Keuntungan Finansial dan Ekonomi Usahatani Tebu

Tabel 9. Keuntungan Finansial dan Ekonomi Usahatani Tebu Berdasarkan Jenis Lahan dan Tipe Bibit Rp Penerimaan Biaya Keuntungan Finansial Ekonomi Finansial Ekonomi Finansial Ekonomi Sawah Bibit 29,823,010 19,844,948 24,410,700 25,534,407 5,412,310 - 5,689,459 Sawah R1 27,337,759 18,191,202 20,038,860 21,146,247 7,298,899 - 2,955,044 Sawah R2 24,852,508 16,537,457 19,552,860 20,642,247 5,299,648 - 4,104,790 Sawah R3 23,609,883 15,710,584 19,309,860 20,390,247 4,300,023 - 4,679,663 Tegalan Bibit 26,409,485 16,537,457 19,118,700 21,054,407 7,290,785 -4,516,950 Tegalan R1 23,785,219 14,883,711 15,826,860 17,786,247 7,958,359 - 2,902,536 Tegalan R2 21,160,952 13,229,965 15,340,860 17,282,247 5,820,092 - 4,052,281 Tegalan R3 19,848,819 12,403,092 15,097,860 17,030,247 4,750,959 - 4,627,154 Fenomena yang terjadi dalam usahatani tebu adalah keuntungan finansial yang diperoleh meningkat ditahun kedua kemudian semakin menurun ditahun ke tiga dan berikutnya. Hal ini disebabkan petani tidak lagi membeli bibit pada tahun ke dua dan seterusnya sehingga komponen biaya pada tahun kedua dan seterusnya semakin berkurang. Bibit pada tahun ke dua dan seterusnya berasal dari keprasan tebu dari panen pertama. Produktivitas panen dari keprasan semakin menurun lama semakin menurun yang menyebabkan penerimaannya semakin menurun. Harga input yang dibayar oleh petani lebih rendah, sementara harga output yang diterima petani lebih tinggi dari harga yang seharusnya sosial. Dalam usahatani tebu, pemerintah telah menetapkan kebijakan proteksi baik terhadap input maupun output untuk melindungi petani tebu di pasar domestik. Subsidi berbagai pupuk terlihat dari Harga Eceran Tertinggi HET pupuk ZA dan Phonska berturut-turut sebesar Rp 1 050kg dan Rp 1 750kg. Selain itu pemerintah juga menetapkan harga dasar gula petani dana talangan sebesar Rp 4 950kg. Selain itu ada juga proteksi berupa penerapan tarif impor gula sebesar Rp 700kg. Dengan keterbatasan keuangan pemerintah, maka selain kebijakan subsidi, pemerintah harus dengan seksama membuat kebijakan yang berkaitan dengan efisiensi terutama efisiensi pabrik gula. 6.4 Daya Saing Usahatani Tebu Daya saing dilihat dari keunggulan kompetitif dan juga komparatif. Keunggulan kompetitif usahatani tebu ditentukan oleh keuntungan privat dan nilai rasio biaya domestik PCR. Rasio PCR menunjukkan bagaimana alokasi sumberdaya diarahkan untuk mencapai efisiensi finansial dalam memproduksi tebu. Usahatani tebu dikatakan efisien secara financial jika nilai PCR yang diperoleh lebih kecil dari satu. Semakin kecil PCR yang di peroleh maka semakin tinggi tingkat keunggulan kompetitif yang dimiliki. Data pada Tabel 10 juga menunjukkan bahwa koefisien PCR di semua wilayah lebih kecil dari satu, yang berarti sistem usahatani tebu mampu membayar korbanan biaya domestik yang efisien dalam pemanfaatan sumberdaya untuk memperoleh keuntungan secara finansial. Namun kemampuan membayar biaya domestik tersebut untuk setiap wilayah berbeda, seperti terlihat dari koefisien PCR yang berbeda. Disamping itu terdapat kecenderungan bahwa koefisien PCR pada usahatani tebu di lahan kering lebih kecil dibandingkan dengan di lahan sawah. Berdasarkan nilai rasio PCR yang diperoleh dari matriks analisis kebijakan diperoleh nilai PCR yang berkisar antara 0.64 sampai 0.81. Nilai rasio PCR terbesar diperoleh pada tebu di lahan sawah yang ditanam dari bibit, sedangkan nilai rasio PCR terendah didapat pada tebu di lahan tegalan yang berasal dari kepras1. Nilai PCR selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Rasio PAM Usaha Tani Tebu tebu sawah tebu tegalan bibit r1 r2 r3 bibit r1 r2 r3 1 NPCO [AE] 1.53 1.53 1.53 1.53 1.62 1.62 1.62 1.62 2 NPCI [BF] 0.58 0.59 0.59 0.59 0.58 0.59 0.59 0.59 3 PCR [CA-B] 0.81 0.69 0.74 0.77 0.71 0.60 0.66 0.70 4 DRC [GE-F] 1.24 1.10 1.20 1.26 1.20 1.05 1.17 1.26 5 EPC [A-BE-F] 1.67 1.71 1.73 1.75 1.82 1.89 1.93 1.96 6 PC [DH -1.31 -5.62 -2.28 -1.54 -2.67 -16.56 -3.75 -2.33 7 SRP [LE] 0.49 0.53 0.53 0.54 0.62 0.63 0.64 0.64 Keunggulan komparatif usahatani tebu dilihat dari rasio DRC. Nilai DRC ini menunjukkan jumlah sumberdaya domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit devisa. Nilai koefisien DRC usahatani tebu berkisar antara 1.05 sampai dengan 1.26. Nilai DRC terkecil diperoleh dari usahatani tebu kepras 1 di lahan tegalan dan nilai DRC terbesar diperoleh dari usahatani tebu kepras3 di lahan sawah. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani tebu secara ekonomi tidak efisien dan tidak mempunyai keunggulan komparatif karena nilai DRC lebih dari satu. Hal ini disebabkan karena nilai sosial output atau harga paritas gula jauh lebih kecil daripada harga privatnya. Selain itu, hal ini juga disebabkan karena biaya input tenaga kerja yang dibayarkan petani lebih tinggi dari harga sosialnya. Tenaga kerja merupakan input yang sangat mempengaruhi dalam usahatani tebu karena proporsinya mencapai 40 hingga 55 persen dalam struktur biaya usahatani tebu. Tabel 10 menunjukkan nilai rasio DRC yang mengecil pada tahun kedua dan kemudian membesar lagi pada tahun ketiga dan ke empat. Hal ini disebabkan karena input bibit pada tahun ke dua diperoleh dari keprasan sehingga petani tidak mengeluarkan biaya untuk bibit. Nilai DRC yang membesar di tahun ke tiga dan ke empat lebih disebabkan oleh produktivitas yang menurun, karena produksi tebu dari hasil keprasan semakin menurun. Nilai DRC relatif sama untuk kedua agroekosistem. Meskipun produktivitas berbeda antar antar agroekosistem namun berbeda, biaya yang dikeluarkan juga mengimbangi penerimaannya.

6.5 Dampak Kebijakan Pemerintah

Secara umum tujuan kebijakan pemerintah dapat dibagi kedalam tiga tujuan utama yaitu efisiensi efficiency, pemerataan equity, dan ketahanan security . Efisiensi tercapai apabila alokasi sumberdaya ekonomi yang langka adanya mampu menghasilkan pendapatan maksimum, serta alokasi barang dan jasa yang menghasilkan tingkat kepuasan konsumen yang paling tinggi. Pemerataan diartikan sebagai distribusi pendapatan diantara kelompok masyarakat atau wilayah yang menjadi target pembuat kebijakan. Biasanya, pemerataan yang lebih baik akan dicapai melalui distribusi pendapatan yang lebih baik atau lebih merata Monke and Pearson 1989. Dampak kebijakan subsidi input terutama pupuk yang dilakukan oleh pemerintah dapat dilihat dari nilai transfer input melalui koefisien proteksi input nominal NPCI. Sedangkan dampak kebijakan harga output dapat dilihat dari nilai transfer output melalui koefisien proteksi output nominal NPCO. Kebijakan input yang diterapkan oleh pemerintah memberikan insentif bagi petani tebu berupa harga input yang dibayar petani hanya setengah dari harga input seharusnya, yang tercermin dari koefisien NPCI sekitar 0.59. Kecenderungan tersebut adalah sama untuk semua jenis bibit dan lahan. Hal ini mencerminkan distribusi pupuk di Propinsi Jawa Timur cukup baik, sehingga harga pupuk di pasar antar wilayah tidak terdistorsi. Selain dari sisi input produksi, petani juga menikmati insentif harga output yang ditetapkan oleh pemerintah. Harga output yang dinikmati oleh petani lebih tinggi 53 - 62 persen dari harga jual yang seharusnya, dengan koefisien NPCO sekitar 1.53 - 1.62 Tabel 10. Hal ini memberikan makna bahwa produsen domestik menerima harga jual gula yang lebih tinggi dari harga di pasar dunia. Dampak kebijakan pemerintah terhadap input produksi dan output tersebut dinikmati oleh semua petani tebu yang berada di Jawa Timur. Pengaruh tingkat proteksi secara simultan terhadap input tradable dan harga output dapat dilihat dari besaran koefisien EPC effective protection coefficient . Semakin besar koefisien EPC berarti semakin tinggi tingkat proteksi pemerintah terhadap komoditas tebu. Pada Tabel, nilai EPC antar wilayah relatif sama yaitu bekisar 1.67 - 1.96 yang berarti tingkat proteksi kumulatif mencapai 67 - 96 persen. Besaran ini memberikan gambaran bahwa pemerintah sangat protektif terhadap petani tebu dan industri gula nasional.

6.6 Analisis Sensitivitas

Berdasarkan perhitungan PAM sebelumnya diketahui bahwa usahatani tebu di daerah penelitian tidak memiliki keunggulan komparatif dengan nilai DRC lebih besar dari satu. Nilai rasio dalam perhitungan PAM akan berubah apabila nilai input dan output dalam usahatani berubah. Oleh karena itu diperlukan analisis sensitivitas untuk mengetahui perubahan dalam input maupun output yang dapat mengubah nilai DRC menjadi kurang dari satu sehingga diperoleh keunggulan komparatif. Ada tiga simulasi yang dijalankan untuk melakukan analisis sensitivitas dalam penelitian ini, yaitu: 1. Simulasi peningkatan harga gula dunia. Simulasi ini dilakukan untuk mengetahui perubahan daya saing gula apabila harga gula dunia naik 25 persen, simulasi ini sesuai dengan tren peningkatan harga gula di pasar internasional yang terjadi belakangan ini seiring dengan meningkatnya harga pangan dan juga harga bahan bakar. 2. Analisis sensitivitas apabila terjadi kenaikan produktivitas 20 persen. Simulasi ini sangat relevan dengan dengan program yang dicanangkan pemerintah Kementerian Pertanian, yaitu program akselerasi peningkatan produktivitas gula nasional. 3. Analisis sensitivitas apabila terjadi penurunan suku bunga kredit dari 16 persen menjadi 12 persen per tahun. Simulasi ini dilakukan untuk melihat pengaruh kredit yang diberikan terhadap daya saing. Hasil analisis sensitivitas difokuskan pada rasio PCR dan DRC. Hasil sensitivitas 1 yaitu peningkatan harga gula dunia sebesar 25 persen tidak merubah rasio PCR tapi mengubah rasio DRC 1. Analisis sensitivitas 2 yaitu peningkatan produktivitas sebesar 20 persen mengubah kisaran rasio PRC menjadi 0.5 – 0.7 dan DRC menjadi 0.76 – 0.94. Analisis sensitivitas 3 yaitu penurunan suku bunga kredit 2 persen mengubah kisaran rasio PCR menjadi 0.59 – 0.79 dan DRC menjadi 1.02 – 1.26.