Permasalahan dalam Hubungan Diplomasi Jepang dengan Indonesia

Jepang. Kota Beppu di prefektur ini merupakan salah satu kota tertkenal di Jepang sebagaikota wisata pemandian mata iar panas, dan sebagai kota kerajinan tangan bambu. Prefektur ini juga memiliki festival yangsudah dirayakan selama 300 tahun tepatnya di kota Hita. Festival yang berlangsung setiap bulan Juli ini ramai dikunjungi orang.

b. Provinsi Sumatera Barat

Provinsi Sumatera Barat adalah provinsi yang terdapat di barat Pulau Sumatera. Provinsi terkenal dengan panoramanya yang indah. Pantai yang berada di tempat ini sangat terkenal. Juga daerah bukit tinggi ang dingin. Dari sini lahir banyak sastrawan muda yang menghasilkan karya sastra indah seperti kisah Siti Nurbaya. Secata keseluurhan, provinsi ini dikenal sebagai tempat wisata yang disukai oleh wisatawan lokal dan wisatawan asing.

3.2. Permasalahan dan Usaha Mengatasi Hamabatan dalam Diplomasi Jepang dengan Indonesia

Sebagaimana yang diungkapkan oleh penulis dari awal, hubungan diplomasi Jepang dengan Indonesia yang demikian lama tidak terlepas dari permasalahan. Hanya saja permasalahan yang dihadapi tidak sampai membawa hubungan kedua negara menuju titik paling rendah berupa pemutusan hubungna diplomatik. Permasalahan yang terkenal itu salah satunya dan yang sangat menggemparkan adalah pristiwa malari.

3.2.1 Permasalahan dalam Hubungan Diplomasi Jepang dengan Indonesia

Permasalahan yang paling awal dalam hubungan kedua negara adalah imej buruk yang ditinggalkan Jepang di masa penjajahannya. Catatan masa lalu itu dengan Universitas Sumatera Utara segala eksesnya, termasuk yang masih sering digugat sampai saat ini. Seperti yang dikatakan sebelumnya, penjajahan Jepang di Indonesia sangatlah menyengsarakan rakyat Indonesia. Mulai dari kekejaman yang dialami para pekerja paksa yang dikenal dengan nama romusha sampai dengan pelecahan seksual yang dialami perempuan Indonesia yang dihimpun dalam jugun ianfu. Permasalahan ini tidak akan pernah dapat dilupakan bahkan dihapus oleh sejarah hubungan diplomatik kedua negara. Hal tersebut akan selalu diingat oleh rakyat Indonesia Sukarjapura, 2008: 33. Permasalahan yang lain adalah tragedi yang dikenal dengan Pristiwa Malari. Prisiwa malari adalah pristiwa besar yang terjadi di Indonesia pada 15 Januari tahun 1974. Tragedi Malari adalah salah satu lembaran hitam hubungan Indonesia dengan Jepang, yang juga terkait denga sejarah masa lalu kedua Negara. Ekspansi ekonomi Jepang yang luar biasa di Indonesia diasosiasikan kembali dengan penjajahan Jepang terhadap Republik Indonesia, tetapi dalam bentuk lain, yaitu penjajahan ekonomi Sukarjapura, 2008: 33. Kasus 15 Januari 1974 yang lebih dikenal “Peristiwa Malari”, tercatat sedikitnya 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusakdibakar, 144 bangunan rusak. Sebanyak 160 kg emas hilang dari sejumlah toko perhiasan Adam, 2008: 1. Pristiwa Malari tidak terlepas dari potret hubungan kedua negara yang tetap saja asimetris. Jepang dengan dana bantuan pembangunannya ODA sangat berperan besar dalam proses pembangunan di Indonesia. Sebaliknya, kekayaan alam Indonesia dalam bentuk gas, minyak, dan lainnya sebagian besar dijual ke Jepang Sukarjapura, 2008: 33. Di sisi lain, ODA Jepang itu pun sebagian besar diberikan dalambentuk pinjaman berkisar antara 65-68 persen sehingga Republik Indonesia praktis terus menumpuk utang kepada Jepang untuk membiyai pembangunannya, terutama pada Universitas Sumatera Utara era pemerintahan Soeharto. Dalam kondisi demikian, “perlawanan” dilakukan sejumlah warga Indonesia dengan membuat dan menampilkan film yang menggambarkan kekejaman Jepang saat menjajah Republik Indonesia. Hasilnya hubungan Republik Indonesia dengan Jepang praktis terganggu karena banyak politisi Jepang yang gerah dan menganggap ada “aksi perasaan anti Jepang” di Indonesia pada akhir 1983 hiungga awal 1984. Akan tetapi, hubungan ekonomi kedua Negara yang sangat kuat tidak lantas membuat hubungan kedua Negara terganggu Sukarjapura, 2008: 33 Pristiwa ini sekaligus membuka pikiran masyarakat Jepang. Ahli-ahli politik Jepang dan ahli-ahli Diplomasi Jepang seperti mencoba menelaah pristiwa ini. Ishihara Shintaro, seorang pengarang terkenal dan bekas anggota Diet Parlemen dari LDP Liberal Democrat Parties mengungkapkan pendapatnya. Ishihara 1981:51, menyatakan bahwa nilai-nilai nasional Jepang tidak pernah memiilki suatu dukungan moralitas yang tersendiri dan pasti rumusannya. Ini penting, karena kekurangn moralitas dalam politik, ekonomi, hubungna luar negeri dan bahkan dalam masalah dalam negeri, akan mempengaruhi masa depan Jepang. Hal inilah yang menyebakan dalam hubungan luar negeri mereka menunjukkan mentalitas lapar dalam bidang ekonomi. Hal inilah yang menyebakan dalam huungan luar negeri mereka menunjukkan mentalitas lapar dalam bidang ekonomi. Hal inilah yang menyebakan dalam hubungan luar negeri mereka menunjukkan mentalitas lapar dalam bidang ekonomi. Jepang yang seharusnya lebih bersimpati kepada negara-negara Asia seperti Asia Tenggara termasuk Indonesia. Akan tetapim Jepang tidak melakukannya. Jepang pada tahun-tahun sebelum pristiwa malaria itu telah gagal untuk memperlihatakan penghargaan apap pun terhadap bangsa-bangsa lain, dan hamper tak satu pun akan Universitas Sumatera Utara bersimpati atau menaruh kepercayaan kepada Jepang, satu bangsa yan perekonomian dan diplomasinya, tanpa satu landasan moral., hanya dapat mengukur situasi dengan pengertian rasionalitas. Selama perjalanan musim semi 1974 ke Asia Tenggara, Tanak melihat dirinya menjadi sasaran celaka dari demonstrasi-demonstrasi pahit anti- Jepang Ishihara, 1981:52 Bangsa-bangsa tersebut tidak hanya mengungkapkan kemarahan terhadap perusahaan-perusahaan Jepang yang bergerak di Asia Tenggara, seperti ysng ingin diyakini PM Tanaka: tetepai ada juga pernyataan-pernyataan kemarahan serta keresahan yang dirasakan oleh mereka teradeap cara Tanaka melakukan normalisasi hubungan dengan Cina dengan memutuskan hubungan dengan Taiwan. Rakyat Asia Tenggara resah dan tidak tentram mengenai kesenjangan yang besar antara mereka sendiri dengan Jepang. Hal ini sangatlah wajar mengingat Jepang sebagai pencetus Linkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya pada Perang Dunia II yang eufismistis akan menunjukkan kecurigaan terhadap tindakan Jepang yangtiba-tiba untuk mengadakan huungan bersahabat yang normal terhadap Cina dengan mengorbankan Taiwan. Ini menimbulkan kecurigaan Jepang akan membentuk kekukatan baru untuk melaukan hal yangsama di masa lalu atau perasaan was-was akan diperlakukan sama dengan Taiwan Ishihara, 1981:53. Nagasu Kasuji 1981:63 juga turut mengungkapkan pendapatnya menyangkut pristiwa malari ini. Jauh sebelum prisiwa ini terjadi, Kasuji yang merupakan seorang profesor yang menjabat sebagai Gubernur Kanagawa pada era 70-an, telah meramalkan pristiwa ini. Ia mengumpamakan sebuah pusat perbelanjaan yang terkenal di Jepang yaitu Ginza dengan keadaan di Asia Tenggara. Apabila Ginza dipenuhi oleh papan nama asing dari Luar negri, pasti bangsa Jepang yang melihatnya merasa terhina. Hal inilah yang dialami oleh masyarakat Asia Tenggara ia Universitas Sumatera Utara menganggap hal ini sebagai sesuatu yang wajar yang harus terjadi seperti bom waktu yang menunggu waktu meledak dan hal itu terjadi pada tahun 1974 itu Kasuji, 1981:63-64. Perkembangan ekonomi daerah di Jepang telah menganut pola kekeluargaan. Para pemimpin pemerintahan dan keuangan Jepang kerap kali bertemu dengan para pemimpin wilayah yang dikunjungi untuk membicarakan dan meninjau kembali rencana-renana pembangunan untuk wilayah yang ditentukan. Akan tetapi mereka tidak pernah berbicara dengan rakyat yang hidup di wilayah itu. Padahal rakyat di wilayah itulah yang paling merasakan dampak dariindustri dan kegatan konstruksi yang dilakukan Jepang Kasuji, 1981:65. Tunjangan ekonomi dan bantuan yang diberikan Jepang kepada negara-negara berkembang biasanya menimbulan dua macam tanggapan. Tanggapan itu yaitu pengharapan-pengharapan taua kecurigaan, persetujuan tau penolakan. Kadang- kadang dirasakan perorangan semua desakan yang berbentrokan itu. Akan tetapi biasanya dirangkum oleh beberapa kelompok. Yang penting adalah mengtahui siapakah yang berharap terhadap keuntungan itu dan siapa yang menolak, siapa juga yang digembirakan dan siapa yang dirugian oleh “bantuan” itu Kasuji, 1981:65. Robert McNamara, presiden Bank Dunia dalam Kasuji1981:66-67 mengelompokkan tingkat kesejahtraan masyarakat dunia berdasarkan dua wilayah, wilayah utara dan wilayah selatan. Masyarakat di dunia bagian utara memiliki tingkat kesejahtraan yang jauh lebih baik dibanding masyarakat di bagian selatan dunia. Misalnya, orang-orang yang sangat miskin di belahan selatan jauh lebih tercukupi kehidupannya dibanding orang-orang miskin di belahan selatan. Yang kaya di Utara memiliki hubungan yang akrab dengan yang di Selatan dalam hubungan ekonomi. Universitas Sumatera Utara Soal sumber daya menjadi salah satu faktor yang dapat mernggambarkan secara tepat stratifikasi ekonomi ini. Negara-negara Barat yang berindustri maju memiliki 18 persen penduduk dunia tetapi menggunakan sumber energi dunia sebanyak 63 persen. Negara komunis dengan jumlah penduduk 32 persen dari penduduk dunia menggukan 28 persen energi dunia. Akan tetapi ang palinag menyolok adalah negara-negara dunia ketiga negara-negara berkembang memiliki 50 persen penduduk dunia tetapi hanya dapat menggunakan 9 persen dari sumber energi dunia. Sedangkan 80 persen dari cadangan-cadangan minyak yang diketahui ada di Selatan, tetepai penggunaannya didominasi orang-orang dari dunia Barat atau negara-negara Industri. Pola yang sama terjadi di sumber-sumber daya lainnya Kasuji, 1981:68. Kata-kata muluk “bantuan ekonomi” dan “kerjasama ekonomi” bersifat menipu. Hal ini dikarenakan negara-negara maju memberikan uang sedangkan negara-negara berkembang memberikan buruh dan sumber daya. Hal ini sama saja dengan perdagangan biasa. Hal ini tidak menggambarkan bantuan sama sekali. Jepang sering dikatakan sebagai binatang ekonomi “economy animal” yang merupakan ejekan yang diberikan Mentri Luar Negri Pakistan. Hal ini menunjukkan ketidak senangan dengan apa yang dilakukan Jepang yang juga dirasakan Indonesia. Hal-hal apa yang membuat Jepang tidak disukai di era 70-an antara lain; ketidak seimbangan yang menguintungkan Jepang, pembagian kerja yang tegak lurus vertikal dan pola-pola perang dingin. Angka-angka niaga keseluruhan memeprlihatkan surplus ekspor maha besar bagi Jepang. Jata Jepang dari seluruh volume barang yang diimpor oleh negara- negara, masing-masing melimpah; rata-rata 25 persen dan dalam beberapa hal melebihi 40 persen. Jepang juga mengimpor lebih banyak daripada yang diekspornya, Universitas Sumatera Utara hal ini terlihat pada kasus yang terjadi di Indonesia. Hal lain yang tidak disukai dari Jepang adalah hubungan sepihak yang dilakukan Jepang seperti hubungan erat yang dibuat Jepang dengan Korea Selatan dan Vietnam Selatan saat meletus perang saudara di vietnam Kasuji, 1981:69. Hubungan antara perniagaan dan “bantuan” lebih enak didengar di telinga. Sebagian dari keuntungan-keuntungan besar dari ekspor dipakai untuk bantuan dan itu memungkinkan si penerima untuk mengimpor lagi sejumlah barang-barang Jepang pada tahun berikutnya. Jadi mekanisme perdagangan ang tidak seimbang ini memuai dan memperbaharui dirinya. Yang menonjol dalam bantuan Jepang adalah kecendrungan yang sangat untuk menjadai sokongan domestik dalam negeri kepada industri Jepang, ukuran-ukuran atas dasar pertimbangan-pertimangan politik perang dingin pada era 70-an dan sifat cepat bergertak untuk mengadakan kasak-kusuk di balik tabir yang dilakukan oleh tokoh-tokoh politik atau bisnis yang berpengaruh kasuji, 1981: 70. Kasuji 1981:71 juga menambahkan, hal-hal tersebut diatas menyebabkan kasak-kusuk rahasia problematik oleh para politisi tertentu dan orang-orang bisnis tipe-tipe “pedagang-pedagang politik”. Bantuan dapat gampang merosot kedalam kebusukan-keubusukan permufakatan rahasia dan korupsi karena dirundingkan oleh para politikus konservatif., orang bisnis dan para pemimpin politik negara penerima. Insiden-insiden di Jakarta menimbulkan kejutan yang sangat besar bagi Jepang. Jepang merasa sudah memberikan bantuan-bantuan yang berlimpah-limpah. Kemudian akhrnya mereka melihat justru Jepang yang menjadi saasaran kepahitan dan kebencian Indonesia. Orang Jepang kebanyakan tidak mengetahui tujuan dan penggunaan dari setiap bantuan yang diberikan. Hal yang demikian hanya diketahi oleh beberap pihak saja yang terlibat langsung dalam proses pemberian bantuan Universitas Sumatera Utara tersebut. Mereka mengetahui bahwa bantuan tersebut dikendalikan oleh sejumlah relatif kecil kaum politikus konservatif, orang bisnis dan beberapa manusia teka-teki”. Kemajuan ekonomis bukan sekadar suatu pertukaran modal sebrang lautan; aspek-aspek struktural pada ekonomi Jepang serta persoaln-persoalannya juga mengadakan penjajakn juga. Jalan-jaln utam di negara-negara erkembang dihiasi oleh papan ialn raksasa yang menawarkan produk-produkl Jepang. Situasi buruh yang dipekerjakan Jepang di negara-negara berkembang juga turut mengalami nasib yang kurang baik. Dengan upah yang sangat kecil Kasuji, 1981:73-74. Pinjaman-pinjaman pemerintah dan pembiayaan ekspor juga bertambah selaku kewajiban-kewajiban hutang kepada Jepang dari negara-negara penerima. Menurut perkiraan-perkiraan tahun 1971 ole Dewan Penasehat Struktur Perindustrian, maka jumlah investasi di negara-negara sebrang lautan seperti Indonesia akan menjadi 11,5 milyar pada akhir 1975 dan mncapai jumlah maha besar 26 milyar pada taun 1980. taksiran-taksiran jkonservatif pada investasi swasta ini, pinjaman-pinjaman dan kewajiban-kewajiban dari kredsit-kredit ekspor yang ditangggukan, Jepang akan memiliki bunga seharga 20-30 milyar di Asia Tenggara pada tahun 1980 dan akan terus meningkat. Jika hal ini terus memuai, lama kelamaan hubungan Jepang dengan Indonesia akan mirip dengan hubungan Amerika dengan Amerika Latin. Seruan- seruan anti Jepang akan meningkat setiap saatKasuji, 1981: 75. Masalah-masalah ini adalah masalah-masalah yang memicu Pristiwa Malari. Pristiwa itu berlangsung di tahun1974. banyak hal dilakukan Jepang untik menegmbalikan citranya. Akan tetapi masalah yang sama dapat terjadi juga. Pada era ini setelah hubungann diplomatik kedua negara mencapai tahun emasnya, maslah- maslah tetaplah ada. Universitas Sumatera Utara Toshisa Komaki seperti dikutip oleh Aneka Jepang 2008:11 mengungkapkan ada kesalah pahaman kecil yang mewarnai hubungan diplomatik kedua negara. Masalah itu terutama dalam bidang diplomasi dan ekonomi. Misalnya, soal kekurangan investasi Jepang. Bagi perusahaan-perusahaan Jepasng, hal ini karena iklim investasi Indonesia masih kurang memuaskan, sedangkan pihak Indonesia menganggapnya sebagi Jepang yang mendingin. Jepang sendiri merasa sudah cukup memberikan banyak bantuan mengiungat Indonesia adalh penerima bantuan terbesar bagi Jepang. Banu Astono 2008:36 mengungkapakn fakta yang lain mengenai investasi Jepang di Indonesia. Investasi yang dimaksud adalh di bidang otomotif. Sejak era 1960-an, kerjasama ekonomi Jepang dan Indonesia di bidang otomotif telah dilakukan. Namun dalam kurun waktu 40 tahun itu tidak ada satupun lahir produsen yang benar-benar berkelas industri ketika mitra lokal Indonesia masih jadi pemegang saham mayoritas. Posisi mitar lokal tidak lebih dari tukang jahit dan tanpa kemampuan negoisasi. Praktis mitar lokal pada tahun 1990-an tidak lebih dari pemilik rumah kontrakan yang tidak dapat berkutik . Hal ini diperburuk oleh krisis ekonomi yang terjadi tahun 1997. Banyak mitra lokal tidak dapat berbuat apa-apa dalam menghadapinya. Mereka akhirnya mau tidak mau menjual saham mereka kepada mitra asing mereka seperti Jepang. Walaupun tidak seluiruhnya tetapi hal itu menggeser kedudukan mitra lokal dari pemilik saham mayoritas menjadi pemilik saham minoritas. Beberapa perusahaan tersebut antara lain; PT Toyota Astra Motor, PT Astra Daihatsu Motor, PT Pantja Motor dan Astra Nissan Diesel Indonesia Astono, 2008:36 Dijalanan saja kita bisa melihat bagaimana produk Jepang berseliweran di jalan-jalan.hal ini ditambah iklan-ikalnproduk Jepang di Jalanan dalam bentuk papan Universitas Sumatera Utara iklan raksasa. Di Televisi dan radio hal uang sama jugadapat ditemui. Di supermarket- supermarket, barang –barang Jepang Bertaburan, di toko-toko buku, anak-anak lebih senang membaca komik Jepang manga ketimbang buku pelajaran. Terkadang, Penulis berpikir, Indonesia seperti kembali ke era 1970-an. Saat ini mungkin tidak menjadi masalah tetapi suatu saat dapat terjadi kembali. EPA sendiri yang dimaksudkan untuk membantu memasarkan produk- produk Indonesia di Jepang masih mengalami kendala. Misalnya buah pisang yang tidak lagi dikenakan biaya masuk tetap ditolak Jepang, Hal ini dikarenakan standar mutu Jepang yang tidak dapat dipenuhi. Hadayati, 2008:38. Pertanyaan yang terpenting bukan masalah-masalah apa yang terjadi taupun kan terjadi. Maslah yang terpenting adalah bagaimana mengatsinya dan mengantisipasi masalah-masalah ini yang dapat memburuk dan memperburuk hubungan diplomasi keduanya.

3.2.2 Usaha dalam Mengatasi Hambatan Diplomasi Jepang dengan Indonesia