Pengertian dan Sejarah Kesetaraan Gender

17

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KESETARAAN

GENDER

A. Pengertian dan Sejarah Kesetaraan Gender

Gender dalam bahasa Indonesia mengandung arti yaitu jenis kelamin, laki- laki dan perempuan. Gender bagi banyak kalangan mengandung pengertian yang menggambarkan bagaimana nuansa semangat pemberontakan kaum perempuan terhadap stigma yang terbentuk di kalangan masyarakat, khususnya kaum laki- laki. Doktrin gender dipandang sebagai gagsan yang diadopsi dari nilai-nilai Barat yang tidak bermoral dan religius. Gagasan pemikiran gender bukan produk dari tradisi berpikir Islam. Sedangkan kesetaraan gender gender quality mengandung pengertian kesamaan satu bentuk penilaian atau penghargaan yang sama oleh masyarakat dan negara terhadap persamaan dan perbedaan perempuan dan laki-laki serta berbagai peran yang mereka jalankan. 1 Isu gender tidak bisa dipisahkan dengan variabel jenis kelamin bahkan secara sosilogis gender berasal dari perbedaan jenis kelamin. Identitas jenis kelamin ini merupakan konsep biologis yang sebagai identitas permanen yang membedakan pria jantan dan perempuan betina. Ini timbul secara alamiah, 1 Noryamin Aini, Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Perspektif Agama Islam, Jakarta,2004. h. 17 18 dan merupakan tanda pembeda. Akibatnya, jenis kelamin biologis bersifat tetap, permanen, dan universal. Meskipun kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan ejaan “jender”. Jender diartikannya sebagai “interpretasi mental” dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan wanita. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan. 2 Dalam studi gender dikenal beberapa teori yang cukup berpengaruh dalam menjelaskan latar belakang perbedaan dan persamaan peran gender laki-laki dan wanita, antara lain sebagai berikut. 1. Teori PsikoanalisaIdentifikasi Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Sigmund Freud 1856-1939. Teori ini mengungkapkan bahwa perilaku dan kepribadian laki-laki dan wanita sejak awal ditentukan oleh perkembangan seksualitas. Freud menjelaskan kepribadian seseorang tersusun di atas struktur, yaitu id, ego, dan superego. Tingkah laku seseorang menurut Freud ditentukan oleh interaksi ketiga struktur itu. 3 2 Nasaruddin Umar, Argumen Keseteraan Jender,Jakarta, Paramadina, 2001, h.35 3 Nasaruddin Umar, Argumen Keseteraan Jender,Jakarta,2001, h.46 19 Pertama, id sebagai pembawaan sifat-sifat fisik-biologis seseorang sejak lahir, termasuk nafsu seksual dan insting yang cenderung selalu agresif. Id bekerja di luar sistem rasional dan senantiasa memberikan dorongan untuk mencari kesenangan dan kepuasan biologis. Kedua, ego bekerja dalam lingkup rasional yang berupaya menjinakkan keinginan dari agresif dari id. Ego berupaya membantu mengatur hubungan antara keinginan subjektif individual dan memelihara agar bertahan hidup dalam dunia realitas. Ketiga, superego berfungsi sebagai aspek moral dalam kepribadian, berupaya mewujudkan kesempurnaan hidup. Lebih dari sekedar mencari kesenangan dan kepuasan hidup. Dalam teori ini dijelaskan bahwa pada dasarnya tetap ada perbedaan antara laki-laki dan wanita. Perbedaan disini lebih ditekankan kepada perbedaan jenis alat kelamin antara laki-laki dan wanita. Pada diri laki-laki memiliki kebanggaan karena tidak semua memiliki penis, termasuk ibunya. Sebaliknya, anak perempuan ketika melihat dirinya tidak memiliki penis seperti anak laki-laki, tidak dapat menolak kenyataan dan merasa sudah “terkebiri”. Ia mengalami perkembangan rasa “rendah diri”. Ia secara tidak sadar menjadikan ayahnya sebagai objek cinta dan menjadikan ibunya sebagi objek iri hati. Teori ini mendapat protes keras dari kalangan feminis, namum demikian harusnya ini menjadi acuan bahwasannya dengan perbedaan alat kelamin ini tidak mempengaruhi posisi dan martabat wanita. Di dalam teori ini Freud tidak bermaksud menyudutkan wanita. Sikap feminis yang akademisi seperti Nancy Codorow dan Julieft Mitchell dapat dinilai 20 bijaksana, karena tidak serta merta menolak toeri Freud tetapi berupaya menyempurnakan metode analisa yang digunakan Freud dalam menarik sebuah kesimpulan. 4 2. Teori Fungsionalis Struktural Teori ini berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas berbagai bagian yang saling mempengaruhi. Teori ini mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam suatu masyarakat, mengidentifikasi fungsi setiap unsur, dan menerangkan bagaimana fungsi unsur-unsur tersebut di dalam masyarakat. Dalam hal peran gender, pengikut teori ini menunjuk masyarakat pra- industri sebagai contoh, betapa masyarakat tersebut terintegrasi di dalam suatu sistem sosial. Laki-laki berperan sebagai pemburu dan wanita sebagai peramu. Sebagai pemburu, laki-laki lebih banyak berada di luar rumah dan bertanggung jawab untuk membawa makanan kepada keluarga. Peran wanita lebih terbatas di sekitar rumah dalam urusan reproduksi, seperti mengandung, memelihara, dan menyusui anak. Pembagian kerja seperti ini telah berfungsi dengan baik dan berhasil menciptakan kelangsungan masyarakat yang stabil. Dalam masyarakat seperti ini stratifikasi peran gender sangat ditentukan oleh jenis kelamin. Salah satu kritik yang dapat dilontarkan kepada teori ini ialah bahwa teori itu terlalu terikat pada kenyataan masyarakat pra-industri. Padahal, struktur dan 4 Nasaruddin Umar, Argumen Keseteraan Jender , h.50 21 fungsi di dalam mayarakat kontemporer sudah banyak berubah. Keluarga dan unit rumah tangga telah mengalami banyak perubahan dan penyesuaian. Kalau dahulu sistem masyarakat lebih bersifat kolektif, keluarga pun masih bersifat keluarga besar. Tugas dan tanggung jawab keluarga dipikul secara bersama-sama oleh keluarga besar tersebut. Masalah anak tidak hanya diurus oleh ibunya, tetapi oleh semua anggota keluarga yang ramai-ramai tinggal di dalam sebuah rumah. Di masa-masa yang akan datang teori ini bisa mengalami tantangan besar. Pembagian fungsi dan peran antara suami dan isteri dianggap sulit dipertahankan dalam konteks masyarakat modern. Dalam era globalisasi yang penuh dengan berbagai persaingan, peran seseorang tidak lagi banyak mengacu pada norma- norma kebiasaan yang lebih banyak mempertimbangkan faktor jenis kelamin, akan tetapi ditentukan oleh daya saing dan keterampilan. Laki-laki dan perempuan sama-sama berpeluang untuk memperoleh kesempatan dalam persaingan. Ada beberapa unsur pokok dalam teori fungsionalis struktural yang sekaligus menjadi kekuatan teori ini, yaitu: a. Kekuasaan dan Status Wanita dinilai berpenampilan dan berperilaku lemah lembut, sementara laki-laki berpenampilan dan berperilaku tegar dan jantan, dan karenanya memiliki kekuasaan dan status lebih besar. Pola kekuasan dan status ini berpengaruh secara universal di dalam masyarakat. Tidak sedikit kebijakan dan peraturan lahir di atas persepsi tersebut 22 dan tidak heran kalau di dalam masyarakat muncul ideologi gender yang berupaya meninjau secara mendasar berbagai kebijakan dan peraturan yang dinilai tidak berwawasan gender. b. Komunikasi Non-Variabel Kemampuan yang dianggap kurang dari wanita dan kemampuan yang dianggap berlebih yang dimiliki laki-laki dalam komunikasi antara laki-laki dan wanita di dalam masyarakat. Laki-laki lebih dimungkinkan untuk menegur sapa kepada wanita daripada wanita. Karena wanita dinilai memiliki kekuasaan yang tidak memadai maka masyarakat laki-laki cenderung memandang “rendah” wanita. Situasi ini seperti ini sangat berpengaruh di dalam relasi gender, karena dengan demikian secara tidak langsung laki-laki mendapatkan tingkatan yang lebih tinggi daripada wanita. c. Wanita di dalam Berbagai Organisasi Ketimpangan peran gender di dalam berbagai organisasi disebabkan karena wanita mempunyai berbagai keterbatasan, bukan saja karena sesara alami laki-laki, menurut teori fungsional struktural, dipersepsikan kaum yang lebih unggul, atau berbagai stereotipe gender lainnya, tetapi juga karena wanita ditemukan kurang terampil daripada laki-laki. Dalam kendali organisasi, posisi wanita lebih mengkhawatirkan daripada laki-laki, sehingga dalam pola relasi gender masih sering kali terjadi ketimpangan. d. “Rape-Prone” dan “Rape-Free” 23 Wanita adalah makhluk yang rawan diperkosa rape-prone sementara laki-laki tidak rawan untuk diperkosa rape-free. Berbagai kejahatan seksual dapat dilakukan laki-laki, tapi tidak sebaliknya. Dalam sudut pandang ini, laki-laki mendapat keuntungan dalam pola relasi gender, walaupun keadaannya sangat tergantung pada setiap kondisi masyarakat. Bagi masyarakat yang mempertahankan norma-norma agama, pengaruh dan intensitas unsur ini tidak terlalu dominan. Akan tetapi bagi masyarakat yang cenderung bebas, nilai ini akan besar pengaruhnya. e. Pembagian Kerja Dalam masyarakat tradisional dikenal pembagian kerja secara seksual, laki-laki sebagai pemburu dan wanita sebagai pengasuh. Di dalam masyarakat modern pun tidak jauh berbeda, kalau wanita menjadi sekretaris laki-laki menjadi pemimpin. Laki-laki lebih banyak terlibat dalam urusan produksi, sementara wanita dipolakan untuk lebih banyak terlibat dalam urusan reproduksi. Teori ini sempat populer pada era tahun 1950-an, ketika bangsa-bangsa mengalami depresi dan kejenuhan karena Perang Dunia I dan Perang Dunia ke II. Masyarakat berupaya memulihkan kestabilan tidak dengan jalan perang, tapi kembali memfungsikan kembali unsur-unsur penting dalam sistem kemasyarakatan. Teori ini secara ideologis telah digunakan untuk memberikan pengakuan terhadap kelanggengan dominasi laki-laki seolah-olah teori ini dianggap bertanggung jawab terhadap lestarinya stratifikasi gender di dalam masyarakat. 24 Meskipun telah dijelaskan kelemahan-kelemahan pendapat ini, pada kenyataannya masih sulit dihapuskan di dalam kehidupan bermasyarakat, bukan saja dalam masyarakat tradisional tetapi juga dalam masyarakat modern. Pembagian fungsi yang mengacu kepada perbedaan anatomi biologis masih sulit ditinggalkan. Dalam kenyataannya masyarakat industri dan masyarakat liberal cenderung tetap mempertahankan pendapat ini karena sesuai dengan prinsip- prinsip ekonomi industri yang menekankan aspek produktivitas. Tentu saja pendapat ini menimbulkan kritik yang keras dari kalangan feminis karena teori ini secara prinsip kemanusiaan sudah tidak sesuai. 3. Teori Konflik Dalam soal gender, teori konflik terkadang diidentikkan dengan teori Marx karena begitu kuat pengaruh Karl Marx di dalamnya. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa dalam susunan suatu masyarakat terdapat beberapa kelas yang saling memperebutkan pengaruh dan kekuasaan. Siapa yang memiliki dan menguasai sumber-sumber produksi dan distribusi merekalah yang memiliki peluang untuk memainkan peran utama. 5 Menurut Marxisme, dalam kapitalisme, penindasan wanita diperlukan karena menguntungkan. Pertama, eksploitasi wanita di dalam rumahtangga akan membuat buruh laki-laki di pabrik lebih produktif. Kedua, wanita juga berperan dalam reproduksi buruh murah, sehingga memungkinkan harga tenaga kerja lebih 5 Nasaruddin Umar, Argumen Keseteraan Jender , h.61 25 murah. Murahnya tenaga kerja menguntungkan kapitalisme. Ketiga, masuknya buruh wanita sebagai buruh dengan upah rendah menciptakan apa yang disebut dengan ‘buruh cadangan’. Melimpahnya buruh cadangan memperkuat posisi tawar-menawar para pemilik modal kapitalis dan mengancam solidaritas kaum buruh. Teori konflik mendapat kritik dari sejumlah ahli, karena terlalu menekankan faktor ekonomi sebagai basis ketidakadilan yang selanjutnya melahirkan konflik. Dahrendorf dan Randall Collins, yang dikenal pendukung teori konflik modern, tidak sepenuhnya sependapat dengan Marx dan Engels. Menurut mereka, konflik tidak hanya terjadi karena perjuangan kelas dan ketegangan antara pemilik dan pekerja, tetapi juga disebabkan oleh beberap faktor lain, termasuk ketegangan antara orang tua dan anak, suami dan istri, senior dan yunior, laki-laki dan wanita, dan lain sebagainya. 6 Feminisme merupakan sebutan yang digunakan untuk mendefinisikan gerakan-gerakan pembebasan perempuan. Gerakan ini bertujuan untuk membebaskan perempuan dari kekerasan, ekonomi, politik, dan sosial yang bersandar pada pengalaman sejarah manusia yang telah lalu akan perbudakan pada peradaban-peradaban klasik. Dalam dua dekade terakhir kelompok feminis memunculkan beberapa teori yang secara khusus menyoroti kedudukan wanita dalam kehidupan 6 Nasaruddin Umar, Argumen Keseteraan Jender , h.63-64 26 masyarakat. Feminisme berupaya menggugat kemapanan patriarki, dan berbagai bentuk stereotip jender lainnya yang berkembang luas di dalam masyarakat. 7 Terdapat banyak variasi teori dan gerakan dalam feminisme yang menampilkan keberagaman ide, nilai, dan perspektif. Secara umum gerakan feminisme dipandang sebagai sebuah gerakan pembebasan dan perlindungan hak- hak wanita dalam masyarakat. Gerakan seperti ini telah mengalami diversitifikasi berkaitan dengan perbedaan-perbedaan konteks budaya dan ideologi. Itulah mengapa feminisme Islam, Feminisme Sosial, dan feminisme Barat beitu berarti sekarang. 8 Para peneliti feminisme Barat secara umum mempunyai keyakinan bahwa sekali pria mendominasi sebuah masyarakat dalam bidang-bidang tertentu, wanita akan menjadi kelompok yang tertindas dan pasif. 9 Periode ini terjadi ketika pria dari kelas tertentu memerintah secara eksklusif dan dan kepemilikan dalam semua aspek kehidupan sosial-ekonomi. Wanita dipandang sebagai kelas rendahan dan tercabut dari segala jenis hak, mulai dari mengekspresikan pendapatnya hingga seluruh bentuk partisipasi sosial. Sekarang, feminisme mengejar emansipasi wanita dari segala jenis pengekangan, atau apa pun yang membuat wanita terisolasi dari supremasi pria, diantaranya 7 Nasaruddin Umar, Argumen Keseteraan Jender , h.64 8 Ali Hosein Hakeem,et.al, Membela Permpuan Menakar Feminisme dengan Nalar Agama, Jakarta, Al-Huda,2005,h.26 9 S. Duval, “Women and Islamization:Contemporary Dimension of Discourse on Gender Relation”,Berg, 1998,h. 46 27 kesetaraan dalam pekerjaan, status sosial dan politik, kesamaan pria dan wanita dalam hak-hak sosial dan hak-hak mereka dalam kaitannya dengan anak-anak. Feminisme adalah sebuah ideologi yang murni sekular. Secara fundamental, feminisme tak hanya tidak mempunyai konsep tentang prinsip- prinsip Ilahi tetapi juga bertentangan dengannya. Dalam kasus ini, agama malah sering kali dipandang sebagai sumber utama keridaksetaraan antara pria dan wanita. 10 Berdasarkan prinsip bahwa mayoritas feminisme memiliki kesamaan pandangan mengenai kesetaraan gender dalam terminologi-terminologi kemampuan serta hak sosial dan individu, para pemikir feminisme berpandangan bahwa sebagaian besar sistem keyakinan agama yang terorganisasi, yang mendominasi dunia sejarah dan modern, secara mengakar sangatlah eksis. Terdapat tiga teori feminisme utama mengenai agama, yang radikal, liberal, dan reformis-analistik terhadap praktik yang ada dan terhadap penciptaan utopis sebuah praktik budaya tanding baru new counter culture. Teori ras feminisme dalam kaitannya dengan agama menunjukkna teori Marxis dan Sosial. Mereka percaya, secara prinsipil, bahwa agama merupkan candu masyarakat dan memandangnya sebagai sumber utama ketidaksetaraan pria dan wanita. Para pemikir liberal juga memiliki ide yang sama bahwa agama, khususnya Kristen, merupakan sumber utama penampakan bias persoalan gender. 10 Ali Hosein Hakeem,et.al, Membela Permpuan Menakar Feminisme dengan Nalar Agama ,h.26 28 Elizabeth Cady Stanton dalam bukunya, The Woman’s Bible, menyatakan bahwa kontribusi utama dan pertama feminsme adalah melakukan perubahan dalam agama Kristen. Stanton percaya bahwa bahasa dan interpretasi kalimat-kalimat yang berkaitan dengan wanita dalam Injil merupakan sumber utama pemberian ststus inferior pada kaum wanita. Sperti dinyatakan Mary Daly 1975,1978 dan Susan Griffin 1981 berpendapat bahwa sebuah tema fundamentalis tradisi Kristen Barat adalah kebenciannya terhadap nafsu, yang didasarkan pada suatu ide bahwa tubuh wanita menarik kembali kaum pria pada sifat kebinatangannya. 11 Dengan demikian, mereka melihat adanya sebuah kebutuhan untuk menulis ulang doktrin agama yang berdasarkan pada prinsip-prinsip feminisme. Memang tidak semua kalangan feminisme berpikir sama. Secara umum dapat dikategorikan kepada tiga kelompok bagaimana pandangan feminis terhadap perbedaan peran jender laki-laki dan perempuan. 1. Feminisme Liberal Tokoh aliran ini antara lain Margaret Fuller 1810-1850, Harriet Martinea 1802-1876, Anglina Grimke 1792-1873, dan Susan Anthony 1820-1906. 12 Dasar pemikiran kelompok ini adalah semua manusia, laki-laki dan perempuan, diciptakan seimbang dan serasi dan mestinya tidak terjadi penindasan antara satu dengan lainnya. Feminisme liberal diinspirasi oleh prinsip-prinsip 11 Ali Hosein Hakeem,et.al, Membela Permpuan Menakar Feminisme dengan Nalar Agama ,h.27 12 Nasaruddin Umar, Argumen Keseteraan Jender,, h.64 29 pencerahan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai kekhususan- kekhususan. Secara ontologi keduanya sama, hak-hak laki-laki dengan sendirinya juga menjadi hak perempuan. 13 Tetapi walaupun dikatakan feminisme liberal, kelompok ini masih tetap memandang perlu adanya pembedaan distinction antara laki-laki dan perempuan. Biar bagaimanapun juga, fungsi organ reproduksi bagi perempuan membawa konsekuensi logis dalam jehidupan bermasyarakat. Tetapi tetap kelompok ini berpendapat organ reproduksi bukan merupakan penghalang terhadap peran-peran di ranah publik. 2. Feminsme Marxis-Sosialis Aliran ini mulai berkembang di Jerman dan Rusia dengan menampilkan beberapa tokohnya, seperti Clara Zetkin 1857-1933 dan Rosa Luxemburg 1871-1919. 14 Dengan mencoba melontarkan isu bahwa ketimpangan peran antara kedua jenis kelamin itu sesungguhnya lebih disebabkan oleh faktor budaya alam, aliran ini berupaya menghilangkan struktur kelas dalam mayarakat berdasarkan jenis kelamin. Aliran ini menolak anggapan tradisional dan para teolog bahwa status wanita lebih rendah daripada laki-laki karena faktor biologis dan latar belakang sejarah. 13 Nasaruddin Umar, Argumen Keseteraan Jender, , h.64 14 Nasaruddin Umar, Argumen Keseteraan Jender, , h.65 30 Feminisme sosialis berpendapat bahwa ketimpangan jender di dalam masyarakat adalah akibat penerapan sistem kapitalis yang mendukung terjadinya tenaga kerja tanpa upah bagi perempuan di dalam lingkungan rumah tangga. 15 Perempuan senantiasa mencemaskan keamanan ekonominya, karenanya mereka memberikan dukungan kekuasaan kepada suaminya. 3. Feminsme Radikal Aliran ini muncul di permulaan abad ke-19 dengan mengangkat isu besar, menggugat semua lembaga yang dianggap merugikan wanita seperti lembaga patriarki yang dinilai merugikan perempuan, karena term ini jelas-jelas menguntungkan laki-laki. 16 Pandangan feminisme radikal ini terkesan lebih ekstrem, dikarenakan tidak hanya menuntut persamaan hak dengna laki-laki tetapi juga persamaan “seks”, artinya wanita dapat memperoleh kepuasaan seksual dengan sesama wanita lesbian. Menurut kelompok ini, wanita tidak harus tergantung pada laki-laki, bukan saja dalam hal pemenuhan kebutuhan seksual. Wanita dapat merasakan kehangatan, kemesraaan, dan kepuasaan seksual kepada sesama wanita. Kepuasaan seksual dari laki-laki adalah masalah psikologis. Melalui berbagai latihan dan pembiasan kepuasaan itu dapat terpenuhi dari sesama wanita. 15 Nasaruddin Umar, Argumen Keseteraan Jender, , h.66 16 Nasaruddin Umar, Argumen Keseteraan Jender, , h.67 31 Aliran ini juga mengupayakan pembenaran rasional gerakannya dengan mengungkapkan fakta bahwa laki-laki adalah masalah bagi perempuan. Laki-laki selalu mengeksploitasi fungsi reproduksi perempuan dengan berbagai dalih. Ketertindasan perempuan berlangsung cukup lama dan dinilainya sebagai bentuk penindasan karena ras, perbudakan, dan warna kulit dapat segera dihentikan dengan resolusi atau peraturan, tetapi pemerasan secara seksual teramat sulit dihentikan, dan untuk itu diperlukan gerakan yang lebih mendasar. 17 Aliran ini mendapat tantangan luas, bukan saja dari kalangan sosiolog tetapi juga di kalangan femins sendiri. Tokoh feminis liberal yang banyak berfikir realistis tidak setuju sepenuhnya dengan pendapat ini. Persamaan secara total pada akhirnya akan merepotkan dan merugikan wanita itu sendiri. Seperti inti dari semua teori feminsme tersebut di atas ialah berupaya memperjuangkan kemerdekaan dan persamaan sehingga tidak lagi terjadi ketimpangan jender di dalam masyarakat. Proses feminisme di Barat telah menginspirasi wanita muslim. lihat, Mernissi [1993], Nasir [1994], Basit [1997], Moghissi [1999], dan Smith [2001]. 18 Kalangan awal feminisme Arab awal, seperti Nazira Zayn ad Din, asal Libanon, mengintegrasikan ide-ide feminisme ke dalam sebuah kerangka 17 Nasaruddin Umar, Argumen Keseteraan Jender, , h.67 18 Ali Hosein Hakeem,et.al, Membela Permpuan Menakar Feminisme dengan Nalar Agama ,h.33 32 referansi Islam. Nazira Zayn ad Din menandai awal sebuah debat mengenai hijab, yang di dalamnya dikatakan bahwa hijab merupakan simbol inferioritas Islam. Hijab hanya salah satu contoh. Prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam yang lain mungkin juga menyatakan semacam perbedaan gender, dan dipandang sebagai inferior bagi perempuan muslim. Kemunculan gerakan-gerakan feminisme pada dasarnya merupakan gerakan umum ke arah sekulerisme, sebuah perhatian baru dengan reformasi sosial dan modernitas, dan kebangkitan kelas menengah lokal terpelajar. Perhatian utama mereka pada hak-hak kaum wanita meliputi isu-isu pendidikan, privasi, hijab, dan poligami, yang berkesesuaian dengna agenda yang lebih luas mengenai kemajuan dan harmonisasi antara Islam dan modernitas. 19 Selanjutnya, dalam gerakan feminisme Muslim ada yang disebut dengan feminisme Reaksioner atau Defensif. 20 Bentuk feminsme ini merupakan sebuah gerakan yang menekankan ide bahwa wanita Muslim telah memperoleh posisi yang setara dan terhormat berdasarkan tradisi Islam tanpa adanya kebutuhan bagi reformasi lebih lanjut. Dari perspketif mereka, Barat yang berorientasi pada wanita Muslim telah menggarisbawahi status wanita dalam masyarakat Muslim. Namun demikian, para Islamis, baik pria maupun wanita, juga telah ikut terlibat 19 Ali Hosein Hakeem,et.al, Membela Permpuan Menakar Feminisme dengan Nalar Agama ,h.34 20 Ali Hosein Hakeem,et.al, Membela Permpuan Menakar Feminisme dengan Nalar Agama ,h.34 33 dalam debat tersebut, seraya menekankan potensi pembebasan yang dimiliki Islam terhadap kaum wanita.

B. Kesetaraan Gender Dalam Islam