Competitiveness Analysis of Sugarcane Farming System and Structural Adjustment of Sugar Industry in East Java

(1)

ANALISIS DAYA SAING USAHATANI TEBU DAN

PENYESUAIAN STRUKTURAL INDUSTRI GULA

DI JAWA TIMUR

MUHAMAD YADJID

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul:

ANALISIS DAYA SAING USAHA TANI TEBU DAN

PENYESUAIAN STRUKTURAL INDUSTRI GULA

DI JAWA TIMUR

Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan sumbernya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, 29 Juli 2011

Muhamad Yadjid NRP A151050111


(3)

ABSTRACT

MUHAMAD YADJID. Competitiveness Analysis of Sugarcane Farming System and Structural Adjustment of Sugar Industry in East Java (RINA OKTAVIANI as Chairman and NUNUNG NURYARTONO as Member of the Advisory Committee).

Sugarcane is considered to be a high-valued commodity since Colonial era. The Highest sugar cane production in Indonesia was in 1930 and Indonesia became the second highest exporting sugar country at that time. However, the performance of sugar industry has declined during the last decade. Now, Indonesia has become an importing sugar country. This situation is more likely because Indonesian population grows in the average of 1.2% every year, which influence the direct sugar consumption every year. Indonesia’s sugar consumption is always exceeded its production. In order to fulfill the domestic consumption, Indonesia needs to import sugar. Based on the economic performance of sugar industry, the main issue of sugar industry in Indonesia is low increase of productivity and production in farm and sugar mills level, especially in East Java. Some factors are suspected to influence the productivity and production sugar performance. The objective of this research is to analyze competitiveness of sugar industry, especially in sugarcane farming system, impact of government policy and structural adjustment on sugar industry.

This study is conducted by using Policy analysis Matrix (PAM), and sensitivity analysis. The method is very useful in dealing with efficiency, competitiveness, and impacts of divergences caused by market or policy distortion. Sensitivity analysis is done as one of justifications in structural adjustment concept for sugar industry in Indonesia.

The result shows that sugarcane farming systems in wet and dry land are financially profitable, but economically it is a contradiction. The sugarcane farming systems are not having comparative advantage (DRC>1). The result also shows that the government is very protective to sugar industry in Indonesia. Impact of government policies are shown (at least) by NPCO and NPCI ratios. NPCO ratio range from 1.53 to 1.62, and NPCI ratio is around 0.59. Therefore, structural adjustment is needed to cope these issues and gain its comparative advantage.


(4)

RINGKASAN

MUHAMAD YADJID. Analisis Daya Saing Usaha Tani Tebu dan Penyesuaian Struktural Industri Gula di Jawa Timur. (RINA OKTAVIANI sebagai Ketua dan NUNUNG NURYARTONO sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Sebagai salah satu industri manufaktur yang tertua, Indonesia pernah mencapai era keemasan industri gula pada tahun 1930-an dengan menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba. Saat itu pabrik gula yang beroperasi adalah sebanyak 179 pabrik gula, produktivitas sekitar 14.8 persen dengan produksi puncak mencapai sekitar 3 juta ton dan ekspor gula pernah mencapai 2.4 juta ton (Sudana et al, 2000).

Namun perkembangan selanjutnya industri gula Indonesia lambat laun mengalami degradasi struktural dan sulit untuk bangkit kembali, hingga pada akhirnya Indonesia menjadi salah satu importir gula di dunia saat ini. Pada periode 1991 hingga 2001, industri gula Indonesia mulai mengalami berbagai masalah yang serius. Salah satu indikator masalah industri gula Indonesia adalah kecenderungan volume impor yang terus meningkat dengan laju 16.66 persen per tahun, produksi gula dalam negeri menurun dengan laju 3.03 persen per tahun. Tahun 1997 hingga 2002, produksi gula mengalami penurunan dengan laju 6.14 persen per tahun (Dewan Gula Indonesia, 2002). Pertumbuhan populasi yang sekitar 1.2 % per tahun turut mempengaruhi ketimpangan antara produksi dan konsumsi gula nasional. Pada akhirnya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi gula dalam negeri maka Pemerintah perlu untuk melakukan impor gula.

Tujuan penelitian ini adalah : (1) menganalisis daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) usahatani tebu di Jawa Timur, (2) menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap usahatani tebu, dan (3) merekomendasikan penyesuaian struktural bagi industri gula di Jawa Timur.

Penilitian ini menggunakan Policy Analysis Matrix sebagai metode untuk menganalisis daya saing usahatani tebu dan juga dampak kebijakan pemerintah terhadap usahatani tebu di Jawa Timur. Analisis Sensitivitas juga dilakukan sebagai salah satu landasan untuk merumuskan penyesuaian industry gula di Jawa Timur.

Penelitian ini menggunakan data primer dan juga data sekunder. Data Primer diperoleh dari hasil wawancara dengan para petani tebu yang kemudian diverifikasi oleh beberapa responden ahli. Data sekunder diperoleh data Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Kementrian Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosisal Ekonomi Pertanian, Bulog, dan Sekretariat Dewan Gula Indonesia. Pengolahan data dilakukan dengan program komputer Microsoft Office Excel 2003.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Rata-rata produktivitas usahatani tebu di sawah mencapai lebih dari 100 ton per hektar, sedangkan di lahan tegalan kurang dari 100 ton per hektar. Produktivitas tebu dari bibit (tanam awal) lebih tinggi dari ratoon 1 dan seterusnya. Biaya usahatani untuk tenaga kerja dan sewa lahan sangat besar, mencapai lebih dari 70 persen. Sementara itu, komponen terbesar biaya tenaga kerja usahatani tebu adalah biaya TMA. Biaya ini dipengaruhi oleh produksi tebu per satuan luas dan jauh dekat lokasi panen


(5)

dengan pabrik. Keuntungan privat usahatani tebu di lahan sawah lebih besar di banding lahan tegalan. Keuntungan usahatani tebu ratoon 1 lebih tinggi dari usahatani tebu tanam awal. Hal ini disebabkan karena usahatani tebu ratoon tidak mengeluarkan biaya untuk pembelian input bibit baru. Keuntungan finansial usahatani tebu berkisar antara Rp.5 juta – Rp. 8 juta/ha). Meskipun secara finansial usahatani tebu menguntungkan, namun secara ekonomi menunjukkan kerugian berkisar antara Rp. 500 ribu – Rp. 4 juta/ha)

Berdasarkan hasil analisis PAM, Usahatani tebu di Jawa Timur tidak memiliki keunggulan komparatif tapi masih memiliki keunggulan kompetitif. Hal ini di tunjukkan oleh rasio DRC >1 dan rasio PCR <1. Dampak Kebijakan input yang diterapkan oleh pemerintah memberikan insentif bagi petani tebu berupa harga input yang dibayar petani hanya setengah dari harga input seharusnya, yang tercermin dari koefisien NPCI sekitar 0.59. Harga output yang dinikmati oleh petani lebih tinggi 53-62 persen dari harga jual yang seharusnya (NCPO berkisar 1.53 sampai dengan 1.62). Dalam upaya peningkatan kemandirian pangan nasional, khususnya untuk komoditas gula, diperlukan penyesuaian struktural industri gula yang meliputi berbagai subsistem: on-farm maupun off-farm (hulu dan hilir), agar tercapai keseimbangan kesejahteraan antara petani produsen dan konsumen.

Berdasarkan analisis PAM, analisis sensitivitas dan juga pengalaman dari beberapa Negara pengekspor gula, ada beberapa implikasi kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah guna mendorong terjadinya perubahan struktural. Implikasi kebijakan mencakup subsistem hulu dan subsistem hilir. Kebijakan subsistem hulu adalah: (1) peningkatkan areal pertanaman tebu di daerah potensial, (2) Peningkatan Kredit Ketahanan Pangan (KKP) bagi petani tebu, dan (3) peningkatan produktivitas tebu, melalui penggunaan bibit tebu unggul berkualitas, teknologi kultur jaringan, serta rehabilitasi/pembaharuan pertanaman tebu lama melalui bongkar ratoon. Kebijakan subsistem hilir yaitu: (1) merehabilitasi dan memodernisasi pabrik-pabrik gula yang telah tua atau dengan membangun pabrik baru di daerah potensial, (2) pengembangan industri produk turunan tebu, dan (3) penguatan kelembagaan melalui Asosiasi kelompok tani tebu.


(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

(8)

ANALISIS DAYA SAING USAHA TANI TEBU DAN

PENYESUAIAN INDUSTRI GULA DI JAWA TIMUR

MUHAMAD YADJID

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(9)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS. (Dosen Departemen Agribisnis,

Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor)

Penguji Wakil Program Studi Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang: Dr. Ir. Anna Fariyanti, MS.

(Dosen Departemen Agribisnis,


(10)

Judul Tesis : Analisis Daya Saing Usahatani Tebu dan Penyesuaian Struktural Industri Gula di Jawa Timur

Nama Mahasiswa : Muhamad Yadjid Nomor Pokok : A151050111

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani , MS Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MS Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.


(11)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena hanya dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul “ Analisis Daya Saing Usaha Tani Tebu dan Penyesuaian Industri Gula di Jawa Timur”. Penelitian ini bertujuan menganalisis daya saing usaha tani tebu di Jawa Timur, mengevaluasi dampak kebijakan pemerintah pada usaha tani tebu di Jawa Timur, dan merumuskan implikasi kebijakan penyesuaian struktural industri gula di Jawa Timur.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS. dan Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MS. selaku ketua dan anggota komisi pembimbing, yang telah mengarahkan dan memberikan masukan dalam proses penelitian dan pelaksanaan tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A selaku Ketua Program Studi Ekonomi Pertanian (EPN) dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan proses pembelajaran selama penulis kuliah di Program Studi Ekonomi Pertanian.

2. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS. selaku Penguji Luar Komisi dan Dr. Ir. W. H. Anna Fariyanti, MS. selaku Penguji yang Mewakili Program Studi Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang pada Ujian Tesis, yang telah memberikan masukan bagi perbaikan tesis ini.

3. Prof. Stephen V. Marks yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjadi asisten lapang sekaligus membiayai penelitian ini.


(12)

4. Ir. Asep Syaiful Bahri, MSc yang telah banyak membantu mengajarkan Policy Analysis Matrix.

5. Teman-teman mahasiswa Pasca Sarjana program studi EPN 2005 (Pini, Novindra, Zednita, Wiji, Tono, Budi, dan Yusuf), terima kasih atas kebersamaan dan kerjasamanya selama kuliah.

6. Seluruh staf di Program Studi EPN (Mba Rubi, Mba Yani, Ibu Kokom dan Pak Husein) yang senantiasa sabar dan membantu penulis selama perkuliahan sampai akhir penulis menyelesaikan studi.

7. Pihak-pihak lain yang namanya tidak dapat disebutkan satu-persatu namun telah banyak memberikan saran dan informasi selama penulisan tesis ini.

Secara khusus dengan penuh rasa hormat dan cinta, penulis mengucapkan terima kasih atas segala dukungan dan doa dari orangtua, kakak dan adik untuk keberhasilan penulis. Penulis berharap penelitian ini bermanfaat dalam pengembangan pendidikan dan sektor pertanian khususnya industri gula di Indonesia. Semoga Allah SWT menerima karya ini sebagai amal ibadah dan tanda syukur penulis.

Bogor, 29 Juli 2011


(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 29 Juli 1981 dari Ibu Hadijah Hanafi dan Bapak Umar Machmoudy. Penulis merupakan putra ketiga dari empat bersaudara.

Tahun 1999 penulis lulus dari SMU Negeri 50 Jakarta dan pada tahun yang sama penulis diterima menjadi mahasiswa pada Program Studi Manajemen Agribisnis, Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB melalui jalur USMI. Pendidikan Sarjana tersebut diselesaikan pada tahun 2004. Penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang master pada Program Magister Sains di Program Studi Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005.

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. Usahatani Tebu ... 10

2.1.1. Budidaya Tebu ... 10

2.1.2. Pengolahan ... 12

2.1.3. Kebijakan Ekonomi Gula ... 13


(14)

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 20

3.1 Kerangka Teoritis ... 20

3.1.1. Konsep Daya Saing ... 20

3.1.2. Kebijakan Pemerintah ... 23

3.1.3. Structural Adjusment (Penyesuaian Struktural) ... 32

3.1.4 Policy Analysis Matrix (PAM) ... 34

3.1.5. Analisis Sensitivitas ... 34

3.2 Kerangka Pemikiran Konseptual... 35

IV. METODE PENELITIAN ... 39

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 39

4.2 Jenis dan Sumber Data ... 39

4.3 Metode Pengambilan Contoh ... 39

4.4 Metode Analisis ... 40

4.4.1 Policy Analysis Matrix (PAM) ... 40

4.4.1.1. Identifikasi Input dan Output Usahatani Tebu ... 43

4.4.1.2. Penentuan Harga Bayangan ... 43

4.4.1.3. Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing ... 46

4.4.1.4. Perhitungan dan Analisis PAM ... 47

4.4.2 Analisis Sensitivitas ... 52

V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 53

5.1 Provinsi Jawa Timur ... 53

5.2 Kabupaten Situbondo ... 53

5.3 Kabupaten Lumajang ... 56

5.4 Pabrik Gula Semboro ... 59

5.4 Pabrik Gula Wringinanom ... 59

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 61

6.1 Keragaan Fisik Input-Output Usahatani Tebu ... 61

6.2 Biaya Produksi Usahatani Tebu ... 62

6.3 Keuntungan Finansial dan Ekonomi Usahatani Tebu ... 63


(15)

6.5 Dampak Kebijakan Pemerintah ... 68

6.6 Analisis Sensitivitas ... 69

6.7 Perbandingan Industri Gula Asing dan Industri Gula Nasional ... 71

6.7.1 Struktur Industri Gula Kristal Putih ... 72

6.7.2 Industri Gula Brazil ... 72

6.7.3 Industri Gula Thailand ... 72

6.8 Penyesuaian Struktural ... 75

6.8.1 Luas Areal, Produktivitas dan Produksi Tebu... 75

6.8.2 Kondisi Pabrik Gula Nasional ... 76

6.8.3 Kebijakan Penyesuaian Struktural ... 77

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 80

7.1 Kesimpulan ... 80

7.2 Implikasi Kebijakan ... 81

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara historis, komoditas tebu sudah memperoleh perhatian yang besar sebagai komoditas komersial (high value commodity) sejak pemerintah Hindia Belanda. Pada abad ke-18 pemerintah kolonial Belanda mengembangkan industri gula di Pulau Jawa karena faktor-faktor yang mendukung seperti tanah yang subur, ketersediaan tenaga kerja yang melimpah. Kebijakan penanaman tebu tersebut kemudian dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia melalui perusahaan negara perkebunan dan perkebunan-perkebunan besar swasta di Luar Jawa. Dalam perkembangannya, tanaman tebu juga diusahakan oleh petani rakyat melalui kebijakan pemerintah tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) dengan sistem pergiliran areal tanam. Namun saat ini pengusahaan tebu rakyat relatif hanya


(16)

berkembang di wilayah Jawa Timur dan sebagian kecil Jawa Tengah (Saptana, et al, 2004).

Sebagai salah satu industri manufaktur yang tertua, Indonesia pernah mencapai era keemasan industri gula pada tahun 1930-an dengan menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba. Saat itu pabrik gula yang beroperasi adalah sebanyak 179 pabrik gula, produktivitas sekitar 14.8 persen dengan produksi puncak mencapai sekitar 3 juta ton dan ekspor gula pernah mencapai 2.4 juta ton (Sudana et al, 2000).

Namun perkembangan selanjutnya industri gula Indonesia lambat laun mengalami degradasi struktural dan sulit untuk bangkit kembali, hingga pada akhirnya Indonesia menjadi salah satu importir gula di dunia saat ini. Pada periode 1991 hingga 2001, industri gula Indonesia mulai mengalami berbagai masalah yang serius. Salah satu indikator masalah industri gula Indonesia adalah kecenderungan volume impor yang terus meningkat dengan laju 16.66 persen per tahun, produksi gula dalam negeri menurun dengan laju 3.03 persen per tahun. Tahun 1997 hingga 2002, produksi gula mengalami penurunan dengan laju 6.14 persen per tahun (Dewan Gula Indonesia, 2005).

Pertumbuhan populasi yang sekitar 1.2 persen per tahun turut mempengaruhi ketimpangan antara produksi dan konsumsi gula nasional. Pada akhirnya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi gula dalam negeri maka Pemerintah perlu untuk melakukan impor gula. Data dari Departemen Pertanian pada Tabel 1 menunjukkan bahwa produksi gula nasional lebih rendah dari tingkat konsumsi gula nasional.


(17)

Tahun Produksi Konsumsi Impor

1997 2 189 975 3 363 300 1 364 600

1998 1 491 553 3 300 000 1 811 732

1999 1 488 617 3 360 000 2 187 133

2000 1 693 851 3 300 000 1 600 000

2001 1 725 467 3 360 000 1 600 000

2002 1 755 425 3 300 000 1 544 013

2003 1 631 581 3 451 000 1 571 278

2004 2 051 644 3 388 808 1 314 626

2005 2 241 742 3 786 438 1 980 487

2006 2 307 000 3 968 453 1 405 942

2007 2 623 800 4 024 435 1 972 788

2008 2 668 428 4 034 657 983 944

2009 2 849 769 4 126 424 1 373 546

Sumber : Dewan Gula Indonesia 2005, Kementerian Pertanian 2010

Menurut Djojosubroto 1995, turunnya produksi gula nasional antara lain disebabkan oleh dua hal yaitu:

1. Penurunan produktivitas gula per hektar (terutama di Jawa), yang disebabkan ; terjadinya pergeseran areal tebu dari lahan sawah ke lahan kering, tidak ada inovasi dan adaptasi teknologi budidaya tebu lahan kering secara memadai, dan naiknya biaya produksi;

2. Menurunnya rendemen karena faktor budidaya maupun pabrik yang disebabkan; semakin panjangnya hari giling pabrik gula sehingga masa giling pabrik gula semakin jauh dari periode waktu kemasakan tebu yang optimal, kurangnya pasokan tebu, dan meningkatnya angka pol hilang pada pabrik gula atau meningkatnya jumlah gula yang hilang per ton tebu yang digiling. Penyebab menurunnya rendemen gula, selain dari faktor teknis, juga


(18)

disebabkan oleh faktor sosial yaitu belum selarasnya hubungan antara pabrik gula dengan petani tebu (Adisasmito, 1998).

Dua negara yang berhasil melakukan structural adjusment dalam industri gula adalah Australia dan Vietnam. Australia merupakan salah satu negara pengekspor gula terbesar kedua setelah Brazil. Sebagian besar produksi gula Australia diekspor ke negara lain. Usahatani tebu di Australia melibatkan 4 500 keluarga petani tebu dengan produksi tebu mencapai 39 juta ton. Jumlah pabrik gula di sana sebanyak 12 pabrik gula dan jumlah produksi gula mencapai 5.5 juta ton (Males, 2006). Biaya produksi gula Australia termasuk yang terendah di dunia.

Vietnam dengan One Million Ton of Sugar Programme (OMTSP) di tahun 1995 dinilai berhasil dengan bertambahnya jumlah penggilingan gula menjadi 44 penggilingan gula tahun 2002-2003, yang memproduksi 1.06 juta ton gula dari 11.5 juta ton tebu. Luas lahan pada tahun 1999 untuk usahatani tebu mencapai 350 ribu Ha. Keberhasilan yang dicapai Vietnam adalah untuk pemenuhan kebutuhan domestik gula tercapai pada tahun 2000, menciptakan lapangan kerja untuk 35 ribu pekerja dalam industri gula, peningkatan efisiensi penggunaan lahan sekitar 350 ribu Ha lahan, menciptakan lapangan kerja bagi sekitar 300 ribu petani dengan lebih dari 2 juta orang yang mengalami peningkatan standar hidup dan pengembangan perdesaan (Tuy, 2006).

Gula merupakan komoditas yang paling terdistorsi oleh kebijakan, di antara komoditas yang lain sejak tahun 1800an. Bentuk distorsi tersebut adalah proteksi yang mendorong sejumlah permasalahan, akibatnya produsen dan konsumen bereaksi terhadap mahalnya harga dan perusahaan melakukan


(19)

penyesuaian operasi mereka untuk mengambil keuntungan dari mahalnya harga atau menghindarinya jika mereka membuat produk yang menggunakan gula. Salah satu konsekuensi yang tidak dikehendaki dari tingginya proteksi adalah surplus produksi gula yang kemudian dibuang di pasar dunia dan dijual pada harga yang diberi subsidi. Banyak negara telah terpaksa untuk melindungi produsen domestik dari barang ekspor yang diberi subsidi dan menekan harga pasar dunia. Siklus dari proteksi, subsidi, dan proteksi yang lainnya tengah terjadi pada dekade ini (Mithcell, 2004).

Adanya kesepakatan World Trade Organization (WTO) mengharuskan setiap Negara termasuk Indonesia untuk mengurangi distorsi perdagangan berupa akses pasar, subsidi domestik serta subsidi ekspor secara bertahap. Perjanjian tersebut menyatakan kebijakan ekonomi yang terdistorsi seperti pengenaan pajak ekspor output, tarif impor input, subsidi input, pengaturan harga dan tataniaga, dan intervensi terhadap nilai tukar serta penetapan suku bunga bank baik dalam kegiatan produksi maupun perdagangan komoditas pertanian termasuk gula secara bertahap akan hilang (Hadi et al., 2001).

Akibatnya, sebelum pelaksanaan liberalisasi perdagangan tahun 2020, pemerintah harus mengatasi permasalahan tersebut melalui berbagai kebijakan untuk meningkatkan produktivitas industri gula nasional. Penetapan berbagai kebijakan pemerintah telah menunjukkan peningkatan produktivitas tebu per hektar rata-rata 4.5 persen per tahun pada periode 1999-2004 (Mardianto et al, 2004). Peningkatan produktivitas tersebut diharapkan akan meningkatkan daya saing sehingga pada saat pelaksanaan liberalisasi perdagangan, industri gula nasional telah mandiri dan siap menghadapi persaingan global.


(20)

1.2 Perumusan Masalah

Kemunduran industri gula Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1940-an. Efisiensi industri gula yang tercermin pada produktivitas dan hablur tebu pada periode 1930-an telah mengalami penurunan dan belum ada perbaikan hingga saat ini. Pada periode 1930-an, produktivitas tebu hampir mencapai 140 ton per hektar dan hablurnya mendekati 18 ton per hektar, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas dan hablur saat ini yang hanya sekitar 78 ton dan 6 ton per hektar (Mardianto et al, 2005).

Hasil beberapa penelitian menyebutkan bahwa Indonesia tidak efisien secara ekonomi dan tidak mempunyai keunggulan komparatif. Amang (1992) dalam Hafsah (2002) meninjau efisiensi penggunaan sumber daya alam yang tersedia. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa opportunity cost dari usahatani tebu di beberapa daerah di Jawa cukup tinggi. Opportunity cost tersebut semakin tinggi dengan semakin terbatasnya lahan subur di pulau Jawa dan alternatif penggunaan lahan untuk komoditas lain yang dianggap lebih menguntungkan. Hal tersebut juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Salim et al. (2004) yang menyatakan bahwa usahatani tebu tidak mempunyai keunggulan komparatif dengan koefisien DRC > 1, hal ini menunjukkan bahwa usahatani tebu tidak efisien secara ekonomi.

Inefisiensi juga terjadi pada tingkat pengolahan di pabrik gula. Pada tahun 2001, dengan nilai tukar sebesar Rp 9 000,- per Dollar AS, 18 pabrik gula yang berada di Jawa tidak efisien baik secara teknis maupun ekonomis dari 44 pabrik gula yang dianalisis oleh Khudori (2004). Tingkat rendemen juga masih rendah jika dibandingkan dengan negara lain. Rata-rata rendemen pabrik gula di Jawa


(21)

adalah sebesar 6 - 7 persen jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat rendemen negara lain yang rata-rata di atas 10 persen (Pakpahan, 2004).

Khudori (2004) menyatakan bahwa pada tahun 1999 rata-rata biaya produksi gula dunia sebesar 13 sen Dollar AS per Pound dan rata-rata biaya produksi gula Indonesia adalah sebesar 11 sen Dollar AS per Pound. Biaya produksi industri gula nasional dapat dikatakan masih kompetitif. Di samping itu, harga gula internasional tidak selalu mencerminkan biaya produksi yang sebenarnya. Hal ini disebabkan dengan adanya berbagai kebijakan subsidi domestik, pembatasan akses pasar serta subsidi ekspor yang dilakukan oleh negara eksportir maupun importir gula.

Jawa Timur merupakan penghasil gula terbesar di Indonesia berdasarkan tingkat produksi gula antar daerah. Selain itu Jawa Timur memiliki jumlah Pabrik Gula (PG) terbanyak, yaitu 33 PG dengan total kapasitas produksi sebesar 883 ribu ton per tahun, atau sebesar 44.35 persen dari total kapasitas produksi nasional pada tahun 1999/2000. Jika dilihat dari kapasitas rata-rata setiap PG, Jawa Timur menempati urutan kedua setelah Lampung. Bila digabungkan kedua daerah tersebut menghasilkan kontribusi sebesar 79.39 persen dari total produksi gula Nasional.

Adanya kesepakatan GATT dan WTO mengenai liberalisasi perdagangan memberikan peluang dan juga tantangan terhadap industri gula nasional. Peluangnya adalah segala bentuk proteksi terhadap industri gula yang dilakukan oleh negara-negara maju selama ini akan hilang secara bertahap. Hal ini akan menyebabkan harga internasional akan mencerminkan biaya produksi yang sebenarnya. Negara-negara yang mempunyai daya saing akan mempunyai


(22)

kemampuan lebih besar dalam persaingan di pasar internasional. Namun hal ini juga akan menjadi tantangan mengingat efisiensi industri gula Indonesia masih rendah dan pemerintah juga masih melakukan proteksi terhadap industri gula nasional.

Penurunan produksi dan produktivitas gula, inefisiensi di pengolahan pabrik gula, dan liberalisasi perdagangan adalah bagian dari perubahan industri dan struktur gula nasional. Para petani di tingkat usahatani tebu, juga mempertimbangkan untuk usahatani alternatif yang menguntungkan baginya. Campur tangan pemerintah bertujuan untuk mengurangi tekanan perubahan-perubahan yang bersifat negatif atau merugikan, tetapi adakalanya kebijakan pemerintah menimbulkan untintended consequences. Oleh Karena itu kebijakan pemerintah yang efektif dan efisien diperlukan untuk menstimulasi penyesuaian struktural untuk menciptakan pertumbuhan dan kesejahteraan bagi semua pihak.

Berdasarkan uraian di atas maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana daya saing usahatani tebu di Jawa Timur dilihat dari keunggulan komparatif dan kompetitifnya?

2. Bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap usahatani tebu di Jawa Timur?

3. Penyesuaian struktural seperti apa yang dapat dilakukan untuk industri gula di Jawa Timur?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang penelitian ini adalah sebagai berikut:


(23)

1. Menganalisis daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) usahatani tebu di Jawa Timur

2. Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap usahatani tebu di Jawa Timur.

3. Merekomendasikan penyesuaian struktural bagi industri gula di Jawa Timur.

1.4 Ruang lingkup dan Batasan Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini meliputi analisis Komparatif dan kompetitif usahatani tebu dengan menggunakan Policy Analysis matrix (PAM) yang meliputi perhitungan nilai rasio sumber daya domestik/ Domestic Resources Cost (DRC), Private Cost Rasio (PRC), dan dampak kebijakan pemerintah yang mempengaruhi daya saing terhadap komoditas gula. Penelitian ini difokuskan dan mengukur tingkat daya saing usahatani tebu pada lahan sawah dan tegalan yang menanam tebu dari bibit Plantation Cane (PC) dan juga kepras (keprasan). Penelitian ini tidak membahas langsung daya saing pada tingkat pengolahan dipabrik gula.

Batasan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini difokuskan pada tiga kabupaten di Jawa Timur dengan pertimbangan lokasi pabrik gula besar dan kecil yaitu Kabupaten situbondo, Lumajang dan Jember.

2. Gula yang menjadi bahasan penelitian adalah Gula Kristal Putih yang berasal dari PT. Perkebunan Nusantara.


(24)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Usahatani Tebu 2.1.1 Budidaya Tebu

Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan optimum dan dicapai hasil yang diharapkan. Variabel yang sangat penting dalam proses budi daya tanaman tebu adalah keadaan lahan, agroklimat, waktu tanam, teknik budi daya, proporsi tebu pertama dan tebu keras serta panen (tebang dan angkut).

Tanaman tebu merupakan tanaman yang sangat peka terhadap perubahan unsur-unsur iklim. Oleh karena itu, waktu tanam dan panen harus diperhatikan agar tebu dapat membentuk gula secara optimal. Tanaman tebu banyak membutuhkan air selama masa pertumbuhan vegetatifnya dan membutuhkan sedikit air pada masa pertumbuhan generatifnya (Mubyarto dan Damayanti,


(25)

1991). Terdapat dua cara penanaman tebu, yaitu di lahan sawah dengan sistem reynoso (cara pengolahan tanah sawah untuk tanaman tebu) dan di lahan tegalan dengan sistem tebu lahan kering.

Tebu lahan sawah memiliki beberapa kategori, tergantung dari pola penanaman. Tebu tanam atau tebu Tebu Rakyat Sawah I (TRIS I) adalah pola penanaman tebu dengan menggunakan bibit. Sedangkan tebu keras atau TRIS II dan selanjutnya adalah penanaman tebu dari kepras atau tunas yang berasal dari sisa panen. Perbedaan kategori tersebut berpengaruh terhadap produksi dan produktivitas tebu.

Teknologi budi daya yang tepat serta penggunaan varietas unggul yang paling sesuai dengan kondisi lahannya dapat menghasilkan tebu dengan bobot dan rendemen yang tinggi. Selain itu perlu diperhatikan juga kegiatan pasca panen dengan cara menghindari kerusakan tebu pada saat penebangan maupun pengangkutan, serta menjaga kebersihan tebu saat akan dikirim ke pabrik gula sehingga tebu yang akan digiling di pabrik gula mempunyai kriteria bersih, segar dan manis.

Sistem usahatani tebu dilaksanakan dengan sistem Hak Guna Usaha (HGU) dan Sistem Tebu Rakyat (TR). Dalam sistem HGU, pelaksanaan penanaman tebu, tebang angkut kemudian proses pengolahan menjadi gula merupakan tanggung jawab pabrik gula. Pada sistem TR yang dilaksanakan dengan pola kemitraan, petani bertanggung jawab terhadap kebun tebu sampai kegiatan tebang angkut dan proses pengolahannya diserahkan ke pabrik gula.

Sistem tebu rakyat dengan pola kemitraan dilaksanakan berdasarkan Inpres Nomor 9 Tahun 1975 tentang Tebu Rakyat Indonesia. Berdasarkan Inpres


(26)

tersebut, petani yang berada di wilayah-wilayah tertentu diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan pasokan bahan baku gula. Namun pada tahun 1997 pola ini mengalami perubahan berdasarkan Inpres Nomor 5 Tahun 1997 tentang Program Pengembangan Tebu Rakyat antara pabrik gula dan petani dengan fasilitas kredit. Perubahan yang mendasar dari Inpres tersebut adalah adanya kebebasan petani tebu untuk memilih komoditas tanaman yang dikehendakinya. Hal ini menyebabkan berkurangnya areal tebu sawah akibat adanya persaingan dengan tanaman alternatif yang dianggap lebih menguntungkan.

Adanya persaingan dengan tanaman alternatif, terutama padi menyebabkan pergeseran lahan dari lahan sawah beririgasi menjadi lahan tegalan yang kurang ideal bagi tanaman tebu. Hal ini menyebabkan kurangnya pasokan bahan baku ke pabrik gula dan pabrik beroperasi di bawah kapasitas gilingnya sehingga mengurangi efisiensi dan mengganggu kinerja pabrik.

Untuk mengatasi hal tersebut salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan meningkatkan produktivitas tebu. Agar tanaman tebu dapat bersaing dengan tanaman alternatif, maka produktivitas tanaman tebu harus mencapai 80 ton per hektar dengan tingkat rendemen 8 ton per hektar (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004).

2.1.2 Pengolahan

Proses pengolahan tebu adalah memeras nira dari batang tebu dan memprosesnya menjadi gula kristal dengan tingkat kehilangan gula (pol) sekecil mungkin. Tingkat kehilangan tersebut dapat terjadi pada ampas, blotong dan tetes. Rata-rata mutu tebu yang berada di pabrik gula di Jawa memiliki mutu yang rendah dengan nilai pol berkisar antara 8.3 – 11.2, nilai nira perasan pertama 9.9


(27)

-12.4 dan kadar kotoran tebu antara 6 - 20 persen. Rendahnya mutu tebu diperparah dengan kondisi beberapa pabrik gula yang sudah tua. Sekitar 68 persen dari jumlah pabrik gula yang ada telah berumur lebih dari 75 tahun dan kurang mendapat perawatan yang memadai. Hal ini menyebabkan efisiensi yang rendah dan meningkatkan biaya produksi per unit (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004).

Meskipun demikian, pabrik gula di Jawa masih berpotensi untuk ditingkatkan produktivitasnya melalui optimalisasi kapasitas giling serta penggalangan dengan petani. Pada tahun 2002 hasil giling pabrik gula yang berada di Jawa mengalami kenaikan produksi sebesar 14 persen (Sawit et a.l, 2004). Adanya program akselerasi Industri Gula Nasional telah memberikan insentif bagi petani tebu untuk kembali menanam tebu sehingga terjadi perluasan areal tanaman tebu.

2.1.3 Kebijakan Ekonomi Gula

Perubahan yang paling mendasar yang melandasi ekonomi gula adalah dibebaskannya tataniaga gula dari monopoli Bulog ke mekanisme pasar pada tahun 1998. Selain sistem tataniaga, sistem produksi juga mengalami perubahan dengan dicabutnya Inpres No 9 Tahun 1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi dan memberikan kebebasan kepada petani untuk memilih tanaman yang diusahakannya sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Papahan, 2004).

Perubahan tersebut memberikan keuntungan bagi industri gula nasional, terutama petani tebu. Namun dengan adanya Letter of Intent yang menyatakan pembebasan bea masuk 0 persen bagi komoditi pertanian menyebabkan


(28)

membanjirnya impor gula. Keadaan tersebut diperparah dengan masuknya impor gula ilegal dan adanya impor gula yang langsung dijual kepada konsumen sehingga harga gula domestik mengalami penurunan yang drastis dari Rp 3 000 per kg menjadi Rp 2 000 per kg. Penurunan harga yang drastis ini telah menghilangkan insentif bagi petani tebu, sehingga petani tebu enggan untuk menanam tebu.

Kemudian muncul SK Menperindag Nomor 230/MPP/Kep/1999, yang menetapkan tarif impor sebesar 20 persen untuk raw sugar dan 25 persen untuk white sugar untuk mengefektifkan penerapan tarif, bea masuk impor gula diubah menjadi tarif spesifik sebesar Rp 550,- per kg untuk raw sugar dan Rp 700 untuk white sugar (Sawit, et al, 2004).

Tahun 2002 kebijakan tersebut dikombinasikan dengan kuota impor berdasarkan SK Menperindag Nomor 643/MPP/Kep/2002 tentang tataniaga Impor Gula. Kebijakan tersebut menyatakan bahwa impor gula putih hanya dapat dilakukan oleh Importir Terdaftar Gula (IT). IT ini merupakan perusahaan yang memperoleh bahan baku minimal 75 persen berasal dari petani tebu dan impor gula hanya dilakukan pada saat harga di tingkat petani mencapai Rp 3 100 per kg. Kebijakan ini telah memberikan insentif bagi petani tebu untuk kembali menanam tebu.

Seiring dengan perkembangan pergulaan nasional, tahun 2004 Presiden menerbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2004 tentang penetapan gula sebagai barang dalam pengawasan dan Keputusan Republik Indonesia Nomor 58 tentang penanganan gula yang diimpor secara tidak sah. Kemudian muncul Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor


(29)

527/MPP/Kep/9/2004 tentang ketentuan impor gula. Keputusan ini bertujuan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan peningkatan pertumbuhan perekonomian masyarakat Indonesia serta menciptakan swasembada gula dan meningkatkan daya saing serta pendapatan petani tebu dan industri gula.

2.2 Penelitian yang Terkait

Studi yang dilakukan oleh Nelson dan Panggabean (1991), menyatakan bahwa kebijakan industri gula di Indonesia merupakan suatu jaringan kebijakan yang saling bertentangan dan kompleks baik antara kegiatan di bidang produksi, price support, pupuk maupun subsidi kredit. Melalui pendekatan Policy Analysis Matrix (PAM) hasil analisisnya menunjukkan bahwa pada musim tanam 1986/1987, baik pada lahan kering maupun irigasi pengusahaan komoditas tebu tidak memberikan keuntungan sosial karena tingginya opportunity cost dari penggunaan lahan. Malah ditemukan bahwa keuntungan sosial ada lahan beririgasi negatif karena biaya opportunity cost dari tanah. Khusus untuk lahan kering keuntungan sosialnya negatif tapi keuntungan privatnya positif. Sedangkan di tingkat pengolahan total biaya privat menggiling tebu (termasuk biaya untuk tebu) adalah sebesar Rp 383 miliar, sedangkan total pendapatan hanya Rp 372 miliar, jadi ada privat loss sebesar Rp 11 miliar. Biaya sosial untuk mengolah gula lebih besar daripada biaya privat. Sumber perbedaannya adalah pada subsidi modal pada penggilingan sebesar Rp 69 miliar. Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah terdapat biaya sosial yang hilang sebesar Rp 465 miliar. Petani, konsumen dan pemerintah menyubsidi produksi gula. Bagi petani, transfer yang diterima dari subsidi modal, input dan harga yang lebih tinggi dari harga


(30)

dunia akan digantikan dengan kerugian hilangnya kemungkinan mendapatkan hasil dengan alternatif yang menguntungkan. Konsumen membayar Rp 263 miliar lebih banyak jika harga gula domestik tidak sama dengan harga dunia. Pemerintah akan kehilangan sebesar Rp 88 miliar dalam bentuk subsidi modal ke penggilingan dan petani TRI serta Rp 34 miliar subsidi untuk input bahan kimia.

Rawan dan Hutabarat (1991) melakukan penelitian yang berjudul Analisis Efisiensi Penggunaan Masukan dan Ekonomi Skala Usaha pada Usahatani Tebu di Jawa Timur. Berdasarkan analisis fungsi keuntungan maka hasil penelitian tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pada usahatani tebu, perubahan upah tenaga kerja memiliki pengaruh lebih besar terhadap keuntungan usahatani dibandingkan dengan perubahan harga bibit,pupuk dan obat.

2. Bila dibandingkan menurut kategori tanaman tebu, pengaruh upah tenaga kerja terhadap keuntungan usahatani lebih besar pada tanaman tebu baru lahan sawah daripada tanaman tebu keprasan lahan sawah maupun lahan kering.

Pola yang sama terjadi untuk pengaruh harga pupuk dan obat. Hal ini menunjukkan bahwa keuntungan usahatani tebu tanaman baru pada lahan sawah lebih peka terhadap perubahan harga masukan usahatani dibanding tebu keprasan. Penggunaan masukan pada usahatani tebu keprasan lahan sawah maupun lahan kering sudah efisien. Namun pada tanaman tebu baru lahan sawah hanya penggunaan bibit yang telah efisien. Hal ini berimplikasi untuk memaksimumkan keuntungan usahatani tebu baru lahan sawah penggunaan tenaga kerja, pupuk, dan obat hendaknya ditingkatkan.


(31)

Kajian yang dilakukan Ernawati (1997) melalui model persamaan simultan menggunakan data seri tahun 1965-1995 dengan metode penggunaan parameter menggunakan metode 2 SLS menunjukkan hasil bahwa dalam 30 tahun terakhir produksi gula meningkat dengan laju 5.18 persen per tahun, terutama disebabkan oleh peningkatan luas areal tanam bukan karena produktivitas tanaman tebu. Produksi tebu secara nyata dipengaruhi oleh luas areal tanam tebu tahun lalu dan rasio luas areal tanam di lahan kering/luas areal tanam total. Sementara itu dari tujuh variabel, peningkatan produktivitas tebu secara nyata hanya dipengaruhi oleh produktivitas tahun lalu dan musim. Stok gula nasional dipengaruhi oleh produksi gula, stok tahun sebelumnya dan kebijakan pemasaran. Sedangkan impor dipengaruhi oleh nilai tukar dan jumlah populasi. Sedangkan sisi permintaan terdiri dari dua persamaan struktural yaitu permintaan gula rumah tangga yang dipengaruhi oleh pendapatan per kapita dengan nilai elastisitas sebesar 0.54 dan permintaan gula industri secara nyata dipengaruhi oleh tingkat pendapatan per kapita.

Studi PAM tentang gula lainnya dilakukan oleh Malian (1998) berjudul Dampak Deregulasi Gula terhadap Penerimaan Petani Tebu bertujuan untuk mengetahui efisiensi ekonomi dan insentif yang diperoleh dari intervensi pemerintah, serta dampaknya terhadap aktivitas usahatani, pengolahan dan pemasaran. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komoditas gula memiliki keunggulan komparatif di pasar internasional. Hal ini terlihat dari tingkat keuntungan pada harga sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh dari harga pasar. Berdasarkan harga pasar, keuntungan yang diperoleh petani setelah deregulasi adalah sebesar Rp 5 410 100 pada lahan


(32)

sawah, Rp 5 258 800 pada lahan kering dengan pola kredit dan Rp 4 940 600 untuk lahan kering pola swadana. Berdasarkan harga sosial keuntungan usahatani yang diterima meningkat menjadi Rp 8 217 100 pada lahan sawah, Rp 8 068 200 pada lahan kering pola kredit, dan Rp 7 737 700 untuk lahan kering pola swadana. Kesimpulan dari penelitian ini adalah setelah adanya deregulasi, pengembangan usahatani tebu secara ekonomi dapat dikatakan efisien dalam penggunaan sumberdaya domestik. Hal ini tercermin dalam indeks DRCR untuk mengetahui efisiensi ekonomi relatif dari sistem komoditas gula yang berkisar antara 0.1133 sampai 1.1291, dengan demikian pengembangan komoditas tebu untuk memasok kebutuhan bahan baku pabrik gula dapat terus dilanjutkan.

Analisis keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani tebu yang dilakukan oleh Salem et al. (2004). Hasil analisisnya menyimpulkan bahwa usahatani tebu di Kabupaten Kediri, Kabupaten Ngawi, dan Kabupaten Klaten tidak mempunyai keunggulan komparatif yang ditunjukkan oleh nilai koefisien DRC > 1. Namun, usahatani di Kabupaten tersebut masih memiliki keunggulan kompetitif yang ditunjukkan oleh nilai koefisien PCR < 1. Keunggulan kompetitif yang diperoleh lebih disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang cenderung protektif.

Hadi dan Nuryanti (2005) meneliti tentang dampak kebijakan proteksi terhadap ekonomi gula Indonesia. Dari penelitiannya disimpulkan bahwa kebijakan proteksi berupa tarif maupun non tarif menyebabkan kenaikan harga gula domestik. Kenaikan tersebut tercermin pada selisih antara harga paritas impor gula di tingkat grosir dengan harga aktual di tingkat grosir. Harga paritas impor gula di tingkat grosir pada tahun 2004 adalah Rp 2 201 per kg dan harga


(33)

aktual di tingkat grosir adalah Rp 3 707 per kg. Selisih antara tingkat harga tersebut adalah Rp 1 505 per kg yang merupakan selisih harga akibat diterapkannya proteksi berupa tarif dan non tarif.

Studi yang dilakukan oleh Susila dan Sinaga (2005) tentang analisis kebijakan industri gula Indonesia, didapati bahwa berbagai kebijakan yang ditetapkan pemerintah seperti kebijakan harga provenue gula, tarif impor, tariff rate quota, dan subsidi input merupakan instrumen kebijakan yang efektif untuk mengembangkan industri gula nasional dan mengurangi impor. Namun tingkat efektivitas dari masing-masing kebijakan berbeda. Kebijakan harga provenue gula memiliki efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan kebijakan tariff rate quota dan kebijakan tarif.


(34)

(35)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Teoritis 3.1.1 Konsep Daya Saing

Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditi dengan biaya yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional kegiatan produksi tersebut menguntungkan (Simanjuntak, 1992). Pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur daya saing komoditi adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dari pengusahaan komoditi tersebut. Tingkat keuntungan dapat dilihat dari keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sedangkan efisiensi pengusahaan komoditi dapat didapat dari tingkat keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.

a. Teori Keunggulan Komparatif

Keunggulan komparatif pertama kali dikemukakan oleh David Ricardo pada tahun 1817, yang selanjutnya dikenal dengan Model Ricardian/Ricardo atau Hukum Keunggulan Komparatif (The Law of Comparative Advantage). Hukum tersebut menyatakan bahwa meskipun suatu negara kurang efisien (memiliki kerugian absolut) dibandingkan negara lain dalam memproduksi kedua komoditas, namun masih terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Suatu negara harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (memiliki keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditas yang memiliki kerugian absolut yang lebih besar (memiliki kerugian komperatif) (Salvatore, 1997).


(36)

terhadap hukum keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh David Ricardo. Dari perbaikan tersebut dihasilkan suatu teorema Heckscher-Ohlin (H-O) yang menyatakan bahwa sebuah negara akan mengekspor komoditi yang produksinya lebih banyak menyerap faktor produksi yang relatif berlimpah dan murah di negara tersebut, dan pada saat yang sama mengimpor komoditi yang produksinya memerlukan faktor produksi yang relatif langka dan mahal di negara tersebut. Teorema H-O menonjolkan perbedaan dalam kelimpahan faktor atau kepemilikan faktor-faktor produksi sebagai landasan keunggulan komparatif bagi masing- masing negara. Sehingga teorema H-O memberikan penjelasan mengenai proses terbentuknya keunggulan komparatif bagi suatu negara dalam memproduksi suatu komoditi (Salvatore, 1997).

Keunggulan suatu komoditi diukur berdasarkan biaya oportunitas. Haberler, 1936 menyatakan bahwa biaya sebuah komoditi adalah jumlah komoditi kedua yang harus dikorbankan untuk memperoleh sumberdaya yang cukup untuk memproduksi satu unit tambahan komoditi pertama (Salvatore, 1997). Biaya oportunitas ini kemudian dikenal sebagai shadow price atau social cost yang menggambarkan nilai barang atau jasa yang dikorbankan untuk altematif penggunaan terbaik bagi masyarakat secara keseluruhan (Gittinger, 1986).

Menurut Sudaryanto dan Simatupang (1993) dalam Saptana et al, (2001). Konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing potensial yang dapat dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali. Komoditi yang mempunyai keunggulan komparatif maka komoditi tersebut efisien secara ekonomi.


(37)

b. Teori Keunggulan Kompetitif

Kondisi perekonomian yang tidak mengalami distorsi sama sekali sulit ditemukan pada kondisi perekonomian aktual. Oleh karena itu, untuk mengukur daya saing suatu aktivitas berdasarkan kondisi perekonomian aktual digunakan konsep keunggulan kompetitif.

Konsep keunggulan kompetitif digunakan untuk mengukur kelayakan suatu aktivitas atau keuntungan privat yang dihitung berdasarkan harga pasar yang berlaku (analisis finansial). Sudaryanto dan Simatupang (1993) dalam Saptana et al, (2001). menyatakan bahwa konsep yang lebih sesuai untuk mengukur kelayakan finansial adalah keunggulan kompetitif.

Kelayakan finansial menilai manfaat proyek atau aktivitas ekonomi dari sudut lembaga atau individu yang terlibat dalam proyek atau aktivitas ekonomi tersebut. Sedangkan kelayakan ekonomi menilai manfaat proyek atau aktivitas ekonomi tanpa melihat lembaga atau individu yang terlibat dalam proyek atau aktivitas tersebut (Gittinger, 1986). Komoditi yang mempunyai keunggulan komparatif mencerminkan komoditi tersebut mempunyai manfaat bagi ekonomi suatu negara secara keseluruhan. Sedangkan komoditi yang mempunyai keunggulan kompetitif mencerminkan komoditi tersebut mempunyai manfaat hanya bagi pelaku yang terlibat dalam industri tersebut.

Menurut Porter, dalam era persaingan global saat ini, suatu bangsa atau negara yang mempunyai keunggulan kompetitif dapat bersaing di pasar internasional apabila memiliki empat faktor. Keempat faktor produksi tersebut adalah sebagai berikut (Halwani, 2002):


(38)

1. Keadaan faktor produksi yang dimiliki oleh suatu negara yang terdiri dari sumberdaya alam, sumberdaya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta infrastruktur

2. Keadaan permintaan dan tuntutan mutu di dalam negeri untuk hasil industri tertentu. Keadaan permintaan terdiri dari komposisi permintaan rumah tangga, ukuran dan pola pertumbuhan permintaan rumah tangga, pertumbuhan pasar domestik dan kecenderungan permintaan internasional 3. Eksistensi industri terkait dan pendukung yang kompetitif secara

internasional

4. Strategi perusahaan itu sendiri, struktur serta sistem persaingan antar perusahaan

Dalam perencanaan dan pengembangan produksi suatu komoditi tertentu oleh suatu negara atau perusahaan, sebaiknya digunakan kedua konsep, yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.

3.1.2 Kebijakan Pemerintah

Sebagian besar kebijakan pemerintah ditujukan untuk tiga tujuan dasar, yaitu efisiensi, pemerataan dan ketahanan. Efisiensi dapat diperoleh pada saat alokasi sumberdaya yang langka dalam ekonomi menghasilkan sejumlah keuntungan yang maksimum dan alokasi barang dan jasa memberikan kepuasan tertinggi bagi konsumen. Pemerataan mengacu pada distribusi pendapatan antara berbagai golongan atau wilayah, yang menjadi target pembuat kebijakan. Sedangkan ketahanan, misal ketahanan pangan mengacu pada ketersediaan suplai pangan pada tingkat harga yang stabil dan terjangkau (Pearson et al, 2004).


(39)

Terdapat dua bentuk kebijakan yang ditujukan untuk mencapai tiga tujuan tersebut, yaitu subsidi dan kebijakan perdagangan dalam negeri. Kebijakan subsidi dapat berupa subsidi positif yaitu subsidi yang diberikan oleh pemerintah dan subsidi negatif yang dibayarkan kepada pemerintah atau disebut pajak.

Kebijakan perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada impor atau ekspor terhadap suatu komoditi melalui pemberlakuan tarif atau kuota. Kebijakan perdagangan ekspor dilakukan untuk melindungi konsumen dalam negeri apabila harga domestik lebih rendah dibandingkan dengan harga di pasar dunia. Sedangkan kebijakan perdagangan impor dilakukan untuk melindungi produsen dalam negeri apabila harga domestik lebih tinggi dari harga di pasar dunia.

Adanya kesepakatan World Trade Organization (WTO) mengenai Perjanjian Pertanian atau Agrement on Agricultural (AoA) maka setiap negara anggota harus mengurangi distorsi-distorsi perdagangan pertanian, seperti subsidi domestik, subsidi ekspor dan akses pasar. Untuk subsidi domestik, dalam pelaksanaannya diuraikan 'menjadi tiga kotak perlakuan yaitu kotak hijau (green box), kotak kuning (amber box) dan kotak biru (blue box). Perlakuan pada kotak hijau meliputi kebijakan bantuan pertanian secara umum, seperti penelitian dan pengembangan, pengendalian hama dan penyakit, keamanan pangan serta bantuan pangan domestik. Perlakukan pada kotak hijau menghasilkan dampak yang minimum terhadap perdagangan dan dikecualikan dari setiap komitmen pengurangan.

Perlakuan pada kotak kuning meliputi kebijakan bantuan harga tertentu yang ditujukan kepada petani. Perlakukan ini dihitung pada produk dengan dasar


(40)

produk dan harus diturunkan sebesar 20 persen untuk negara maju hingga tahun 2000 dan 13.3 persen untuk negara berkembang hingga tahun 2004. Sedangkan untuk negara kurang berkembang dikecualikan dari ketentuan ini. Perlakuan pada kotak biru adalah pembayaran langsung di bawah program pembatasan produksi dan bebas dari pengurangan. Hal ini tidak perlu dikurangi karena dianggap berhubungan dengan faktor produksi tetapi tidak untuk dikaitkan dalam hal penetapan harga dan volume hasil.

Kesepakatan lain dalam perjanjian WTO adalah pengurangan subsidi ekspor sebesar 66.67 persen untuk negara berkembang dalam 10 tahun dan pengurangan volume dan pengeluaran anggaran masing-masing 20 persen dan 36 persen dalam enam tahun untuk negara maju. Kesepakatan terakhir dari perjanjian pertanian adalah bahwa semua anggota WTO harus mengubah hambatan non-tarif menjadi hambatan tarif dan menetapkan tingkat minimal untuk pangsa impor.

Adanya berbagai kesepakatan di atas maka setiap negara anggota WTO wajib memenuhi semua kewajiban yang diharuskan melalui penetapan kebijakan pemerintah yang sesuai dengan perjanjian tersebut. Setiap kebijakan subsidi maupun kebijakan perdagangan akan berdampak pada output maupun input suatu komoditi yang diproduksi oleh suatu negara.

a. Kebijakan Terhadap Harga Output

Intervensi pemerintah pada kebijakan output dibagi menjadi delapan tipe kebijakan subsidi dan dua tipe kebijakan perdagangan (Monke and Pearson, 1989). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2 yang menampilkan dua instrumen kebijakan harga output, yaitu kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan dalam negeri. Kebijakan subsidi dapat berupa subsidi positif yaitu subsidi yang diberikan


(41)

oleh pemerintah dan subsidi negatif yang dibayarkan kepada pemerintah atau disebut pajak. Subsidi (positif dan negatif) bertujuan untuk membuat perbedaan antara harga domestik dan harga di pasar dunia dalam rangka melindungi produsen dan konsumen dalam negeri.

Tabel 2. Klasifikasi Kebijakan Pemerintah Terhadap Harga Output

Instrumen Dampak terhadap Produsen Dampak terhadap

Konsumen Kebijakan subsidi:

1. Tidak mengubah harga pasar dalam negeri 2. Mengubah harga pasar

dalam negeri

Subsidi kepada produsen: 1. Pada barang-barang impor

(S+PI, S-PI)

2. Pada barang-barng ekspor (S+PE, S-PE)

Subsidi kepada konsumen:

1.Pada barang-barang

impor (S+CI, S-CI)

2.Pada barang-barang

ekspor (S+CE, S-CE) Kebijakan perdagangan

seluruhnya mengubah

harga pasar dalam negeri

Hambatan pada barang

impor (TPI)

Hambatan pada barang ekspor

Sumber : Monke and Person, 1989 Keterangan :

PI = Produsen barang impor CI = Konsumen barang impor PE = Produsen barang ekspor CE = Konsumen barang ekspor

S+ = Subsidi TPI = Hambatan pada produsen barang impor

S- = Pajak TCE = Hambatan pada konsumen barang ekspor

Kebijakan perdagangan merupakan pembatasan yang diterapkan pada impor maupun ekspor suatu komoditi. Kebijakan impor dilakukan untuk melindungi produsen dalam negeri karena harga domestik lebih tinggi dibandingkan harga di pasar dunia. Kebijakan perdagangan ekspor dilakukan untuk melindungi konsumen dalam negeri karena harga domestik lebih rendah dibandingkan dengan harga di pasar dunia. Kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan mempunyai perbedaan pada tiga aspek, yaitu implikasi pada anggaran pemerintah, tipe alternatif kebijakan dan tingkat kemampuan penerapan (Monke and Pearson, 1989). Adapun berbedaan tersebut adalah:


(42)

1. Implikasi pada anggaran pemerintah

Kebijakan subsidi positif akan mengurangi anggaran pemerintah karena pemerintah harus mengeluarkan dana untuk subsidi komoditi yang bersangkutan. Kebijakan subsidi negatif atau pajak akan menambah anggaran pemerintah, karena pemerintah mendapat tambahan penerimaan dari para wajib pajak. Sedangakan, kebijakan perdagangan tidak mempunyai dampak terhadap anggaran pemerintah.

2. Tipe alternatif kebijakan

Kebijakan subsidi mempunyai delapan tipe alternatif kebijakan, yaitu : a. Subsidi positif terhadap produsen barang impor.

b. Subsidi negatif terhadap produsen barang impor. c. Subsidi positif terhadap produsen barang ekspor. d. Subsidi negatif terhadap produsen barang ekspor. e. Subsidi positif terhadap konsumen barang impor. f. Subsidi negatif terhadap konsumen barang impor. g. Subsidi positif terhadap konsumen barang ekspor. h. Subsidi negatif terhadap konsumen barang ekspor.

Kebijakan perdagangan terdiri dari dua tipe alternatif kebijakan, yaitu : a. Hambatan terhadap barang impor.

b. Hambatan terhadap barang ekspor. 3. Tingkat kemampuan penerapan.

Kebijakan perdagangan hanya dapat diterapkan terhadap komoditi yang tradable atau komoditi yang diekspor dan diimpor. Sedangkan kebijakan subsidi, dapat diterapkan ke semua komoditi baik komoditi tradable maupun komoditi non


(43)

tradable. Salah satu kebijakan yang banyak diterapkan pemerintah adalah kebijakan subsidi positif' terhadap produsen barang impor. Pemerintah menginginkan pertumbuhan output hasil pertanian dalam negeri dan melakukan subsidi terhadap produksi komoditi tersebut dari anggaran pemerintah.

Gambar 1. Subsidi Positif terhadap Produsen Barang Impor Sumber: Monke and Person, 1989

Kebijakan subsidi positif terhadap produsen barang impor akan meningkatkan transfer kepada produsen menjadi Pp lebih yang tinggi dari harga internasional Pw. Hal ini akan menyebabkan peningkatan output domestik dari Q1 menjadi Q2. Konsumsi domestik tidak mengalami perubahan yaitu tetap sebesar Q3, karena harga yang diterima konsumen tetap sebesar Pw. Kebijakan ini menyebabkan penurunan impor dari Q3 – Q1 menjadi Q3 – Q2.

Tingkat subsidi per unit yang diterima produsen adalah Pp - Pw dan dikenakan pada tingkat produksi Q2. Total transfer dari pemerintah kepada produsen adalah Q2 x (Pp - PW) dan diperlihatkan oleh area PpABPw. Transfer tersebut menciptakan adanya efisiensi yang hilang dalam ekonomi. Hal tersebut

P

B

S

D A

C

Q Q3

Q2 Q1 PP


(44)

dikarenakan pemerintah tidak memilih penggunaan sumberdaya yang langka untuk dialokasikan pada tingkat harga yang terbentuk sebesar Pw.

Biaya impor untuk komoditi Q2 – Q1 adalah sebesar Q1CBQ2. Kebijakan subsidi oleh pemerintah akan meningkatkan produksi domestik untuk mensubstitusi jumlah impor dengan nilai sumberdaya domestik yang digunakan memproduksi sebesar Q2 – Q1 adalah area di bawah kurva penawaran, yaitu Q1CAQ2. Efisiensi yang hilang akibat adanya subsidi positif terhadap produsen barang impor dapat ditunjukkan dengan perbedaan antara biaya sumberdaya yang digunakan untuk meningkatkan produksi domestik Q1CAQ2 dengan opportunity cost dari impor sebesar Q1CBQ2, atau area CAB.

b. Kebijakan Terhadap Harga Input

Selain kebijakan terhadap output, kebijakan pemerintah juga diterapkan pada input (pupuk, pestisida, dan sebagainya) baik input yang dapat diperdagangkan (tradable) maupun input yang tidak dapat diperdagangkan. Intervensi pemerintah pada input non tradable berupa hambatan perdagangan tidak tampak karena input tersebut hanya diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri. Intervensi pemerintah berupa kebijakan-kebijakan dalam perdagangan input juga akan mengubah variabel-variabel seperti halnya pada output.

Gambar 2(a) menunjukkan adanya pajak pada input yang menyebabkan peningkatan biaya produksi sehingga pada tingkat harga output yang sama, output domestik mengalami penurunan dari Q1 menjadi Q2 dan kurva supply bergeser ke kiri atas. Efisiensi ekonomi yang hilang sebesar ABC, yang merupakan perbedaan output yang hiang dengan biaya produksi untuk menghasilkan output tersebut sebesar Q2BCQ1.


(45)

1. Kebijakan input tradable.

Pengaruh subsidi dan pajak pada input tradable dapat ditunjukkan oleh Gambar 2.

Gambar 2. Subsidi dan Pajak pada Input Tradable Sumber: Monke and Person, 1989

Gambar 2(b) menunjukkan dampak subsidi pada input tradable yang digunakan. Kondisi perdagangan bebas menunjukkan harga yang berlaku adalah Pw dan tingkat produksi yang dihasilkan adalah Q1. Adanya subsidi pada input tradable menyebabkan biaya produksi semakin rendah dan penggunaan input intensif sehingga kurva penawaran (S) bergeser ke kanan bawah dan produksi mengalami kenaikan dari Q1 menjadi Q2. Sedangkan efisiensi yang hilang karena adanya subsidi tersebut adalah ABC yang merupakan pengaruh perbedaan antara biaya produksi setelah output meningkat yaitu Q1ACQ2 dengan penerimaan output yang meningkat yaitu Q1ABQ2.

P

D

Q P

S’ S

A

B

C

S’ S

A

B C

D PW

PW

Q1 Q2

Q2 Q1 Q

(b) S + II (a) S - II


(46)

Salah satu kebijakan input tradable yang ditetapkan pemerintah untuk industri gula adalah subsidi pupuk. Kebijakan subsidi tersebut diharapkan dapat meningkatkan produktivitas usahatani tebu dan industri gula.

2. Kebijakan Input NonTradable

Kebijakan pemerintah pada input non tradable, berupa hambatan perdagangan tidak tampak karena input non tradable hanya diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri. Kebijakan pemerintah dalam hal ini adalah pajak dan subsidi. Pd adalah harga domestik sebelum diberlakukan pajak dan subsidi. Pc merupakan harga di tingkat konsumen setelah diberlakukannya pajak dan subsidi. Harga di tingkat produsen setelah diberlakukannya pajak dan subsidi adalah sebesar Pp.

Gambar 3. Dampak Subsidi dan Pajak pada Input Non Tradable Sumber: Monke and Pearson, 1989

Gambar 3 (a) menunjukkan bahwa sebelum diberlakukan pajak terhadap input, harga dan jumlah keseimbangan dari permintaan dan penawaran input non tradable berada pada Pd dan Q1. Harga di tingkat produsen turun menjadi Pp dan

C S P

P

Pp C

S

Pd A B

Pc

Pd A

B D E Pc D Pp E Pp’ Q Q

(a) S + N (a) S - N


(47)

harga yang diterima konsumen naik menjadi Pc. Efisiensi ekonomi yang hilang diukur dari perbedaan antara kemampuan konsumen untuk membayar (Q2CAQ1) dan biaya sumberdaya produksi (Q2CAQ1) terhadap perubahan output yang dihasilkan. Sehingga efisiensi ekonomi yang hilang dari produsen sebesar BEA dan dari konsumen sebesar BCA.

Gambar 3(b) menunjukkan bahwa sebelum diberlakukan subsidi terhadap input, harga dan jumlah keseimbangan dari permintaan dan penawaran input non tradable berada pada Pd dan Q1. Adanya subsidi menyebabkan produk yang dihasilkan meningkat menjadi Q2. Harga yang diterima produsen menjadi lebih tinggi yaitu Pp, sedangkan harga yang dibayarkan konsumen menjadi lebih rendah yaitu Pc. Efisiensi yang hilang diukur dari besarnya biaya produksi yang dikeluarkan akibat penambahan output (Q1ACQ2) dengan kemampuan konsumen membayar terhadap perubahan produk yang dihasilkan (Q1AEQ2). Sehingga efisiensi yang hilang dari produsen sebesar ABC sedangkan dari konsumen sebesar ABE.

Kebijakan untuk input non tradable antara lain adalah kebijakan tenaga kerja berupa penetapan upah minimum. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan peningkatan kesejahteraan tenaga kerja

.

3.1.3 Structural Adjusment (Penyesuaian Struktural)

Harris (2006) menyatakan bahwa penyesuaian (adjusment) adalah istilah untuk menggambarkan proses perubahan ekonomi. Pada sektor pertanian, istilah ini sering digunakan untuk merefleksikan keputusan yang diambil petani untuk mengubah penggunaan input dan outputnya. Istilah ini digunakan dalam konteks


(48)

jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Selama ini penyesuaian dalam bidang pertanian dapat diobservasi sebagai perubahan makro ekonomi yang terjadi dalam bentuk pergerakan sumberdaya di antara sektor-sektor ekonomi. Gambaran jelas dari konsep ini adalah terjadinya penggantian dari tenaga kerja pertanian dengan modal. Tren ini berhubungan dengan migrasi tenaga kerja dari desa ke kota.

Konsep dari penyesuaian juga berlaku terhadap perubahan karakteristik struktural jangka panjang dalam industri pertanian. Penyesuaian dalam hal ini menggambarkan perubahan dalam penggunaan input dan perubahan output industri ketika petani secara individual beradaptasi terhadap peristiwa ekonomi yang menentukan perkembangan industri tersebut.

Penyesuaian dapat diaplikasikan dalam menggambarkan keputusan-keputusan manajemen jangka pendek yang dibuat oleh petani sebagai respon dari perubahan kondisi pasar di industri yang berbeda. Umumnya para petani bersifat adaptif dan tahan terhadap perubahan dalam kondisi fisik dan finansial yang mempengaruhi pendapatan mereka. Respons dari para petani inilah yang mendorong perubahan jangka panjang dalam karakteristik struktural dari industri tertentu.

Penyesuaian struktural dalam industri pertanian sering digambarkan sebagai proses dimana para petani dipaksa untuk meninggalkan sektor pertanian sebagai akibat dari faktor eksternal. Ini adalah persepsi yang dikaitkan dengan tekanan untuk meningkatkan performa pertanian untuk mencapai pendapatan yang memuaskan.


(49)

Hal ini adalah perspektif yang terbatas dari proses yang lebih berkaitan dengan peningkatan dan pengembangan industri.Kenyataannya, proses perubahan struktural tidak dapat dihindari sebagai dampak perkembangan ekonomi. Semua sektor ekonomi merupakan subjek terhadap tekanan – tekanan perubahan dan pertanian adalah salah satunya.

Menggunakan istilah sederhana penyesuaian struktural merujuk kepada perubahan dalam penggunaan sumberdaya yang digunakan oleh sebuah industri sebagai respon dari peristiwa ekonomi. Hal ini adalah proses yang berkesinambungan yang mempengaruhi seluruh industri pertanian. Seiring waktu, sumberdaya akan bergerak masuk dan keluar dari industri tergantung dari perubahan pada kondisi pasar (Harris, 2006). Dua istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan proses ini, adalah:

1. Penyesuaian industri, yaitu cara pelaku – pelaku industri bereaksi terhadap peristiwa ekonomi dan perubahan dalam pasar nantinya.

2. Perubahan struktural, yaitu bagaimana respon penyesuaian kolektif dari entitas – entitas individual mengubah besaran dan karakteristik struktural dari suatu industri.

3.1.4 Policy Analysis Matrix (PAM)

Policy Analysis Matrix (PAM) atau matriks kebijakan digunakan untuk menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan dampaknya pada sistem komoditas. Sistem komoditas yang dapat dipengaruhi meliputi empat aktivitas. yaitu tingkat usahatani, penyampaian dari usahatani ke pengolah, pengolahan serta pemasaran (Monke and Pearson, 1989).


(50)

menggunakan PAM, perhitungan dapat dilakukan secara keseluruhan, sistematis, dan dengan output yang beragam. Sedangkan kelemahan dari alat analisis ini adalah tidak membahas masing-masing analisis secara mendalam. Analisis ini dapat digunakan pada sistem komoditas di berbagai daerah dengan beragam tipe usahatani dan teknologi.

Metode PAM merupakan suatu analisis yang dapat mengidentifikasikan keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif serta dampak kebijakan pemerintah yang mempengaruhi sistem komoditas. Metode analisis ini diperkenalkan oleh Eric A. Monke dan Scott R. Pearson pada tahun 1989.

3.1.5 Analisis Sensitivitas

Dalam analisis kelayakan proyek pertanian, baik secara finansial maupun ekonomi, terdapat empat faktor yang sangat sensitif terhadap suatu perubahan. Keempat faktor tersebut adalah harga, keterlambatan pelaksanaan, kenaikan biaya dan perubahan hasil. Untuk melihat pengaruh-pengaruh yang akan terjadi akibat perubahan faktor tersebut maka perlu dilakukan analisis sensitivitas (sensitivity analysis) (Gittinger, 1986).

Analisis sensitivitas membantu dalam menemukan unsur yang sangat menentukan hasil proyek (critical elements), sehingga membantu perhatian orang pada variabel-variabel yang penting untuk memperbaiki perkiraan-perkiraan dan memperkecil ketidakpastian. Tujuannya adalah untuk melihat apa yang akan terjadi dengan hasil analisis proyek jika terjadi suatu kesalahan atau perubahan dalam dasar-dasar perhitungan biaya atau manfaat.

Kadariah et al, (1976) menyatakan bahwa analisis sensitivitas dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:


(51)

1. Mengubah besarnya variabel-variabel penting, masing-masing terpisah, atau beberapa dalam kombinasi, dengan suatu persentase, dan menentukan berapa pekanya hasil perhitungan terhadap perubahan-perubahan tersebut.

2. Menentukan dengan berapa suatu variabel harus berubah untuk sampai ke hasil perhitungan yang membuktikan proyek tidak dapat diterima.

Namun, analisis sensitivitas memiliki beberapa kelemahan, antara lain: 1. Tidak dapat digunakan dalam pemilihan proyek karena merupakan analisis

parsial dan hanya mengubah satu parameter pada suatu saat tertentu.

2. Analisis sensitivitas hanya mengidentifikasi apa yang akan terjadi jika terdapat perubahan biaya atau manfaat dan bukan untuk menentukan kelayakan suatu proyek.

3.2 Kerangka Pemikiran Konseptual

Keragaan atau kondisi industri gula sangat dipengaruhi oleh kondisi permintaan gula dan potensi sumberdaya yang menjadi faktor produksi bagi industri gula, seperti lahan, tenaga kerja dan lain-lain. Selain itu, adanya kebijakan pemerintah terhadap input maupun terhadap output juga mempengaruhi kondisi industri gula dari sisi produksi maupun produktivitas. Untuk mengetahui kondisi industri gula dari sisi keunggulan komparatif dan kompetitif serta dampak kebijakan pemerintah terhadap industri gula, maka digunakanlah matriks PAM.

Sebelum melakukan perhitungan dengan menggunakan matriks PAM. Maka perlu diketahui terlebih dahulu penentuan input dan output yang dihasilkan dari aktivitas ekonomi, harga finansial dan harga bayangan baik output maupun input, serta alokasi biaya tradable domestik dan non tradable. Setelah semua hal


(52)

di atas diketahui maka dilakukan analisis finansial dan analisis ekonomi. Hasil dari analisis finansial dan analisis ekonomi dimasukkan ke dalam matriks PAM.

Hasil perhitungan dengan menggunakan matriks PAM akan didapatkan beberapa nilai atau koefisien yang akan menunjukkan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif serta dampak kebijakan pemerintah. Analisis sensitivitas untuk mengidentifikasi apa yang akan terjadi apabila terdapat perubahan dalam biaya dan manfaat akibat adanya kondisi perekonomian yang berubah. Berdasarkan hasil perhitungan sebelumnya maka akan diketahui kelemahan dari struktur ekonomi gula yang menyebabkan biaya tinggi (inefisiensi). Perubahan-perubahan struktural yang mempengaruhi industri gula kemudian dibandingkan dan dianalisis structural adjusment yang dapat diterapkan untuk mengurangi inefisiensi pada struktur ekonomi gula nasional, terutama peran kebijakan pemerintah untuk “memfasilitasi” penyesuaian struktural industri gula di Indonesia.


(53)

Gambar 4. Diagram Kerangka Pemikiran Konseptual Usahatani

Tebu

Produksi Tebu

Pabrik Gula

Produksi Gula Industri Gula Jawa Timur

Biaya Usahatani

Biaya Tataniaga

Biaya Pengolahan

Analisis PAM Daya Saing

Dampak Kebijakan Pemerintah

Analisis Sensitivitas

Structural Adjustment Analisis

Finansial

Analisis Ekonomi


(54)

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di kabupaten Situbondo, Lumajang dan Jember di Jawa Timur. Pemilihan Jawa Timur dilakukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa sebagian besar produksi gula Indonesia bersumber dari Jawa Timur dan Kabupaten yang dipilih mewakili keberadaan PG besar dan kecil serta memiliki jumlah petani rakyat yang cukup banyak. Penelitian berlangsung dari November 2007 – Februari 2008.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang diambil terdiri dari dua jenis data yaitu data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan petani tebu, pengelola pabrik gula, peneliti P3GI, ketua APTRI, AGI, dan importir. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Kementrian Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bulog, dan Sekretariat Dewan Gula Indonesia.

4.3 Metode Pengambilan Contoh

Petani reponden di masing-masing lokasi dipilih berdasarkan jenis bibit dan jenis lahan dengan menggunakan metode (purposive sampling). Pemilihan responden petani yang dipilih berdasarkan dari agroklimat lahan (lahan sawah dan tegalan) dan juga jenis bibit bibit (bibit PC, kepras1, kepras 2 dan kepras 3). Total, ada 16 petani responden, yang 4 diantaranya juga menanam di lahan sawah dan lahan tegalan. Responden petani yang diwawancara di Situbondo total


(55)

sebanyak 8 petani dan 6 petani di Jember dan 2 di Lumajang. Selain responden petani, data yang didapat dari petani responden diverifikasi oleh beberapa responden ahli diantaranya ketua APTR, peneliti P3GI, Administratur PG dan staf, untuk mendapat nilai yang umum (central tendencies). Pemilihan pabrik gula dan importir gula dilakukan secara porpusive dengan pertimbangan PG yang dipilih mewakili keadaan umum PG besar dan kecil. PG besar yang dipilih yaitu PG Semboro yang memliki kapasitas giling 4 500 ton tebu per hari (tth) dan PG kecil diwakili oleh PG Wringin Anom dengan kapasitas giling 1 100 tth. Pemilihan kedua PG tersebut juga didasarikan oleh PG yang masih menggiling tebunya sehingga dapat diamati proses penggilingan tebunya. Pelabuhan yang dijadikan acuan adalah pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.

4.4 Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Policy Analysis Matrix (PAM) untuk menganalisis efisiensi ekonomi dan besarnya intervensi pemerintah serta dampaknya pada usahatani tebu, pengolahan tebu dan pemasaran tebu dan gula secara keseluruhan dengan sistematis. Analisis daya saing komparatif didapatkan dari perhitungan Rasio Sumberdaya Domestik (DRC), sedangkan keunggulan kompetitif didapat dari perhitungan Rasio Biaya Privat (PCR). Setelah analisis PAM dilakukan maka akan terlihat dari usahatani tebu yang sebaiknya dilakukan structural adjusment.

4.4.1. Policy Analysis Matrix (PAM)

Model atau kerangka analisis ekonomi yang lebih lengkap untuk menganalisis keadaan ekonomi dari pemilik ditinjau dari sudut usaha swasta


(56)

(private profit) dan sekaligus memberi ukuran tingkat efisiensi ekonomi usaha atau keuntungan sosial (social profit) adalah dengan menggunakan model Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix, PAM). Menurut Monke dan Pearson (1989), model PAM dapat memberikan pemahaman lebih lengkap dan konsisten terhadap semua pengaruh kebijakan dan kegagalan pasar pada penerimaan (revenue), biaya-biaya (costs), dan keuntungan (profit) dalam produksi sektor pertanian secara luas. Asumsi yang digunakan dalam analisis PAM adalah:

1. Harga pasar adalah harga yang benar-benar diterima petani yang di dalamnya terdapat kebijakan pemerintah (distorsi pasar).

2. Harga bayangan adalah harga pada kondisi pasar persaingan sempurna yang mewakili biaya imbangan sosial yang sesungguhnya. Pada komoditas tradable, harga bayangan adalah harga yang terjadi di pasar dunia.

3. Output bersifat tradable, sedangkan input dapat dipisah berdasarkan faktor asing dan faktor domestik.

4. Eksternalitas diasumsikan tidak ada.

Menurut Monke and Pearson (1989), kontruksi model PAM disajikan pada Tabel 3. Terdapat tiga isu yang menyangkut prinsip-prinsip yang dapat ditelaah dengan model PAM, yaitu :

1. Dampak kebijakan terhadap daya saing (competitiveness) dan tingkat profitability pada tingkat usahatani.

2. Pengaruh kebijakan investasi pada tingkat efesiensi ekonomi dan keunggulan komparatif (comparative advantage).


(1)

5. Dampak Kebijakan input yang diterapkan oleh pemerintah memberikan insentif bagi petani tebu berupa harga input yang dibayar petani hanya setengah dari harga input seharusnya, yang tercermin dari koefisien NPCI sekitar 0.59. Harga output yang dinikmati oleh petani lebih tinggi 53-62 persen dari harga jual yang seharusnya (NCPO berkisar 1.53 sampai dengan 1.62).

6. Dalam upaya peningkatan kemandirian pangan nasional, khususnya untuk komoditas gula, diperlukan penyesuaian struktural industri gula yang meliputi berbagai subsistem: on-farm maupun off-farm (hulu dan hilir), agar tercapai keseimbangan kesejahteraan antara petani produsen dan konsumen.

7.2 Implikasi Kebijakan

Berdasarkan analisis PAM, analisis sensitivitas dan juga pengalaman dari beberapa Negara pengekspor gula, ada beberapa kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah guna mendorong terjadinya perubahan struktural. Kebijakan yang dapat dilakukan mencakup :

A. Subsistem Hulu:

1. Meningkatkan produktivitas tebu, melalui penggunaan bibit tebu unggul berkualitas, teknologi kultur jaringan, serta rehabilitasi/pembaharuan pertanaman tebu lama melalui bongkar kepras.

2. Pengembangan areal perkebunan tebu di Jawa diarahkan pada lahan tegalan, sehingga tidak terjadi persaingan dengan produksi tanaman


(2)

97

pangan. Pengembangan areal tebu sebaiknya diarahkan ke daerah lain (luar Jawa) yang masih potensial.

3. Peningkatan Kredit Ketahanan Pangan (KKP) bagi petani tebu. B. Subsistem Hilir:

4. Peningkatan efisiensi di hilir dapat dilakukan dengan merehabilitasi dan memodernisasi pabrik-pabrik gula yang telah tua atau dengan membangun pabrik baru di daerah potensial.

5. Pengembangan industri produk turunan tebu.

6. Penguatan kelembagaan melalui Asosiasi kelompok tani tebu dan program kemitraan antara pabrik gula dan kelompok tani.


(3)

ANALISIS DAYA SAING USAHATANI TEBU DAN

PENYESUAIAN STRUKTURAL INDUSTRI GULA

DI JAWA TIMUR

MUHAMAD YADJID

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(4)

98

DAFTAR PUSTAKA

Adisasmito, K. 1998. Sistem Kelembagaan Sebagai Salah Satu Sumber Pokok Permasalahan Program TRI: Suatu Tinjauan. Retrospeksi. Buletin Pusat Penelitian Gula Indonesia, (148):59-85.

Departemen Pertanian. 2004. Strategi Pengembangan Agrobisnis Gula Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Departemen Pertanian, Jakarta.

Dewan Gula Indonesia. 2005. Perkembangan Pergulaan Indonesia Tahun 1999 -2004. Sekretariat Dewan Gula Indonesia. Direktorat jenderal Perkebunan. Departemen Pertanian, Jakarta.

Direktorat jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004. Pedoman Budidaya Tanaman Tebu. Departemen Pertanian. Jakarta

Ernawati. 1997. Kajian Keragaman Gula Indonesia dan Simulasi Dampak Kebijakan Liberalisasi Perdagangan Gula Dunia. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Gittinger, J. P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Edisi ke-2. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Hadi, P.U. dan S. Nuryanti. 2001. Dampak Kebijakan Proteksi terhadap Ekonomi Gula Indonesia. Jurnal Ekonomi, 23:1.

Hafsah, M. J. 2002. Bisnis Gula di Indonesia. Erlangga, Jakarta

Harris, D. 2006. Coping With Change-Farm Level Adjusment and Policy Reform. Policy reform and Struktural Adjusment in Agriculture: Economic Change in Sugar Industry Training. APEC Study Centre Monash University 27 October 2006, Melbourne.

Khudori. 2004. Gula: Rasa Neoliberalisme (Pergumulan Empat Abad Industri Gula). LP3ES, Jakarta

Males, W. 2006. “Drivers of the Australian Sugar Industry’s Export Performance”. Structural Adjustment and Export Competitiveness Training. APEC Study Centre Monash University 27 October 2006, Melbourne. Malian, A. H. 1999. Analisis Komparatif kebijakan Harga Provenue dan Tarif

Impor Gula. Jurnal Agro Ekonomi, 18(1): 14-36.

Mardianto, et. al. 2005. Peta Jalan (Road Map) dan Kebijakan Pengambangan Industri Gula Nasional. Forum Agro Ekonomi. Volume 23 No.1, Juli 2005: 19 -37. Bogor


(5)

Mitchell, D. 2004. Sugar Policies: Opprtunity for Change. World Bank Policy Research Working Paper 3222, World Bank.

Monke, E. A. and E. S. Pearson. 1989. The Policy Analysis Matrix for Agricultural Development. Cornell University Press, London.

Mubyarto dan Damayanti. 1991. Gula: Kajian Sosial – Ekonomi. Aditya Media. Yogyakarta

Nelson, G. C. and M. Panggabean. 1991. The Cost of Indonesian Sugar Policy : A policy Analysis Matrix Approach. American Journal of Agricultural Economics, 73 (3): 703-712.

Novianti, T. 2003. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Unggulan Sayuran. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Oktaviani, R. 1991. Efisiensi Ekonomi dan Dampak Kebijakan Insentif Pertanian pada Produksi Komoditi Pangan di Indonesia. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Pakpahan, A. 2000. Membangun Kembali Industri Gula Indonesia. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta

Pakpahan, A. 2004. Isu Kontemporer Kebijakan Pembangunan Pertanian 2000 - 2004 : Pandangan Peneliti. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta

Pearson, et.al. 2004. Aplication of Policy Analysis Matrix in Indonesian Agriculture. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta

Salim, H.P, et.al. 2004. Efisiensi dan Daya Saing Sistem Usahatani Beberapa Komoditas Unggulan Hortikultura. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta

Salvatore. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi ke-5. Prentice Hall-Erlangga, Jakarta.

Saptana, et. al. 2004 Efisiensi dan Daya Saing Sistem Usaha Tani Beberapa Komoditas Pertanian di lahan Sawah. Prosiding. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta

Sawit, et.al. 2004. Ekonomi Gula: 11 Pemain Utama Dunia. Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan. Jakarta


(6)

100

Sudana, W, et al. 2000. Dampak Deregulasi Industri Gula Terhadap Relokasi Sumber Daya, Produksi Pangan dan Pendapatan Petani. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta

Sudana, W, et al. 2002. Efektivitas Kebijakan perlindungan Terhadap Produsen Melalui Provenue Gula. Forum Agro Ekonomi, Volume 20 No. 1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta

Susila, W.R. dan B.M. Sinaga. 2005. Analisis Kebijakan Industri Gula Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi, Volume 23 No. 1. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Suryana, A. 1980. Keuntungan Komparatif dalam Produksi Ubikayu dan Jagung di Jawa Timur dan Lampung dengan Analisa Penghemat Biaya Sumberdaya Domestik (BSD). Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Tuy, V.V. 2006. “General Situation of Provided and Consumed Sugar in Vietnam”. Policy reform and Struktural Adjusment in Agriculture: Economic change in Sugar Industry Training. APEC Study Centre Monash University 27 October 2006. Melbourne.