22
Adopsi yang telah dikenal jauh pada masa Nabi Seperti Nabi Ilyas as, Nabi Musa as. serta masa pra Islam. Pada masa Pra Islam Masyarakat jahiliyah sudah lebih
dahulu mengenal adopsi daripada masyarakat Islam setelahnya.
18
Tradisi Arab jahiliyah juga memiliki kebiasaan, yaitu jika seorang ibu tidak mampu menyusui anaknya sendiri, maka dicarikan pengganti inang penyusu, Nabi
Muhammad saw pun diserahkan kepada seorang inang penyusu, yaitu sayyidah Halimah setalah ibunya aminah tidak mampu menyusui anaknya. Hal itu dalam
masyarakat arab sering disebut dengan pengangkatan anak.
19
C. Dasar Hukum Pengangkatan Anak
1. Peraturan Perundang-undangan
a. Pasal 2 Ayat 3 dan 4.
20
Pasal 12 Ayat 1 dan 3 Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.
21
b. Pasal 55 dan 57 Undang–Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia.
c. Pasal 2, 9, dan 49 Undang–Undang RI Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama.
18
Munawar Ahmad Annes, Islam dan Masa Depan Biologis Umat Manusia, Bandung: Mizan, 1991, cet. Ke-1, h. 132.
19
Munawar Ahmad Annes, Islam dan Masa Depan Biologis Umat Manusia, h. 54.
20
Republik Indonesia, Undang-Undang Kesejahteraan Anak Nomor 4 Tahun 1999 tentang Kesejahteraan Anak, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, cet-IV, h. 98.
21
Republik Indonesia, Undang-Undang Kesejahteraan Anak Nomor 4 Tahun 1999 tentang Kesejahteraan Anak, h. 101.
23
d. Pasal 5 Ayat 2 dan Pasal 21 ayat 2 Undang–Undang RI Nomor 12 Tahun 2006
Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
22
e. Pasal 1 angka 9, 6, dan Pasal 39 ayat 1,2,3,4,dan 5, Pasal 40,41, dan 42
Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
23
f. Pasal 47,48, dan 90 Undang–Undang RI Nomor 23 Tahun 2006 Tentang
Admnistrasi Kependudukan.
24
g. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia SEMA Nomor 3
Tahun 2005 Tentang Pengangkatan Anak, berlaku mulai 8 Februari 2005, setelah terjadinya bencana alam gempa bumi dan gelombang Tsunami Aceh
dan Nias.
25
h. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
1979 Tentang Pengangkatan Anak.
i. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
1983 Tentang Penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979.
26
22
Republik Indonesia, Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, cet-III, h. 4.
23
Kumpulan Perundangan Perlindungan Hak Asasi Anak, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2006, h. 113.
24
Republik Indonesia, Undang-Undang Administrasi Kependudukan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, h. 22.
25
Direktorat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Informasi Peraturan Perundang- undangan JDI-HUKUM, Edisi 2005 No 32, h.363.
26
Direktorat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Informasi Peraturan Perundang- undangan JDI-HUKUM, Edisi 2005 No 32, h.365.
24
j. Staatsblad 1917 Nomor 129, Pasal 5 sampai Pasal 15 mengatur masalah
adopsi yang merupakan kelengkapan dari KUHPerdataBW, dan khusus berlaku untuk golongan masyarakat keturunan Tionghoa.
27
2. Hukum Islam
Dalam Islam Istilah Tabbani memang sudah ada hal ini berdasarkan pada kejadian pada masa Nabi Muhammad SAW tanpa menasabkan kepada orang tua
angkatnya, akan tetapi implikasi terhadap peraturan perundangan yang ada di Indonesia atau hukum positif bahwa pengangkatan anak bertujuan untuk
perlindungan anak di mata hukum. a.
Al- Quran Adapun landasan hukum yang berasal dari al-Qur’an dan Sunnah adalah sebagai berikut:
Allah SWT telah mencantumkan dalam surat al-Ahzab ayat 4-5 :
Artinya : “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam
rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar
28
itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak
kandungmu sendiri.yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja.dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang
benar
27
Musthofa ,Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, h. 10.
28
Zhihar ialah Perkataan seorang suami kepada istrinya: punggungmu Haram bagiku seperti punggung ibuku atau Perkataan lain yang sama maksudnya. adalah menjadi adat kebiasaan bagi
orang Arab Jahiliyah bahwa bila Dia berkata demikian kepada Istrinya Maka Istrinya itu haramnya baginya untuk selama-lamanya. tetapi setelah Islam datang, Maka yang Haram untuk selama-lamanya
itu dihapuskan dan istri-istri itu kembali halal baginya dengan membayar kaffarat denda.
25
Artinya : “Panggilah mereka anak-anak angkat itu dengan memakai nama
bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka panggilah mereka sebagai saudara-
saudaramu seagama dan maula-maulamu.
29
Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi yang ada dosanya apa yang disengaja
oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ”.
b. Petunjuk Rasulullah SAW yaang tertuang dalam Al Sunnah adalah sebagai
berikut:
30
Hadis Muslim dan Bukhari
- Sesungguhnya Zaid bin Harisah adalah maula Rasullulah SAW.dan kami memanggilnya dengan Zaid bin Muhammad, sehingga turun ayat :
Panggillah mereka dengan nama ayah kandungnya , maka itulah yang lebih adil di sisi Allah, lalu Nabi bersabda ; “ engkau adalah Zaid bin Harisah”.
31
29
Maula-maula ialah seorang hamba sahaya yang sudah dimerdekakan atau seorang yang telah dijadikan anak angkat, seperti Salim anak angkat Huzaifah, dipanggil maula Huzaifah.
30
Hadits-hadits tersebut penulis kutip dari Buku Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia halaman 333.Oleh MUI Hadits tersebut dijadikan dasar hukum fatwanya mengenai Hukum
Pengangkatan Anak Menurut Islam.
31
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Sahih al Bukhari, Ttp : Dar Thauqatunnajah, 1422 H, Nomor. 5088, Juz.7, h.7.