Menurut Wahbah al-Zuhaili, Secara terminologis tabanni menurut Mahmud Syaltut, Ia mengemukakan setidaknya ada dua pengertian

20 kepadanya dan tidak menimbulkan akibat hukum diantara keduanya seperti hak pewarisan dan perwalian. Pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam itu sendiri yang bersumber pada Al- Qur’an dan Sunnah serta hasil Ijtihad yang berlaku di Indonesia yang diformulasikan dalam berbagai produk pemikiran hukum Islam, baik dalam bentuk fikih, fatwa, putusan pengadilan, maupun peraturan perundang- undangan, termasuk di dalamnya Kompilasi Hukum Islam tercantum dalam pasal 209 ayat 1 dan ayat 2 Kompilasi Hukum Islam. 13 . B.Sejarah Singkat Tradisi pengangkatan anak sebenarnya dipraktikan oleh masyarakat dan bangsa-bangsa lain sebelum kedatangan Islam, seperti yang dipraktikan bangsa Yunani, Romawi, India, dan beberapa bangsa pada zaman kuno. 14 Di kalangan bangsa Arab sebelum Islam masa jahiliyah istilah pengangkatan anak dikenal dengan at- tabanni, dan sudah ditradisikan secara turun temurun. 15 Nabi Muhammad SAW. pernah melakukan pengangkatan anak sebelum masa kenabiannya. Anak angkatnya bernama Zaid bin Harisah, tetapi kemudian tidak lagi dipanggil Zaid berdasar nama ayahnya Harisah melainkan diganti dengan panggilan Zaid bin Muhammad. Nabi Muhammad SAW. Mengumumkan di hadapan kaum Quraisy dan berkata: “Saksikanlah bahwa Zaid, aku jadikan anak angkatku, ia 13 Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji.Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: 2003, h.94. 14 Andi Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, h. 22. 15 Muderis Zaeni, Adopsi Suatu Tinjauan Dari tiga Sistem Hukum , h. 53. 21 mewarisiku, dan aku pun mewarisinya”. Sikap Nabi Muhammad SAW tersebut merupakan cerminan tradisi yang ada pada waktu itu. Oleh karena Nabi menganggap sebagai anaknya, maka para sahabat pun memanggilnya dengan Zaid bin Muhammad. 16 Setelah Nabi Muhammad SAW. menjadi Rasul, turun surat al-Ahzab ayat 4, ayat 5, dan ayat 40 yang pada intinya melarang pengangkatan anak dengan akibat hukum memanggilnya sebagai anak kandung dan saling mewarisi seperti yang telah dilakukan Nabi Muhammad SAW. Ulama sepakat bahwa ayat itu turun berkenaan dengan peristiwa Zaid bin Harisah. Melalui peristiwa asbab an-nuzul ayat al- Qur’an tersebut dapat dipahami bahwa pengangkatan anak itu boleh dilakukan, karena nabi Muhammad SAW.telah mempraktikannya, tetapi pengangkatan anak itu tidak mengubah status nasab seseorang, karena Allah SWT. Telah menyatakannya dalam Al- Qur’an bahwa status nasab Zaid tidak boleh dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW.dalam peristiwa selanjutnya, ternyata bahwa Nabi Muhammad SAW pernah melakukan pernikahan dengan bekas istri anak angkatnya menegaskan bahwa adanya hubungan pengangkatan anak tidak serta merta menciptakan hubungan nasab yang mengakibatkan statusnya sama dengan anak kandungnya, karena menikahi bekas istri anak angkat itu dibolehkan, sedangkan menikahi bekas istri anak kandung diharamkan untuk selama-lamanya. 17 16 Nasroen Haron, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, h. 29- 30. 17 M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah-masalah Kontemporer, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997, h. 108. 22 Adopsi yang telah dikenal jauh pada masa Nabi Seperti Nabi Ilyas as, Nabi Musa as. serta masa pra Islam. Pada masa Pra Islam Masyarakat jahiliyah sudah lebih dahulu mengenal adopsi daripada masyarakat Islam setelahnya. 18 Tradisi Arab jahiliyah juga memiliki kebiasaan, yaitu jika seorang ibu tidak mampu menyusui anaknya sendiri, maka dicarikan pengganti inang penyusu, Nabi Muhammad saw pun diserahkan kepada seorang inang penyusu, yaitu sayyidah Halimah setalah ibunya aminah tidak mampu menyusui anaknya. Hal itu dalam masyarakat arab sering disebut dengan pengangkatan anak. 19

C. Dasar Hukum Pengangkatan Anak

1. Peraturan Perundang-undangan

a. Pasal 2 Ayat 3 dan 4. 20 Pasal 12 Ayat 1 dan 3 Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak. 21 b. Pasal 55 dan 57 Undang–Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. c. Pasal 2, 9, dan 49 Undang–Undang RI Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. 18 Munawar Ahmad Annes, Islam dan Masa Depan Biologis Umat Manusia, Bandung: Mizan, 1991, cet. Ke-1, h. 132. 19 Munawar Ahmad Annes, Islam dan Masa Depan Biologis Umat Manusia, h. 54. 20 Republik Indonesia, Undang-Undang Kesejahteraan Anak Nomor 4 Tahun 1999 tentang Kesejahteraan Anak, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, cet-IV, h. 98. 21 Republik Indonesia, Undang-Undang Kesejahteraan Anak Nomor 4 Tahun 1999 tentang Kesejahteraan Anak, h. 101.