Penyelesaian Sengketa Konsumen dengan jalan Litigasi.

Mahkamah Agung wajib dikeluarkan dalam jangka waktu 30 tiga puluh hari sejak permohonan kasasi. Dari keseluruhan proses persidangan berdasarkan ketentuan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 terlihat setidak-tidaknya dari sudut biaya dan waktu penyelenggaraan keadilan itu pihak konsumen dan pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab dimudahkan dan dipercepat putusan yang mempunyai kekuatan hukum pasti dapat dijatuhkan dalam jangka waktu relatif pendek, maksimum 100 seratus hari total dari proses pertama sampai akhir. 119

3. Penyelesaian Sengketa Konsumen dengan jalan Litigasi.

Kewenangan menyelesaikan sengketa konsumen melalui pengadilan berada di tangan pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dengan mengacui pada ketentuan yang berlaku di lingkugan peradilan umum tersebut. Ini berarti tata cara pengajuan gugatan dalam masalah perlindungan konsumen mengacu pada hukum acara perdata yang berlaku. 120 Manakala upaya perdamaian telah gagal mencapai kata sepakat, atau para pihak tidak mau lagi menempuh alternatif perdamaian maka para pihak dapat menempuh penyelesaian sengketanya melalui pengadilan dengan cara: 121 1]. Pengajuan gugatan secara perdata diselesaikan menurut instrument hukum perdata dan dapat digunakan prosedur: a]. gugatan perdata konvensional; 119 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit. hal. 128. 120 Rachmadi Usman, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000. hal. 225. 121 Susanti Adi Nugroho, Op.cit. hal. 126. Universitas Sumatera Utara b]. gugatan perwakilangugatan-kelompok class action; c]. gugatan hak gugat LSMOr-Nop legal standing; d]. gugatan oleh pemerintah dan atau instansi terkait. 2]. Penyelesaian sengketa konsumen secara pidana. 3]. Penyelesaian sengketa konsumen melalui instrumen hukum tata usaha negara, dan melalui mekanisme hukum hak menguji materiel. Dari ketiga cara penyelesaian melalui pengadilan di atas, yang akan dibahas oleh penulis hanya penyelesaian dengan gugatan perdata. Pasal 45 ayat 1 UUPK menyatakan bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Dengan memperhatikan Pasal 48 UUPK penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku. Jadi dengan demikian, proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan negeri, dilakukan seperti halnya mengajukan gugatan sengketa perdata biasa, dengan mengajukan tuntutan ganti kerugian baik berdasarkan perbuatan melawan hukum, gugatan ingkar janjiwanprestasi atau kelalaian dari pelaku usahaprodusen yang menimbulkan cedera, kematian atau kerugian bagi konsumen. 122 Gugatan perdata ini di ajukan melalui pengadilan negeri ditempat kedudukan konsumen. Dengan berlakunya Pasal 23 UUPK, maka konsumen yang akan mengajukan gugatan kepada pelaku usaha, tidak mengajukan gugatan 122 Ibid. hal 127. Universitas Sumatera Utara melalui pengadilan negeri di tempat kedudukan pelaku usaha yang menjadi tergugat, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 118 HIR, tetapi yang di ajukan kepada pengadilan negeri di tempat kedudukan konsumen sebagai penggugat. 123 Dengan berlakunya UUPK, ketentuan Pasal 23 jo. Pasal 45 UUPK ini merupakan lex specialis terhadap HIRRBg. Sesuai dengan adagium “lex specialis derogate lex generalis”, yang berarti ketentuan khusus menyimpangkan ketentuan umum, maka ketentuan Pasal 23 jo. Pasal 45 UUPK adalah ketentuan acara yang harus diterapkan dalam rangka pengajuan gugatan oleh konsumen kepada pelaku usaha. Terhadap putusan pengadilan negeri tersebut, dapat di ajukan banding dan kemudian kasasi, sebagaimana perkara perdata biasa. Pendapat dari Edward H. Hondius yang dikutip oleh Dato’ Dr. Sothi Rachagan, tentang kendala-kendala yang dihadapi konsumen dalam menuntut ganti kerugian melalui pengadilan adalah: 124 “The obstacles consumers’ face when seeking redress before the courts: First, goind to the court may be 1 expensive. There are a court fees to be paid, - b the citizn has to bear his own costs: taking a day off to attend the process, travelling to court etc; c there are the costs of retaining counsel, d there is a risk of losing the case and having to pay the other party’s and one’s own attonery’s costs; e there also are the cots of expert testimony or witnesses. This is aggravated by the fact that many consumer complaints are of minor financial importance. In such cases the risks involved do not warrant instituting proceedings. 123 Ibid 124 Ibid , hal. 128-129. Universitas Sumatera Utara Secondly, going to court is 2 time consuming. This is due mainly to the a overload in the courts; and b written procedures, which in many jurisdictions may drag on and on. The c possibility of appeal threatens to prolong the procedure still longer. A third drawback of traditional court procedure is of 3 a psychological nature. Elements such as court being also competent in criminal matters, sitting in robes and wigs, using archaic language and customs, may be brought together under this heading, the fourth drawback is 4 the individual nature of civil procedure. Traditional procedure simply is not geared to the institution of mass procedures in case of mass disasters. Finally, it is argued 5 that in court adjudication rather than mediation or conciliation is arrived at.” Minimnya masalah-masalah konsumen di pengadilan tidak termasuk di luar pengadilan, mungkin disebabkan sikap konsumen Indonesia yang enggan berperkara di pengadilan. Apakah ini berakar pada sikap kritis tidaknya konsumen, mungkin masih menjadi perdebatan. Penyebab keengganan mereka meminta keadilan dari pengadilan disebabkan: 125 1. Belum jelasnya norma-norma perlindungan konsumen sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 2. Peradilan kita yang belum sederhana, cepat dan biaya ringan. 125 Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003, hal. 314. Universitas Sumatera Utara 3. Sikap menghindari konflik meskipun hak-haknya sebagai konsumen dilanggar. Berdasarkan berbagai kelemahan tersebut, timbul usaha untuk memperbaiki sistem peradilan, tapi usaha yang demikian tidak mudah, karena dalam memperbaiki sistem peradilan, terlalu banyak aspek yang akan diselesaikan dan terlalu banyak kepentingan yang akan dilindungi, sementara kepentingan tersebut pada umumnya bertentangan. 126 Di antar sekian banyak kelemahan dalam penyelesaian sengketa melalui pengadilan tersebut, yang termasuk banuyak dikeluhkan oleh pencari keadilan adalah lamanya penyelesaian perkara, karena pada umumnya para pihak yang mengajukan perkaranya ke pengadilan mengharapkan penyelesaian yang cepat, lebih-lebih kalau yang terlibat dalam perkara tersebut adalah dari kalangan dunia usaha. 127 Masuknya sengketa konsumen ke pengadilan negeri berdasarkan keaktifan salah satu pihak atau para pihak yang bersengketa, dalam hal ini pelaku usaha atau konsumen. Konsumen dapat berinisiatif mengajukan gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum onrechtmatige daad terhadap pelaku usaha atas pelanggaran norma-norma UUPK. Sebaliknya, pelaku usaha tidak diperkenankan menggugat konsumen atau mengajukan gugatan balik rekonvensi dengan merujuk pada pelanggaran konsumen atas norma-norma UUPK, kecuali menyangkut pelanggaran hak-hak pelaku usaha sebagaimana dimaksud Pasal 6 UUPK. 126 Ahmadi Miru Sutarman Yodo, Op,cit, hal. 237. 127 Ibid. Universitas Sumatera Utara Karena banyaknya kasus ketidakadilan yang dialami oleh konsumen yang pada umumnya pada posisi yang lemah, dan hukum acara perdata HIRRBg tidak lagi sepenuhnya mampu menampung perkembangan-perkembangan tuntutan keadilan dan masyarakat pencari keadilan, maka UUPK telah menerobos prinsip- prinsip hukum perdata konvensional, yang sangat di pegang teguh para ahli hukum dan praktisi hukum di Indonesia. UUPK membawa perbaikan, berupa pembaruan yang selama ini menghambat penyelesaian sengketa konsumen dengan mengedepankan alternatif penyelesaian sengketa yang sama sekali baru bagi penegakan hukum di Indonesia, yaitu dimungkinkannya gugatan perwakilan kelompokclass action, hak gugat Lembaga Swadaya Masyarakat dan Organisasi Non-Pemerintah lain legal standing, dan gugatan yang diajukan oleh pemerintah atau instansi yang terkait terhadap pelaku usaha. Meskipun ketiga jenis gugatan tersebut secara prinsip berbeda, tetapi dalam praktinya pelaksaannya sering kali rancu, karena kurangnya pemahaman bagi pelaksana-pelaksananya, di samping belum adanya peraturan pemerintah yang mengaturnya. 128 Dari perspektif konsumerisme, kalah atau menang bukan itu tujuannya. Tujuannya, yaitu perbaikan nasib kebanyakan konsumen, terutama yang berakses lemah terhadap hukum; apalagi di negara-negara yang belum menempatkan konsumennya sebagai subjek hukum. Adapun bagaimana pengadilan menjalankan fungsinya tidak akan sama dari masa ke masa. Diharapkan akan semakin bertambah terobosan-terobosan baru melalui pengadilan, untuk menyuarakan rasa 128 Susanti Adi Nugroho, Op.cit, hal. 131. Universitas Sumatera Utara keadilan masyarakat konsumen. Hendaknya pengadilan tidak lagi hanya menunggu undang-undang sebagai dasar hukum mengadili sengketaperkara yang diajukan para pencari keadilan. Sudah bukan saatnya lagi pengadilan hanya sebagai “corong” undang-undang. Di tengah krisis moneter ini, dapat saja pengadilan membuat terobosan baru atas kemungkinan penyalahgunaan krisis moneter sebagai alasan force majeur dari produsenpengusaha. 129

4. Penyelesaian Sengketa Konsumen di Bidang Farmasi.