lahan subur juga memberikan keuntungan lain bagi Lumajang. Mata air yang mengalir dari lereng gunung dan belum terpolusi menjadi sumber air utama bagi
pengembangan pertanian organik.
Selain penghasil tanaman pangan, Lumajang juga menjadi daerah produsen sayuran dan buah-buahan. Buah-buahan yang dihasilkan lumajang,
pisang berukuran besarpisang agung menjadi salah satu daya tarik. Pisang ini menjadi bahan baku pembuatan keripik dan sale pisang. Sentra penanaman pisang
agung terletak di Kecamatan Senduro. Kegiatan di bidang perkebunan turut pula memberi andil pada perekonomian daerah, seperti kakao, kelapa, karet, tebu, kopi,
cengkeh, tembakau, dan kapas. Tebu juga merupakan hasil perkebunan terbesar kedua setelah pisang yang dihasilkan di Kabupaten Lumajang. Menurut BPS
2007, luas perkebunan di Kabupaten Lumajang mengalami penurunan yaitu menjadi hanya seluas 11 473 hektar. PG Semboro berada di DesaKecataman
Semboro, Kabupaten Jember. Beroperasi sejak 1928 sebagai unit usaha milik perusahaan swasta di era kolonialisme. Setelah mengalami beberapa kali
rehabilitasi, kini PG Semboro berkapasitas 7 000 tth. Peningkatan kapasitas dilakukan tahun 2009 sejalan dengan dicanangkannya program revitalisasi dari
sebelumnya sebesar 4 500 tth. Area pengusahaan tebu sekitar 9 000 hektar, baik yang berasal dari tebu sendiri maupun rakyat. Tebu digiling mencapai 900 000 ton
dan gula dihasilkan sebanyak 88 000 ton.
Dalam pada itu, untuk meningkatkan mutu produk sejalan dengan perubahan perilaku konsumen yang cenderung memilih gula bermutu tinggi dan
warna lebih putih cemerlang, pada tahun 2009 juga telah dilakukan alih proses
dari sulfitasi dan remelt karbonatasi. Melalui proses ini, mutu produk dihasilkan minimal setara gula rafinasi sehingga secara bertahap PTPN XI dapat masuk ke
pasar eceran yang memberikan premium lebih baik.
5.4 Pabrik Gula Semboro
PG Semboro berada di DesaKecataman Semboro, Kabupaten Jember. Beroperasi sejak 1928 sebagai unit usaha milik perusahaan swasta di era
kolonialisme. Setelah mengalami beberapa kali rehabilitasi, kini PG Semboro berkapasitas 7 000 tth. Peningkatan kapasitas dilakukan tahun 2009 sejalan
dengan dicanangkannya program revitalisasi dari sebelumnya sebesar 4 500 tth. Area pengusahaan tebu sekitar 9 000 hektar, baik yang berasal dari tebu sendiri
maupun rakyat. Tebu digiling mencapai 900 000 ton dan gula dihasilkan sebanyak 88 000 ton.
Dalam pada itu, untuk meningkatkan mutu produk sejalan dengan perubahan perilaku konsumen yang cenderung memilih gula bermutu tinggi dan
warna lebih putih cemerlang, pada tahun 2009 juga telah dilakukan alih proses dari sulfitasi menjadi remelt karbonatasi. Melalui proses ini, mutu produk
dihasilkan minimal setara gula rafinasi sehingga secara bertahap PTPN XI dapat masuk ke pasar eceran yang memberikan premium lebih baik.
5.5 Pabrik Gula Wringinanom
Beroperasi sejak masa kolonial, sebelum restrukturisasi BUMN Perkebunan tahun 1996 PG yang administratif masuk wilayah Kabupaten
Situbondo ini menjadi unit usaha PTP XXIV-XXV. Sejalan perubahan frontal pada tatanan di semua aspek kehidupan dan lingkungan, termasuk tidak adanya
lagi kawasan tata ruang budidaya tebu dan kebebasan petani untuk mengusahakan tanaman apa saja yang dinilai paling menguntungkan, namun PG Wringinanom
tetap eksis dan terus berkembang. Pengembangan areal terus dilakukan, baik TS maupun TR, seirama kapabilitas PG untuk menggiling tebu lebih banyak.
Sasaran utama adalah daerah sawah berpengairan teknis yang secara agronomis juga digunakan untuk budidaya padi dan palawija. PG Wringinanom meyakini
bahwa melalui penerapan agroekoteknologi, kecukupan agroinputs, penataan masa tanam, dan perbaikan manajemen tebang-angkut, produktvitas yang
meningkat akan menjadi daya tarik bagi petani untuk menjadikan tebu sebagai komoditas alternatif. Selain itu, pengembangan juga dilakukan ke lahan kering
sepanjang air dapat dipompa secara artesis. Upaya menarik animo petani juga dilakukan melalui perbaikan kinerja pabrik dan kelancaran giling.
Sadar akan pentingnya tebu rakyat dalam pemenuhan kebutuhan bakan baku dan pengembangan PG lebih lanjut, pelayanan prima kepada petani teru
diupayakan dengan sebaik-baiknya. Secara periodik, PG menyelenggarakan Forum Temu Kemitraan
FTK guna membahas berbagai persoalan yang dihadapi petani, baik di luar maupun dalam masa giling. Dalam upaya peningkatan
produktivitas, PG Wringinanom antara lain melakukan optimalisasi masa tanaman dan penataan varietas menuju komposisi ideal dengan proporsi antara
masak awal, tengah dan akhir dengan sasaran berbanding 30-40-30. Melalui kebun semacam ini, petani diharapkan dapat belajar lebih banyak tentang
pengelolaan kebun melalui best agricultural practices.
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Keragaan Fisik Input-Output Usahatani Tebu
Produktivitas tebu tanam awal di lahan sawah sebesar lebih tinggi daripada produksi tanam awal dilahan kering. Demikian pula produksi tebu pada tanam
awal bibit lebih tinggi dari pada produksi tebu yang berasal dari kepras 1. Produksi tebu dari bibit di lahan sawah sekitar 120 tonha, sedangkan produksi
tebu dari kepras 1, 2, dan 3 berturut turut 110, 100, dan 95 tonha. Produksi tebu di lahan tegalan untuk dari bibit sekitar 100 tonha, sedangkan produksi untuk
kepras 1, 2, dan 3 berturut turut adalah 90, 80, dan 75 tonha. Selain itu, keragaan produktivitas dan efisiensi usahatani tebu yang rendah
disebabkan input yang rendah karena keterbatasan petani untuk membiayai usahataninya secara mandiri. Kondisi tersebut tercermin dari pemakaian bibit
seadanya dengan kecenderungan melakukan kepras berulang kali, sehingga terjadi penurunan produktivitas lahan per hektar dari waktu ke waktu. Oleh sebab itu,
makin banyak petani di Jawa tidak bersedia menanam tebu sehingga areal pengusahaan tebu berkurang yang pada akhirnya semakin banyak PG kekurangan
bahan baku. Luas areal tanam tebu di Jawa pada tahun 1995 sebesar 308.4 ribu hektar menurun menjadi 214 ribu hektar pada tahun 2002, sedangkan pada tahun
yang sama untuk Luar Jawa, dari 125.3 ribu hektar meningkat menjadi 137.2 ribu hektar Malian, et al; 2004.
Meskipun produksi tebu pada lahan sawah lebih tinggi dibandingkan pada tegalan, kebijakan produksi gula dengan mengandalkan tebu lahan sawah di Jawa
jelas sangat tidak bijaksana. Hal ini disebabkan potensi usahatani tebu lahan kering di Jawa masih dapat ditingkatkan produktivitasnya melalui perbaikan