Resistant Starch Tipe Iii Dan Tipe IV Pati Ganyong (Canna Edulis), Kentang (Solanum Tuberosum), Dan Kimpul (Xanthosoma Violaceum Schott) Sebagai Prebiotik

(1)

SKRIPSI

RESISTANT STARCH TIPE III DAN TIPE IV PATI GANYONG (Canna edulis), KENTANG (Solanum tuberosum), DAN KIMPUL (Xanthosoma

violaceum Schott) SEBAGAI PREBIOTIK

Oleh :

RATIH WORO ANGGRAINI F24102107


(2)

Ratih Woro Anggraini. F24102107. Resistant Starch Tipe III dan Tipe IV Pati Ganyong (Canna edulis), Kentang (Solanum tuberosum), dan Kimpul (Xanthosoma violaceum Schott) sebagai Prebiotik. Dibawah bimbingan: Betty Sri Laksmi Jenie dan Siti Nurjanah, 2007.

ABSTRAK

Prebiotik adalah makanan untuk bakteri menguntungkan yang hidup di usus besar manusia (probiotik). Untuk menjadi prebiotik, suatu makanan harus tidak dapat dihidrolisis atau diserap di bagian atas sistem gastrointestinal sehingga makanan tersebut dapat sampai ke usus besar untuk dikonsumsi oleh bakteri probiotik. Sampai saat ini, sumber prebiotik yang sudah diproduksi secara komersial adalah dari jenis oligosakarida seperti Fruktooligosakarida (FOS) dan Galaktooligosakarida (GOS).

Resistant starch (RS) adalah bagian dari pati yang tidak dapat dicerna oleh usus halus manusia yang sehat (pencernaan tidak terganggu). Dengan sifat ini, RS diharapkan dapat menjadi sumber prebiotik alternatif selain oligosakarida yang telah disebutkan di atas. RS terdiri dari empat jenis. RS tipe III adalah RS yang terbentuk akibat proses fisik seperti retrogradasi, sedangkan RS tipe IV adalah RS yang terbentuk akibat adanya perlakuan kimia. RS memiliki beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan FOS dan GOS, seperti tidak menyebabkan sembelit jika terlalu banyak dikonsumsi, dapat menurunkan indeks glisemik, dan dapat menurunkan kadar kolesterol darah. Bahan baku yang dipilih untuk penelitian ini adalah umbi lokal, yaitu ganyong (Canna edulis), kentang (Solanum tuberosum), dan kimpul (Xanthosoma violaceum Schott.).

Penelitian ini terdiri atas tiga tahap. Tahap pertama bertujuan untuk mendapatkan satu jenis umbi terpilih. Tahap ini meliputi ekstraksi pati, pembuatan RS tipe III dan RS tipe IV. Pemilihan pada tahap ini didasarkan pada rendemen pati dan daya cerna pati. Tahap kedua bertujuan untuk mendapatkan satu jenis RS yang memiliki potensi prebiotik tertinggi yang diujicobakan pada 3 jenis BAL. BAL yang digunakan adalah Lactobacillus casei subspesies rhamnosus, Lactobacillus plantarum, dan Bifidobacterium bifidum. Pemilihan ini didasarkan pada viabilitas BAL yang ditumbuhkan pada dua jenis media MRSB tanpa dekstrosa+RS (mMRSB+RS) dan suspensi RS dalam air (s-RS). Konsentrasi BAL dan RS yang digunakan masing-masing adalah 5% dan 2.5%. Selain uji viabilitas juga dilakukan uji fisiko kimia, meliputidensitas kamba,densitas padat, kelarutan dalam air, derajat putih, aw, uji amilograf, kadar amilosa, dan kadar RS. Tahap ketiga adalah analisis

dietary fiber dan SCFA pada RS terpilih.

Dari uji tahap pertama diperoleh data rendemen pati ganyong, kentang, dan kimpul berturut-turut sebesar 9.28%, 7.31%, dan 12.33%, sedangkan daya cerna pati RS tipe IV-nya adalah sebesar 61.93%, 52.24%, dan 29.31%. Untuk tahap penelitian selanjutnya dipilih umbi kimpul yang memiliki rendemen pati yang tinggi dan daya cerna pati yang rendah.

Pati, RS tipe III, dan RS tipe IV kimpul yang dihasilkan dari tahap pertama dianalisis sifat fisiknya. Densitas kamba pati, RS tipe III, dan RS tipe IV kimpul


(3)

padatnya berturut-turut adalah 0.87 g/ml, 0.79 g/ml, 0.84 g/ml. RS tipe III memiliki kelarutan dalam air tertinggi yaitu 15.25% disusul oleh RS tipe IV (6.94%) dan pati (4.79%). Derajat putih tertinggi terdapat pada RS tipe IV (100.85) dan disusul oleh pati (99.35), sedangkan RS tipe III memiliki derajat putih yang jauh lebih rendah yaitu sebesar 81.55. Nilai aw antar sampel tidak berbeda jauh yaitu 0.384 untuk pati,

0.367 untuk RS tipe III, dan 0.358 untuk RS tipe IV. Kadar amilosa antar sampel tidak berbeda jauh yaitu 30.86% untuk pati, 31.76% untuk RS tipe III, dan 31.44% untuk RS tipe IV. RS tipe III memiliki suhu awal gelatinisasi terendah yaitu 540C dimana suhu gelatinisasi pati adalah 780.

Berdasarkan analisis statistik rancangan acak lengkap pada taraf nyata α = 0.05, terdapat perbedaan nyata (p=0.003) antara media s-RS dan m-MRSB terhadap viabilitas BAL. Uji lanjut Duncan menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata antara jenis RS yang digunakan terhadap viabilitas BAL. Untuk BAL, tidak terdapat perbedaan nyata viabilitas diantara ketiga jenis bakteri yang digunakan. Oleh karena itu, untuk analisis dietary fiber digunakan RS tipe IV dan untuk analisis SCFA digunakan hasil degradasi bakteri Lactobacilus plantarum pada media s-RS4 kimpul.

Uji tahap ketiga meliputi analisis dietary fiber dan analisis SCFA. RS tipe IV kimpul mengandung 7.53g dietary fiber per 100g. Hasil degradasi RS tipe IV oleh

Lactobacillus plantarum pada media m-MRSB menghasilkan 0.04% (w/v) asam asetat.


(4)

SKRIPSI

RESISTANT STARCH TIPE III DAN TIPE IV PATI GANYONG (Canna edulis), KENTANG (Solanum tuberosum), DAN KIMPUL (Xanthosoma

violaceum Schott) SEBAGAI PREBIOTIK

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh:

RATIH WORO ANGGRAINI F24102107

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(5)

Ratih Woro Anggraini. F24102107. Resistant Starch Tipe III dan Tipe IV Pati Ganyong (Canna edulis), Kentang (Solanum tuberosum), dan Kimpul (Xanthosoma violaceum Schott) sebagai Prebiotik. Dibawah bimbingan: Betty Sri Laksmi Jenie dan Siti Nurjanah, 2007.

RINGKASAN

Prebiotik adalah makanan untuk bakteri menguntungkan yang hidup di usus besar manusia (probiotik). Untuk menjadi prebiotik, suatu makanan harus tidak dapat dihidrolisis atau diserap di bagian atas sistem gastrointestinal sehingga makanan tersebut dapat sampai ke usus besar untuk dikonsumsi oleh bakteri probiotik. Sampai saat ini, sumber prebiotik yang sudah diproduksi secara komersial adalah dari jenis oligosakarida seperti Fruktooligosakarida (FOS) dan Galaktooligosakarida (GOS).

Resistant starch (RS) adalah bagian dari pati yang tidak dapat dicerna oleh usus halus manusia yang sehat (pencernaan tidak terganggu). Dengan sifat ini, RS diharapkan dapat menjadi sumber prebiotik alternatif selain oligosakarida yang telah disebutkan di atas. RS terdiri dari empat jenis. RS tipe III adalah RS yang terbentuk akibat proses fisik seperti retrogradasi, sedangkan RS tipe IV adalah RS yang terbentuk akibat adanya perlakuan kimia. RS memiliki beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan FOS dan GOS, seperti tidak menyebabkan sembelit jika terlalu banyak dikonsumsi, dapat menurunkan indeks glisemik, dan dapat menurunkan kadar kolesterol darah. Bahan baku yang dipilih untuk penelitian ini adalah umbi lokal, yaitu ganyong (Canna edulis), kentang (Solanum tuberosum), dan kimpul (Xanthosoma violaceum Schott.).

Penelitian ini terdiri atas tiga tahap. Tahap pertama bertujuan untuk mendapatkan satu jenis umbi terpilih. Tahap ini meliputi ekstraksi pati, pembuatan RS tipe III dan RS tipe IV. Pemilihan pada tahap ini didasarkan pada rendemen pati dan daya cerna pati. Tahap kedua bertujuan untuk mendapatkan satu jenis RS yang memiliki potensi prebiotik tertinggi yang diujicobakan pada 3 jenis BAL. BAL yang digunakan adalah Lactobacillus casei subspesies rhamnosus, Lactobacillus plantarum, dan Bifidobacterium bifidum. Pemilihan ini didasarkan pada viabilitas BAL yang ditumbuhkan pada dua jenis media MRSB tanpa dekstrosa+RS (mMRSB+RS) dan suspensi RS dalam air (s-RS). Konsentrasi BAL dan RS yang digunakan masing-masing adalah 5% dan 2.5%. Selain uji viabilitas juga dilakukan uji fisiko kimia, meliputidensitas kamba,densitas padat, kelarutan dalam air, derajat putih, aw, uji amilograf, kadar amilosa, dan kadar RS. Tahap ketiga adalah analisis

dietary fiber dan SCFA pada RS terpilih.

Dari uji tahap pertama diperoleh data rendemen pati ganyong, kentang, dan kimpul berturut-turut sebesar 9.28%, 7.31%, dan 12.33%, sedangkan daya cerna pati RS tipe IV-nya adalah sebesar 61.93%, 52.24%, dan 29.31%. Untuk tahap penelitian


(6)

padatnya berturut-turut adalah 0.87 g/ml, 0.79 g/ml, 0.84 g/ml. RS tipe III memiliki kelarutan dalam air tertinggi yaitu 15.25% disusul oleh RS tipe IV (6.94%) dan pati (4.79%). Derajat putih tertinggi terdapat pada RS tipe IV (100.85) dan disusul oleh pati (99.35), sedangkan RS tipe III memiliki derajat putih yang jauh lebih rendah yaitu sebesar 81.55. Nilai aw antar sampel tidak berbeda jauh yaitu 0.384 untuk pati,

0.367 untuk RS tipe III, dan 0.358 untuk RS tipe IV. Kadar amilosa antar sampel tidak berbeda jauh yaitu 30.86% untuk pati, 31.76% untuk RS tipe III, dan 31.44% untuk RS tipe IV. RS tipe III memiliki suhu awal gelatinisasi terendah yaitu 540C dimana suhu gelatinisasi pati adalah 780.

Berdasarkan analisis statistik rancangan acak lengkap pada taraf nyata α = 0.05, terdapat perbedaan nyata (p=0.003) antara media s-RS dan m-MRSB terhadap viabilitas BAL. Uji lanjut Duncan menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata antara jenis RS yang digunakan terhadap viabilitas BAL. Untuk BAL, tidak terdapat perbedaan nyata viabilitas diantara ketiga jenis bakteri yang digunakan. Oleh karena itu, untuk analisis dietary fiber digunakan RS tipe IV dan untuk analisis SCFA digunakan hasil degradasi bakteri Lactobacilus plantarum pada media s-RS4 kimpul.

Uji tahap ketiga meliputi analisis dietary fiber dan analisis SCFA. RS tipe IV kimpul mengandung 7.53g dietary fiber per 100g. Hasil degradasi RS tipe IV oleh

Lactobacillus plantarum pada media m-MRSB menghasilkan 0.04% (w/v) asam asetat.


(7)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

RESISTANT STARCH TIPE III DAN TIPE IV PATI GANYONG (Canna edulis), KENTANG (Solanum tuberosum), DAN KIMPUL (Xanthosoma

violaceum Schott) SEBAGAI PREBIOTIK SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada jurusan Teknologi Pangan dan Gizi

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh:

Ratih Woro Anggraini F24102107

Dilahirkan pada tanggal 23 Oktober 1984 Di Jakarta Selatan, DKI Jakarta

Tanggal Lulus: Januari 2007

Menyetujui, Bogor, Januari 2007

Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS Siti Nurjanah, STP, MSi Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Ratih Woro Anggraini. Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 23 Oktober 1984. Penulis adalah anak pertama dari Bapak Surono dan Ibu Wiwiet An Pralampita. Penulis menempuh pendidikan di TK Mini Pak Kasur (1988-1989), TK Pluit Raya (1989-1990), SD Pluit Raya (1990-1992), SD Islam Yakmi (1992-1996), SLTP YADIKA 3 Ciledug (1996-1999), dan SMUN 70 Jakarta (1999-2002). Pada tahun 2002, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis diterima pada Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Selama kuliah, penulis cukup aktif menjadi panitia dalam berbagai kegiatan seperti Lepas Landas Sarjana FATETA, BAUR 2004, NSPC, dan LCTIP. Selain itu, penulis juga pernah mengikuti pelatihan auditor HACCP (2005), seminar National Students’ paper competition on food issue (2003) dan IDF International Conference of FGW Student Forum for Milk and Milk Product (2005).

Penulis melakukan kegiatan Praktek Lapang di PT. Makro Indonesia-Jakarta dengan topik ”Penanganan Bahan Pangan Segar dan Aplikasi Sanitasi di PT Makro Indonesia, Jakarta”. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis menyusun skripsi dengan judul “Prebiotik dari Resistant Starch (RS) Pati Ganyong (Canna Edulis), Kentang (Solanum Tuberosum), dan Kimpul (Xanthosoma Violaceum Schott.) Tipe III dan Tipe IV” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS dan Siti Nurjanah, STP, MSi.


(9)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan rasa syukur, penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsinya.

Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana Teknologi Pertanian di Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini dibuat berdasarkan hasil penelitian di laboratotium departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Juni 2006- Desember 2006.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan motivasi, arahan, dukungan, dan bimbingan.

2. Siti Nurjanah, STP., Msi selaku dosen pembimbing II atas bimbingannya selama penulis mengerjakan penelitian dan skripsi.

3. Ir. C.C. Nurwitri, DAA atas bimbingan dan kesediaanya menjadi dosen penguji skripsi penuls.

4. Antung Sima, STP atas dukungan dan bimbingan selama penulis melakukan penelitian.

5. Research Grant Program B yang telah mendanai penelitian ini.

6. Kedua orangtua penulis untuk segala dukungannya terhadap apapun yang penulis lakukan.

7. Ariadin untuk semangat, dukungan, perhatian, kesabaran, dan pengertian yang tidak pernah berakhir.

8. Ribka, Inar dan Nanda. Terimakasih untuk segalanya. Penelitian ini tidak akan selesai tanpa kalian.

9. Sahabat terbaikku Dora, Aponk, Nyak, dan Inal. Terimakasih untuk kesediaannya untuk mendengarkan keluh kesah dan selalu ada di samping


(10)

10.Semua laboran yang berada pada lingkungan laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan laboratorium SEAFAST terutama Mba Ari, Pak Wahid, Mba Yane, Mas Edi, dan Bi Sari.

11.Randy, Bobby, Deddy, Ulik, dan Ijal. Terimakasih atas kerelaannya membantu penulis dalam melakukan penelitian. Kalian semua membuat anggapan bahwa anak TPG individualis, salah besar.

12.Golongan D, terutama golongan D1 (Stut, Tante, Arvi, dan Inggrid) dan D2 Mikro (Dian K. S. dan Beta). Bertahun-tahun terjebak bersama kalian ternyata menyenangkan juga.

13.Semua anak TPG 39 khususnya Putra, Elvina, Nuy, Ina, Herold, Vivi, Kiki, Ajeng, Dadik, Didin, Shinta, Farah, Kiki, dan Pretty atas kecerian dan kebersamaannya.

14.Hardian, Riko Anggara, dan Puji Rianti. Terimakasih untuk kebersamaan yang selalu menyenangkan.

15.Kakak-kakakku Renny, Fidi, dan Ibnu yang walaupun jauh tetapi selalu percaya bahwa penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

16.Serta berbagai pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT membalas segala kebaikan-kebaikan yang telah diberikan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Januari 2007


(11)

SKRIPSI

RESISTANT STARCH TIPE III DAN TIPE IV PATI GANYONG (Canna edulis), KENTANG (Solanum tuberosum), DAN KIMPUL (Xanthosoma

violaceum Schott) SEBAGAI PREBIOTIK

Oleh :

RATIH WORO ANGGRAINI F24102107


(12)

Ratih Woro Anggraini. F24102107. Resistant Starch Tipe III dan Tipe IV Pati Ganyong (Canna edulis), Kentang (Solanum tuberosum), dan Kimpul (Xanthosoma violaceum Schott) sebagai Prebiotik. Dibawah bimbingan: Betty Sri Laksmi Jenie dan Siti Nurjanah, 2007.

ABSTRAK

Prebiotik adalah makanan untuk bakteri menguntungkan yang hidup di usus besar manusia (probiotik). Untuk menjadi prebiotik, suatu makanan harus tidak dapat dihidrolisis atau diserap di bagian atas sistem gastrointestinal sehingga makanan tersebut dapat sampai ke usus besar untuk dikonsumsi oleh bakteri probiotik. Sampai saat ini, sumber prebiotik yang sudah diproduksi secara komersial adalah dari jenis oligosakarida seperti Fruktooligosakarida (FOS) dan Galaktooligosakarida (GOS).

Resistant starch (RS) adalah bagian dari pati yang tidak dapat dicerna oleh usus halus manusia yang sehat (pencernaan tidak terganggu). Dengan sifat ini, RS diharapkan dapat menjadi sumber prebiotik alternatif selain oligosakarida yang telah disebutkan di atas. RS terdiri dari empat jenis. RS tipe III adalah RS yang terbentuk akibat proses fisik seperti retrogradasi, sedangkan RS tipe IV adalah RS yang terbentuk akibat adanya perlakuan kimia. RS memiliki beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan FOS dan GOS, seperti tidak menyebabkan sembelit jika terlalu banyak dikonsumsi, dapat menurunkan indeks glisemik, dan dapat menurunkan kadar kolesterol darah. Bahan baku yang dipilih untuk penelitian ini adalah umbi lokal, yaitu ganyong (Canna edulis), kentang (Solanum tuberosum), dan kimpul (Xanthosoma violaceum Schott.).

Penelitian ini terdiri atas tiga tahap. Tahap pertama bertujuan untuk mendapatkan satu jenis umbi terpilih. Tahap ini meliputi ekstraksi pati, pembuatan RS tipe III dan RS tipe IV. Pemilihan pada tahap ini didasarkan pada rendemen pati dan daya cerna pati. Tahap kedua bertujuan untuk mendapatkan satu jenis RS yang memiliki potensi prebiotik tertinggi yang diujicobakan pada 3 jenis BAL. BAL yang digunakan adalah Lactobacillus casei subspesies rhamnosus, Lactobacillus plantarum, dan Bifidobacterium bifidum. Pemilihan ini didasarkan pada viabilitas BAL yang ditumbuhkan pada dua jenis media MRSB tanpa dekstrosa+RS (mMRSB+RS) dan suspensi RS dalam air (s-RS). Konsentrasi BAL dan RS yang digunakan masing-masing adalah 5% dan 2.5%. Selain uji viabilitas juga dilakukan uji fisiko kimia, meliputidensitas kamba,densitas padat, kelarutan dalam air, derajat putih, aw, uji amilograf, kadar amilosa, dan kadar RS. Tahap ketiga adalah analisis

dietary fiber dan SCFA pada RS terpilih.

Dari uji tahap pertama diperoleh data rendemen pati ganyong, kentang, dan kimpul berturut-turut sebesar 9.28%, 7.31%, dan 12.33%, sedangkan daya cerna pati RS tipe IV-nya adalah sebesar 61.93%, 52.24%, dan 29.31%. Untuk tahap penelitian selanjutnya dipilih umbi kimpul yang memiliki rendemen pati yang tinggi dan daya cerna pati yang rendah.

Pati, RS tipe III, dan RS tipe IV kimpul yang dihasilkan dari tahap pertama dianalisis sifat fisiknya. Densitas kamba pati, RS tipe III, dan RS tipe IV kimpul


(13)

padatnya berturut-turut adalah 0.87 g/ml, 0.79 g/ml, 0.84 g/ml. RS tipe III memiliki kelarutan dalam air tertinggi yaitu 15.25% disusul oleh RS tipe IV (6.94%) dan pati (4.79%). Derajat putih tertinggi terdapat pada RS tipe IV (100.85) dan disusul oleh pati (99.35), sedangkan RS tipe III memiliki derajat putih yang jauh lebih rendah yaitu sebesar 81.55. Nilai aw antar sampel tidak berbeda jauh yaitu 0.384 untuk pati,

0.367 untuk RS tipe III, dan 0.358 untuk RS tipe IV. Kadar amilosa antar sampel tidak berbeda jauh yaitu 30.86% untuk pati, 31.76% untuk RS tipe III, dan 31.44% untuk RS tipe IV. RS tipe III memiliki suhu awal gelatinisasi terendah yaitu 540C dimana suhu gelatinisasi pati adalah 780.

Berdasarkan analisis statistik rancangan acak lengkap pada taraf nyata α = 0.05, terdapat perbedaan nyata (p=0.003) antara media s-RS dan m-MRSB terhadap viabilitas BAL. Uji lanjut Duncan menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata antara jenis RS yang digunakan terhadap viabilitas BAL. Untuk BAL, tidak terdapat perbedaan nyata viabilitas diantara ketiga jenis bakteri yang digunakan. Oleh karena itu, untuk analisis dietary fiber digunakan RS tipe IV dan untuk analisis SCFA digunakan hasil degradasi bakteri Lactobacilus plantarum pada media s-RS4 kimpul.

Uji tahap ketiga meliputi analisis dietary fiber dan analisis SCFA. RS tipe IV kimpul mengandung 7.53g dietary fiber per 100g. Hasil degradasi RS tipe IV oleh

Lactobacillus plantarum pada media m-MRSB menghasilkan 0.04% (w/v) asam asetat.


(14)

SKRIPSI

RESISTANT STARCH TIPE III DAN TIPE IV PATI GANYONG (Canna edulis), KENTANG (Solanum tuberosum), DAN KIMPUL (Xanthosoma

violaceum Schott) SEBAGAI PREBIOTIK

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh:

RATIH WORO ANGGRAINI F24102107

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(15)

Ratih Woro Anggraini. F24102107. Resistant Starch Tipe III dan Tipe IV Pati Ganyong (Canna edulis), Kentang (Solanum tuberosum), dan Kimpul (Xanthosoma violaceum Schott) sebagai Prebiotik. Dibawah bimbingan: Betty Sri Laksmi Jenie dan Siti Nurjanah, 2007.

RINGKASAN

Prebiotik adalah makanan untuk bakteri menguntungkan yang hidup di usus besar manusia (probiotik). Untuk menjadi prebiotik, suatu makanan harus tidak dapat dihidrolisis atau diserap di bagian atas sistem gastrointestinal sehingga makanan tersebut dapat sampai ke usus besar untuk dikonsumsi oleh bakteri probiotik. Sampai saat ini, sumber prebiotik yang sudah diproduksi secara komersial adalah dari jenis oligosakarida seperti Fruktooligosakarida (FOS) dan Galaktooligosakarida (GOS).

Resistant starch (RS) adalah bagian dari pati yang tidak dapat dicerna oleh usus halus manusia yang sehat (pencernaan tidak terganggu). Dengan sifat ini, RS diharapkan dapat menjadi sumber prebiotik alternatif selain oligosakarida yang telah disebutkan di atas. RS terdiri dari empat jenis. RS tipe III adalah RS yang terbentuk akibat proses fisik seperti retrogradasi, sedangkan RS tipe IV adalah RS yang terbentuk akibat adanya perlakuan kimia. RS memiliki beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan FOS dan GOS, seperti tidak menyebabkan sembelit jika terlalu banyak dikonsumsi, dapat menurunkan indeks glisemik, dan dapat menurunkan kadar kolesterol darah. Bahan baku yang dipilih untuk penelitian ini adalah umbi lokal, yaitu ganyong (Canna edulis), kentang (Solanum tuberosum), dan kimpul (Xanthosoma violaceum Schott.).

Penelitian ini terdiri atas tiga tahap. Tahap pertama bertujuan untuk mendapatkan satu jenis umbi terpilih. Tahap ini meliputi ekstraksi pati, pembuatan RS tipe III dan RS tipe IV. Pemilihan pada tahap ini didasarkan pada rendemen pati dan daya cerna pati. Tahap kedua bertujuan untuk mendapatkan satu jenis RS yang memiliki potensi prebiotik tertinggi yang diujicobakan pada 3 jenis BAL. BAL yang digunakan adalah Lactobacillus casei subspesies rhamnosus, Lactobacillus plantarum, dan Bifidobacterium bifidum. Pemilihan ini didasarkan pada viabilitas BAL yang ditumbuhkan pada dua jenis media MRSB tanpa dekstrosa+RS (mMRSB+RS) dan suspensi RS dalam air (s-RS). Konsentrasi BAL dan RS yang digunakan masing-masing adalah 5% dan 2.5%. Selain uji viabilitas juga dilakukan uji fisiko kimia, meliputidensitas kamba,densitas padat, kelarutan dalam air, derajat putih, aw, uji amilograf, kadar amilosa, dan kadar RS. Tahap ketiga adalah analisis

dietary fiber dan SCFA pada RS terpilih.

Dari uji tahap pertama diperoleh data rendemen pati ganyong, kentang, dan kimpul berturut-turut sebesar 9.28%, 7.31%, dan 12.33%, sedangkan daya cerna pati RS tipe IV-nya adalah sebesar 61.93%, 52.24%, dan 29.31%. Untuk tahap penelitian


(16)

padatnya berturut-turut adalah 0.87 g/ml, 0.79 g/ml, 0.84 g/ml. RS tipe III memiliki kelarutan dalam air tertinggi yaitu 15.25% disusul oleh RS tipe IV (6.94%) dan pati (4.79%). Derajat putih tertinggi terdapat pada RS tipe IV (100.85) dan disusul oleh pati (99.35), sedangkan RS tipe III memiliki derajat putih yang jauh lebih rendah yaitu sebesar 81.55. Nilai aw antar sampel tidak berbeda jauh yaitu 0.384 untuk pati,

0.367 untuk RS tipe III, dan 0.358 untuk RS tipe IV. Kadar amilosa antar sampel tidak berbeda jauh yaitu 30.86% untuk pati, 31.76% untuk RS tipe III, dan 31.44% untuk RS tipe IV. RS tipe III memiliki suhu awal gelatinisasi terendah yaitu 540C dimana suhu gelatinisasi pati adalah 780.

Berdasarkan analisis statistik rancangan acak lengkap pada taraf nyata α = 0.05, terdapat perbedaan nyata (p=0.003) antara media s-RS dan m-MRSB terhadap viabilitas BAL. Uji lanjut Duncan menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata antara jenis RS yang digunakan terhadap viabilitas BAL. Untuk BAL, tidak terdapat perbedaan nyata viabilitas diantara ketiga jenis bakteri yang digunakan. Oleh karena itu, untuk analisis dietary fiber digunakan RS tipe IV dan untuk analisis SCFA digunakan hasil degradasi bakteri Lactobacilus plantarum pada media s-RS4 kimpul.

Uji tahap ketiga meliputi analisis dietary fiber dan analisis SCFA. RS tipe IV kimpul mengandung 7.53g dietary fiber per 100g. Hasil degradasi RS tipe IV oleh

Lactobacillus plantarum pada media m-MRSB menghasilkan 0.04% (w/v) asam asetat.


(17)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

RESISTANT STARCH TIPE III DAN TIPE IV PATI GANYONG (Canna edulis), KENTANG (Solanum tuberosum), DAN KIMPUL (Xanthosoma

violaceum Schott) SEBAGAI PREBIOTIK SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada jurusan Teknologi Pangan dan Gizi

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh:

Ratih Woro Anggraini F24102107

Dilahirkan pada tanggal 23 Oktober 1984 Di Jakarta Selatan, DKI Jakarta

Tanggal Lulus: Januari 2007

Menyetujui, Bogor, Januari 2007

Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS Siti Nurjanah, STP, MSi Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II


(18)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Ratih Woro Anggraini. Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 23 Oktober 1984. Penulis adalah anak pertama dari Bapak Surono dan Ibu Wiwiet An Pralampita. Penulis menempuh pendidikan di TK Mini Pak Kasur (1988-1989), TK Pluit Raya (1989-1990), SD Pluit Raya (1990-1992), SD Islam Yakmi (1992-1996), SLTP YADIKA 3 Ciledug (1996-1999), dan SMUN 70 Jakarta (1999-2002). Pada tahun 2002, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis diterima pada Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Selama kuliah, penulis cukup aktif menjadi panitia dalam berbagai kegiatan seperti Lepas Landas Sarjana FATETA, BAUR 2004, NSPC, dan LCTIP. Selain itu, penulis juga pernah mengikuti pelatihan auditor HACCP (2005), seminar National Students’ paper competition on food issue (2003) dan IDF International Conference of FGW Student Forum for Milk and Milk Product (2005).

Penulis melakukan kegiatan Praktek Lapang di PT. Makro Indonesia-Jakarta dengan topik ”Penanganan Bahan Pangan Segar dan Aplikasi Sanitasi di PT Makro Indonesia, Jakarta”. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis menyusun skripsi dengan judul “Prebiotik dari Resistant Starch (RS) Pati Ganyong (Canna Edulis), Kentang (Solanum Tuberosum), dan Kimpul (Xanthosoma Violaceum Schott.) Tipe III dan Tipe IV” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS dan Siti Nurjanah, STP, MSi.


(19)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan rasa syukur, penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsinya.

Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana Teknologi Pertanian di Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini dibuat berdasarkan hasil penelitian di laboratotium departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Juni 2006- Desember 2006.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan motivasi, arahan, dukungan, dan bimbingan.

2. Siti Nurjanah, STP., Msi selaku dosen pembimbing II atas bimbingannya selama penulis mengerjakan penelitian dan skripsi.

3. Ir. C.C. Nurwitri, DAA atas bimbingan dan kesediaanya menjadi dosen penguji skripsi penuls.

4. Antung Sima, STP atas dukungan dan bimbingan selama penulis melakukan penelitian.

5. Research Grant Program B yang telah mendanai penelitian ini.

6. Kedua orangtua penulis untuk segala dukungannya terhadap apapun yang penulis lakukan.

7. Ariadin untuk semangat, dukungan, perhatian, kesabaran, dan pengertian yang tidak pernah berakhir.

8. Ribka, Inar dan Nanda. Terimakasih untuk segalanya. Penelitian ini tidak akan selesai tanpa kalian.

9. Sahabat terbaikku Dora, Aponk, Nyak, dan Inal. Terimakasih untuk kesediaannya untuk mendengarkan keluh kesah dan selalu ada di samping


(20)

10.Semua laboran yang berada pada lingkungan laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan laboratorium SEAFAST terutama Mba Ari, Pak Wahid, Mba Yane, Mas Edi, dan Bi Sari.

11.Randy, Bobby, Deddy, Ulik, dan Ijal. Terimakasih atas kerelaannya membantu penulis dalam melakukan penelitian. Kalian semua membuat anggapan bahwa anak TPG individualis, salah besar.

12.Golongan D, terutama golongan D1 (Stut, Tante, Arvi, dan Inggrid) dan D2 Mikro (Dian K. S. dan Beta). Bertahun-tahun terjebak bersama kalian ternyata menyenangkan juga.

13.Semua anak TPG 39 khususnya Putra, Elvina, Nuy, Ina, Herold, Vivi, Kiki, Ajeng, Dadik, Didin, Shinta, Farah, Kiki, dan Pretty atas kecerian dan kebersamaannya.

14.Hardian, Riko Anggara, dan Puji Rianti. Terimakasih untuk kebersamaan yang selalu menyenangkan.

15.Kakak-kakakku Renny, Fidi, dan Ibnu yang walaupun jauh tetapi selalu percaya bahwa penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

16.Serta berbagai pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT membalas segala kebaikan-kebaikan yang telah diberikan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Januari 2007


(21)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN... 1

A. LATAR BELAKANG... 1

B. TUJUAN... 2

C. MANFAAT PENELITIAN... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA... 4

A. BAHAN BAKU... 4

1.Ganyong (Canna edulis)... 4

2. Kentang (Solanum tuberosum)... 5

3. Kimpul (Xanthosoma violaceum Schott)... 8

B. PATI... 9

C. RESISTANT STARCH (RS)... 11

1.RS tipe III... 13

2.RS tipe IV... 14

D. PREBIOTIK... 14

E. PROBIOTIK... 15

1. Lactobacillus casei subsp. rhamnosus... 16

2. Lactobacillus plantarum... 16

3. Bifidobacterium bifidum... 17

III. BAHAN DAN METODE...….. 19

A. BAHAN DAN ALAT... 19

B. METODOLOGI PENELITIAN... 19

C. METODE ANALISIS... 24

D. PENGOLAHAN DATA... 31

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN...…. 32

A. SELEKSI UMBI... 32

1. Rendemen dan kadar air pati... 33


(22)

1. Analisis Fisik Umbi Terpilih (kimpul)... 37 2. Uji Prebiotik secara In Vitro... 47 C. ANALISIS SERAT PANGAN DAN ASAM LEMAK RANTAI

PENDEK UNTUK RS DAN BAL TERPILIH... 52 1. Analisis Serat Pangan (Dietary Fiber)... 52 2. Asam Lemak Rantai Pendek (Short Chain Fatty Acid/SCFA)... 53 V. KESIMPULAN DAN SARAN... 55 A. KESIMPULAN... 55 B. SARAN... 56 DAFTAR PUSTAKA... 57 LAMPIRAN...….. 63


(23)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Umbi ganyong (Canna edulis)... 4 Gambar 2. (a) Kentang (Solanum tuberosum), (b) Irisan membujur kentang…. 6 Gambar 3. (a) umbi kimpul; (b)tanaman kimpul... 8 Gambar 4. Reaksi pembentukan ikatan silang antara pati dan trimeta-fosfoklorida ……….………...……… 14 Gambar 5. Lactobacillus plantarum... 17 Gambar 6. Bifidobacterium bifidum... 18 Gambar 7. Diagram alir penelitian... 21 Gambar 8. (a) ganyong; (b) kentang yang digunakan dalam penelitian;

(c)kimpul... 32 Gambar 9. Daya cerna pati dari RS tipe IV ganyong, kentang, dan kimpul... 36 Gambar 10. Densitas kamba dan densitas padat pati dan RS Kimpul tipe III dan

tipe IV…………... 38 Gambar 11. Kelarutan pati, RS tipe III, dan RS tipe IV kimpul dalam air... 39 Gambar 12. Derajat putih padat pati dan RS Kimpul tipe III dan tipe IV... 40 Gambar 13. Aktivitas air pati dan RS kimpul tipe III dan tipe V……... 41 Gambar 14. Kadar amilosa pati dan RS kimpul tipe III dan tipe IV ………….. 43 Gambar 15. Kadar RS pati dan RS kimpul tipe III dan tipe IV ………... 43 Gambar 16. (a) Granula pati kimpul; (b) Granula pati RS tipe III kimpul; dan (c)

granula pati RS tipe IV kimpul... 45 Gambar 17. Pengaruh RS kimpul tipe III dan tipe IV terhadap viabilitas BAL pada

konsentrasi kultur 5%... 47 Gambar 18. Pengaruh RS kimpul tipe III dan tipe IV terhadap viabilitas BAL pada

media s-RS... 49 Gambar 19. Pengaruh RS kimpul tipe III dan tipe IV terhadap viabilitas BAL pada

media m-MRSB+RS4... 49 Gambar 20. Pengaruh RS kimpul tipe III dan tipe IV terhadap viabilitas BAL pada


(24)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Komposisi Kimia Umbi Ganyong ………... 5 Tabel 2. Komposisi umbi kentang per 100 g bagian yang dapat dimakan... 7 Tabel 3. Kandungan gizi umbi kimpul mentah... 9 Tabel 4. Daya cerna pati secara in vitro pada berbagai jenis makanan... 12 Tabel 5. Rendemen pati berbagai jenis umbi-umbian... 33 Tabel 6.. Hasil pengukuran kadar air pati... 34 Tabel 7. Daya cerna RS tipe III berbagai jenis umbi... 36 Tabel 8. Hasil analisis fisik umbi kimpul... 37 Tabel 9. Hasil Analisis SCFA Dari Hasil Degradasi Bakteri Lactobacillus


(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Rendemen RS tipe III, dan RS tipe IV kimpul... 63 Lampiran 2. Kadar air RS kimpul... 63 Lampiran 3 . Daya cerna RS tipe IV berbagai jenis umbi... 63 Lampiran 4. Densitas kamba dan densitas padat RS dan pati dari kimpul... 63 Lampiran 5. Kelarutan Pati dan RS kimpul dalam air... 64 Lampiran 6. Derajat putih pati kimpuldan RS dari kimpul... 64 Lampiran 7. Aktivitas air Kimpul... 64 Lampiran 8. Kadar RS pati kimpul dan RS dari kimpul... 64 Lampiran 9. Kadar amilosa pati kimpul dan RS dari kimpul... 65 Lampiran 10. Uji viabilitas pada media air... 65 Lampiran 11. Data uji viabilitas pada media MRSB–dekstrosa+RS ... 66 Lampiran 12. Hasil uji amilograf………. 67 Lampiran 13. Uji Statistik viabilitas BAL……… 68 Lampiran 14. Hasil Analisis Dietary Fiber RS4 Kimpul………. 70 Lampiran 15. Hasil uji SCFA hasil degradasi Lactobacillus plantarum pada

m-MRSB + RS4 ulangan 1………... 71 Lampiran 16. Hasil uji SCFA hasil degradasi Lactobacillus plantarum pada


(26)

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Pangan tidak saja berfungsi sebagai sumber nutrisi bagi tubuh dan sebagai pembawa cita rasa, melainkan juga mempunyai fungsi fisiologis aktif bagi tubuh. Saat ini telah banyak diketahui bahwa dalam bahan pangan terdapat senyawa yang mempunyai peranan penting bagi kesehatan. Senyawa tersebut mengandung komponen aktif yang mempunyai aktivitas fisiologis yang memberikan efek positif bagi kesehatan tubuh orang yang mengkonsumsinya. Bahan pangan yang mempunyai sifat seperti ini disebut pangan fungsional (Silalahi dan Hutagalung, 2002). Kelompok pangan fungsional yang berkembang pesat saat ini adalah probiotik dan prebiotik yang bermanfaat dalam membantu meningkatkan kesehatan pencernaan.

Bakteri pada usus dibagi ada yang bersifat menguntungkan dikenal dengan probiotik dan ada yang bersifat merugikan. Contoh bakteri probiotik adalah genus

Lactobacillus dan Bifidobacteria. Jumlah bakteri probiotik harus lebih banyak daripada jumlah bakteri merugikan agar kesehatan usus manusia tetap terjaga. Salah satu cara untuk membantu perkembangbiakan bakteri probiotik adalah dengan memberikan makanan bagi bakteri probiotik tersebut. Bahan-bahan makanan bagi bakteri probiotik disebut prebiotik.

Untuk menjadi sumber prebiotik, bahan makanan tersebut haruslah tidak dapat dicerna manusia, sehingga dapat mencapai usus besar dan mendukung pertumbuhan bakteri baik dalam usus. FOS (Fruktooligosakarida) adalah sumber prebiotik yang paling banyak digunakan. Namun demikian konsumsi FOS yang terlalu besar akan menyebabkan konstipasi. Oleh karena itu, perlu dicari sumber prebiotik baru selain FOS. Resistant starch (RS) didefinisikan sebagai jumlah pati dan produk degradasi pati yang tidak dapat diabsorbsi oleh usus halus pada individu yang sehat. Menurut Lehmann (2002), dibandingkan dengan FOS, RS memiliki beberapa keuntungan diantaranya tidak menyebabkan konstipasi,


(27)

mampu menurunkan kolesterol, mampu menurunkan indeks glisemik, dan sumber yang lebih banyak (beragam). Karena sifatnya ini, RS diharapkan dapat menjadi sumber prebiotik yang baik.

Suatu makanan dapat dijadikan sebagai sumber RS jika makanan tersebut mempunyai kandungan pati terutama amilosa yang cukup tinggi. Beberapa umbi seperti ganyong, kentang, dan kimpul memenuhi kriteria ini. Ganyong mempunyai kadar pati 90% (Flach dan Rumawas, 1996) dan amilosa 31.3-38.9% (Zuraida et al, 2000). Kentang mempunyai kadar pati 65.80% (Corbishley dan Miller, 1984) dan kadar amilosa 25 % (Poulsen dan Kreiberg, 1993). Kimpul mempunyai kadar pati 85.68% dan kadar amilosa 21.21% (Ridal, 2003). Sebagai perbandingan, singkong memiliki kadar pati 86.21% dan kadar amilosa 24.5-31% (Gutierrez dan Schulz, 1992). Amilosa dengan jumlah tersebut diharapkan cukup untuk membuat ketiga jenis umbi di atas (ganyong, kentang, dan kimpul) menjadi RS tipe III dan tipe IV yaitu dengan memodifikasi pati dengan cara retrogradasi dan pembentukan ikatan silang. Setelah menjadi RS tipe III dan tipe IV, ketiga jenis umbi tersebut diharapkan mampu menjadi salah satu sumber prebiotik bagi tubuh manusia.

B. TUJUAN

Penelitian ini bertujuan menguji potensi resistant starch tipe III dan tipe IV dari umbi Ganyong (Canna edulis), Kentang (Solanum tuberosum), dan Kimpul (Xanthosoma violaceum Schott) untuk mendukung pertumbuhan beberapa bakteri asam laktat (Lactobacillus casei subsp. rhamnosus,

Lactobacillus plantarum, dan Bifidobacterium bifidum) yang dilakukan secara in vitro serta mempelajari karakteristik fisiko kimianya.


(28)

C. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat penelitian adalah meningkatkan nilai tambah umbi Ganyong (Canna edulis), Kentang (Solanum tuberosum), dan Kimpul (Xanthosoma violaceum Schott) dengan membuatnya menjadi Resistant Starch yang bersifat prebiotik.


(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA A. BAHAN BAKU

1. Ganyong (Canna edulis)

Ganyong (Canna edulis) termasuk ke dalam divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Zingiberaceae, famili Cannaceae dan sub famili

panicoideae (Ropiq, 1988). Saat ini, tanaman ganyong sudah menyebar di seluruh belahan bumi yaitu daerah yang memiliki iklim tropis yang hangat, seperti kawasan Asia Tenggara (Flach dan Rumawas, 1996).

Gambar 1. Umbi ganyong (Canna edulis) (Anonim a, 2006)

Umbi ganyong merupakan rhizoma yang sebenarnya merupakan batang yang tinggal dalam tanah. Umbi ganyong tumbuh dalam satu rumpun dan pada rhizomanya terdapat buku-buku yang jelas. Panjang rumpun umbi 10 sampai 15 cm dengan diameternya 5 sampai 8.75 cm. Bagian tengah umbi ini bisanya tebal dan dikelilingi berkas-berkas sisik dengan akar serabut tebal. Warna sisik umbi ada yang ungu dan ada yang cokelat (Kay, 1973 dan Lingga

et al., 1986)

Umbi ganyong tumbuh dalam satu rumpun, yang terdiri dari satu induk dan tiga sampai lima anak umbi. Ukuran umbi dalam satu rumpun tidak teratur. Induk umbi umumnya merupakan bagian umbi yang terbesar, namun


(30)

daging yang berserat (Ropiq, 1988). Komposisi kimia umbi ganyong akan berbeda tergantung pada varietas, umur, dan iklim tempat tumbuh umbi (Lingga et al., 1986).

Menurut Ropiq (1988), kandungan karbohidrat umbi ganyong cukup tinggi setara dengan umbi-umbi yang lain sehingga cocok dijadikan sebagai sumber energi. Umbi ganyong juga termasuk umbi yang mengandung kalsium, fosfor, dan besi walaupun dalam jumlah sedikit.

Tabel 1. Komposisi Kimia Umbi Ganyong

Komponen Jumlah (%)1) Jumlah (%) 2)

Air 75.0 72.6

Karbohidrat 22.6 24.6

Protein 1.0 1.0

Lemak 0.1 0.1

Abu - 1.4

Serat Kasar - 0.6

Sumber:1)Depkes RI , 1992; 2)Kay, 1973

2. Kentang (Solanum tuberosum)

Kentang (Solanum tuberosum) termasuk tanaman dari kelas

Dycotyledone (tanaman berbiji keping dua), ordo Tubiliflora, dan famili

Solanoceae (Sunarjono, 1975). Tanaman kentang memiliki umbi batang yang dapat dimakan dan disebut "kentang". Umbi kentang sekarang telah menjadi salah satu makanan pokok penting di Eropa walaupun pada awalnya didatangkan dari Amerika Selatan. Penjelajah Spanyol dan Portugis pertama kali membawa ke Eropa dan mengembangbiakkan tanaman ini pada abad XVI. Kemudian dengan cepat menu baru ini tersebar di seluruh bagian Eropa. Dalam sejarah migrasi orang Eropa ke Amerika, tanaman ini pernah menjadi pemicu utama migrasi bangsa Irlandia ke Amerika pada abad ke-19 dikala


(31)

terjadi wabah penyakit umbi di daratan Irlandia akibat jamur yang disebut ergot (Anonim b, 2006).

Kentang dapat tumbuh di daerah tropis dan cocok ditanam di dataran tinggi. Kentang membentuk tuber di bawah permukaan tanah dan menjadi sarana perbanyakan secara vegetatif. Dalam budidaya kentang, praktis perbanyakan dilakukan melalui metode ini, sehingga keragaman kentang di ladang sangatlah rendah dan membuatnya rentan terhadap gangguan dari hama atau penyakit. (Anonim b, 2006).

Gambar 2. (a) Kentang, (b) Irisan membujur kentang

Kentang merupakan tanaman dikotil yang bersifat semusim dan berbentuk semak/herba. Batangnya yang berada di atas permukaan tanah ada yang berwarna hijau, kemerah-merahan, atau ungu tua. Akan tetapi, warna batang ini juga dipengaruhi oleh umur tanaman dan keadaan lingkungan. Pada kesuburan tanah yang lebih baik atau lebih kering, biasanya warna batang tanaman yang lebih tua akan lebih menyolok. Bagian bawah batang berkayu, sedangkan batang tanaman muda tidak berkayu sehingga tidak terlalu kuat dan mudah roboh (Collins, 1993).

Kentang dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik bila ditanam pada kondisi lingkungan yang sesuai dengan persyaratan tumbuhnya. Keadaan


(32)

mm selama masa pertumbuhan kentang merupakan daerah yang baik untuk pertumbuhan kentang. Tanah yang baik untuk kentang adalah tanah yang subur, dalam, drainase baik, dan pH antara 5-6.5 Pada tanah yang pHnya rendah, akan dihasilkan kentang yang mutunya rendah (Collins, 1993).

Kentang dikembangbiakkan dengan umbi. Umbi yang baik untuk ditanam adalah umbi yang telah bertunas sehingga perlu diadakan pertunasan. Pertunasan berarti menumbuhkan sejumlah tunas yang sehat dari umbi bibit beberapa minggu sebelum ditanam sehingga diperoleh tanaman yang seragam. Penunasan dilakukan sekitar 2 bulan menjelang tanam pada rak-rak penumbuh. Banyaknya rak tergantung dari umbi yang akan ditunaskan. Rak itu diletakkan di tempat yang tidak langsung terkena sinar matahari. Apabila menggunakan sinar matahari langsung, suhu tidak boleh terlampau tinggi, dan setelah tunas-tunas kecil keluar, bibit harus dipindahkan ke tempat yang lebih dingin (6-12° C) (Collins, 1993).

Komposisi kimia umbi kentang sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya varietas, keadaan tanah yang ditanami, pupuk yang digunakan, umur umbi ketika dipanen serta waktu dan suhu penyimpanan (Siswoputranto, 1985). Proses pemanasan pada pembuatan RS menghasilkan kadar RS kentang sebesar 7%, sedangkan bila disertai pula dengan pendinginan akan meningkatkan kadar RS hingga 13% (Englyst, et al., 1992).

Tabel 2. Komposisi umbi kentang per 100 g bagian yang dapat dimakan

Komponen Jumlah Komponen Jumlah

Air (g) 77.8 Lemak (g) 0.1

Karbohidrat (g) 19.1 Kalsium (mg) 11

Protein (g) 2.0 Fosfor (mg) 56


(33)

3. Kimpul (Xanthosoma violaceum Schott)

Kimpul (Xanthosoma violaceum Schott) termasuk ke dalam divisi Spermatophyta, sub divisi Magnoliophyta, kelas Liliopsida, dan famili Araceae. (Onokpise, et al., 1999). Kimpul adalah tanaman tropis. Dalam proses penanamannya, kimpul sangat memerlukan sinar matahari. Tanaman kimpul membutuhkan tanah yang subur dan tidak tahan terlalu banyak air. Suhu optimum pertumbuhannya adalah 200C (Giacometti dan Leon, 1994).

Umbi kimpul berbentuk silinder sampai agak bulat dan terdapat ruas dengan beberapa bakal tunas. Kimpul menghasilkan umbi yang berjumlah banyak, berbeda dengan talas yang menghasilkan satu umbi per tanaman. Umbi kimpul agak berlendir setelah direbus dan rasanya tidak seenak umbi talas (Somantri, et al., 2002). Jumlah umbi anak dapat mencapai 10 buah atau lebih, dengan panjang sekitar 12-25 cm dan diameter 12-15 cm dan umbi yang dihasilkan biasanya berukuran 300-1000 g (Purseglove, 1972 dan Kay, 1973).

Gambar 3. (a) umbikimpul; (b)tanaman kimpul

Umbi kimpul biasanya matang setelah 9-12 bulan setelah ditanam. Namun kimpul sudah dapat dipanen sejak 6 bulan setelah waktu penanaman. Semakin lama waktu tanam, semakin besar rendemen pati yang terkandung di dalam umbi (Collins, 1993).


(34)

Kalsium oksalat dapat dikurangi dengan pencucian menggunakan air yang cukup banyak (Muchtadi dan Sugiyono, 1992).

Komposisi gizi dan kimia umbi kimpul tergantung dari varietas, iklim, kesuburan tanah dan umur panen. Komposisi umbi kimpul dapat dilihat pada Tabel 3. Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa komponen terbesar pada umbi kimpul adalah karbohidrat. Selain itu umbi kimpul mengandung protein, lemak, dan mineral. Setelah dimasak, kimpul lebih bergizi dibandingkan talas, tetapi ukuran patinya lebih besar (rata-rata diameter 17-20 mikron) sehingga tidak mudah untuk dicerna (Kay, 1973).

Tabel 3. Kandungan gizi umbi kimpul mentah

Komponen Jumlah 1) Jumlah 2)

Energi (kal) - 145.0

Air (%) 70.0-77.0 63.1

Karbohidrat (%) 17.0-26.0 34.2

Protein (%) 1.3-3.7 1.2

Lemak (%) 0.2-0.4 0.4

Abu (%) 0.6-1.3 1.0

Serat Kasar (%) 0.6-1.9 1.5

Kalsium (mg) 20.0 26.0

Fosfor (mg) - 54.0

Besi (mg) 1.0 1.4

Bagian yang dimakan (%) 77-86 85.0

Sumber: 1)Kay, 1973 dan 2) Slamet dan Tarwotjo, 1980

B. PATI

Pati merupakan salah satu bentuk utama dari karbohidrat dalam makanan. Pati adalah polisakarida yang dibentuk dari sejumlah molekul glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Oleh karena itu, pati dapat disebut sebagai karbohidrat kompleks (British Nutrition Foundation, 2005).


(35)

Pati juga merupakan salah satu jenis polisakarida terpenting dan tersebar lusa di alam. Pati disimpan sebagai cadangan makanan bagi tumbuh-tumbuhan antara lain di dalam biji buah (padi, jagung, gandum, jewawut, sorghum), di dalam umbi (ubi kayu, ubi jalar, talas, ganyong, kentang) dan pada batang (aren dan sagu). Bentuk pati digunakan untuk menyimpan glukosa dalam proses metabolisme. Berat molekul pati bervariasi tergantung pada kelarutan dan sumber patinya (Hart dan Schmetz, 1972).

Zat pati terdiri dari butiran-butiran kecil yang disebut granula. Granula pati bervariasi dalam bentuk dan ukuran.Ada yang berbentuk bulat, oval, atau bentuk tidak beraturan. Ukurannya juga berbeda mulai kurang dari 1μm-150 μm (tergantung sumber patinya). Bentuk granula pati secara fisik berupa semikristalin yang terdiri dari unti kristal dan unit amorf. (Hart dan Schmetz, 1972).

Unit kristal lebih tahan terhadap perlakuan asam kuat dan enzim, sedangkan unit amorf sifatnya labil terhadap asam kuat dan enzim. Bagian amorf dapat menyerap air dingin sampai 30% tanpa merusak struktur pati secara keseluruhan (Hodge dan Osman, 1976).

Pati banyak terdapat dalam jaringan tanaman sebagai granula. Granula ini pada umumnya mempunyai diameter yang berukuran antara 1-100µm, tergantung jenis tanamannya. Pati terdiri dari dua tipe: amilosa, poliglucan berantai lurus yang terdiri dari sekitar 1000 α-D (1 4) glukosa; dan amilopektin, glucan yang bercabang yang terdiri dari sekitar 4000 unit glukosa dengan banyak cabang dengan ikatan α-D (1 6). Di dalam granula, pati terperangkap kuat. Struktur molekular ini membuat pati sulit untuk diakses oleh enzim-enzim pencernaan seperti amilase (Haralampu, 1999).

Pati alami biasanya mengandung amilopektin lebih banyak daripada amilosa. Butiran pati mengandung amilosa berkisar antara 15-30%, sedangkan


(36)

C. RESISTANT STARCH (RS)

Menurut Berry (1986), pati dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis berdasarkan respon pati tersebut ketika diinkubasi dengan enzim. Jenis pati pertama adalah Rapidly Digestible Starch (RDS). RDS adalah jenis pati yang dapat dihidrolisis sepenuhnya oleh enzim amilase menjadi molekul-molekul glukosa dalam waktu 20 menit. Jenis kedua adalah Slowly Digestible Starch

(SDS). Seperti juga RDS, SDS dapat sepenuhnya dihidrolisis oleh enzim amilase, namun karena satu dan lain hal, hidrolisisnya memakan waktu lebih lama.

Jenis pati ketiga adalah Resistant starch (RS) yaitu fraksi kecil dari pati yang resisten (tahan) terhadap hidrolisis oleh enzim α-amilase dan enzim pululanase yang diberikan secara in vitro. RS tidak terhidrolisis setelah 120 menit inkubasi (Englyst, et al., 1992). Pati yang sampai ke usus besar akan difermentasi oleh mikroflora usus. Oleh karena itu, sekarang RS didefinisikan sebagai fraksi dari pati yang dapat lolos dari pencernaan pada usus halus. Secara kimia, RS adalah selisih dari kadar pati total dengan RDS dan SDS (Sajilata et al., 2006).

Resistant starch adalah bagian dari pati yang tidak dapat dicerna oleh usus halus manusia yang sehat (pencernaan tidak terganggu). Menurut Gonzales,

et al (2004), RS dibagi menjadi 4 tipe berdasarkan keberadaan pati secara alami dan keberadaannya dalam makanan. RS tipe I adalah jenis pati yang secara fisik terperangkap di dalam matriks sel, seperti pada biji legumes (polong-polongan).

RS tipe II adalah granula pati yang secara alami tahan terhadap enzim pencernaan seperti pati pisang mentah dan pati kentang mentah. RS tipe III adalah pati hasil retrogradasi yang terbentuk akibat pemanasan suhu tinggi yang disusul dengan penyimpanan pada suhu rendah. RS tipe IV adalah pati yang dimodifikasi secara kimia.


(37)

Tabel 4.Daya cerna pati secara in vitro pada berbagai jenis makanan Jenis makanan RDS

(%)

SDS (%)

RS I (%)

RS II (%)

RS III (%)

Tepung 38 59 - 3 Sangat sedikit

Short bread 56 43 - - Sangat sedikit

Roti tawar putih 94 4 - - 2

Roti whole wheat 90 8 - - 2

Spageti 55 36 8 - 1

Biskuit (50% tepung pisang mentah)

34 27 - 38 Sangat sedikit

Biskuit (50% tepung kentang mentah)

36 29 - 35 Sangat sedikit

Kacang kaleng 56 24 5 - 14

Kacang polong kering 37 45 11 Sangat sedikit

6

Kacang polong, kacang merah kaleng

25 - - 15 60

Sumber:British Nutrition Foundation (BNF), 1990

Beberapa penelitian in vivo yang dilakukan pada hewan dan manusia menunjukkan bahwa RS memiliki potensi sebagai bahan prebiotik. Penelitian dengan menggunakan RS yang beramilosa tinggi menunjukkan bahwa granula-granula pati tersebut membentuk pola pelekatan yang khusus pada usus bagian atas, baik pada usus babi maupun usus manusia, dan diperkirakan dapat meningkatkan viabilitas dari probiotik dengan cara menyediakan permukaan bagi prebiotik untuk melekat (Topping, et al., 1997). Penelitian Brown, et al. (1998) menunjukkan bahwa tikus yang diberi ransum yang mengandung


(38)

kandungan amilosa yang tinggi tapi juga dimiliki oleh pati yang dimodifikasi secara kimia (RS tipe IV). Penelitian secara in vitro menunjukkan bahwa bifidobakteria dapat melekat pada pati yang dimodifikasi dengan metode asilasi, oktenilsuksinilasi, karboksimetilasi, dan suksinilasi. Pelekatan ini bervariasi untuk setiap galur bakteri yang digunakan (Brown et al., 1998). RS tipe III dan RS tipe IV memiliki potensi untuk berperan sebagai prebiotik (Bird, et al., 2000).

1. RS tipe III

Granula pati yang dirusak dengan pemanasan di dalam air berlebih menghasilkan proses yang dikenal dengan sebutan gelatinisasi. Gelatinisasi ini membuat molekul pati dapat sepenuhnya dicerna oleh enzim pencernaan. Pada umumnya gelatinisasi terjadi pada suhu 40-1200C tergantung dari asal tanaman dan kadar amilosanya. Selama proses pendinginan, pati mengalami pembentukan kembali strukturnya secara perlahan yang disebut dengan retrogradasi. Selama retrogradasi, molekul pati kembali membentuk struktur kompak yang distabilkan dengan adanya ikatan hidrogen. Struktur ini biasanya sangat stabil. Amilosa pati ini membentuk RS tipe III yang stabil terhadap panas, sangat kompleks, dan tahan enzim amilase (Sajilata et al., 2006).

Dari semua jenis resistant starch, RS tipe III adalah yang paling menarik karena RS tipe III dapat mempertahankan karakteristik nutrisi suatu makanan ketika makanan tersebut ditambahkan RS tipe III. RS tipe III juga disukai karena relatif tahan panas dibanding RS tipe lainnya sehingga RS tipe III dapat mempertahankan sifatnya selama pengolahan makanan. RS tipe III merupakan tipe resistant starch yang paling banyak digunakan sebagai bahan baku pangan fungsional yang berbasis resistant starch. Kandungan RS tipe III dalam makanan secara alami umumnya rendah. Jumlah RS tipe III dapat meningkat saat makanan dipanggang atau dalam bentuk pasta dan produk sereal (Shamai, et al., 2003). RS tipe ini hanya dapat didispersikan oleh KOH


(39)

oleh enzim amilase pankreatik (Sajilata, et al., 2006). Menurut Edmonton dan Saskatoon (1998), konsentrasi suspensi pati yang dibuat pada awal pembuatan RS tipe III mempengaruhi rendemen RS. Pembuatan RS tipe III dengan konsentrasi pati 20% menghasilkan 6-9% RS.

2. RS tipe IV

RS tipe IV adalah RS yang mempunyai ikatan lain selain α-(1,4) dan α -(1,6). Semua jenis RS yang terbentuk akibat adanya perlakuan kimia termasuk dalam jenis ini. RS tipe ini bersifat resisten terhadap enzim amilase akibat adanya pembentukan ikatan silang dengan penambahan senyawa kimia. Ikatan silang tersebut terbentuk akibat adanya reaksi antara pati dengan reagen seperti sodium trimetafosfat, foforus oksiklorida, ataupun campuran dari asam asetat anhidrida dan asam dikarboksilat seperti asam adipat. Ikatan silang terbentuk dengan adanya grup sulfonat dan fosfat antara molekul-molekul pati (termasuk gugus hidroksil) yang kemudian menjadikan pati tahan terhadap enzim α –amilase (Sajilata, et al., 2006).

ClO O

P ClO O

2pati-OH + O O P +H2P2O7Cl2

O=P O P=O

Pati O O Pati ClO OCl

O P O O OCl Tri meta fosfo klorida

Gambar 4. Reaksi pembentukan ikatan silang antara pati dan trimeta-fosfoklorida.


(40)

pertumbuhan dan atau aktivitas dari satu atau beberapa bakteri di dalam kolon sehingga dapat meningkatkan kesehatan inangnya (Fuller, 1997).

Prebiotik merupakan istilah yang lebih baru jika dibandingkan dengan probiotik. Prebiotik adalah senyawa kimia, biasanya polisakarida yang merupakan substrat yang penting bagi pertumbuhan bakteri probiotik dan meningkatkan pertumbuhannya. Prebiotik hanya dapat dimanfaatkan oleh bakteri probiotik (Lactobacillus dan Bifidobacteria) dan tidak dapat dimanfaatkan bakteri lain yang hidup di usus seperti E. coli dan Bacteroides (Hamilton, 2004).

Suatu bahan pangan dapat diklasifikasikan sebagai prebiotik apabila memenuhi syarat berikut :1) tidak dihidrolisis atau diserap di bagian atas sistem gastrointestinal, 2) dapat menjadi substrat yang selektif untuk satu atau beberapa bakteri potensial yang menguntungkan pada usus besar, 3) mampu meningkatkan jumlah dan aktivitas flora yang mendukung kesehatan dan dapat menekan jenis yang berbahaya dalam usus besar (Fuller, 1997).

E. PROBIOTIK

Probiotik berasal dari bahasa latin dan Yunani yang berarti untuk kehidupan. Probiotik telah banyak didefinisikan sejak pertama kali dicetuskan sekitar 50 tahun yang lalu. Probiotik biasanya diartikan sebagai mikroorganisme yang dalam jumlah tertentu dapat meningkatkan kesehatan inangnya (Hamilton, 2004).

Bakteri Asam Laktat (BAL) bersifat Gram positif, berbentuk kokobasili, batang, atau kokus yang tidak membentuk spora dan tergolong katalase negatif. Berdasarkan cara metabolisme glukosa, BAL dibagi menjadi dua golongan yaitu homofermentatif dan heterofermentatif. Bakteri homofermentatif hanya memproduksi asam laktat selama fermentasi gula, sedangkan bakteri heterofermentatif selain memproduksi asam laktat juga asam asetat, etanol, dan karbondioksida (Mitsuoka, 1990).

BAL adalah penghuni alami saluran gastrointestinal makhluk hidup dengan dua tipe fermentasi, yaitu homolaktis dan heterolaktis. BAL homolaktis


(41)

adalah bakteri yang menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi dan menghasilkan asam laktat dan metabolit sampingan. BAL heterolaktis adalah bakteri yang hanya menghasilkan asam laktat saja sebagai hasil utama. Kelebihan bakteri asam laktat adalah kemampuannya untuk bertahan hidup dan mengkoloni usus, memproduksi asam laktat, bakteriosin, dan merangsang pembentukan antibodi tubuh (Salminen dan Wright, 1998).

Jumlah sel mikroba yang harus terdapat pada produk probiotik berkisar antara 106-107 CFU/g isi usus, sedangkan jumlah minimal mikroorganisme probiotik dalam bioproduk supaya dapat memberikan manfaat kesehatan adalah 109-1010 CFU/100 g produk (Charteris et al., 1998).

1. Lactobacillus casei subsp. Rhamnosus

Lactobacillus adalah jenis bakteri Gram positif, tidak membentuk spora, non-motil, katalase negatif dan hidup dengan sedikit udara atau benar-benar anaerob. Lactobacillus menghasilkan asam laktat dan asam asetat ketika bakteri ini menggunakan glukosa sebagai sumber karbonnya. (Desai, et al, 2004).

Lactobacillus dapat menghasilkan beberapa manfaat bagi kesehatan diantaranya mempuyai sifat anti mikroba terhadap mikroba patogen, efek antitumor, dan tahan terhadap antibitik. Lactobacillus juga tahan terhadap asam dan asam empedu (bile) dan bertahan (lolos) dari pencernaan manusia.

2. Lactobacillus plantarum

Lactobacillus plantarum merupakan bakteri asam laktat dari famili Lactobacillaceae. Bakteri ini berbentuk batang dan pada umumnya berukuran tunggal atau membentuk rantai pendek.


(42)

Gambar 5. Lactobacillus plantarum (Anonim c, 2002).

Lactobacillus plantarum adalah salah satu jenis bakteri asam laktat yang banyak ditemukan dalam proses fermentasi. Pembentukan asam yang cepat dalam jumlah yang tinggi oleh aktivitas starter Lactobacillus plantarum baik dalam bentuk tunggal maupun campuran dengan bakteri asam laktat lain, telah diketahui dapat menyebabkan bakteri perusak dan bakteri patogen terhambat pertumbuhannya atau bahkan tidak dapat bertahan hidup.

3. Bifidobacterium bifidum

Bifidobacterium bifidum yang sekarang lebih dikenal dengan

Bifidobacterium lactis merupakan spesies bakteri asam laktat dari genus

bifidobakteria (Goodchild, 2005). Saat ini, B. bifidum dikenal secara umum berbentuk batang dan memiliki ujung yang terbelah bila pertumbuhannya mengalami kekurangan nutrisi yang dibutuhkan. Bakteri ini berbentuk basil (batang), tidak dapat bergerak, nonspora dan merupakan bakteri gram positif. Bifidobakteria adalah bakteri anaerobik, hidup pada suhu optimum 36ºC-38ºC dan pada pH 6.4-7.0. Bakteri ini memilki efek bakteriostatik melawan E. coli


(43)

Gambar 6. Bifidobacterium bifidum (Mocann, et al., 1996)

Bifidobacterium bifidum hidup di dalam usus besar dan saluran pembuangan manusia. Bakteri ini dapat tumbuh di makanan, seperti yogurt, keju, susu, kecap, miso, tempe, maupun di sayuran seperti sauerkraut. B. bifidum dapat mencerna laktosa dan menghasilkan asam laktat. Asam laktat yang dihasilkan akan membuat pH usus menjadi rendah sehingga mempersulit bakteri patogen untuk tumbuh. B. bifidum dapat menyerap ion besi yang dibutuhkan untuk kehidupan bakteri patogen Bakteri ini juga dapat mencerna fruktooligosakarida (FOS) dan berbagai macam molekul yang tidak dapat dicerna manusia (Goodchild, 2005).

Menurut Chaitow dan Tenev (1990), ada beberapa efek menguntungkan dari B. bifidum antara lain meningkatkan metabolisme protein dan pertambahan berat badan bayi, mencegah pertumbuhan bakteri yang mampu mengubah senyawa nitrat dalam usus yang bersal dari makanan atau senyawa nitrit yang bersifat karsinogen, menghasilkan vitamin B, dan membantu fungsi hati dalam proses pencernaan makanan.


(44)

III. BAHAN DAN METODE A. BAHAN DAN ALAT

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi ganyong (Canna edulis Kef), kentang (Solanum tuberosum), dan kimpul (Xanthosoma sagittfolium). Ganyong yang digunakan diperoleh dari Balai Penelitian Bioteknologi dan Genetika, Cimanggu, Bogor, sedangkan kentang dan kimpul diperoleh dari pasar tradisional di daerah Bogor. Bakteri yang digunakan terdiri dari Bifidobacterium spp,Lactobacillus casei subsp.rhamnosus, dan Lactobacillus plantarum. Bahan-bahan lain yang dipakai adalah enzim α-amilase heat stable, enzim protease, AMG (Amyloglucosidase) NaOH 1 M; 4N, POCl3, HCl 0.2N,

HClO4 0.36 M, asam iso butirat, buffer asetat, asam format, NaOH padat, NaCl,

CaCO3, KOH, H2SO4 0.01N, iodin, etanol, 78%, 85%, dan 95%, aseton, DNS,

NaK-tartarat, isoamil alkohol, kristal timol, pankreatin, sodium dodesilsulfat, aquades, MRSA, dan m-MRSB (protease pepton, beef extract, yeast extract,

amonium sitrat, sodium asetat, MgSO4, MnSO4, dan dipotasium fosfat).

Alat–alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pisau, talenan, ember, kain saring, blender, blender kering, saringan 100 mesh, oven, oven vakum, neraca analitik, otoklaf, freeze dryer, freezer, sentrifuge, spektrofotometer, pH meter, mikropipet, pipet Mohr, pipet tetes, cawan petri, inkubator, sudip, gelas pengaduk, magnetic stirer, gelas piala, gelas ukur, fial, lemari pendingin, manik-manik, tip, hot plate, anoxomat, anaerobic jar, mortar, barbender unit, HPLC, dan

whiteness meter.

B. METODE PENELITIAN

Tahap-tahap penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 7, meliputi: (1) Seleksi umbi, (2) Seleksi RS dan seleksi BAL, dan (3) Analisis RS dan BAL terpilih.


(45)

SELEKSI UMBI

Umbi

(ganyong, kentang, kimpul)

Ekstraksi Pati

Pembuatan RS

RS tipe III dan tipe IV

Uji daya cerna Rendemen

Jenis umbi terpilih

SELEKSI RS DAN BAL

Lactobacillus casei subsp. rhamnosus, Lactobacillus plantarum, dan

Bifidobacterium bifidum

Inokulasi 5%


(46)

@

MMRSB + RS sRS

Analisis fisiko kimia: • Densitas kamba dan densitas padat • aw

• Kelarutan dalam air • uji amilograf

• Derajat putih • kadar amilosa,

• Kadar RS

Jenis BAL dan RS terpilih

ANALISIS DIETARY FIBER DAN SCFA

Gambar 7. Diagram alir penelitian

1. Ekstraksi pati dari umbi-umbian

Dalam penelitian ini digunakan 3 jenis umbi, yaitu ganyong, kentang, dan kimpul yang diekstraksi patinya dengan cara: umbi dikupas, dicuci, dihancurkan, diekstraksi dengan air (umbi:air = 1:4), diendapkan, disaring, dikeringkan dengan oven (suhu 400C), dan terakhir disaring dengan saringan 100 mesh.


(47)

2. Pembuatan RS tipe III (Metode Lehmann, 2002)

Pati dibuat menjadi RS tipe III sebagai berikut: pati disuspensikan dalam air (20% w/w), di-autoklaf selama 30 menit pada suhu 121oC, dididinginkan dan disimpan pada suhu 4 selama 24 jam, kemudian dikeringkan dengan freeze dryer.

3. Pembuatan RS tipe IV

Pembuatan RS tipe IV sebagai berikut: Sebanyak 100 gram pati dilarutkan dalam 150 ml akuades, diatur pH sampai 10.5 dengan NaOH 5% sambil diaduk dengan kuat. Selanjutnya ditambah dengan POCl3 0.2% dari

berat tepung, diinkubasi pada environmental orbital shaker (T = 40oC, kecepatan putaran 200 rpm, selama 2 jam), kemudian diatur pH-nya sampai 5.5 menggunakan HCl dan disaring dengan penyaring vakum. Endapan pati yang diperoleh dicuci dengan air 150 ml sebanyak 5 kali. Selanjutnya pati dikeringkan dalam oven vakum (50oC, 24 jam), digiling dan diayak.

4. Uji Prebiotik secara in vitro

a. Persiapan kultur BAL (Fardiaz, 1989)

BAL dibuka dari ampul dan disegarkan ke dalam 10 ml MRSB. MRSB tersebut kemudian dimasukkan ke dalam inkubator 370C selama 48 jam. Setelah 48 jam, BAL tersebut kembali disegarkan dengan mengambil 1 ml dari tabung MRSB lama ke tabung berisi MRSB baru. MRSB itu kemudian diinkubasi kembali selama 48 jam pada suhu 370C.

Metode ini dilakukan untuk setiap BAL (Lactobacillus casei subsp. Rhamnosus, Lactobacillus plantarum, dan Bifidobacterium bifidum) yang


(48)

b. Uji viabilitas BAL

• Persiapan jumlah BAL

Sebanyak 1 ml BAL dipindahkan ke dalam MRSB lalu diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C. Kemudian sebanyak 1 ml BAL dipipet dan dimasukkan ke dalam larutan pengencer NaCl 0.85% 9 ml (pengenceran 10-1). Selanjutnya dibuat pengenceran sampai 10-7 dengan cara yang sama. Pemupukan dilakukan pada pengenceran 10-5 -10-8 dengan menggunakan media MRSA dalam cawan petri. Pemupukan dilakukan duplo setiap pengenceran. Cawan petri selanjutnya diinkubasi pada suhu 370C selama 48 jam (Harrigan, 1998) dan dinyatakan dalam CFU/ml.

N = ____∑ c____ (n1 + 0.1 n2) x d

N: Jumlah mikroba (CFU/ml)

∑c: Jumlah koloni dari semua cawan (25-250 koloni)

n1: Jumlah cawan pada pengenceran pertama (25-250 koloni)

n2: Jumlah cawan pada pengenceran kedua (25-250 koloni)

d: Pengenceran terendah dimana bakteri ditemukan

• Pertumbuhan BAL dalam media RS

Disiapkan RS steril, air steril @50 ml/sampel dan m-MRSB (MRSB tanpa dektrosa) @50ml/sampel. Sebanyak 2.5 ml BAL yang berumur 1 hari dipipet dan dimasukkan ke dalam campuran larutan 50 ml MRSBr + 2.5% RS dan larutan 50 ml air steril + 2.5% RS. Larutan ini kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C.

Setelah inkubasi 24 jam, 1 ml larutan dipipet dan dimasukkan ke dalam larutan pengencer NaCl 0.85% 9 ml dan divorteks untuk memperoleh pengenceran 10-1. Selanjutnya dibuat pengenceran sampai 10-7 dengan cara yang sama. Pemupukan dilakukan pada pengenceran 10-5-10-8 dengan menggunakan media MRSA dalam cawan petri.


(49)

Cawan petri selanjutnya diinkubasi pada suhu 370C dalam posisi terbalik. Pemupukan dilakukan duplo setiap pengenceran. Perhitungan koloni dilakukan setelah 48 jam berdasarkan metode ISO (Harrigan, 1998) dan dinyatakan dalam CFU/ml.

C. METODE ANALISIS

1. Analisis kadar air (AOAC, 1984)

Cawan kosong dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan dinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Timbang dengan cepat kurang lebih 5 gram sampel yang sudah dihomogenkan dalam cawan. Tempatkan cawan ke dalam oven selama 6 jam. Untuk produk yang tidak mengalami dekomposisi dengan pengeringan yang lama, dapat dikeringkan selama 1 malam (16 jam). Pindahkan cawan ke desikator, lalu dinginkan. Setelah dingin, penimbangan dilakukan kembali. Keringkan kembali ke dalam oven sampai diperoleh bobot yang tetap.

% Kadar air (dry basis) = W3 x 100

W2

% Kadar air (wet basis) = W3 x 100

W1

Keterangan: W1: Bobot sampel sebelum dikeringkan (g)

W2: Bobot sampel setelah dikeringkan (g)

W3: W3-W1

2. Rendemen

Pengukuran rendemen pati umbi dihitung berdasarkan perbandingan bobot pati yang diperoleh terhadap bobot umbi tanpa kulit yang dinyatakan


(50)

Keterangan:

a = bobot umbi setelah dikupas (g) b = bobot pati(g)

3. Uji daya cerna pati (di dalam: Muchtadi et al.,1992)

Enzim α-amilase dilarutkan di dalam buffer Na-Fosfat 0.05 M pH 7. Pereaksi dinitrosalisilat dibuat dengan melarutkan 1 gram 3,5-dinitrosalisilat, 30 gram Na-K tartarat dan 1,6 gram NaOH dalam 100 ml aquades. Larutan maltosa standar yang digunakan adalah 0-10 mg masing-masing dalam 10 ml aquades.

Sampel dibuat suspensi dalam aquades (1%), kemudian dipanaskan dalam penangas air selama 30 menit pada suhu 900C kemudian didinginkan. Sebanyak 2 ml sampel dalam tabung ditambahkan 3 ml aquades dan 5 ml buffer Na-Fosfat 0.1 M, pH 7. Lalu diinkubasikan pada suhu 370C selama 15 menit. Selanjutnya ditambahkan larutan enzim α-amilase dan diinkubasi lagi pada suhu 370C selama 30 menit.

Sebanyak 1 ml sampel dipipet ke dalam tabung reaksi lain, ditambah 2 ml pereaksi dinitrosalisilat. Lalu dipanaskan pada suhu 1000C selama 10 menit. Warna merah oranye yang terbentuk diukur absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm. Kadar maltosa campuran reaksi dihitung dengan menggunakan kurva standar maltosa murni yang diperoleh dengan mereaksikan larutan maltosa standar dengan pereaksi dinitrosalisilat menggunakan prosedur seperti di atas. Blanko dibuat untuk menghitung kadar maltosa awal (bukan hasil hidrolisis enzim). Prosedur pembuatan blanko sama seperti prosedur untuk sampel hanya saja tanpa sampel dan tidak ditambahkan larutan enzim α-amilase. Sebagai gantinya untuk blanko diganti buffer Na-fosfat 0.1 M pH 7.

%DC pati = (kadar maltosa sampel-kadar maltosa blanko sampel) x100% (kadar maltosa pati murni-kadar maltosa blanko pati murni)


(51)

4. Densitas kamba (Khalil, 1999)

Densitas kamba diukur dengan cara memasukkan sampel ke dalam gelas ukur sampai volume tertentu tanpa dipadatkan, kemudian berat ditimbang. Densitas kamba dihitung dengan cara membagi sampel dengan volume ruang yang ditempati. Densitas kamba dinyatakan dalam satuan g/ml.

5. Densitas padat (Khalil, 1999)

Densitas padat diukur dengan cara memasukkan sampel ke dalam gelas ukur dan dipadatkan sampai volumenya konstan, kemudian berat sampel ditimbang. Densitas padat dihitung dengan cara membagi berat sampel dengan volume ruang yang ditempati. Densitas padat dinyatakan dalam satuan g/ml.

6. Uji kelarutan dalam air (Muchtadi dan Sumartha, 1992)

Sejumlah 0.75 gram sampel dilarutkan dalam 150 ml air, kemudian disaring menggunakan corong buchner dan pompa vakum. Sebelumnya kertas saring dikeringkan terlebih dahulu dalam oven 100ºC selama 30 menit dan ditimbang (berat sudah diketahui). Kertas saring dan endapan yang tertinggal pada kertas saring dikeringkan dalam oven 100ºC selama 3 jam (sampai mencapai berat yang konstan), didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.

Kelarutan (%) = 100%

a c) -(b -a

× =

7. Derajat putih


(52)

8. Aktivitas air (aw)

Pengukuran aktivitas air (aw) dilakukan dengan menggunakan alat aw

meter ”Shibaura aw meter WA-360”. Alat dikalibrasi dengan NaCl jenuh yang

memiliki nilai aw 0.7547; 0.7529; dan 0.7509 yang berturut-turut pada suhu

20,25 dan 290C dengan cara memasukkan NaCl jenuh tersebut dalam wadah aw meter. Nilai aw dapat dibaca setelah ada tulisan “completed” di layar.Bila aw

yang terbaca tidak tepat 0.750 maka bagian switch diputar sampai mencapai tepat 0.750. Pengukuran aw sampel dilakukan dengan cara yang sama dengan

kalibrasi alat yaitu sampel dimasukkan dalam wadah aw meter.

Keterangan:

a = berat kering sampel (gram)

b = berat endapan dan kertas saring (gram) c = berat kertas saring (gram)

9. Uji amilograf

Uji amilograf bertujuan untuk mengetahui suhu gelatinisasi RS tipe III dan tipe IV. Sebanyak 45 gram sampel tepung (100 mesh) ditimbang dan dilarutkan dengan 450 ml air destilata, kemudian dimasukkan ke dalam bowl. Lengan sensor dipasang dan dimasukkan ke dalam bowl dengan cara menurunkan head amilograf. Suhu awal termoregulator diatur pada suhu 200C atau 250C. Switch pengatur diletakkan pada posisi bawah sehingga jika mesin dihidupkan suhu akan meningkat 1.50C setiap menit.

Mesin amilograf dihidupkan. Begitu suspensi mencapai suhu 300C, pencatat diatur pada skala kertas amilogram. Setelah pasta mencapai suhu 950C, mesin dimatikan. Parameter analisis amilograf terdiri dari:

ƒ Suhu awal gelatinisasi, yaitu suhu pada saat kurva mulai naik ƒ Suhu pada puncak gelatinisasi, yaitu suhu pada saat nilai maksimum

viskositas dapat dicapai


(1)

Konsentrasi kultur sebelumnya, yaitu 5%, dinilai terlalu tinggi sehingga penambahan substrat prebiotik tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan BAL.

6.

2

6.

6 7. 6 8.1

7.

1 8 7.6 7.9 8.2 8.2 8.

5 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 J u m lah B A

L (log C

F

U

/m

l)

s-RS3 1% s-RS3 5% m-MRSB+RS3 1% m-MRSB+RS3 5%

Jenis media

L.rhamnosus L.plantarum B.bifidum

Gambar 13. Pengaruh konsentrasi kultur BAL terhadap viabilitas BAL pada RS kimpul tipe III

Uji viabilitas BAL pada konsentrasi 1% dan 5% (Gambar 13) menunjukkan bahwa konsentrasi kultur BAL yang ditambahkan mempengaruhi viabilitas BAL. Namun hal ini tidak terjadi pada L.

rhamnosus yang ditumbuhkan pada media m-MRSB dimana perbedaan viabilitas antara viabilitas BAL pada media m-MRSB+RS3 1% (1.0 x 108 CFU/ml) dan

media m-MRSB+RS3 5% (1.6 x 108

CFU/ml) hanya 0.2 log CFU/ml.

Percobaan yang dilakukan oleh Kleessen, et al., (1997), menunjukkan bahwa dari tiga jenis ransum yang diberikan pada tikus (pati, RS tipe I, dan RS tipe II), Bifidobacterium hanya muncul pada tikus yang diberi ransum dengan tambahan RS tipe I dan tipe II. Dari sini terbukti bahwa RS mempengaruhi viabilitas BAL terutama

Bifidobacterium. Viabilitas tertinggi

terdapat pada B. bifidum (3.2x108CFU/ml) yang ditumbuhkan pada media m-MRSB+ RS3.

C. ANALISIS SERAT PANGAN DAN ASAM LEMAK RANTAI PENDEK UNTUK RS DAN BAL TERPILIH

Analisis serat pangan (dietary fiber) dilakukan dengan menggunakan RS tipe IV dari umbi terpilih (kimpul) dan untuk analisis SCFA digunakan hasil degradasi bakteri Lactobacilus plantarum pada media s-RS4 kimpul.

1. Analisis Serat Pangan (Dietary Fiber) Serat pangan atau dietary fiber

merupakan bagian dari jaringan tanaman yang tahan terhadap proses hidrolisis oleh enzim dalam lambung dan usus kecil (Winarno, 1997). Terdapat dua jenis utama dari dietary

fiber, yaitu serat larut (selulosa,

hemiselulosa, dan lignin), serta serat tidak larut (gums, mucilages, dan pektin) (Hopkins Techology, 1990).

Setiap makanan memiliki kadar

serat makanan yang berbeda-beda.

Department of Nutrition, Ministry of

Health and Institute of Health (1999)

seperti yang dikutip oleh Friska (2002) menyatakan bahwa makanan dapat diklaim sebagai sumber serat pangan apabila mengandung serat pangan sebesar 3-6 gram/100gram. Oleh karena itu, RS tipe IV kimpul dapat dikatakan sebagai pangan sumber serat karena memiliki serat pangan yang tinggi, yaitu sebesar 7.53 gram/100gram. Menurut

U.S. Department of Agriculture and

Health and Human Services yang diacu

oleh Hopkins Technolohy (1990), kebutuhan dietary fiber adalah 20-30 g per hari dengan batas maksimum 35 g per hari.

RS memiliki kadar dietary fiber

yang cukup tinggi. Banyak keuntungan dari tingginya kadar dietary fiber dalam makanan, seperti peningkatan kesehatan usus besar, pelepasan glukosa darah yang lebih terkontrol, dan peningkatan profil lipid dalam darah (British Nutrition Foundation, 2005).

s-RS31% s-RS35% m-MRSB m-MRSB +RS31% +RS31%


(2)

2. Asam Lemak Rantai Pendek (Short Chain Fatty Acid/SCFA)

Tabel 5. Hasil Analisis SCFA Dari Hasil Degradasi Bakteri

Lactobacillus plantarum

pada Media s-RS4

Parameter Hasil (%w/v) Asam format Tidak

Terdeteksi Asam asetat 0.04 Asam propionat Tidak

Terdeteksi Asam butirat Tidak

Terdeteksi Asam lemak rantai pendek (SCFA) terbentuk ketika polisakarida difermentasi oleh bakteri anaerobik di dalam usus besar. Resistant starch (RS) adalah salah satu jenis polisakarida. Produk SCFA yang paling utama adalah butirat, propionat, dan asetat. Konsentrasi SCFA di dalam usus besar berbeda-beda tergantung tipe polisakaridanya, walaupun pada umumnya asetat adalah jenis SCFA yang paling sering ditemukan, sedangkan butirat adalah SCFA yang paling jarang ditemukan (British Nutrition Foundation, 2005).

Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa SCFA yang dihasilkan oleh bakteri

Lactobacillus plantarum pada

fermentasi RS tipe IV adalah asam asetat sebanyak 0.04 %(w/v), sedangkan asam format, propionat dan butirat tidak terdeteksi. Kleessen, et al., (1997) melaporkan penelitian terhadap tikus yang diberi ransum yang mengandung RS tipe III sebanyak 15% selama 5 bulan. Feses segar dari tikus dianalisis kandungan SCFA-nya. Dari hasil analisis diketahui bahwa konsentrasi asam asetat selalu lebih tinggi daripada propionat dan butirat.

Menurut Brouns, et al., (2002), proporsi SCFA hasil fermentasi RS tipe II oleh bakteri Lactobacillus dan

Bifidobacterium adalah 53% asam

asetat, 16% asam propionat, dan 30% asam butirat, sedangkan untuk RS tipe III terdapat sekitar 60% asam asetat,

12% asam propionat, dan 20% asam butirat. Menurut British Nutrition Foundation (2005), keberadaan SCFA menurunkan pH usus besar. Hal ini menguntungkan karena penurunan pH dapat menjadikan usus besar sebagai lingkungan yang dapat mencegah pertumbuhan bakteri merugikan.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN

Ganyong, kentang, dan kimpul adalah umbi lokal yang memiliki kadar pati dan amilosa yang cukup tinggi sehingga dapat dijadikan bahan baku untuk RS. Rendemen pati kimpul (12.33%) lebih besar dibandingkan dengan pati umbi lainnya dan daya cerna pati RS tipe IV-nya (29.31%) paling rendah diantara RS tipe IV umbi yang lain.

Uji viabilitas dilakukan untuk mengetahui pengaruh jenis media, jenis RS, dan konsentrasi kultur BAL yang ditambahkan. Berdasarkan analisis statistik, media m-MRSB memiliki kemampuan lebih baik untuk meningkatkan viabilitas BAL (α = 0.05), tetapi untuk lebih dapat menunjukkan pengaruh RS terhadap viabilitas BAL, dipilih media s-RS pada tahap selanjutnya.

RS tipe IV dipilih untuk tahap selanjutnya karena uji fisik menunjukkan bahwa RS tipe IV memiliki karakteristik yang lebih baik dalam hal derajat putih yang lebih tinggi dan aw yang lebih rendah

dibandingkan dengan RS tipe III. Konsentrasi kultur BAL yang digunakan mempengaruhi nilai viabilitas BAL dimana konsentrasi yang lebih tinggi (5%) akan meningkatkan nilai viabilitas BAL. Nilai viabilitas yang paling berbeda terdapat pada L. plantarum yang ditumbuhkan pada media s-RS dimana viabilitas L. plantarum pada konsentrasi kultur 5% (1.6 x 106 CFU/ml) lebih tinggi dibandingkan viabilitas L. plantarum pada konsentrasi kultur 1% (1.3 x 108 CFU/ml). Hasil analisis dietary fiber terhadap hasil fermentasi L. plantarum pada media s-RS4 menunjukkan bahwa RS tipe IV


(3)

mengandung dietary fiber sebesar 7.53 gram/100gram sehingga RS tipe IV sudah dapat dikatakan sebagai sumber serat. Analisis SCFA menunjukkan bahwa hasil degradasi RS tipe IV oleh L. plantarum

dalam media s-RS mengandung 0.04 % (w/v) asam asetat, sedangkan asam format, asam propionat, dan asam butirat tidak terdeteksi.

B. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian, beberapa hal yang perlu dilakukan adalah: 1. Pengujian potensi prebiotik RS tipe

III dan IV dari kimpul secara in vivo karena hasil in vitro yang baik tidak menjamin hasil in vivo-nya akan baik.

2. Proses debranching dalam pembuatan RS dan isolasi RS terlebih dahulu sebelum melakukan uji in vitro maupun in vivo agar kadar RS yang dihasilkan lebih tinggi dan hasil uji yang lebih baik.

3. Penelitian lebih lanjut dalam rangka pengembangan produk dengan substitusi RS sebagai sumber pangan kaya serat dan prebiotik.

DAFTAR PUSTAKA

AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of the Association of OfficialAnalitycal Chemists, 14th ed. AOAC, Inc. Arlington, Virginia. Di dalam: Muchtadi, T. R., Sugiyono. 1992. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor.

Bird, A. R., I. L. Brown, dan D. L. Topping. 2000. Starches, resistant starches, the gut microflora, and human health. Curr Issues Intest. Microbiol 1(1): 25-37. Horizon Scientific Press, United Kingdom.

British Nutrition Foundation. 2005. Resistant Starch-Question and Answer.

www.british-foundation.or.uk/health/starch.[6 Juni 2006]

Brouns, F., B. Ketrlitz, dan E. Arrigoni. 2002. Resistant Starch and The Butyrate Revolution. J. Food SCience and Technology 13 pp 251-261.

Brown, I.L., X. Wang, D. L. Topping, M. J. Playne, dan P. L. Conway. 1998. High amylose maize starch as a versatile prebiotic for use with probiotic bacteria. Food Aust. 50: 602-609.

Charteris, W.P., P.M. Kelly, L. Morelli, dan J.K. Collins. 1998. Ingredient Selection Criteria for Probiotic Microorganisms in Functional Dairy Foods. Int. J. Dairy Tech, 51(4): 123-135.

Collins, W.W. 1993. Root vegetables: New uses for old crops. p. 533-537. In: J. Janick and J.E. Simon (eds.), New crops. Wiley, New York. http://www.hort.purdue.edu/newcrop/pr oceedings1993/V2-533.html#Cassava, % 20Yams,%20and%20Aroids. [1 Desember 2006]

Corbishley, D. A. dan Miller, W. 1984. Tapioca, arrowroot, and Sagoo Starch: Production. Di dalam: Hartati, N. S. Dan Titik K. P. 2003. Analisis Kadar Pati dan Serat Kasar Tepung Beberapa Kultivar Talas (Colocasia esculenta. L. Schoot.). Jurnal Natur Indonesia 6 (1):

29-33 (2003).

www.unri.ac.id/jurnal/jurnal_natur/volu me6(1)/sri.pdf. [1 Desember 2006]. Departemen Kesehatan RI. 1992. Daftar

Komponen Bahan Makanan.

Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1981. Komposisi Umbi Kentang. Di dalam: Roshita, A. 1999. Penggunaan Ekstrak Tauge, Kentang, dan Kayu Karet untuk Produksi Massa Miselium Jamur Champignon (Agaricus bisporus). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.


(4)

Desai, A. R., I. B. Powell, N. P. Shah. 2004. Survival and Activity of Probiotic Lactobacilli in Skim Milk Containing Prebiotics. Journal of Food Science vol 69 Nr 3., 2004.

Edmonton T.V. dan R. S. B. Saskatoon. 1993. Enhancement of Resistant Starch (RS3) in Amylomaize, Barley, Field Pea and Lentil Starches. J. Food Chemistry No 4 pp527-532.

Escarpa A., M. C. Gonzales, M. D. Morales., dan F. S. Calixto. 1996. An Approach to The Influence of Nutrients and Other Food Constituents on Resistant Starch Formation.

Englyst H. N., Kingman S. M., dan Cummings J. H. 1992. Classification and Measurement of Nutritionally Important Starch Fraction. Eur J Clin Nutr 46: 533-550.

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Flach, M. dan Rumawas. 1996. Plant

Resources of South East Asia. Backhuys Publishers. London. Di dalam: Damayanti, Novian. 2002. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung dan Pati Ganyong (Canna edulis Kerr) Varietas Lokal. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Friska, T. 2002. Penambahan Sayur Bayam (Amaranthus tricolor L.), Sawi (Brassica juicea L.) dan Wortel (Daucus carota L.) pada Pembuatan Crackers Tinggi Serat Makanan. Skripsi. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Fuller, R. 1997. Probiotics 2 : Applications and Practical Aspects. Chapman & Hall, London.

Goodchild, 2005. L. Bifidobacterium bifidum-An interview. http://www.sfam.org.uk/ pdf/features/bugscv2.pdf

Gutierrez, B. dan E. Schulz.1992. Caracteristicas Fisicas Y Quimicas De

Harina Blanca Y Almidon De Yuca. (Manihot esculenta Crantz). www.paninos.tripod.com.[8 Desember 2006]

Hodge, J. E. Dan E. M. Osman. 1976. Carbohydrate. Di dalam: Fennema, O. R. (ed.). Principles of Food Sciences. Marcel Dekker. Inc., New York.

Hopkins Technology. 1990. Dietary Fiber. http://www.whfoods.com/genpage.php? Tn ame =nutrient&dbid=59 [7 Januari 2007].

Kim S. K., J. E. Kwak, dan W. K. Kim. 2003. A simple Method for Estimation of Enzyme-Resistant Starch Content. Starch/starke 55 (2003) 366-368.

Kleessen, B., G. Stoof, J. Proll, D. Schmidt, J. Noack, dan M. Blaut. 1997. Feeding Resistant Starch Affect Fecal and Cecal Microflora and Short Chain Fatty Acids in Rats. J Animal Science. 75:2453-2462.

Lehmann, U., G. Jacobasch, dan D. Schmiedl. 2002. Characterization of Resistant Starch Type III from Banana (Musa Acuminata). Journal of Agricultural and Food Chemistry.

Muchtadi, T. R., Sugiyono. 1992. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor.

--- dan I. G. Sumartha. 1992. Formulasi dan Evaluasi Mutu Makanan Anak Balita dari Bahan Dasar Tepung Singkong dan Pisang. Laporan Penelitian. PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.

--- N. S. Palupi dan M. Astawan. 1992. Metoda Kimia Biokimia dan Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB. Bogor.


(5)

Poulsen, P dan Kreiberg, J. D. 1993. Plant Gene Register. Starch Branching Enzyme cDNA from Solanum tuberosum. Plant Physiol. (1993) 102: 1053-1054.

http://www.plantphysiol.org/cgi/reprint/ 102/3/1053.pdf. [1 Desember 2006] Rahayu, W. P. 2003. Control by Reduced aw.

Di dalam: Rahayu, W. P., C. C. Nurwitri, R. D. Hariyadi, dan L. Nuraida. Food Microbiology. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Ridal, S. 2003. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung dan Pati Umbi Talas (Colocasia esculenta) dan Kimpul (Xanthosoma sagittifolium). Skripsi. Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sievert, D. dan Y. Pomeranz. 1989. Enzyme resistant starch I. Characterisation and Evaluation by Enzymatic, Thermoanalytical, Microscopic Methods. Cereal Chem. 66:342-347.

Silalahi, J., dan Hutagalung, N. 2002. Komponen-Komponen Bioaktif dalam Makanan dan Pengaruhnya terhadap Kesehatan.

www.tempo.co.id./medika/arsip/022002 . [30 Maret 2006]

Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama; Jakarta. Zuraida, N., Ida H. S., Tiur S. S., Sri B.,

Hadiatmi, Minantyorini, Sriwidowati, dan Hidayat, A. 2000. Evaluasi Sifat Fisikon Kimia dan Fungsional Plasma Nutfah. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman. [1 Desember 2006]


(6)