Kultur Jepang a. Kultur Awase

Jepang adalah negara homogen yang memiliki satu bahasa. Sedangkan Indonesia terdiri dari beragam suku bangsa dan bahasa yang lazim disebut heterogen. Oleh karena itu sulit menentukan kebudayaan yang mendasari diplomasi Indonesia. Supaya lebih jelas, dibuat penjelasan dan keterangan pada sub bab selanjutnya mengenai kultur yang dimiliki oleh kedua negara.

2.2.2 Kultur Jepang a. Kultur Awase

Kinhide1981:2 megungkapkan sebuah tipologi yaitu ’kultur erabi’ dan ’kultur awase’. Erabi diambil dari kata erabu 選ぶ yang memiliki arti memilih, sedangkan kata awase diambil dari kata au 合う yang memiliki arti memadukan dan juga menyesuaikan sesuatu dengan yang lain. Jepang adalah negara yang menganut kultur awase. Menurut pandangan ideal erabi, manusia bisa bebas memanipulasi lingkungannya untuk tujuan-tujuannya sendiri. Pandangan ini memiliki arti suatu rangkaian prilaku apbila seseorang menetapkan tujuannya, menyusun suatu rencana untuk mencapai tujuan tersebut, dan kemudian bertindak mengubah lingkungn itu sejalan dengan rencana dan kehendaknya. Pandangan erabi juga terdiri dari tatanan logis yang terdiri dari konsep-konsep dan lawan-lawannya; panas atau dingin, manis atau tak manis, besar lawan kecil dan seterusnya. Oleh karena itu ketika menyusun suatu rencana tindakan untuk mengubah lingkungan, adalah wajar mengambil keputusan dengan pertimbangan ” Apakah lebih baik hangat atau dingin? Apakah saya ingin manis atau tidak manis? Lumayan besar atau lumayan kecil?”. pemikiran seperti membuktikan kalau erabi adalah logika untuk memilih yang terbaik dari Universitas Sumatera Utara serangkaian alternatif yang terdiri dari serangkaian pilihan dari berbagai dichotomy bercabang dalam dua bagian. Awase berbeda dengan erabi dimana awase adalah kultur yang menolak gagasan kalau manusia dapat memanipulasi lingkungannya dan sebagi gantinya mengharuskan ia menyesuaikan diri dengannya. Menurut jalur pikiran ini, lingkungan tidaklah ditandai dengan konsep-konsep dikotomi seperti panas lawan dingin. Yang dipandangnya benar, ialah bahwa bisa agak panas atau agak dingin, sedikit manis atau tidak manis, lumayan besar atau lumayan kecil; dengan kata lain, lingkungan terdiri dari satu kontinum gradasi yang tidak begitu kentara dan gampang berubah. Awase adalah logika yang berusaha memahami serta menyimak rangkaian gradasi perubahan yang tidak begitu kentara ini Kinhide, 1981: 7. Orang Jepang biasanya tidak menetapkan tujuan-tujuan yang jelas dalam hubungan mereka sendiri, karenaitulah maka penolakan mereka atas pendikotomian logika erabi membuat pemikiran mereka menjadi kabur dan tidak jelas bagi orang Eropa dan Amerika. Daripada berkata Hon o kashite kure Pinjami saya buku itu, orang Jepang boleh jadi berkata Chotto kashite kure saya hanya ingin melihatnya dan daripada berkata Ano shibai wa kunakatta sandiwara itu tidak menarik, mereka akan bilang Sore hodo omoswanai saya kira sandiwara tu tidak begitu menarik. Sebaliknya, orang Jepang merasa bahwa orang Amerika, dengan logika erabi-nya, cendrung membuat perbedaan dalam ukuran-ukuran tertentu yang sangat simplitis dan dikotomis monogote o wakiru Kinhide, 1981:7. Dalam kebudayaan awase, orang tidak hanya menyesuaikan dirinya dengan lingkungan alamnya tetapi juga dengan lingkungan sosialnya. Sebaliknya, orang berkebudayaan erabi berharap agar orang lain yang mengerti dan menyesuaikan diri dengan mereka. Dalam pembicaraan awase atau urusan dengan dagang, persetujuan Universitas Sumatera Utara diberi ruang gerak dan diperlakukan secara fleksibel dan longgar. Masyarakat Jepang hidup dengan tidak membuat waktu menjadi eskak dan tidak memberikan perhatian yang ketat atas keentuan-ketentuan kontrak. Pelanggaran kecil seringkali diabaikan ome ni miru. Itulah yang menyebakan kencendrungan mencari dan memberikan perlakuan khusus bisa dilihat sebagai sesuatu yang pokok bagi masyarakat awase Kinhide, 1981: 9. Dilihat dari sudut lain, bertentangan dengan standarisasi vokabuler dalam masyrakat erabi, logika awase tidaklah bergantung kepada arti-arti kata yang sudah dibakukan. Setiap ungkapan memiliki berbagai nuansa dan dipandang hanya sebagai tanda-tanda yang mengisyarakatkan realitas dan bukanya bukannya menerangkan realitas itu secara pasti. Kata-kata tidak ditangkap sesuai yang ada di permukaanya; kita perlu menafsirkan arti yang terkandung didalnya. Bertentangan dengan kebudayaan erabi yang nilai-nilai dipermukaan tidak dipercaya dan kita diharap berjalan sesuia dengan itu, didalam masyarakat awase mungkin kita dapat ”mendengar satu menangkap sepuluh” sasshi ga hayai dipandang sebagai kebajikan, dengan kata lain menyesuaikan dengan posisi seseorang sebelum itu secara logis dan jelas Kinhide, 1981: 9-10. Duta besar Kurusu dalam Kinhide 1981:10 secara menarik mengingatkan kegagalan perundingan antara Jepang dengan Rusia sebelum pecahnya perang Pasifik dikarenakan masing-masing perunding susah mengambil posisi atau kedudukan yang tepat. Dia menggambarkan dengan analogi, orang Jepang mengundang orang Barat untuk naik ke ruang tingkat dua. Saat para tamu itu kelihatan ragu-ragu untuk naik, orang Jepang tetap mengajak mereka naikkeatas, karena setidak-tidaknya pemandangan akan lebih baik jika dilihat dari atas. Namun, orang Barat ingin mengetahui pemandangan apa yang mereka akan dapatkan terlebih dahulu sebelum Universitas Sumatera Utara mereka setuju naik tangga menuju ruang tersebut. Akibatnya, perundingan tersebut gagal. Dalam bentuk alegoris cerita ini, memperlihatkan suatu kesalahan pemanduan yang mendasar diman kebudayaan erabi saling beradapan dengan kebudayan awase dalam ahap pertama perundingan Kinhide, 1981:10. Para ahli psikologi Amerika yang mengkhususkan diri dalam penelitian mengenai proses perundingan umumnya mengandaikan bahwa tahap pertama dari perundingan haruslah berupa perumusan masalh. Dengan kata lain, perundingan dimulai hanya jika para perunding atau kedua belah pihak telah mengetahui jenis ”pandangan” apa yang akan muncul. Ini9 tidaklah mesti demikian dalam kebudayaan awase. Di Jepang, sekalipun kedua belah pihak setidak-tidaknya sudah punya sedikit gambaran tentang apa yang akan dibicarakan sebelum prundinag dimulai, tetapi pemakaian umum dari ungkapan-ungkapan seperti, Tonikaku,ome ni kakatta ue de...”Mari, begtu kita duduk bersama...”dan ome ni kakaranakutte wa, kuwasii koto wa....”Tanpa berdetil,...”, menunjukkan bahawa orang Jepang umumnya menginginkan pihak lain ”menaiki tangga” sebelum membicarakan persoalan- persoalan. Mereka menghedaki kesedaian kedua belah pihak untuk saling menyesuaikan diri awaseru dalam hal situasui tanpa prasyarat dan prakonsepsi Kinhide, 1981: 10. Saat kedua belah pihak sudah berada di meja perundingan, pendekatan ala barat erabi ialah mengemukakan secara langsung atau lebih tepatnya membicarakan persoalan-persoalan terlebih dahulu. Pendekatan awase tidaklah demikian. Dalam pendekatan awase, yang petama kali dilakukan adalah menetapakan apakah para perunding sudah sama-sama siap untuk saling menyesuaikan diri dengan posisi lawannya masing –masing. Aturan bisnis pertama di Jepang adalah menciptakan Universitas Sumatera Utara hubungna pribadi kedua belah pihak yang memungkinan mereka berbicara secara terbuka didalam suasan asaling memberi dan saling menerima Kinhide, 1981:10-11. Perbedaan-perbedaan seperti yang dikatakan pada paragraf-paragaraf sebelumnya adalah di awal perundiangan. Perbedaan kedua adalah bagaimana perundiangan dilakukan. Pandangan erabi berasumsi bahwa perundingan akn berjalan melau pernyataan posisi yang jelas dari kedua belah pihak, hal ini bertentangan dengan pandangan awase yang lebih menyukai penafsiran atas posisi pihak sebaliknya tanpa keterangan yang jelas. Tentu saja dalam kebudayaan Amerika, meskipun tidak boleh memikirkan kepentingan diri sendiri, dengan sepenuhnya mengabaikan masalah-masalah dari pihak lainnya. Meskipun demikian, menurut etiket dan etika perundingan erabi, kita tidaklah perlu bersimpati dengan pihak sana. Sebagai gantinya, sudah dipandang cukup untuk secara jujur dan sepenuhnya mengutarakan alasan-alasan posisi kita sendiri kepada pihak lainnya. Di Jepang, perasaan yang ada adalah ”Anda menyesuaikan diri dengan posisi saya dan saya akan menyesuaikan posisis saya dengan posisi anda”. Orang Jepang sering menggunakan ungkapan seperti Otachiba o jubun koryoshite ”dengan sepenuhnya mempertimbangkan posisi anda...”, atau Tokubetsu ni otorihokarai shimashou...”Saya kan memberikan layanan-layanan khusus untukmu kali ini..”. Dari sis lainnya, oang Jepan juga menggunakan ungkapanseperti Watashikushi no tachiba o gokanno itadaitte...”Pertimbangkanlah keadaan saya... dan kochira no jijou mo gokensatsu kudasame, soko ohitotsu...”Kasihilah keadaan saya dan jika mungkin berilah pengecualian... Dalam kebudayaan erabi kontrak dipandang sebagi pilihan terakhir dari pihak- pihak yang berundingdan dipandang mengikat, dalam kebudayan awase kontrak hanyalah suatu manifestasai dari hubungan awase yang akrab antar pihak-pihak yang Universitas Sumatera Utara bersangutan. Tata hubungan awase yang akrab memungkinkan para peserta untuk sling memberikan pengecualian dan kesimpulan kontarak yang sesungguhnya mendorong kedua belah pihak untuk mencari konsens-konsensi lebih jauh. Sehiingga tidak jarang, orang-orang Jepang tidak henti-hentinya berunding untuk memperoleh syarat-syarat yang lebih menguntungkan setelah kontarak disepakati Kinhide, 1981:11-12 Sejumlah perbedaan juga terlihat di dalam tatanan logika keseluruhan dari perundingan. Bertentangan dengan gaya erabi dimana tiap pihak berusaha menyempurnakan sertra menjelaskan posisinya secara resmi. Pihak-pihak yang berpran di dalam perundinna awase cendrung memisahkan dimensi formal dari hubungan dengan kandungannya yang sesungguhnya. Meskipun kata-kata diberi kridibilitaas formal tertentu dalam beberapa hal, makna luarnya trkadang ditolak demi saling-saling pengertian akan realitas situasi. Sementara gaya erabimenekankan hasl formal dari suatu perundingan, pola awase mencakup suatu pemahamn implisit akan jurang antara bentuk dengan hakikat Kinhide, 1981:12. Dalam gaya awase, pendekatan pada masalah menyertakan asumsi bahwa ”dalam teori memang demikin caranya, tetapi kenyataannya..”. Gaya awase meletakkan tekanan pada sekian keadaan khusus yang membedakan tiap kasus konkrit dan berfungsi membuat prinsip-prinsip umum tidak bisa diterapkan. Pendekatan awase jika salah dikelola, bisa membat kita hanyut disepanjang rentetan pristiwa. Akan tetapi perundingan awase punya kelebihan yang memungkinkan pihak lain untuk menyesuaikan diri. Pendekatan awase juga memperhitungkan perbedaan teori antar teori dengan perubahan keadan. Sebab ia tidak mempersyaratkan adanya pernyatan posisi secara jelas, ia mmberikan cukup banyak pelonggaran untuk tidak hentinya menafsirkan pendirian seseorang. Ini adalah kelebihan yang jelas Universitas Sumatera Utara dibandingkan dengan keterus-terangan eabi yang bersahaja. Tentu saja ada batas. Begitu ketidak percayaan pihak lain mencapai suatu titik tertentu, perundingan pun gagal dan soal-soal poko sama-sama dikobankan dengan soal-soal tidak pokok.

b. Kultur Haji no Bunka