karang di Indonesia mengalami tingkat kerusakan dan ancaman yang tinggi setiap tahunnya.
Interaksi masyarakat pesisir dan aktivitas pembangunan menurut Cicin- Sain and Knecht 1998 dalam Putra 2002 mengakibatkan kerusakan ekologi
pada zona pesisir dan sumberdaya pesisir. Ditambah dengan tingginya permintaan pasar dunia akan pasokan ikan dan dengan disperitas harga ikan, menyebabkan
terancam gulung tikarnya sektor perikanan di sejumlah negara Demersal edisi Desember 2010. Kedua hal di atas turut menyumbang peranan dalam semakin
tergerusnya sumberdaya pesisir. Berdasarkan data dari United Nations Food and Agriculture Organization bahwa stok ikan dunia mengalami kemunduran yang
tajam, 48 persen telah dieksploitasi habis, 16 persen telah mengalami kelebihan tangkap, dan 9 persen telah habis. Bukti empiris keilmuan seperti ini sering kali
diabaikan demi kepentingan politik dan kuota yang diatur lebih dari yang direkomendasikan.
Undang-Undang Nomor 91985 tentang Perikanan, Pasal 6 ayat 1 melarang penggunaan sianida untuk perikanan. Penggunaan sianida menjadi cara
penangkapan yang populer karena cara ini dianggap cara paling mudah. Nelayan menyemprotkan larutan sianida dari botol plastik. Semprotan sianida akan
membuat ikan pingsan sehingga mudah dibawa ke permukaan Kartodiharjo, 2006. Ini merupakan salah satu contoh pola tangkap yang tidak ramah
lingkungan. Belum lagi pola tangkap yang menggunakan alat-alat yang merusak destructive fishing seperti pukat harimau.
2.1.2 Masyarakat Nelayan
Sebagai negara kepulauan, laut merupakan wilayah terluas di Indonesia dibandingkan daratan. Sebagian besar masyarakat Indonesia tinggal di sepanjang
garis pantai. Desa pesisir menurut Satria 2009 dalam bukunya “Pesisir dan Laut Untuk Rakyat” merupakan tempat bertemunya entitas sosial ekonomi, sosial-
budaya, sosial-ekologi, yang menjadi batas antara daratan dan lautan. Sementara masyarakat pesisir menurut Satria 2004 dalam Satria 2009, adalah sekumpulan
masyarakat yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada
pemanfaatan sumberdaya pesisir.
Nelayan adalah orang yang melakukan penangkapan ikan di laut yang terbagi atas status pengusaan kapital, yaitu nelayan pemilik dan nelayan buruh.
Nelayan pemilik atau juragan berarti adalah orang yang memiliki sarana dan alat penangkapan, seperti kapal dan jaring. Sedangkan nelayan buruh adalah orang
yang menjual jasa tenaga kerja sebagai buruh dalam kegiatan penangkapan ikan di laut, atau anak buah kapal ABK. Sedikit berbeda dengan definisi nelayan yang
dijabarkan oleh Ditjen Perikanan Tangkap Kementrian Kelautan dan Perikanan 2007, nelayan adalah orang yang aktif melakukan pekerjaan dalam operasi
penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air. Selain itu Ditjen Perikanan Tangkap juga mengklasifikasikan nelayan menjadi tiga tipe sebagai
berikut: 1.
Nelayan penuh yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan atau binatang air
lainnya atau tanaman air. 2.
Nelayan sambilan utama yaitu nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan
ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air. Disamping melakukan pekerjaan penangkapan, nelayan kategori ini dapat pula mempuyai
pekerjaan lain. 3.
Nelayan sambilan tambahan yaitu nelayan yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan penangkapan ikan.
Masyarakat nelayan menurut Satria 2002 digambarkan memiliki karakteristik tertentu yang cenderung berbeda dengan masyarakat lain yang tidak
tinggal di daerah pesisir. Desa pesisir merupakan cerminan dari desa-pantai dan terisolasi yang memiliki karakteristik dalam beberapa aspek, diantaranya:
1. Sistem Pengetahuan
Pengetahuan mengenai teknik penangkapan ikan umumnya diperoleh secara turun temurun dengan berdasarkan pengalaman empirik. Kuatnya
pengetahuan lokal ini menjadi salah satu faktor terjaminnya kelangsungan hidup sebagai nelayan.
2. Sistem Kepercayaan
Nelayan masih memiliki kepercayaan yang kuat bahwa laut memiki kekuatan khusus dalam aktivitas penangkapan ikan agar keselamatan dan
hasil tangkapan terjamin. Namun seiring dengan berjalannya waktu tradisi dilangsungkan hanya sebagai instrumen stabilitas sosial dalam
komunitas nelayan. 3.
Peran Wanita Istri nelayan dominan dalam hal mengatur ekonomi rumah tangga sehari-
hari sehingga sepatutnya dalam program pengembangan masyarakat para istri nelayan dilibatkan.
4. Struktur Sosial
Struktur yang terbentuk dalam hubungan produksi termasuk pasar dalam usaha perikanan, perikanan tangkap maupun perikanan budidaya,
umumnya dicirikan dengan ikatan patron-klien yang kuat. Kuatnya hubungan ini konsekuensi akibat ketidakpastian dan resiko yang tinggi
dalam penangkapan ikan. Bentuk stratifikasi sosial masyarakat pesisir di Indonesia cenderung beragam. Hal ini dapat dilihat dari semakin
bertambahnya jumlah posisi sosial yang terjadi lebih mengarah kepada stratifikasi yang vertikal, berjenjang menurut ekonomi, prestise, atau
kekuasaan.
5.
Posisi Sosial Nelayan Rendahnya posisi sosial nelayan ini merupakan akibat dari keterasingan
nelayan sehingga masyarakat bukan nelayan tidak mengetahui lebih jauh cara hidup nelayan. Hal ini terjadi akibat sedikitnya waktu dan
kesempatan nelayan untuk berinteraksi dengan masyarakat lain karena alokasi waktu yang besar untuk kegiatan penangkapan ikan dibanding
untuk bersosialisasi dengan masyarakat bukan nelayan yang memang secara geografis relatif jauh dari pantai. Secara politis posisi nelayan
kecil terus dalam posisi dependen dan marjinal akibat dari faktor kapital yang dimilikinya sangatlah terbatas.
2.1.3 Adopsi Inovasi