Penyelesaian Sengketa Konsumen dengan jalan Non-Litigasi.

aturan yang berlaku bagi penyelesaian sengketa tersebut. Peringkat penyelesaian sengekta yang harus dilalui perlu pula mendapatkan perhatian. 101

2. Penyelesaian Sengketa Konsumen dengan jalan Non-Litigasi.

Asas hukum yang berbunyi point d’interet, point d’action tiada kepentingan maka tidak ada aksi menggambarkan bahwa gugatan diajukan untuk mempertahankan hak kepentingan orang atau badan hukum yang dilanggar. 102 Seseorang yang dirugikan karena memakai atau mengonsumsi produk yang cacat hanya akan dapat mendapat penggantian kerugian apabila mengajukan permintaan atau tuntutan atas hal tersebut. 103 Permintaan atau penuntutan penggantian kerugian ini mutlak dilakukan oleh orang yang merasa haknya untuk mendapatkannya. Tidak akan ada penggantian kerugian selain karena dimohonkan terlebih dahulu ke pengadilan dengan syarat-syarat tertentu. 104 Untuk mengatasi keberlikuan proses pengadilan, UUPK memberi jalan alternatif dengan menyediakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Pasal 45 ayat 4 UUPK menyatakan bahwa, apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa 101 Az Nasution, Op.cit, hal. 224-225. 102 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit, hal. 183. 103 Janus Sidabalok, Op.cit, hal. 145. 104 Ibid. Universitas Sumatera Utara Ini berarti penyelesaian di pengadilan pun tetap dibuka setelah para pihak gagal menyelesaikan sengketa mereka di luar pengadilan atau melalui jalur non- litigasi. 105 Dengan maraknya kegiatan bisnis, tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa disputedifference antara para pihak yang terlibat, di mana penyelesaiannya dilakukan melalui proses pengadilan litigasi. Proses ini membutuhkan waktu yang lama, namun alasan yang sering mengemuka dipilihnya penyelesaian alternatif, yaitu karena ingin memangkas birokrasi perkara, biaya dan waktu, sehingga relatif lebih cepat dengan biaya relatif lebih ringan, lebih dapat menjaga harmoni sosial social harmony dengan mengembangkan budaya musyawarah dan budaya nonkonfrontatif. Melalui jalan tersebut diharapkan tidak terjadi prinsip lose-win tetapi win-win, para pihak merasa menang sehingga menghindarkan terjadinya hard feeling dan losing face. 106 Di samping itu, secara umum dapat dikemukakan berbagai kritikan terhadap penyelesaian sengketa melalui pengadilan, yaitu karena: 107 a. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sangat lambat. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang pada umumnya lambat atau disebut buang waktu lama diakibatkan oleh proses pemeriksaan yang sangat formalistic dan sangat teknis. Di samping itu, arus perkara yang semakin deras mengakibatkan pengadilan dibebani dengan beban yang terlampau banyak. 105 Shidarta, Op.cit. hal. 143. 106 Celina Tri Siwi Kristiyanti¸ Op.cit. hal. 184. 107 Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997, hal. 240-247. Universitas Sumatera Utara b. Biaya per perkara yang mahal. Biaya perkara dalam proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan dirasakan sangat mahal, lebih-lebih jika dikatikan dengan lamanya penyelesaian sengketa, karena semakin lama penyelesaian sengketa, semakin banyak pula biaya yang dikeluarkan. Biaya ini akan semakin bertambah jika diperhitungkan biaya pengacara yang juga tidak sedikit. c. Pengadilan pada umumnya tidak responsif. Tidak responsif atau tidak tanggapnya pengadilan dapat dilihat dar kurang tanggapnya pengadilan dalam membela dan melindungi kepentingan umum. Demikian pula pengadilan dianggap sering berlaku tidak adil, karena hanya memberi pelayanan dan kesempatan serta keleluasaan kepada “lembaga besar” atau “orang kaya”. Dengan demikian, timbul kritikan yang menyatakan bahwa “hukum menindas orang miskin, tapi orang berduit mengatur hukum.” d. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah. Putusan pengadilan dianggap tidak menyelesaikan masalah, bahkan dianggap semakin memperumit masalah karena secara objektif putusan pengadilan tidak mampu memuaskan, serta tidak mampu memberikan kedamaian dan ketentraman kepada para pihak. e. Kemampuan para hakim yang bersifat generalis. Para hakim dianggap mempunyai kemampuan terbatas, terutama pada abad iptek dan globalisasi sekarang, karena pengetahuan yang Universitas Sumatera Utara dimiliki hanya di bidang hukum, sedangkan di luar itu pengetahuannya bersifat umum, bahkan awam. Dengan demikian, sangat mustahil mampu menyelesaikan sengeketa yang mengandung kompleksitas berbagai bidang. Berdasarkan berbagai kekurangan penyelesaian sengketa melalui pengadilan itulah, sehingga dalam dunia bisnis, pihak yang bersengketa dapat lebih memilih menyelesaikan sengketa yang dihadapi di luar pengadilan. 108 Maka dengan mengikuti ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, sehubungan penyelesaian sengketa konsumen ini, cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan itu dapat berupa konsultasi, arbitrase, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. 109 Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada Pasal 43 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tidak menutup kemungkinan dilakukannya penyelesaian secara damai oleh para pihak yang bersengketa, yaitu pelaku usaha dan konsumen, tanpa melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen, dan sepanjang tidak bertentangan dengan UUPK. Bahkan dalam penjelasan pasal tersebut dikemukakan bahwa pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Dari penjelasan Pasal 45 ayat 2 UUPK dapat diketahui bahwa UUPK menghendaki agar penyelesaian damai, merupakan upaya hukum yang justru harus terlebih dahulu 108 Ahmadi Miru, Op.cit. hal. 157. 109 Janus Sidabalok, Op.cit. hal. 146. Universitas Sumatera Utara diusahakan oleh para pihak yang bersengketa, sebelum para pihak memilih untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui BPSK atau badan peradilan. 110 Sebelum UUPK lahir, satu-satunya lembaga yang disediakan untuk menyelesaikan sengketa konsumen adalah melalui gugatan di pengadilan tidak akomodatif dalam menampung sengketa konsumen, karena mahal, lama dan terlalu birokratis. 111 Lembaga yang bertugas untuk menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha di luar pengadilan menurut UUPK adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK. Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dibentuk agar dapat menjadi semacam pengadilan khusus konsumen untuk sengketa-sengketa konsumen small claim court yang diharapkan dapat menjawab tuntutan dari asas beracara di peradilan sederhana, cepat dan murah. 112 Dalam rumusan yang diberikan dalam Pasal 45-48 UUPK mengenai Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, ada 2 dua hal pokok yang dapat dikemukakan di sini, yaitu: 113 1. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui BPSK bukanlah suatu keharusan untuk ditempuh konsumen sebelum pada akhirnya sengketa 110 Susanti Adi Nugroho, Op.cit. hal. 99. 111 Abdul Halim Barkatulah, Op.cit. hal. 119. 112 Ibid. hal. 120. 113 Gunawan Widjaja Ahmad Yani, Op.cit. hal. 73. Universitas Sumatera Utara tersebut diselesaikan melalui lembaga peradilan. Walaupun demikian, hasil putusan BPSK memiliki suatu daya hukum yang cukup untuk memberikan shock therapy bagi pelaku usaha yang nakal, karena putusan tersebut dapat dijadikan bukti permulaan bagi penyidik. Ini berarti penyelesaian sengketa melalui BPSK, tidak menghilangkan tanggung jawab pidana menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk mengakomodasi kewenangan yang diberikan oleh UUPK kepada BPSK selaku lembaga yang bertugas untuk menyelesaikan persengketaan konsumen di luar pengadilan, UUPK memberikan kewenangan kepada BPSK untuk menjatuhkan sanksi administratif bagi pelaku usaha yang melanggar larangan-larangan tertentu yang dikenakan bagi pelaku usaha. BPSK sebagai suatu lembaga penyelesaian perselisihan di luar pengadilan, dalam memutuskan pelaksanaan atau penetapan eksekusinya harus meminta keputusan dari pengadilan. 2. UUPK, membedakan jenis gugatan yang dapat diajukan ke BPSK berdasarkan persona standi in judictio. Rumusan Pasal 46 ayat 1 yang menyatakan bahwa setiap gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh: a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama; Universitas Sumatera Utara c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyrakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya; d. Pemerintah danatau instansi terkait apabila barang danatau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar daatau korban yang tidak sedikit. Hal ini hanya merupakan aturan umum. Karena itu, dalam ketentuan Pasal 46 ayat 2 ditentukan lebih lanjut bahwa gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pemerintah, sebagaimana dimaksud pada huruf b, huruf c, dan huruf d di atas, hanya dapat diajukan kepada peradilan umum. Ketentuan tersebut sebenarnya hanya berupa penegasan kembali dari ketentuan Pasal 45 ayat 1 yang menyatakan bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha, atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. 114 Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 45 ayat 2 UUPK ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa. Pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan 114 Ibid. hal. 75. Universitas Sumatera Utara penyelesaian damai oleh keduai pihak yang bersengketa. Yang dimaksud dengan penyelesaian secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa pasal atau konsumen tanpa melalui pengadilan atau BPSK dan tidak bertentangan dengan UUPK tersebut. 115 Menurut Pasal 3 SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 350MPPKEP122001 jo Pasal 52 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, BPSK mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut: 116 i. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi, mediasi atau arbitrase; ii. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen; iii. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; iv. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; v. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; vi. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; vii. Memanggil pihak yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; 115 Abdul Halim Barkatulah, Op.cit. hal. 124. 116 Ibid. Universitas Sumatera Utara viii. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; ix. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pasal, saksi, saksi ahli, atau setiap orang yang sebagaimana dimaksud pada vii dan angka viii, yang tidak tersedia memenuhi panggilan BPSK; x. Mendapatkan, meneliti dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan; xi. Memutuskan dan menetapkan ada tidaknya kerugian di pihak konsumen; xii. Memberitahukan putusan kepada pihak yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; xiii. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Keanggotaan BPSK terdiri dari atas unsur pemerintah, unsur konsumen dan unsur pelaku usaha, dengan ketentuan bahwa setiap unsur diwakili oleh sedikit-dikitnya 3 tiga orang, dan sebanyak-banyaknya 5 lima orang. Pengangkatan dan pemberhentian anggota BPSK ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan. 117 Dalam Pasal 49 UUPK menyatakan bahwa syarat-syarat untuk menjadi anggota BPSK adalah sebagai berikut: 117 Ibid, hal. 126. Universitas Sumatera Utara 1. Warga negara Republik Indonesia; 2. Berbadan sehat; 3. Berkelakuan baik; 4. Tidak pernah dihukum karena kejahatan; 5. Memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen; 6. Berusia sekurang-kurangnya 30 tiga puluh tahun. Setiap kasus sengketa konsumen diselesaikan dengan membentuk majelis, yang berjumlah ganjil, terdiri dari minimal 3 tiga orang mewakili semua unsur. Mereka akan menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen itu melalui jalan mediasi, arbitrase, atau konsiliasi. Jumlah minimal 3 tiga orang itu masih ditambah dengan bantuan seorang panitera. Namun dalam UUPK tidak dijelaskan apakah panitera ini diambil dari anggota BPSK atau di luar BPSK. 118 Putusan yang dijatuhkan Majelis BPSK bersifat final dan mengikat. BPSK wajib menjatuhkan putusan selama-lamanya 21 dua puluh satu hari sejak gugatan diterima. Keputusan BPSK itu wajib dilaksanakan pelaku usaha dalam jangka waktu 7 tujuh hari setelah diterimanya, atau apabila ia keberatan dapat mengajukannya kepada Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 14 empat belas hari. Pengadilan Negeri yang menerima keberatan pelaku usaha memutus perkara tersebut dalam jangka waktu 21 dua puluh satu hari sejak diterimanya keberatan tersebut. Selanjutnya kasasi pada putusan Pengadilan Negeri ini ini diberi luang waktu 14 hari untuk mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Keputusan 118 Shidarta, Op.cit. hal. 145. Universitas Sumatera Utara Mahkamah Agung wajib dikeluarkan dalam jangka waktu 30 tiga puluh hari sejak permohonan kasasi. Dari keseluruhan proses persidangan berdasarkan ketentuan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 terlihat setidak-tidaknya dari sudut biaya dan waktu penyelenggaraan keadilan itu pihak konsumen dan pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab dimudahkan dan dipercepat putusan yang mempunyai kekuatan hukum pasti dapat dijatuhkan dalam jangka waktu relatif pendek, maksimum 100 seratus hari total dari proses pertama sampai akhir. 119

3. Penyelesaian Sengketa Konsumen dengan jalan Litigasi.