membanjirnya impor gula. Keadaan tersebut diperparah dengan masuknya impor gula ilegal dan adanya impor gula yang langsung dijual kepada konsumen
sehingga harga gula domestik mengalami penurunan yang drastis dari Rp 3 000 per kg menjadi Rp 2 000 per kg. Penurunan harga yang drastis ini telah
menghilangkan insentif bagi petani tebu, sehingga petani tebu enggan untuk menanam tebu.
Kemudian muncul SK Menperindag Nomor 230MPPKep1999, yang menetapkan tarif impor sebesar 20 persen untuk raw sugar dan 25 persen untuk
white sugar untuk mengefektifkan penerapan tarif, bea masuk impor gula diubah
menjadi tarif spesifik sebesar Rp 550,- per kg untuk raw sugar dan Rp 700 untuk white sugar
Sawit, et al, 2004. Tahun 2002 kebijakan tersebut dikombinasikan dengan kuota impor
berdasarkan SK Menperindag Nomor 643MPPKep2002 tentang tataniaga Impor Gula. Kebijakan tersebut menyatakan bahwa impor gula putih hanya dapat
dilakukan oleh Importir Terdaftar Gula IT. IT ini merupakan perusahaan yang memperoleh bahan baku minimal 75 persen berasal dari petani tebu dan impor
gula hanya dilakukan pada saat harga di tingkat petani mencapai Rp 3 100 per kg. Kebijakan ini telah memberikan insentif bagi petani tebu untuk kembali menanam
tebu. Seiring dengan perkembangan pergulaan nasional, tahun 2004 Presiden
menerbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2004 tentang penetapan gula sebagai barang dalam pengawasan dan Keputusan
Republik Indonesia Nomor 58 tentang penanganan gula yang diimpor secara tidak sah. Kemudian muncul Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
527MPPKep92004 tentang ketentuan impor gula. Keputusan ini bertujuan untuk
mewujudkan ketahanan pangan dan peningkatan pertumbuhan perekonomian masyarakat Indonesia serta menciptakan swasembada gula dan
meningkatkan daya saing serta pendapatan petani tebu dan industri gula.
2.2 Penelitian yang Terkait
Studi yang dilakukan oleh Nelson dan Panggabean 1991, menyatakan bahwa kebijakan industri gula di Indonesia merupakan suatu jaringan kebijakan
yang saling bertentangan dan kompleks baik antara kegiatan di bidang produksi, price support
, pupuk maupun subsidi kredit. Melalui pendekatan Policy Analysis Matrix PAM
hasil analisisnya menunjukkan bahwa pada musim tanam 19861987, baik pada lahan kering maupun irigasi pengusahaan komoditas tebu
tidak memberikan keuntungan sosial karena tingginya opportunity cost dari penggunaan lahan. Malah ditemukan bahwa keuntungan sosial ada lahan
beririgasi negatif karena biaya opportunity cost dari tanah. Khusus untuk lahan kering keuntungan sosialnya negatif tapi keuntungan privatnya positif. Sedangkan
di tingkat pengolahan total biaya privat menggiling tebu termasuk biaya untuk tebu adalah sebesar Rp 383 miliar, sedangkan total pendapatan hanya Rp 372
miliar, jadi ada privat loss sebesar Rp 11 miliar. Biaya sosial untuk mengolah gula lebih besar daripada biaya privat. Sumber perbedaannya adalah pada subsidi
modal pada penggilingan sebesar Rp 69 miliar. Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah terdapat biaya sosial yang hilang sebesar Rp 465 miliar.
Petani, konsumen dan pemerintah menyubsidi produksi gula. Bagi petani, transfer yang diterima dari subsidi modal, input dan harga yang lebih tinggi dari harga
dunia akan digantikan dengan kerugian hilangnya kemungkinan mendapatkan hasil dengan alternatif yang menguntungkan. Konsumen membayar Rp 263 miliar
lebih banyak jika harga gula domestik tidak sama dengan harga dunia. Pemerintah akan kehilangan sebesar Rp 88 miliar dalam bentuk subsidi modal ke
penggilingan dan petani TRI serta Rp 34 miliar subsidi untuk input bahan kimia. Rawan dan Hutabarat 1991 melakukan penelitian yang berjudul Analisis
Efisiensi Penggunaan Masukan dan Ekonomi Skala Usaha pada Usahatani Tebu di Jawa Timur. Berdasarkan analisis fungsi keuntungan maka hasil penelitian
tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pada usahatani tebu, perubahan upah tenaga kerja memiliki pengaruh lebih
besar terhadap keuntungan usahatani dibandingkan dengan perubahan harga bibit,pupuk dan obat.
2. Bila dibandingkan menurut kategori tanaman tebu, pengaruh upah tenaga kerja terhadap keuntungan usahatani lebih besar pada tanaman tebu baru lahan
sawah daripada tanaman tebu keprasan lahan sawah maupun lahan kering. Pola yang sama terjadi untuk pengaruh harga pupuk dan obat. Hal ini
menunjukkan bahwa keuntungan usahatani tebu tanaman baru pada lahan sawah lebih peka terhadap perubahan harga masukan usahatani dibanding tebu keprasan.
Penggunaan masukan pada usahatani tebu keprasan lahan sawah maupun lahan kering sudah efisien. Namun pada tanaman tebu baru lahan sawah hanya
penggunaan bibit yang telah efisien. Hal ini berimplikasi untuk memaksimumkan keuntungan usahatani tebu baru lahan sawah penggunaan tenaga kerja, pupuk, dan
obat hendaknya ditingkatkan.