga menggunakan pendekatan etnografi. Beberapa antropolog mendefinisikan kebudayaan sebagai pengetahauan yang diperoleh manusia dan dipergunakan untuk menafsirkan pengalaman dan menimbulkan perilaku seperti yang diungkapakan oleh Spradley dalam Moleong 2002 : 13, yaitu menggambarkan kebudayaan menurut perspektif ini, seorang peneliti mungkin dapat memikirkan suatu pristiwa menurut cara sebagai berikut : sebaiknya etnogarafi mempertimbangkan Universitas Sumatera Utara prilaku manusia dengan cara menguraikan apa yang diketahui mereka yang membolehkan mereka berprilaku secara baik sesuai dengan common sense. Alasan penulis menggunakan pendekatan etnogarafi adalah adanya common sense dalam diplomasi yang dilakukan Jepang terhadap Indonesia. Hal ini terlihat dalam kultur diplomasi mereka seperti dalam kultur awase, aji no bunka ataupun masyarakat vertikal- horizontal. Konsep lainnya yang penulis gunakan adalah mengenai kebudayaan yang diambil dari Rosalie Wax 1971, yaitu yang mendiskusikan tugas etnografi dalam rangka pengertian. Pengertian bukanlah beberapa “empati yang misterius” diantara orang-orang melainkan merupakan suatu kenyataan dari “pengertian yang dialami bersama”. Dengan demikian, antropolog mulai dari luar, baik secara harfiah dalam rangka penerimaan sosialnya maupun secara kiasan dalam rangka penegertian Moleong, 2002 : 14 Penulis menggunakan konsep kebudayaan yang dikemukakan oleh Rosalie Wax dikarenakan, penulis memandang diplomasi dari sudut luar atau permukaan saja. Bagian luar dari kebudayaan juga tidak dapat dipisahkan dari bagian dalam. Dan untuk mempelajari bagian dalam dari kebudayaan, kita harus tahu bagian luar kebudayaan itu juga. Penulis menggunakan konsep kultur awase. Kultur awase adalah kultur yang menolak gagasan bahwa manusia bisa memanipulasi lingkungannya dan sebagai gantinya, mengharuskan ia menyesuaikan diri dengannya. Penulis menggunakan konsep ini dikarenakan penulis melihat bagaimana Jepang dalam diplomasinya menggunakan Soft powers seperti terhadap Indonesia. Mereka menggunakan pendekatan dengan cara membantu perekonmian Indonesia lewat bantuan pinjaman. Universitas Sumatera Utara Hal ini membuktikan adanya pengertian Jepang terhadap situasi yang dialami Indonesia. Penulis menggunakan konsep kultur haji no bunka. Ruth Benedict 1981:107 mengatakan on sebagai kata yang selalu dipakai dalam arti pengabdian tanpa batas, kalau itu menyangkut tentang seseorang yang terbesar dan terutama, yaitu on kekaisaran orang tadi. Ruth Benedict juga menekankan 1981:121 Kalau on adalah utang yang harus dibayar kembali. Apabila on ini tidak dapat dibayar, mereka akan mendapatkan malu sehingga kultur ini dikatakan sebagai budaya malu atau budaya haji no bunka juga dapat dikatakan sebagai budaya giri. Penulis menggunakan konsep ini karena dalam kehidupan masyarakat Jepang, mereka menolak bantuan pihak asing tapi sering memberikan bantuan kepada pihak asing. Jepang mengalokasikan dana bantuan pembangunan kepada Indonesia sangat banyak melebihi Negara-negara yang pernah dibantu Jepang. Dalam haji no bunka ada istilah membayar sejuta kali lipat. Hal ini lah yang menyebabkan mereka terus memberi bantuan kepada Negara-negara asing. Penulis menggunakan konsep kultur masyarakat vertikal-horizontal yang dikemukakan oleh Nakane Chie. Nakane Chie 1981: 175-176 menjabarkan secara jelas bagaimana orang Jepang membutuhkan persahabatan. Orang Jepang sangat membutuhkan persahabatan. Mereka membentuk persahabatan atas dasar persamaan tempat kerja, seksi atau lembaga diluar itu dapat dikatakan orang luar. Persahabatan orang Jepang bersifat sensitif atau lebih banyak memeras pikiran daripada tenaga karena perasaannya yang luar biasa. Mereka cenderung menyembunyikan keinginan dan perasaan yang sesungguhnya. Penulis menggunakan pendekatan ini setelah melihat adanya upaya-upaya yang dilakukan Jepang untuk menarik benang merah untuk menyatukan dua Negara Universitas Sumatera Utara yaitu negara Jepang dan Negara Indonesia. Benang merah itu sudah ditarik sejak kedatangan Jepang pada tahun 1943 sebagai penjajah di Indonesia. Mereka mengatakan diri mereka sebagai saudara tua dari bangsa Indonesia. Pada masa ini, Jepang membuat jalinan diplomasi yang kuat yang dilakukan antara kota dan pemerintahan kota. Ada persamaan-persamaan yang menyatukan kota-kota yang berada di Jepang dengan kota-kota yang berada di Indonesia seperti hubungan diplomasi antar kota antara kota Medan dan kota Ichikawa di prefektur Chiba.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian