Penelitian yang Terkait Competitiveness Analysis of Sugarcane Farming System and Structural Adjustment of Sugar Industry in East Java

dunia akan digantikan dengan kerugian hilangnya kemungkinan mendapatkan hasil dengan alternatif yang menguntungkan. Konsumen membayar Rp 263 miliar lebih banyak jika harga gula domestik tidak sama dengan harga dunia. Pemerintah akan kehilangan sebesar Rp 88 miliar dalam bentuk subsidi modal ke penggilingan dan petani TRI serta Rp 34 miliar subsidi untuk input bahan kimia. Rawan dan Hutabarat 1991 melakukan penelitian yang berjudul Analisis Efisiensi Penggunaan Masukan dan Ekonomi Skala Usaha pada Usahatani Tebu di Jawa Timur. Berdasarkan analisis fungsi keuntungan maka hasil penelitian tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pada usahatani tebu, perubahan upah tenaga kerja memiliki pengaruh lebih besar terhadap keuntungan usahatani dibandingkan dengan perubahan harga bibit,pupuk dan obat. 2. Bila dibandingkan menurut kategori tanaman tebu, pengaruh upah tenaga kerja terhadap keuntungan usahatani lebih besar pada tanaman tebu baru lahan sawah daripada tanaman tebu keprasan lahan sawah maupun lahan kering. Pola yang sama terjadi untuk pengaruh harga pupuk dan obat. Hal ini menunjukkan bahwa keuntungan usahatani tebu tanaman baru pada lahan sawah lebih peka terhadap perubahan harga masukan usahatani dibanding tebu keprasan. Penggunaan masukan pada usahatani tebu keprasan lahan sawah maupun lahan kering sudah efisien. Namun pada tanaman tebu baru lahan sawah hanya penggunaan bibit yang telah efisien. Hal ini berimplikasi untuk memaksimumkan keuntungan usahatani tebu baru lahan sawah penggunaan tenaga kerja, pupuk, dan obat hendaknya ditingkatkan. Kajian yang dilakukan Ernawati 1997 melalui model persamaan simultan menggunakan data seri tahun 1965-1995 dengan metode penggunaan parameter menggunakan metode 2 SLS menunjukkan hasil bahwa dalam 30 tahun terakhir produksi gula meningkat dengan laju 5.18 persen per tahun, terutama disebabkan oleh peningkatan luas areal tanam bukan karena produktivitas tanaman tebu. Produksi tebu secara nyata dipengaruhi oleh luas areal tanam tebu tahun lalu dan rasio luas areal tanam di lahan keringluas areal tanam total. Sementara itu dari tujuh variabel, peningkatan produktivitas tebu secara nyata hanya dipengaruhi oleh produktivitas tahun lalu dan musim. Stok gula nasional dipengaruhi oleh produksi gula, stok tahun sebelumnya dan kebijakan pemasaran. Sedangkan impor dipengaruhi oleh nilai tukar dan jumlah populasi. Sedangkan sisi permintaan terdiri dari dua persamaan struktural yaitu permintaan gula rumah tangga yang dipengaruhi oleh pendapatan per kapita dengan nilai elastisitas sebesar 0.54 dan permintaan gula industri secara nyata dipengaruhi oleh tingkat pendapatan per kapita. Studi PAM tentang gula lainnya dilakukan oleh Malian 1998 berjudul Dampak Deregulasi Gula terhadap Penerimaan Petani Tebu bertujuan untuk mengetahui efisiensi ekonomi dan insentif yang diperoleh dari intervensi pemerintah, serta dampaknya terhadap aktivitas usahatani, pengolahan dan pemasaran. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komoditas gula memiliki keunggulan komparatif di pasar internasional. Hal ini terlihat dari tingkat keuntungan pada harga sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh dari harga pasar. Berdasarkan harga pasar, keuntungan yang diperoleh petani setelah deregulasi adalah sebesar Rp 5 410 100 pada lahan sawah, Rp 5 258 800 pada lahan kering dengan pola kredit dan Rp 4 940 600 untuk lahan kering pola swadana. Berdasarkan harga sosial keuntungan usahatani yang diterima meningkat menjadi Rp 8 217 100 pada lahan sawah, Rp 8 068 200 pada lahan kering pola kredit, dan Rp 7 737 700 untuk lahan kering pola swadana. Kesimpulan dari penelitian ini adalah setelah adanya deregulasi, pengembangan usahatani tebu secara ekonomi dapat dikatakan efisien dalam penggunaan sumberdaya domestik. Hal ini tercermin dalam indeks DRCR untuk mengetahui efisiensi ekonomi relatif dari sistem komoditas gula yang berkisar antara 0.1133 sampai 1.1291, dengan demikian pengembangan komoditas tebu untuk memasok kebutuhan bahan baku pabrik gula dapat terus dilanjutkan. Analisis keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani tebu yang dilakukan oleh Salem et al. 2004. Hasil analisisnya menyimpulkan bahwa usahatani tebu di Kabupaten Kediri, Kabupaten Ngawi, dan Kabupaten Klaten tidak mempunyai keunggulan komparatif yang ditunjukkan oleh nilai koefisien DRC 1. Namun, usahatani di Kabupaten tersebut masih memiliki keunggulan kompetitif yang ditunjukkan oleh nilai koefisien PCR 1. Keunggulan kompetitif yang diperoleh lebih disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang cenderung protektif. Hadi dan Nuryanti 2005 meneliti tentang dampak kebijakan proteksi terhadap ekonomi gula Indonesia. Dari penelitiannya disimpulkan bahwa kebijakan proteksi berupa tarif maupun non tarif menyebabkan kenaikan harga gula domestik. Kenaikan tersebut tercermin pada selisih antara harga paritas impor gula di tingkat grosir dengan harga aktual di tingkat grosir. Harga paritas impor gula di tingkat grosir pada tahun 2004 adalah Rp 2 201 per kg dan harga aktual di tingkat grosir adalah Rp 3 707 per kg. Selisih antara tingkat harga tersebut adalah Rp 1 505 per kg yang merupakan selisih harga akibat diterapkannya proteksi berupa tarif dan non tarif. Studi yang dilakukan oleh Susila dan Sinaga 2005 tentang analisis kebijakan industri gula Indonesia, didapati bahwa berbagai kebijakan yang ditetapkan pemerintah seperti kebijakan harga provenue gula, tarif impor, tariff rate quota , dan subsidi input merupakan instrumen kebijakan yang efektif untuk mengembangkan industri gula nasional dan mengurangi impor. Namun tingkat efektivitas dari masing-masing kebijakan berbeda. Kebijakan harga provenue gula memiliki efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan kebijakan tariff rate quota dan kebijakan tarif. III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Teoritis

3.1.1 Konsep Daya Saing

Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditi dengan biaya yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional kegiatan produksi tersebut menguntungkan Simanjuntak, 1992. Pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur daya saing komoditi adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dari pengusahaan komoditi tersebut. Tingkat keuntungan dapat dilihat dari keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sedangkan efisiensi pengusahaan komoditi dapat didapat dari tingkat keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.

a. Teori Keunggulan Komparatif

Keunggulan komparatif pertama kali dikemukakan oleh David Ricardo pada tahun 1817, yang selanjutnya dikenal dengan Model RicardianRicardo atau Hukum Keunggulan Komparatif The Law of Comparative Advantage. Hukum tersebut menyatakan bahwa meskipun suatu negara kurang efisien memiliki kerugian absolut dibandingkan negara lain dalam memproduksi kedua komoditas, namun masih terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Suatu negara harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih kecil memiliki keunggulan komparatif dan mengimpor komoditas yang memiliki kerugian absolut yang lebih besar memiliki kerugian komperatif Salvatore, 1997. Tahun 1933 Eli Heckscher dan Bertil Ohlin melakukan perbaikan terhadap hukum keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh David Ricardo. Dari perbaikan tersebut dihasilkan suatu teorema Heckscher-Ohlin H-O yang menyatakan bahwa sebuah negara akan mengekspor komoditi yang produksinya lebih banyak menyerap faktor produksi yang relatif berlimpah dan murah di negara tersebut, dan pada saat yang sama mengimpor komoditi yang produksinya memerlukan faktor produksi yang relatif langka dan mahal di negara tersebut. Teorema H-O menonjolkan perbedaan dalam kelimpahan faktor atau kepemilikan faktor-faktor produksi sebagai landasan keunggulan komparatif bagi masing- masing negara. Sehingga teorema H-O memberikan penjelasan mengenai proses terbentuknya keunggulan komparatif bagi suatu negara dalam memproduksi suatu komoditi Salvatore, 1997. Keunggulan suatu komoditi diukur berdasarkan biaya oportunitas. Haberler, 1936 menyatakan bahwa biaya sebuah komoditi adalah jumlah komoditi kedua yang harus dikorbankan untuk memperoleh sumberdaya yang cukup untuk memproduksi satu unit tambahan komoditi pertama Salvatore, 1997. Biaya oportunitas ini kemudian dikenal sebagai shadow price atau social cost yang menggambarkan nilai barang atau jasa yang dikorbankan untuk altematif penggunaan terbaik bagi masyarakat secara keseluruhan Gittinger, 1986. Menurut Sudaryanto dan Simatupang 1993 dalam Saptana et al, 2001. Konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing potensial yang dapat dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali. Komoditi yang mempunyai keunggulan komparatif maka komoditi tersebut efisien secara ekonomi. b. Teori Keunggulan Kompetitif Kondisi perekonomian yang tidak mengalami distorsi sama sekali sulit ditemukan pada kondisi perekonomian aktual. Oleh karena itu, untuk mengukur daya saing suatu aktivitas berdasarkan kondisi perekonomian aktual digunakan konsep keunggulan kompetitif. Konsep keunggulan kompetitif digunakan untuk mengukur kelayakan suatu aktivitas atau keuntungan privat yang dihitung berdasarkan harga pasar yang berlaku analisis finansial. Sudaryanto dan Simatupang 1993 dalam Saptana et al, 2001. menyatakan bahwa konsep yang lebih sesuai untuk mengukur kelayakan finansial adalah keunggulan kompetitif. Kelayakan finansial menilai manfaat proyek atau aktivitas ekonomi dari sudut lembaga atau individu yang terlibat dalam proyek atau aktivitas ekonomi tersebut. Sedangkan kelayakan ekonomi menilai manfaat proyek atau aktivitas ekonomi tanpa melihat lembaga atau individu yang terlibat dalam proyek atau aktivitas tersebut Gittinger, 1986. Komoditi yang mempunyai keunggulan komparatif mencerminkan komoditi tersebut mempunyai manfaat bagi ekonomi suatu negara secara keseluruhan. Sedangkan komoditi yang mempunyai keunggulan kompetitif mencerminkan komoditi tersebut mempunyai manfaat hanya bagi pelaku yang terlibat dalam industri tersebut. Menurut Porter, dalam era persaingan global saat ini, suatu bangsa atau negara yang mempunyai keunggulan kompetitif dapat bersaing di pasar internasional apabila memiliki empat faktor. Keempat faktor produksi tersebut adalah sebagai berikut Halwani, 2002: