Jepang dan Indonesia sebagai Dua Buah Negara di Asia .1 Letak negara Jepang dan Indonesia Kultur Haji no Bunka

2.2 Jepang dan Indonesia sebagai Dua Buah Negara di Asia 2.2.1 Letak negara Jepang dan Indonesia Jepang dan Indonesia adalah dua buah negara yang memiliki beberapa kesamaan. Jepang dan Indonesaia adalah dua buah negara yang sama-sama berada di Benua Asia dan mereupakan negara kepulauan. Kedua negara ini melakukan hubungan diplomasi yang sangat erat hingga saat ini. Sangat baik jika kita mengetahui sudut geografis negara ini. Berikut penjelasannya.

a. Letak negara Jepang Jepang adalah suatu negara kepulauan dengan pulau-pulau besar dan kecil.

Sebagai negar kepulauan, Jepang mempunyai persamaan dengna bangsa-bangsa lainnya yang berada di Asia Tenggara, khusunya Filipna dan Indonesia. Keadaan ini sedikit banyak memberikan pandangan hidup serta faktor-faktor geopolitik Jepang Suryohadiprojo, 1982:1. Kepulauan Jepang terletak di lepas pantai timur benua Asia, membentang seperti busur yang ramping seanjang 3.800 kilometer, dari 20° sampai 45°33´ lintang utara. luas totalnya adalah 377.815 kilometer persegi sedikit lebih banyak dari luas Inggris, hanya sepersembilan dari luas India dan seperduapuluh dari luas Amerika Serikat dan kurang dari 0,3 dari luas daratan bumi. Kepualuan ini terdiri dari empat pulau utama, Honshu, Hokkaido, Kyushu dan Shikoku berturut-turut dari yang terbesar sampai yang terkecil juga sejumlah gugusan pulau yang berjumlah sekitar 3900 pulau yan lebih kecil lagi. Pulau Honshu memiliki luas lebih dari 60 dari seluurh kepulauan Jepang International Society for Educational Information, 1989:1. Hampir semua bagian daerah Jepang mengenal 4 musim yang berbeda. musim panas yang hangat dan lembab, mulai sekitar pertengahan bulan Juli. Sebelumnya terdapat musim hujan selam hampir satu bulan, kecuali di Hokkaido, pulau yang Universitas Sumatera Utara paling utara yang sama sekali tidak mengenal musim hujan, musim semi dan musim gugur adalah musim terbaik sepanjang tahun, dengan hari-hari yang berhawa lembut dan matahari yang cerah diseluruh negri. Akan tetapi, pada bulan September mungkin saja terjadi badaiu taufan yang mendera tanah daratan dengan hujan lebat dan angin dahsyat International Society for Educational Information, 1989: 2. Topografi Jepang yang rumit berlainan dengan iklimnya yang relatif baik. Pulau-pulau Jepang merupakan bagian suatu deretan gunung yang panjang yang terangkai mulai dari Asia Tenggara sampai jauh ke Alaska. Hal ini yang menyebabkan negeri ini memiliki garis pantai yang panjang dan berbatu denga banyak pelabunhan yang kecil tetapi at baik. Tercipta banyak daerah pegunungna dengan sejumlah besar lembah, sungai yang deras dan danau yang jernih. Kawasan gunung meliputi sekitar 70 dari seluruh luas tanah Jepang menurut survai lembaga Survai Geografi Kementrian Pembanguna Jepang pada tahun 1972. lebih dari 532 gunung tersebut tingginya melebihi 2000 meter diatas permukaan laut, Gunung Fuji adalah gunung tertinggi dengan tinggi mencapai 3776 meter International Society for Educational Information, 1989: 2. Topografi yang rumit ini memberikan Jepang pemandangan yang indah yang kadang-kadang dramatis. danau pegunungan yang bersalju, jurang berbatu-batu dan sungai yang bergelora, puncak gunung yang kasr dengan air terjun yang indah permai. Semua itu menjadi sumber inspirasi dan kesenangan yang tiada henti-hentinya baik bagi orang Jepang maupun bagi orang lain yang bukan berasal dari Jepang International Society for Educational Information, 1989: 2 Universitas Sumatera Utara b. Letak negara Indonesia Indonesia memiliki 17.504 pualu besar dan kecil, sekitart 600 diantaranya tiak berpenghuni, yang menyebar disekitar khalustiwa, yang memberikan cucxa tropis. posisi Indonesia terletak pada koordinat 6ºLU-11º08´ dan dari 95ºBB-141º45´BT serta terletak di antara dua benua Asia dan benua Austarlia. wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Luas daratan Indonesia adalah 1.922.570km² dan luas perairannya 3.257.483km². Pulau terpadat penuduknya adalah pulau Jawa, dimana setengah populasi Indonesia hidup. Indonesia terdiri dari 5 pulau besar yaitu Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Batas utara Indonesia adalah Maklaysia, Sinagpura, Filipna dan Laut Cina Selatan. Batas selatan Indonesia adalah Australia, Timor Leste dan Samudera Indonesia. Batas di sebelah timur adalah Papua Nugini, Timor Leste dan Samudera Pasifik. Lokasi Indonesia juga terletak di lempeng tektonikj yang berarti Indonesia rawan dengan gempa bumi yang dapat menimbulkan tsunami. indonesia juga banyak memiliki gunung berapi, salah satu gunung berapi yang terkenal adalah gunung Krakatau yang terletak di selat Sunda antra pulau Sumatera dan Jawa wikipedia, http:id.wikipedia.orgwiki.Indonesia : 1. Indonesia mempunyai sumber daya alam yang besar di luar pulau Jawa, termasuk minyak mentah, gas alam, timah, tembaga, dan emas. Indonesia pengekspor gas alam terbesar kedua di dunia, meski akhir-akhir ini menjadi negar pengimpor minyak mentah. Hasil pertanian yang utama adalah beras, teh, kopi, rempah-rempah dan karet. Sektor jas adalah sektor yang menyumbang PDB terbesar, yang mencapai 45,3 dari PDB tahun 2005. sedangkan sektor industri menyumbang 40,7 dan sektor pertanian menyumang 14. Meskipun demikian, sektor pertanian memperkerjakan lebih banyak orang daripada sektor-sektor lainny, yaitu 44,3 dari Universitas Sumatera Utara 95 juta tenaga kerja. Sektor jasa memperkerjakan 36,9, dan sisanya sektor industri sebesar18,8. Wilayah Indonesia memiliki keanekaragaman makhluk hidup yang tinggi sehingga disebut dengan istilah Mega Biodisvery atau kenekaragaman makhluk hidup yang tinggi. Kekayaan makhluk hidup Indonesia menempati ranking keyiga setelah Brasil dan Zaire wikipedia, http:id.wikipedia.orgwiki.Indonesia : 5. Secara historis, prosedur dan gaya runding yang berbeda-beda telah menimbulkan banyak kesulitan dalam tata hubungan antara Amerika serikat dengan Jepang dan, lebih umum lagi antara Timur dan Barat, baik dalam diplomasi Internasional maupun interaksi komersial. Ungkapan ’kenalilah musuhmu, kenalilah dirimu sendiri’ berlaku dalam sekian banyak dalam sekian banyak keadaan, termasuk dalam perundingan, dan kita perlu sekali menunjang usaha-usaha buat mendorong agar politik luar negri Jepang didasarkan pada suatu pemahaman yang memadai atas perbedaan berbagai kultural Kinhide, 1981:2. Hal ini tidak hanya mempengaruhi hubungan Jepang dengan negara Barat tetapi juga hubungan Jepang dengan sesama negara Timur. Pengaruh kultur dalam hubungan diplomasi ini dicoba untuk disimulasikan pada Universitas Northwestern di Amerika Serikat. Usaha untuk mengembangkan suatu model tata hubungan Internasional telah melahirkan simulasi antar bangsa. Ada dua simulasi yang digunakan, yang pertama adalah simulasi antar bangsa yang melibatkan para peminat ilmiah atau diplomat yangberpartisipasi mengambil peranan sebagai perdana mentri dan mentri luar negri dari suatu negara yang berkecimpung dalam berbagai jenis perundingan kebudayaan Amerika tandingan Kinhide, 1981; 2- 3. Universitas Sumatera Utara Yang kedua adalah simulasi kebudayaan Amerika versus kebudayaan Amerika tandingan. Dalam simulasi itu, orang yang memiliki budaya non amerika dalam sebuah simulasi perundingan. Berbeda dengan simulasi pertam dimana para diplomat membawa kepentngan-kepentingan negara yang diwakilinya, simulasi kedua lebih mengungkapkan adanya pengaruh budaya dalam gaya runding atau perundingan dipomasi Kinhide, 1981:3-5. Mushakoji Kinhide 1981:1 mengungkapkan pendapatnya sebagai berikut; Taktala para perunding sudah berhadap-hadapan di depan meja, yang mereka bawa bukan hanya sekedar catatan- catatan dan sekian kertas-kekerja penunjang. Suatu bagian intetgral dari bekal mereka adalah kepribadian, dan serangkum aturan permainan serta amsumsi-amsumsi kebudayaan yang telah membentuknya. Jepang adalah pewaris beberapa tipologi dalam masalah kebudayaan. Suatu contoh kalsik menyangkut perbedaan Jepang dengan Amerika Serikat, ialah pembedaan ”kultur rasa bersalah” guilt culture dan ”kultur rasa malu” shame culture yang dikembangkan oleh Ruth Benedict. Tipologi-tipologi yang lebih muktahir mencakup kultur yang membedaan ’masyrakat vertikal’ dan ’masyarakat horizontal’ yang diciptakan oleh Nakane Chie dari Universitas Tokyo. Kinhide sendiri mengungkapkan satu tipologi lagi yaitu ’kultur erabi’ dan ’kultur awase’ Kinhide, 1981:2 Dalam diplomasi atau perundingan, sebagaimana yang dikatakan oleh Kinhide tidak dapat hanya melihat salah satu pihak yang melakukan perundingan. Kedua belah pihak harus diperhatikan karena kesepakatan dalam perundingan ditentukan oleh keduanya. Pada paragaraf yang terdahulu, sudah dibahas secara sederhana mengenai keberadaan beberapa kultur Jepang yang mempengaruhi diplomasi Jepang keluar negaranya. Sedangkan Indonesia adalah negara yang sangat berbeda dari Jepang. Universitas Sumatera Utara Jepang adalah negara homogen yang memiliki satu bahasa. Sedangkan Indonesia terdiri dari beragam suku bangsa dan bahasa yang lazim disebut heterogen. Oleh karena itu sulit menentukan kebudayaan yang mendasari diplomasi Indonesia. Supaya lebih jelas, dibuat penjelasan dan keterangan pada sub bab selanjutnya mengenai kultur yang dimiliki oleh kedua negara.

2.2.2 Kultur Jepang a. Kultur Awase

Kinhide1981:2 megungkapkan sebuah tipologi yaitu ’kultur erabi’ dan ’kultur awase’. Erabi diambil dari kata erabu 選ぶ yang memiliki arti memilih, sedangkan kata awase diambil dari kata au 合う yang memiliki arti memadukan dan juga menyesuaikan sesuatu dengan yang lain. Jepang adalah negara yang menganut kultur awase. Menurut pandangan ideal erabi, manusia bisa bebas memanipulasi lingkungannya untuk tujuan-tujuannya sendiri. Pandangan ini memiliki arti suatu rangkaian prilaku apbila seseorang menetapkan tujuannya, menyusun suatu rencana untuk mencapai tujuan tersebut, dan kemudian bertindak mengubah lingkungn itu sejalan dengan rencana dan kehendaknya. Pandangan erabi juga terdiri dari tatanan logis yang terdiri dari konsep-konsep dan lawan-lawannya; panas atau dingin, manis atau tak manis, besar lawan kecil dan seterusnya. Oleh karena itu ketika menyusun suatu rencana tindakan untuk mengubah lingkungan, adalah wajar mengambil keputusan dengan pertimbangan ” Apakah lebih baik hangat atau dingin? Apakah saya ingin manis atau tidak manis? Lumayan besar atau lumayan kecil?”. pemikiran seperti membuktikan kalau erabi adalah logika untuk memilih yang terbaik dari Universitas Sumatera Utara serangkaian alternatif yang terdiri dari serangkaian pilihan dari berbagai dichotomy bercabang dalam dua bagian. Awase berbeda dengan erabi dimana awase adalah kultur yang menolak gagasan kalau manusia dapat memanipulasi lingkungannya dan sebagi gantinya mengharuskan ia menyesuaikan diri dengannya. Menurut jalur pikiran ini, lingkungan tidaklah ditandai dengan konsep-konsep dikotomi seperti panas lawan dingin. Yang dipandangnya benar, ialah bahwa bisa agak panas atau agak dingin, sedikit manis atau tidak manis, lumayan besar atau lumayan kecil; dengan kata lain, lingkungan terdiri dari satu kontinum gradasi yang tidak begitu kentara dan gampang berubah. Awase adalah logika yang berusaha memahami serta menyimak rangkaian gradasi perubahan yang tidak begitu kentara ini Kinhide, 1981: 7. Orang Jepang biasanya tidak menetapkan tujuan-tujuan yang jelas dalam hubungan mereka sendiri, karenaitulah maka penolakan mereka atas pendikotomian logika erabi membuat pemikiran mereka menjadi kabur dan tidak jelas bagi orang Eropa dan Amerika. Daripada berkata Hon o kashite kure Pinjami saya buku itu, orang Jepang boleh jadi berkata Chotto kashite kure saya hanya ingin melihatnya dan daripada berkata Ano shibai wa kunakatta sandiwara itu tidak menarik, mereka akan bilang Sore hodo omoswanai saya kira sandiwara tu tidak begitu menarik. Sebaliknya, orang Jepang merasa bahwa orang Amerika, dengan logika erabi-nya, cendrung membuat perbedaan dalam ukuran-ukuran tertentu yang sangat simplitis dan dikotomis monogote o wakiru Kinhide, 1981:7. Dalam kebudayaan awase, orang tidak hanya menyesuaikan dirinya dengan lingkungan alamnya tetapi juga dengan lingkungan sosialnya. Sebaliknya, orang berkebudayaan erabi berharap agar orang lain yang mengerti dan menyesuaikan diri dengan mereka. Dalam pembicaraan awase atau urusan dengan dagang, persetujuan Universitas Sumatera Utara diberi ruang gerak dan diperlakukan secara fleksibel dan longgar. Masyarakat Jepang hidup dengan tidak membuat waktu menjadi eskak dan tidak memberikan perhatian yang ketat atas keentuan-ketentuan kontrak. Pelanggaran kecil seringkali diabaikan ome ni miru. Itulah yang menyebakan kencendrungan mencari dan memberikan perlakuan khusus bisa dilihat sebagai sesuatu yang pokok bagi masyarakat awase Kinhide, 1981: 9. Dilihat dari sudut lain, bertentangan dengan standarisasi vokabuler dalam masyrakat erabi, logika awase tidaklah bergantung kepada arti-arti kata yang sudah dibakukan. Setiap ungkapan memiliki berbagai nuansa dan dipandang hanya sebagai tanda-tanda yang mengisyarakatkan realitas dan bukanya bukannya menerangkan realitas itu secara pasti. Kata-kata tidak ditangkap sesuai yang ada di permukaanya; kita perlu menafsirkan arti yang terkandung didalnya. Bertentangan dengan kebudayaan erabi yang nilai-nilai dipermukaan tidak dipercaya dan kita diharap berjalan sesuia dengan itu, didalam masyarakat awase mungkin kita dapat ”mendengar satu menangkap sepuluh” sasshi ga hayai dipandang sebagai kebajikan, dengan kata lain menyesuaikan dengan posisi seseorang sebelum itu secara logis dan jelas Kinhide, 1981: 9-10. Duta besar Kurusu dalam Kinhide 1981:10 secara menarik mengingatkan kegagalan perundingan antara Jepang dengan Rusia sebelum pecahnya perang Pasifik dikarenakan masing-masing perunding susah mengambil posisi atau kedudukan yang tepat. Dia menggambarkan dengan analogi, orang Jepang mengundang orang Barat untuk naik ke ruang tingkat dua. Saat para tamu itu kelihatan ragu-ragu untuk naik, orang Jepang tetap mengajak mereka naikkeatas, karena setidak-tidaknya pemandangan akan lebih baik jika dilihat dari atas. Namun, orang Barat ingin mengetahui pemandangan apa yang mereka akan dapatkan terlebih dahulu sebelum Universitas Sumatera Utara mereka setuju naik tangga menuju ruang tersebut. Akibatnya, perundingan tersebut gagal. Dalam bentuk alegoris cerita ini, memperlihatkan suatu kesalahan pemanduan yang mendasar diman kebudayaan erabi saling beradapan dengan kebudayan awase dalam ahap pertama perundingan Kinhide, 1981:10. Para ahli psikologi Amerika yang mengkhususkan diri dalam penelitian mengenai proses perundingan umumnya mengandaikan bahwa tahap pertama dari perundingan haruslah berupa perumusan masalh. Dengan kata lain, perundingan dimulai hanya jika para perunding atau kedua belah pihak telah mengetahui jenis ”pandangan” apa yang akan muncul. Ini9 tidaklah mesti demikian dalam kebudayaan awase. Di Jepang, sekalipun kedua belah pihak setidak-tidaknya sudah punya sedikit gambaran tentang apa yang akan dibicarakan sebelum prundinag dimulai, tetapi pemakaian umum dari ungkapan-ungkapan seperti, Tonikaku,ome ni kakatta ue de...”Mari, begtu kita duduk bersama...”dan ome ni kakaranakutte wa, kuwasii koto wa....”Tanpa berdetil,...”, menunjukkan bahawa orang Jepang umumnya menginginkan pihak lain ”menaiki tangga” sebelum membicarakan persoalan- persoalan. Mereka menghedaki kesedaian kedua belah pihak untuk saling menyesuaikan diri awaseru dalam hal situasui tanpa prasyarat dan prakonsepsi Kinhide, 1981: 10. Saat kedua belah pihak sudah berada di meja perundingan, pendekatan ala barat erabi ialah mengemukakan secara langsung atau lebih tepatnya membicarakan persoalan-persoalan terlebih dahulu. Pendekatan awase tidaklah demikian. Dalam pendekatan awase, yang petama kali dilakukan adalah menetapakan apakah para perunding sudah sama-sama siap untuk saling menyesuaikan diri dengan posisi lawannya masing –masing. Aturan bisnis pertama di Jepang adalah menciptakan Universitas Sumatera Utara hubungna pribadi kedua belah pihak yang memungkinan mereka berbicara secara terbuka didalam suasan asaling memberi dan saling menerima Kinhide, 1981:10-11. Perbedaan-perbedaan seperti yang dikatakan pada paragraf-paragaraf sebelumnya adalah di awal perundiangan. Perbedaan kedua adalah bagaimana perundiangan dilakukan. Pandangan erabi berasumsi bahwa perundingan akn berjalan melau pernyataan posisi yang jelas dari kedua belah pihak, hal ini bertentangan dengan pandangan awase yang lebih menyukai penafsiran atas posisi pihak sebaliknya tanpa keterangan yang jelas. Tentu saja dalam kebudayaan Amerika, meskipun tidak boleh memikirkan kepentingan diri sendiri, dengan sepenuhnya mengabaikan masalah-masalah dari pihak lainnya. Meskipun demikian, menurut etiket dan etika perundingan erabi, kita tidaklah perlu bersimpati dengan pihak sana. Sebagai gantinya, sudah dipandang cukup untuk secara jujur dan sepenuhnya mengutarakan alasan-alasan posisi kita sendiri kepada pihak lainnya. Di Jepang, perasaan yang ada adalah ”Anda menyesuaikan diri dengan posisi saya dan saya akan menyesuaikan posisis saya dengan posisi anda”. Orang Jepang sering menggunakan ungkapan seperti Otachiba o jubun koryoshite ”dengan sepenuhnya mempertimbangkan posisi anda...”, atau Tokubetsu ni otorihokarai shimashou...”Saya kan memberikan layanan-layanan khusus untukmu kali ini..”. Dari sis lainnya, oang Jepan juga menggunakan ungkapanseperti Watashikushi no tachiba o gokanno itadaitte...”Pertimbangkanlah keadaan saya... dan kochira no jijou mo gokensatsu kudasame, soko ohitotsu...”Kasihilah keadaan saya dan jika mungkin berilah pengecualian... Dalam kebudayaan erabi kontrak dipandang sebagi pilihan terakhir dari pihak- pihak yang berundingdan dipandang mengikat, dalam kebudayan awase kontrak hanyalah suatu manifestasai dari hubungan awase yang akrab antar pihak-pihak yang Universitas Sumatera Utara bersangutan. Tata hubungan awase yang akrab memungkinkan para peserta untuk sling memberikan pengecualian dan kesimpulan kontarak yang sesungguhnya mendorong kedua belah pihak untuk mencari konsens-konsensi lebih jauh. Sehiingga tidak jarang, orang-orang Jepang tidak henti-hentinya berunding untuk memperoleh syarat-syarat yang lebih menguntungkan setelah kontarak disepakati Kinhide, 1981:11-12 Sejumlah perbedaan juga terlihat di dalam tatanan logika keseluruhan dari perundingan. Bertentangan dengan gaya erabi dimana tiap pihak berusaha menyempurnakan sertra menjelaskan posisinya secara resmi. Pihak-pihak yang berpran di dalam perundinna awase cendrung memisahkan dimensi formal dari hubungan dengan kandungannya yang sesungguhnya. Meskipun kata-kata diberi kridibilitaas formal tertentu dalam beberapa hal, makna luarnya trkadang ditolak demi saling-saling pengertian akan realitas situasi. Sementara gaya erabimenekankan hasl formal dari suatu perundingan, pola awase mencakup suatu pemahamn implisit akan jurang antara bentuk dengan hakikat Kinhide, 1981:12. Dalam gaya awase, pendekatan pada masalah menyertakan asumsi bahwa ”dalam teori memang demikin caranya, tetapi kenyataannya..”. Gaya awase meletakkan tekanan pada sekian keadaan khusus yang membedakan tiap kasus konkrit dan berfungsi membuat prinsip-prinsip umum tidak bisa diterapkan. Pendekatan awase jika salah dikelola, bisa membat kita hanyut disepanjang rentetan pristiwa. Akan tetapi perundingan awase punya kelebihan yang memungkinkan pihak lain untuk menyesuaikan diri. Pendekatan awase juga memperhitungkan perbedaan teori antar teori dengan perubahan keadan. Sebab ia tidak mempersyaratkan adanya pernyatan posisi secara jelas, ia mmberikan cukup banyak pelonggaran untuk tidak hentinya menafsirkan pendirian seseorang. Ini adalah kelebihan yang jelas Universitas Sumatera Utara dibandingkan dengan keterus-terangan eabi yang bersahaja. Tentu saja ada batas. Begitu ketidak percayaan pihak lain mencapai suatu titik tertentu, perundingan pun gagal dan soal-soal poko sama-sama dikobankan dengan soal-soal tidak pokok.

b. Kultur Haji no Bunka

Kultur haji no bunka adalah kultur Jepang yang dikemukakan oleh Ruth Benedict, seorang ahli antropologi yang berasal dari Amerika. Dalam bukunya yang berjudul Cristnshium and the Sword, ia menggambarkan dengan jelas pola-pola kebudayaan Jepang. Tentu saja hal ini juga terlihat dalam hubungan diplomasi Jepang. Tentu saja hal ini juga terlihat dalam hubungna diplomasi Jepang terhadap negara- negara lain termasuk Indonesia. Haji no bunka 恥 の文化 terdiri atas dua kanji modern yaitu kanji haji 恥 dan bunka 文化 . Kanji haji menurut kamus besar kanji Nicholson , 2005: 734 memiliki arti malu. Sedangkan bunka menurut kamus kanji modern Nicholson, 2005: 462 memiliki arti budaya. Apabila kedua kata ini digabungkan secara harfiah memiliki arti shame culture atau budaya malu. Ada perbedaan pandangan yang cukup besar antara orang-orang Barat denga orang-orang Timur. Dalam masalah sejarah, orang Barat cendrung mengtakan kalu mereka adalah pewaris sejarah. Berbeda dengan orang-orang Timur yang mengatakan berutang kepada sejarah. Masyrakat Barat menilai pemujaan trehadap roh nenek moyang hanyalah pemujaan biasa kepada roh-roh yang sudah meninggal. Bagi masyarakat Timur, itu bukanlah pemujaan biasa tetapi hal itu juga merupakan pengakuan ritual bahwa manusia sangat berutang kepada segala sesuatu yang terjadi sebelumnya Benedict, 1979: 104. Lagi pula orang tidak berutang kepada masa lampau saja; setiap kontak sehari- hari dengan orang lain menambah keberuntungannya di masa kini. Keputusan- Universitas Sumatera Utara keputusan dan tindakan-tindakannya bersumber dari utangnya ini. Keberuntungan ini adalah titik yang fundamental. Di Jepang, bergantung kepada pengakuan akan tempat seseorang di dalam jaringan besar dari saling keberutangan tersebut yang mencakup baik nenek moyang maupun oraang-orang sezaman. Hal ini terlihat sederahana tetapi rumit. Padanya pun diletakkan tanggung jawab yang besar Benedict, 1979: 104-105. Bangsa Jepang memiliki banyak kata yang artinya ”kewajiban”. Kata-kata itu bukanlah sinonim an kata-katanya yang spesifik tidak mempunyai terjemahan yang tepat dalam bahasa Inggris, karena gagasan yang diutrakan asing bagi orang Barat. Kata ”kewajiban”, yang mencakup utang seseorang dari yang paling besar sampai yang paling kecil adalah on. Didalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi ”kewajiban” dan ”kesetiaan” sampai ”keramahan” dan ”cinta kasih”, teaepi kata-kata ini mengubah pengertian yang sebenarnya benedict, 1979: 105. Dalam semua pemakaianya, on mengandung arti sebagai beban, suatu utang, sesuatau yang harus dipikul seseorang sebaik mungkin. Seseorang menerima on dari atasannya atau setidaknya orang setingkat, menimbulkan perasaan bahwa orang itu lebih rendah dari pada si pemberi on. Kalau mereka mengatakan, ”Saya mengenakan on terhadapnya” maka yang mereka maksudkan adalah mengatakan ” Saya memikul suatu beban kewajiban terhadapnya”, dan mereka menyebut kreditor atau dermawan itu sebagi ’orang on’-nya Benedict, 1979: 105. ”mengingat on seseorang” mungkin merupakan pencurahan murni dari rasa pengbdian yang timbal balik. On selalu dipakai dalam pengertian pengabdian tanpa batas, kalau itu menyangkut utang yang terbesar dan terutama, yaitu ”on kekaisaran ” orang tadi. Ini adalah utang seseorang kepada kaisarnya, yang harus diterima orang itu dengan kasih yang mendalam. Orang Jepang merasa mustahil seseorang akan berterimakasih Universitas Sumatera Utara kepada negerinya, senang akan kehidupannya, senang akan hal-hal besar dan kecil yang menyangkut dirinya, tanpa mengingat mereka menerima-menerima keuntungan ini. Dalam seluruh Jepang, orang yang paling utama diantara sesamanya ini, pada siapa seseorang berutang, adalah atasan tertinggi dalam lingkup kehidupan seseorang tadi. Negara Jepang modern telah memakai semua cara untuk memusatkan perasaan ini kepada Kaisar. Benedict, 1979: 107. Orang juga mengenakan on terhadap orang-orang yang lebih rendah tingkatnya dari pada Kaisar. Tentu saja ada on yang diterima dari orang tua masing- masing. Inilah dasar dari bakti dan hormat filial bangsa-bangsa Timur yang menempatkan orang tua pada suatu posisi yang strategis atas anak-anaknya. On ini dijabarkan sebagi utang anak-anak terhadap orang tuanya dan mereka berusaha mati- matian untuk menebusnya. Karena itu, anak-anaklah yang harus berusaha untuk patuh benedict, 1979: 108. Orang juga mempunyai on khusus kepada guru dan tuannya nushi. Kedua- duanya telah membantu dia untuk maju dan orang mengenakan on terhadap mereka, yang dimasa depan mungkin mengharuskan orang tersebut untuk memenuhi suatu permintaan mereka, pada saat mereka mengalami kesulitan, atau barangkali untuk memberikan bantuan kepada salah seorang sanak saudaranya yang muda, setelah mereka tiada. Orang harus berusaha keras untuk melaksanakan kewajiban itu dan utangnya tidak berkurang dengan berlalunya waktu. Bahkan sebaliknya, semakin lama utang itu semakin bertambah. On itu seakan mengumpulakn sejenis riba. On kapada siap saja adalah hal yang serius. Seperti yang biasa mereka katakan, ”Orang tidak pernah dapat menebus sepersepuluh ribu dari on-nya”. On adalah beban yang berat dan ”kekuasaan on”, meskipun senantiasa melanggar pilihan-pilihan pribadi, dianggap selalu benar Benedict, 1979: 109. Universitas Sumatera Utara Kelancaran berfungsinya etika ini bergantung kepada kemampuan setiap orang untuk menganggap dirinya sebagai orang yang berutang banyak tanpa merasa tidak terlalu enak saat menebus kewajiban-kewajiban yang ditanggungnya. Adat kebiasaan yang menyertainya dan dijalankan dengan giat memungkinkan bangsa Jepang untuk moral mereka sampai suatu taraf yang tidak masuk akal bagi seorang Barat Benedict, 1979: 109. Orang tidak suka denga seenaknya menyandang arti utang budi yang terkandung dalam on. Mereka selalu berbicara ”membuat orang mengenakan on” dan sering terjemahan yang paling mendekai adalah ”memaksakan kepada orang lain”. Di Jepang istilah ini berarti memberi sesuatu kepada orang atau berbuat baik kepada orang itu. Orang Jepang paling tidak menyukai perbuatan-perbuatan baik dari orang yang tidak dikenalnya, karena dengan tetangga dalam hubungan-hubungan hirarkis yang sudah mantap, orang tahu dan telah menerima kerumitan on. Tetapi dengan kenalan biasa atau orang yang hampir setingkat, hal ini menyinggung perasaan Benedict, 1979:110. Didalam hubungan struktural yang diterima, rasa berutang yang besar yang terkandung dalam on sering mendorong orang untuk meyerahkan segala-galanya yang ada dalam dirinya sebagai imbalan. Walaupun demikian, cukup berat menjadi orang yang berutang, dan karena itu orang mudah tersinggung Benedict, 1979: 113. Dengan berbagai perasaan apapun, on dapat ditanggung selama ” si pemberi on” sebenarnya adalah dirinya sendiri; ia sudah diberi tempat dalam pola hirarki ”saya”, atau ia melakukan sesuatu yang dapat saya lakukan, seperti mengembalikan topi saya yang terbawa angin, atau ia seseorang yang mengagumi saya. Sekali indefikasi- indefikasi ini runtuh on merupakan luka yang membusuk. Seremeh apa pun yang terjadi, terlebih baik jika menyukainya. Setiap orang Jepang mengetahui bahwa jika Universitas Sumatera Utara seseorang membuat on terlalu berat, apa pun situasinya, maka orang itu akan melakukan kesulitan Benedict, 1979: 115. Setiap perbuatan baik yang diterima seseorang, menjadikan orang itu berutang. Seperti dikatakan oleh pribahasa mereka, ”diperlukan suatu tingkat kemurahan hati yang tidak terjangkau tingginya dan yang sudah dibawa sejak lahir, untuk menerima on” benedict, 1979: 120. On adalah utang dan harus dibayar kembali; tetapi di Jepang, semua pembayran kembali dianggap berada dalam kategori lain. Untuk bangsa Jepang, rasa berutang yang utam dan yang selalu ada, yaitu on, berbeda sekali dengan pembayaran kembali secara aktif dan ketat yang disebut-sebut dalam serentetan konsep-konsep lain. Rasa berutang seseorang dalam serentetan konsep-konsep lain. Rasa berutang seseorang on bukan merupakan kebajikan; pembayaran kembali itulah yang dianggap sebagai kebajikan. Kebajikan dimulai pada saat orang itu memusatkan dirinya secara aktif untuk menebus utang itu Benedict, 1979: 121. Bangsa Jepang membagi kedalam kategori-kategori yang jelas, masing-masing denga peraturannya yang berlainan, pembayran kembali on itu, yang jumlah dan jangka waktu pembayrannya tidak terbatas, dan on mana yang sama secara kuantitatif, serta mana yang harus dibayar pada kesempatan-kesempatan yang khusus. Pembayaran tanpa batas atas utang ini disebut gimu dan tentang itu mereka mengatakan, ”Orang tidak dapat membayar dari sepersepuluh ribu dari on ini”. Gimu seseorang mengelompokkan dua jenis kewajiban yang berbeda: pembayran on kepada orangtua sendiri, yang adalah ko, dan pembayaran kembali on kepada Kaisar, yang adalah chu. Kewajiban kedua gimu ini adalah suatu keharusan dan merupakan nasib universal seseorang; bahkan pendidikan dasar di Jepang dikatakan sebagai ”pendidikan gimu” karena tidak ada kata lain yang lebih tepat mengrtikan kata ”wajib”. Pristiwa-pristiwa dalam hidup seseorang dapat mengubah detail-detail gimu Universitas Sumatera Utara orang itu, tetapi secara otomatis, gimu terdapat pada pada semua orang dan berada diatas semua kejadian yang tidak disengaja. Kedua bentuk gimu itu adalah tanpa syarat Benedict, 1979:122-123. Bangsa Jepang sangat tegas tentang hal ini; orang membayar kembali utang- utang keapda nenek moyangnya dengan cara meneruskan kepada anak-anaknya, asuhan yang telah diterimanya sendiri. Tidak ada kata yang mengungkapkan ”kewajiban bapak terhadap anak-anaknya” dan semua tugas seperti itu dicakup oleh ko kepada oarang tuanya orang tau. Bakti filial meletakkan semua tanggung jawab yang banyak ke atas pundak kepala keluarga untuk mencari nafkah bagi anak- anaknya, mendidik putra-putranya dan adik-adik lelakinya mengurus pengelolaan tanah keluarga, memberiakn tempat berlindung kepada sanak keluarga yang memerlukannya dan tugas sehari-hari yang serupa Benedict, 1979: 130. Pembatasan yang ketat dari keluarga yang dilembagakan di Jepang, secara tajam membatasi jumlah orang terhadap siapa seseorang mempunyai gimu ini. Kaisar haruslah berupa bapak keramat yang jauh dari semua pertimbangan sekuler. Kesetiaan seseorang kepadanya, yaitu chu, yang merupakan kebajikan tertinggi, harus menjadi pikirang yang membahagiakan mengenai seorang bapak yang baik, yang tidak dinodai oleh kontak-kontak dengan dunia Benedict, 1979: 130- 131. Semua usaha telah dilakukan di Jepang modern untuk mempersonifikasikan chu dan secara khusus menunjukkannya pada diri Kaisar. Kaisar pertama setelah restorasi adalah Kaisar yang konsekuen dan berwibawa dan selama pemerintahannya yang panjang dengan mudah ia menjadi lambang pribadi bagi rakyatnya. Pemunculannya sekali-sekali di muka umum disambut dengan upacara pemujaan lengkap. Dengan segala cara ini, Kaisar dijadiakan sebuah lambang yang berada di Universitas Sumatera Utara luar jangkauan segala macam pertentangan di dalam negeri Benedict, 1979: 135. Chu menyediakan sebuah sistem ganda dalam hubungan antara hamba sahaya dan Kaisar. Si hamba mengadah ke atas, langsung kepada Kaisarnya tanpa perantaraan siapa pun; secara pribadi, hamba ni ”menentramkan hati Kaisar” melalui tindakan-tindakannya. Di dalam pemerintahan sipil, chu mendukung apa saja, dari kematian sampai pajak. Pemungutan pajak, petugas polisi, pejabat-pejabat wajib militer adalah saluran-saluran melalui mana seorang hamba sahaya menyerahkan chu. Orang Jepang berpendapat bahwa patuh pada hukum merupakan pembayaran kembali atas utangnya yang terbesar, yaitu ko-on Benedict, 1979: 136-137. ”Giri” begitu pepatah Jepang, ” adalah yang paling berat untuk ditanggung”. Seseorang harus membayar kembali giri sebagaimanadia harus membayar kembali gimu, tetapi giri sebagaimana dia harus membayar kembali gimu, tetapi giri itu adalah serentetan keawjiban yang berlainan warnanya. Giri memiliki dua pembagian yang jelas yaitu giri kepada dunia dan giri kepada nama sendiri. Giri kepada dunia secar harfiah dikatakan dengan ” membayar kembali giri” adalah kewajiban seseorang untuk membayar on kepada sesamanya. Giri kepada nama sendiri adalah kewajiban untuk tetap membersihkan nama serta reputasi seseorang dari noda fitnah, semacam ’kehormatan” Benedict, 1979: 141. Secara umum, giri kepada dunia dapat digambarkan sebagai dipenuhinya hubungan-hubungan yang bersifat kontrak, sangat kontras dengan gimu yang dirasakan sebagai pemenuhan kewajiban-kewajiban berdasarkan hubungan akrab yang dialami seseorang sejak lahirnya. Jadi, giri mencakup semua kewajiban yng menjadi tanggungan seesorang kepada keluarga mertuanya sedangkan gimu kepada keluarga kandungnya. Seperti dikatakan oleh seorang Jepang, ”Kalau seorang putra Universitas Sumatera Utara deawsa berbuat sesuatu untuk ibunya sendiri, itu adalah karena dia mencintai ibunya dan karena hal itu, itu bunkanlah giri. Seseorang tidak bekerja untuk giri kalau ia melakukan dengan tulus hati”. Akan tetapi orang memenuh kewajibannya terhadap mertuanya secara tepat karena bagaimanpun juga ia harus menghindari celaan yang ditakuti; ”orang yang tidak tahu giri” benedict, 1979: 141-142. Giri memang cukup keras dan ”penuh keengganan”, sehingga pernyataan ”karena giri” saja sudah cukup bagi orang Jepang untuk menggambarkan hubungan yang membenani itu. Bukan saja kewajiban terhadap mertua merupakan giri; kewajiban terhadap paman, biib, keponakan pria dan wanita berada dalam kategori sama. Hubungan tradisional giri yang besar, yang oleh banyak orang Jepang bahkan dianggap lebih penting daripada giri terhadap mertua, adalah giri seorang pengikut terhadap tuannya dan giri terhadap sesama rekan prajurit. Itu adalah kesetiaan yang diwajibkan atas seseorang terhadap atasannya dan rekan-rekannya yang setaraf. Kewajiban giri ini diagungkan dalam banyak bacaan tradisional. Ia diindetifikasikan sebagai kebajikan seorang samurai Benedict, 1979: 144. Peraturan-peraturan giri merupakan peraturan-peraturan pembayaran kembali yang wajib. Kalau seseorang dipaksa untuk dengan giri , maka dianggap ia mungkinharus mengesampingkan rasa keadilannya dan seriang berakata, ” Saya tidak dapat berbuat benargi karena giri. Peraturan-peraturan itu tidak mengharuskan orang berbuat baik dari dalam hatinya. Mereka mengatakan harus bahwa orang harus melakukan giri, karena kalau tidak, ia akan disebut orng tidak tahu giri dan akan dibuat malu didepan umum. Yang harus membuat giri ditaati adalah; apa kata orang tentang itu. Mem,ang. ” giri terhadapadunia” sering muncul dalam terjemahan Inggris dengan ”sejalan dengan pendapat umum”, dan kamus menterjemahkan dengan Universitas Sumatera Utara kalimat ”Memang harus begitu karena itu adalah giri terhadap dunia” dengan ”Orang yang tidak menerima tindakan yang lain” Benedict,, 1979: 148. Bangsa Jepang menganggap seesorang telah bangkrut apabila tidak dapat membayar giri, dan setiap kontak dalam kehidupan dapat menimbulkan giri dengan satu atau lain cara. Pembayaran kembali giri dianggap sebagai suatu pembayaran kembali yang sama jumlahnya. Dalam hal ini, giri sangat berbeda dengan gimu, yang secara kira-kira pun tidak akn pernah dapat dilunaskan, apapun yang dilakukan oleh seseorang. Akan tetapi, giri tidak tanpa batas. Bangsa Jepang melarang pemberian hadiah yang bernilai lebih dari hadiah yang sebelumnya diterima. Orang tidak menjadi semakin terhoramat dengan mengembalikan ”beludru murni”. Salah satu komentar terburuk yang dapat dikatakan orang tentang suatu hadiah adalah bahwa si pemberi ”telah membayar emabali ikan teri dengan ikan kakap”. Begitu juga hal-hal dengan giri Benedict, 1979: 148-149. Giri terhadap nama seseorang adalah kewajiban untuk menjaga reputasinya supaya tidak bernoda. Giri ysang ini adalah sederetan kebajikan, seakan-akan saling bertentangan dalam pandangan orang Barat, tetapiyang dalam pandangan orang Jepang mempunyai suatu keastuan, karena merupakan kewajiban-keawjiban yang bukan pembayaran kemabali terhadap kebaikan yang diterima; kewajiban-keawjban itu berada ”diluar lingkup on”. Kewajiban-keawjiban itu adalah tindakan-tindakan yang tetap menjaga reputasai baik seseorang tanpa mendasarkannya kepada suatu utang tertentu yang sebelumnya dipunyai orang itu terhadap orang lain. Oleh karena itu, tercakup di dalamnya melaksanakan segala persyaratan etiket menurut ”tempat seseorang yang sesuai”, misalnya, kalau merasa sakit sama sekali tidak memperlihatkannya, dan mempertahankan reputasi dalam profesi atau keahlian. Giri terhadap nama juga menuntut tindakan-tindakan yang menghilangkan noda atau cela; Universitas Sumatera Utara noda itu mengotori nama seseorang dan karena itu harus dihilangkan. Noda itu dapat memaksa seseorang untuk membalas dendamkepada orang yang merugikan namanya ataumemeaksa seseorang untuk melakukan bunuh diri,dan diantara kedua ekstrem ini terdapat segala macam kemungkina tindakan. Akan tetapi, orang tidak dapat meremehakn sesuatu yang bersifat kompromi Benedict, 1979: 152. Bangsa Jepang tidak memilik istilah tersendiri untuk apa yang dinamakan ”giri terhadap nama”. Mereka hanya melukiskannya sebagai giri ”diluar lingkup on”. Kalau orang mengorabanan miliknya. Keluarganya dan hidupnya sendiri demi kehormatan,maka ia seoran yang bajik dengan sesungguhnya. Akan tetapi giri terhdap nama, yang dalam kebudayaan didampingi rasa permusuahn serata menanti dengan waspada, bukanlah kebajikan khas Asia. Ini adalah kebudayaan yang murni hanya dimiliki oleh bangsa Jepang Benedict, 1979: 152-154. Arti sepenuhnya dari giri terhadap nama tidak dapat dimengerti tanpa menempatkan dalam konteksnya semua kebajiakn nonagresi yang di Jepang disebut dengan giri ini. Pembalasan hanyala suatu kebajikan yang mungikn diwajibkan pada suatu kesempatan. Giri ini juga mencakup banyak tingkah laku yang tenang dan terkendali. Tidak memperlihatkan perasaaan, pengendalian diri yang diharuskan arti seorang Jepang yang mempunyai harga dri, merupakan bagian dari giri terhadap nama. Giri terhadap nama juga mengaruskan seseorang untuk hidup sesuai denga tempatnyadalam hidup ini. Kalau orang gagal dalam giri ini, ia tidak berahk untuk menghormati dirinya sendiri. Benedict, 1979: 155-156. Giri terhadap nama juga berarti memenuhi banyak macam ikatan selain ikatan yang ada hubungnya deangan tempat yang sesuai. Seorang yang berutang daoat mempertaruhka giri terhadap namanya ketika ia meminta pinjaman; satu generasi yan glalu biasa dikatakn orang bahwa ”Saya setuju untuk ditertawakan di depan umum Universitas Sumatera Utara kalau saya gagal membayar jumlah ini”.n kalau ia gagal membayar kembali, ia tidak secara harfiah dijadikan bahan tertawaan umum; di Jepang tidak ada tiang cacian umum. Akan tetapi, menjelang Tahun Baru, yaitu tanggal jatuh tempo semua utang, orang yang tidak membayar utangnya itu, mungkin akan melakukan bunuh diri untuk ”membersihkan namanya”. Di Jepang giri terhadap nama seorang profesional sangat besar tuntutannya, tetapi giri tidak perlu dipelihara dengan standar profesinal yang tingi seperti di Amerika Benedict, 1979: 158. Berbagai jenis tata krama diatur untuk menhindarkan situasi-situasi yang dapat menimbulkan rasa malu dan yang mungkin menyangkut giri terhadap namanya. Situasi-situasi ini, yang diperkecil kemungkinannya seminimal mungkin, mencakup lebih banyak daripada persaingan langsung. Mereka berpendapat bahwa seorang tuan rumah harus menyambut tamunya dengan penyambutan ritual tertentu serta dalam busana yang baik. Karena itu, seseorang yang bertamu kepada petani yang sedang mengenakan pakaian pekerjaannya, harus menunggu beberapa saat. Si petani tdak akan memperlihatkan tanda bahwa ia mengenal tamunya sampai ia mengenakan pakaian yang baik dan mengatur tata cara yang patut Benedict, 1979: 164. Di Jepang tujuan yang selalu didambakan adalah kehoramatan. Perlu sekali memiliki wibawa. Cara-cara yang dipakai untuk mnecapai tujuannya itu adalah alat yang diambil lalu diletakkan kembali sesuai dengan keperluan keadaan. Kalau situasi berubah, bangsa Jepang dapat mengubah orientasnya dan berjalan ke arah yang baru. Bagi mereka, mengubah halauan bukan merupakan masalah moral sebagaimana halnya denga bangsa Barat Benedict, 1979: 180. Agresi bangsa Jepang lain sekali sumbernya. Mereka sangat membutuhkan penghoramtan di dunia. Mereka melihat bahwa kekuatan militer telah menghasilkan respek bagi negara-negara dan mereka mengambil halauan untuk menyamai negara- Universitas Sumatera Utara negara besar itu. Mereka harus lebih pada gurunya karena sumber-sumber daya mereka tidak banyak dan teknologinya primitif. Kegagalan mereka dalam usaha besar ini, berarti bahwa agresi bukanlah cara mencapai kehormatan. Giri selalu erarti penggunaan agresi atau menjalin hubungan-hubungan ketakziman, dan dalam kekalahan, bangsa Jepang beralih dari yang satu ke yang lain, jelasa tanpakekerasan psikis teradap dirinya sendiri. Tujuannya masih tetap nama baik mereka Benedict, 1979: 181. Seperti bulan, giri mermiliki bagian yang gelap membuat Jepang menerima Undang-Undang Eksklusif Amerika dan Perjanjian Persamaan Angkatan Laut sebagai penghinaan nasional yang keterlaluan, dan yang merangsangnmya untuk membuat progaram perang yang mencelakakan itu. Bagiannya yang cerah memungkinkan itikad baik yang ditunjukkan untuk menerima akibat penyerahan di tahun 1945. Jepang tetapi berttindak sesuai dengan wataknya benedict, 1979: 183. Setelah membahas keseluruhan mengenai on, gimu, dan giri mungkin ada kesulitan untuk memahaminya. Oleh karean itu, dibawah ini ada sebuah penjelasan yang dapat membantu pemahaman agar lebih jelas sehingga tidak menimbulkan kerancuan. On: kewajiban-kewajiban yang timbul secara pasif. Seseorang “menerima on”, seseorang “mengenakan on”, artinya: on adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh si penerima yang pasif. Ko on. On yang diterima dari kaisar Oya on. On yang diterima dari orangtua. Nushi no on. On yang diterima dari majikan atau tuan. Shi no on. On yang diterima dari guru. Universitas Sumatera Utara On yang diterima dalam semua hubungan dengan orang lain selam hidup si penerima. Catatan: semua orang dari siapa si penerima menerima on, menjadi on jin atau ”orang-on” dati si penerima. pemenuhan on. Si penerima on ”membayar kembali” utang–utang; ia ”memenuhi kewajiban ini” terhadap orang-on nya; artinya: ini adalah kewajiban yang dilihat dari sudut pembayarannya kembali secara aktif. Ada dua jenis on: Gimu. Pembayaran kembali yang maksimal sekalipun dari kewajiban ini dianggap masih belum cukup, dan tidak ada batas waktu pembayarannya. Chu. Kewajiban terhadap kaisar, hukum dan negara. Ko. Kewajban terhadap orang tua dan nenek moyang yang dimaksud: terhadap keturunanya. Nimmu. Kewajiban terhadap pekerjaan seseorang . Giri. Utang-utang ini wajib dibayar dalam jumlah yangsama dengan kebaikan yang diterima, ada batas waktu pembayarannya 1. Giri terhadap dunia. Kewajiban terhadap tuan pelindung. Kewajiban terhadap sanak keluarga jauh. Kewajiban terhadap orang-orang bukan keluarga karena on yang diterima dari mereka, misalnya hadiah uang, suatu kebaikan, pekerjaan yang mereka sumbangkan dalam suatu kelompok kerja Kewajiban terhadap keluarga yang tidak begitu dekat paman, bibi, kemenakn pria dan wanita walaupun on yang doterima bukan berasal dari mereka, melainkan nenek moyang yang sama. Universitas Sumatera Utara 2. Giri terhadap nama seseorang. Ini adalah versi Jepang dari die Ehre. Kewajiban seseorang untuk ”membersihakan” reputasinya dari penghinaan atau tuduhan atas kegagalan, yaitu kewajiban membalas dendam. Kewajiban seseorang untuk tidak menunjukkan atau mengakui kegagalan atau ketidak tahuannya dalam melaksanakan jabatan. Kewajiban seseorang untuk mengindahkan sopan santun Jepang, misalnya melaksanakan semua prilaku ketakziman, tidak hidup di atas tempatnya yang sesuai, mengekang pengungkapan emosi pada kesempatan atau suasana yang tidak cocok, dan seterusnya.

c. Kultur Masyarakat Horizontaldan Masyarakat Vertikal