69 dibutuhkan dalam kepemimpinan itu. Dengan demikian, jika di satu keluarga itu
yang mempunyai kemampuan mencari nafkah adalah istri, maka istri boleh menjadi kepala keluarga menggantikan suami.
3
Dengan didasarkan demi terciptanya suasana yang kondusif dan harmonis salah satu dari pasangan suami istri harus ada yang menjadi pemimpin, wanita
bisa menjadi pemimpin apabila keadaan tersebut memaksakan wanita untuk memimpin keluarga demi menyelamatkan keluarga tersebut dari hal-hal yang
merugikan bagi anggota keluarga tersebut. Ini merupakan factor yang mengharuskan hal tersebut dilakukan atas dasar demi kebaikan bersama untuk
semua.
2. Posisi Wanita dalam Mencari Nafkah
Bekerja adalah menggunakan daya yang dimiliki, daya fisik, daya pikir, daya kalbu dan daya hidup. Namun tidak semua pekerjaan direstui oleh Islam.
Yang direstui, bahkan yang diperintahkan oleh Islam adalah amal saleh, yakni pekerjaan yang bermanfaat dunia akhirat atau pekerjaan yang memenuhi nilai-
nilai yang diamanatkan oleh Islam. Sudah dimaklumi bahwa kepemimpinan seorang laki-laki dan
wewenangnya dalam memberiakn izin kepada istri menyangkut kegiatan profesi sejalan dengan aturan agama dan tradisi. Namun demikian, dia tidak boleh
mempergunakan wewenang ini secara leluasa tanpa alasan yang dapat diterima syari’at dalam melarang wanita melakukan kegiatan yang bermanfaat baginya dan
3
Wawancara pribadi dengan Ibu Dra. Hj. Ermalena,MHS, Ketua Bidang Pemberdayaan Wanita, 25 Januari 2011 Jam 14.00-14.30, di Gedung Kementrian Agama R.I Jakarta
70 keluarganya. Sebaliknya, seorang laki-laki juga berhak memaksa istrinya
melakukan suatu profesi jika bukan karena terpaksa.
4
Dikatakan bahwa perempuan perlu bekerja mencari nafkah demi hidup keluarganya jika tidak ada yang menjamin kebutuhannya atau, kalaupun ada, itu
tidak mencukupi. Tidak ditemukan satu teks yang jelas dan pasti, baik dalam Al- Qur’an maupun Sunnah yang mengarah kepada larangan bagi perempuan untuk
bekerja walau diluar rumahnya. Pada zaman Nabi Saw pun perempuan- perempuan telah bekerja dengan aneka pekerjaan. Bahkan, pada masa Khalifah
Umar ra, seorang perempuan ia tugaskan untuk mengurus semacam administrasi pasar.
Pada prinsipnya, Islam tidak melarang perempuan bekerja di dalam atau di luar rumah secara mandiri atau bersama-sama, dengan swasta atau pemerintah,
selama pekerjaan itu dilakukan dalam suasana terhormat, serta selama mereka dapat memelihara tuntutan agama serta dapat menghindarkan dampak-dampak
negatif dari pekerjaan yang ia lakukan itu terhadap diri, keluarga, dan lingkungannya.
Dalam hal ini, politisi PPP bependapat, istri diperbolehkan mencari nafkah, dengan syarat sesuai dengan jalan dan cara-cara yang diridhoi oleh Allah
Swt. Hal ini dapat dilihat keteladanan Nabi Muhammad Saw yang dibuktikan dalam sejarah bahwa pada zaman Nabi Muhammad Saw yang menjadi pemimpin
4
Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita Jilid 2, Jakarta: Gema Insani, 1997 h.419
71 dalam mengatur ekonomi ialah istri beliau Siti Khadijah r.a. Nabi Muhammad
Saw pun tidak mempermasalahkan hal itu. Lalu apabila ternyata dalam suatu keluarga itu suami tidak mampu bekerja atau mencari nafkah, maka isteri
diperbolehkan bekerja atau mencari nafkah.
5
Dari pendapat tersebut sejalan dengan teori feminisme liberal, aliran yang dimotori oleh Margaret Fuller 1810-1850, Harriet Martineu 1802-1876,
Anglina Grimke 1792-1873,dan Susan Anthony 1820-1906 berpendapat bahwasannya, mereka menghendaki agar perempuan diintegrasikan di dalam
semua peran, termasuk bekerja di luar rumah. Kelompok ini beranggapan bahwa tidak mesti dilakukan perubahan structural secara menyeluruh, tetapi cukup
melibatkan perempuan di dalam berbagai peran, seperti dalam peran sosial, ekonomi, dan politik.
3. Posisi Wanita dalam Mengasuh Anak