Dampak Pelabelan Ramah Lingkungan (Ecolabelling) Perikanan Bagi Nelayan Ikan Hias (Kasus Nelayan Ikan Hias Desa Les, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali)

(1)

ABSTRACT

HUMAYRA SECELIA MUSWAR. Ecolabelling’s Impact to Oranmental Fish Fisher (Case Study: Les Village’s Ornamental Fish Fisher, District Tejakula, Buleleng Regency, Bali). Under Guidance byARIF SATRIA

Les village’s fisher has specialized in catching ornamental fish since 1982 by using potassium cyanide, after years the coral reefs were severely damaged. Awareness of fisher emerged to change their fishing patterns became more environmentally friendly. In the beginning 2000, the green movement was initiated by the NGOs began to change the condition of Les’ fisheries system. Balinese traditional society and the fisher awareness had a big role to control this protection road to the sustainable fisheries. In 2006, ecolabelling certification was introduced to Les’ fisher. It was applied for two years (2006-2008). This study analyzised the influence of ecolabelling’s socioeconomic to ornamental fish fisher.

.


(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki luas wilayah laut yang lebih besar dibanding dengan daratannya. Hal ini membuat perikanan menjadi salah satu sektor penentu perekonomian Indonesia. Oleh karena itu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional memuat misi pembangunan jangka panjang yakni, “menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan yang maju kuat dan sejahtera” memberikan arah yang jelas dalam pembangunan nasional berbasis kelautan2. Bahkan Satria (2009) sebagaimana yang dikutip dari FAO (2007) menyatakan bahwa Indonesia merupakan peringkat empat dunia dari sepuluh negara produsen perikanan tangkap terbesar dunia sebesar 4,8 juta ton per tahun. Dengan kinerja ekspor perikanan Indonesia yang meningkat dari tahun ke tahun dengan rata-rata 4,99 persen. Meskipun demikian dalam hal ekspor Indonesia tidak termasuk ke dalam sepuluh besar negara pengekspor hasil perikanan dunia. Dengan alasan klasik, Indonesia lemah dalam hal jaringan organisasi regional maupun internasional yang menentukan pangsa pasar perikanan.

Keanekaragaman hayati laut Indonesia terkenal hingga ke mancanegara, mulai dari ikan pelagis yang umumnya merupakan ikan konsumsi, ikan hias, terumbu karang, rumput laut, padang lamun, dan biota laut lainnya. Perdagangan hasil laut Indonesia, baik perdagangan ikan konsumsi, ikan hias, maupun terumbu karang dan rumput laut telah menembus pasar dunia. Pada prakteknya penangkapan ikan di Indonesia tidak terlepas dari penangkapan yang berlebihan (over-exploitated) dan penangakapan yang merusak (destructive fishing) baik degan alat maupun bahan yang digunakan untuk menangkap ikan. Terutama pada perikanan ikan hias, penangkapan ikan hias cenderung merupakan penangkapan ikan yang merusak. Terlebih bahan yang digunakan nelayan adalah bahan kimia potasium-sianida yang dapat merusak terumbu karang. Sumatera Barat

2

Dikutip dari Tulisan Dasril Munir (Kepala Sekretariat Dewan Kelautan Indonesia) dalam Demersaledisi Desember 2010


(3)

merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang telah mengalami kerusakan lingkungan laut yang cukup parah akibat penggunaan sianida. Rusaknya terumbu karang yang merupakan habitat bagi biota laut laut lainnya turut menyumbang kepunahan beberapa spesies ikan hias. Hal ini juga hampir terjadi di beberapa propinsi di Indonesia seperti Bali. Cantiknya ikan hias Indonesia tidak sebanding dengan rusaknya alam bawah laut Indonesia.

Kesadaran masyarakat yang meningkat mengenai produk hasil ramah lingkungan menjadi awal munculnya istilah ecolabeling (pelabelan ramah lingkungan atau PRL). PRL muncul sebagai sebuah gerakan yang mendukung produksi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. PRL pada hakikatnya adalah label yang dicantumkan kepada produk yang telah berhasil memenuhi kriteria ramah lingkungan yang ditetapkan oleh lembaga sertifikasi. Sebelum PRL dibicarakan dalam ranah perikanan, PRL telah lebih dahulu diterapkan pada hasil produk kehutanan. Keberhasilan PRL dalam sektor hasil hutan menjadi pertimbangan dilaksanakannya PRL pada sektor perikanan. Dalam filosofi lainnya, PRL dianggap sebagai salah satu cara menangani eksternalitas negatif dari kerusakan lingkungan yang terjadi. Dalam kasus ini, nelayan ikan hias adalah aktor perusak lingkungan laut, yang kemudian harus ‘membayar’ atas kerusakan tersebut. Berdasarkan pada pasar (market based), maka nelayan ikan hias harus mengikuti keinginan pasar dengan melabelkan hasil tangkapannya.

Marine Stewardship Council (MSC) dibentuk sebagai lembaga internasional yang mengurus mengenai sertifikasi perikanan ramah lingkungan atas prakarsa Unilever (Multinational Coorporation) dan WWF (World Wild Fund) pada tahun 1997. Kemudian dibentuk pula Marine Aquarium Council (MAC) yang mengkhususkan diri untuk mensertifikasi perikanan ikan hias. Pada PRL perikanan kriteria utamanya adalah pola tangkap yang ramah lingkungan. Praktek perikanan yang ramah lingkungan ini kemudian disertifikasi baik pengelola hingga hasil produknya. Sertifikasi ramah lingkungan (SRL) adalah upaya pemberian sertifikat ramah lingkungan yang diberikan kepada pemegang peran rantai pasar perikanan yang dalam penelitian ini, seperti nelayan ikan hias, pengepul, eksportir, importir, dan hasil perikanannya. Sertifikat ini akan menerangkan kepada konsumen bahwa ikan hias yang diperdagangkan ini


(4)

merupakan ikan yang ditangkap, ditangani, dan dikirimkan dengan proses yang ramah lingkungan. Praktek perikanan ramah lingkungan merupakan praktek perikanan yang tidak merusak dan memperhatikan keberlanjutan sumberdaya alam. SRL merupakan sertifikat yang diberikan kepada para pemegang rantai perdagangan ikan hias, sedangakan PRL diberikan kepada organisme yang diperdagangkan.

Gerakan berkelanjutan dalam istilah lain dapat disebut sebagai pembangunan berkelanjutan. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya, kedalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini (Sugandhy dan Hakim, 2007). Pembangunan perikanan yang berkelanjutan berarti adalah upaya perikanan yang terencana yang memadukan lingkungan hidup kedalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, dan kesejahteraan, serta mutu hidup nelayan dan sumberdaya alam.

Nelayan ikan hias adalah pelaksana perikanan ikan hias yang utama. Dalam bukunya “Third World Political Ecology”, Bryant dan Bailey (2005) menyatakan bahwa nelayan dapat dikategorikan sebagai grassroot actor yang kegiatan rumah tangganya (livelihood) terkonsentrasi kepada eksploitasi sumberdaya alam untuk memenuhi permintaanpowerfull actors(pihak yang lebih berkuasa). Begitu pula pada penangkapan ikan hias, nelayan merupakangrassroot actor yang menangkap ikan bahkan mengeskploitasi hasil laut untuk memenuhi permintaan pasar. Dalam prakteknya eksploitasi yang dilakukan memiliki dampak serius pada keberlanjutan ekologi laut. Nelayan ikan hias terjebak dalam situasi seperti ini. Tidak terkecuali Bali yang merupakan daerah penangkapan dan perdagangan ikan hias terbesar di Indonesia.

Desa Les, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali Utara merupakan wilayah penghasil ikan hias ramah lingkungan terbesar di Bali. Para nelayan ikan hias Desa Les telah mengalami perubahan mendasar pada cara penangkapan yang dilakukan. Nelayan pernah menjadi perusak karang selama satu dasawarsa unutk memenuhi permintaan ikan hias yang tinggi. Penggunaan


(5)

potassium-sianida menjadi cara utama yang dilakukan nelayan untuk menangkap ikan hias. Dengan usaha penyadaran dari beberapa LSM, nelayan ikan hias Les mulai meninggalkan potassium-sianida dan beralih menggunakan cara tangkap yang ramah lingkungan. Sebagai wilayah berpraktek penangkapan ramah lingkungan terbaik, MAC mensertifikasi sistem perikanan ikan hias di Desa Les. Mulai dari para nelayan ikan hias, pengepul, hingga eksportir disertifikasi untuk menghasilkan produk perikanan yang ramah lingkungan (PRL).

Menarik untuk menganalisa lebih lanjut apakah PRL sejalan dengan cita-cita pembangunan berkelanjutan ataukah hanya sebagai sebuah instrumen pasar untuk kepentingan pihak tertentu. Bagaimana pelaksanaan sertifikasi ekolabeling dan praktek perikanan yang ramah lingkungan berlangsung dan berdampak kepada nelayan dari sisi ekonomi dan sosial, serta dampak ekologi pada lingkungan di Desa Les, Bali menjadi fokus pertanyaan pada penelitian ini. Sisi ekonomi akan dilihat dari bentuk strategi nakfah nelayan dalam praktek PRL perkanan ini, sementara itu hubungan antar para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pelaksanaan praktek ekolabeling ini menjadi sisi sosial yang akan diamati. Penelitian ini akan menganalisa dampak yang dihasilkan dari sertifikasi ekolabeling dan penerapan praktek perikanan yang ramah lingkuangan pada nelayan ikan hias di Desa Les, Bali.

1.2 Perumusan Masalah

Tipe sertifikasi ramah lingkungan (PRL) mulai dikenal pada tahun 1992, sertifikasi ini diperoleh dari proses yang melalui pendekatan pasar untuk mempengaruhi kebiasaan konsumen terhadap produk perikanan yang dihasilkan dari praktek yang berkelanjutan (Potts dan Harwad, 2006). Meskipun terjadi peningkatan terhadap penerimaan PRL namun ada perdebatan mengenai apakah sertifikasi dan pelabelan merupakan instrumen untuk promosi pasar, ataukah untuk menuju keberhasilan terciptanya kebijakan tentang lingkungan yang objektif, atau untuk menuju keberhasilan terciptanya kebijakan sosial yang objektif, atau bahkan ketiga-tiganya. Sertifikasi ini tentunya akan merubah strategi nafkah penghidupan mereka, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi. Menurut Tulak (2009) strategi nafkah dilakukan berdasarkan sumber-sumber nafkah yang dimiliki individu atau rumah tangga dan faktor-faktor di luar


(6)

rumah tangga yang menentukan kemampuan rumah tangga dan menentukan strategi nafkah. Berdasarkan penjelasan di atas, strategi nafkah meliputi berbagai tindakan rasional yang diambil rumah tangga untuk mencapai tujuan yang ditetapkan rumah tangga.

Penerapan PRL dan perubahan pola tangkap yang menjadi lebih ramah lingkungan ini, membuat rumah tangga nelayan menyiasati kebutuhan ekonomi mereka dengan cara dan strategi untuk tetap bertahan hidup. PRL dan pola tangkap yang ramah lingkungan ini kemungkinan juga membuat status sosial nelayan menjadi termobilisasi, dapat mobilitas vertikal ke atas (social climbing) dan mobilitas vertikal ke bawah (social sinking) mata pencaharian utama sebagai nelayan ikan hias menjadi indikator mobilitas ini. Ada hubungan-hubungan antar pemangku kepentingan yang baru tercipta di samping masalah lingkungan yang diharapkan semakin terkendali dengan adanya program ini.

Menganalisa pola nafkah nelayan menjadi batu landasan dalam melihat bagaimana dampak sosial dan ekonomi nelayan terhadap praktek ekolabeling yang terjadi. Berangkat dari analisa itu kemudian akan diteliti penerimaan masyarakat nelayan terhadap program ini dan posisi nelayan dalam praktek perikanan ini. Terkait hal tersebut, berikut adalah tiga pertanyaan yang mewakili perumusan masalah pada penelitian ini:

1. Bagaimana praktek perikanan ikan hias di Desa Les sebelum pelaksanaan pelabelan ramah lingkungan (PRL)?

2. Bagaimana pelaksanaan PRL ikan hias yang berlangsung di Desa Les? 3. Bagaimana dampak sosial PRL bagi nelayan ikan hias Desa Les? 4. Bagaimana dampak ekonomi PRL bagi nelayan ikan hias? 5. Bagaimana dampak ekologis PRL bagi perairan Desa Les?

6. Bagaimana praktek perikanan ikan hias Desa Les setelah pelaksanaan PRL?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan penelitian yang telah dituliskan di atas, maka adapun tujuan penelitian ini, antara lain:

1. Menganalisis praktek perikanan ikan hias Desa Les sebelum pelaksanaan PRL.


(7)

2. Menganalisis pelaksanaan PRL ikan hias yang berlangsung di Desa Les. 3. Menganalisis dampak sosial PRL bagi nelayan ikan hias Desa Les. 4. Menganalisis dampak ekonomi PRL bagi nelayan ikan hias Desa Les. 5. Menganalisis dampak ekologis PRL terhadap perairan Desa Les.

6. Menganalisis praktek perikanan ikan hias Desa Les setelah pelaksanaan PRL.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa kegunaan untuk mahasiswa, akademisi, masyarakat dan pemerintah. Adapun manfaat yang dapat diperoleh yaitu:

1. Bagi Mahasiswa

Penelitian ini memberikan tambahan pengetahuan kepada mahasiswa mengenai ekolabeling perikanan yang dilaksanakan di Indonesia. Pada penelitian ini akan dilihat bagiamana PRL dari pendekatan ekologi politik dan pengelolaan kolaboratif sumberdaya alam sehingga membuka realitas pikiran bagi mahasiswa dalam menanggapi permasalahan ini. Tulisan ini dharapkan dapat menjadi referensi dalam melakukan penelitian-penelitian selanjutnya, juga untuk memancing sisi kritis mahasiswa dalam bertindak menanggapi fenomena lingkungan yang terjadi.

2. Bagi Masyarakat

Penelitian ini membantu kepada masyarakat khususnya masyarakat nelayan di Desa Les, Bali untuk mengetahui sejauh mana ekolabeling perikanan mempengaruhi kehidupan mereka. Penelitian ini diharapkan dapat membuka cakrawala pengetahuan masyarakat nelayan mengenai fenomena yang sedang terjadi. Diharapkan penelitian ini dapat mengembangakan pemikiran dan motivasi serta semangat masyarakat nelayan untuk tetap mendukung berjalanannya perikanan yang berkelanjutan.

3. Bagi Pemerintah

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan praktek perikanan yang berkelanjutan khususnya dengan penerapan PRL


(8)

perikanan. Diharapkan pemerintah terkait agar memperhatikan kendala-kendala yang tengah dihadapi oleh masyarakat kecil seperti nelayan. Penelitian ini diharap dapat membuka mata bagi para pemangku kekuasaan untuk melihat baik buruknya pelaksanaan PRL perikanan, sehingga dapat menyikapi fenomena dengan bijak dalam rangka mewujudkan perikanan yang berkelanjutan di Indonesia.


(9)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Ekologi

Istilah ekologi pertama kali diperkenalkan oleh Haeckel, seorang ahli biologi, pada pertengahan dasawarsa 1860-an. Ekologi berasal dari bahasa yunani yaitu oikos yang berarti rumah tangga, dan logos yang berarti ilmu, sehingga secara harfiah ekologi berarti ilmu tentang rumah tangga makhluk hidup. Ekologi didefinisikan sebagai ilmu tentang hubungan timbal-balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya (Silalahi, 2001).

Adiwibowo (2007) menyatakan bahwa dalam ekologi dipelajari bagaimana makhluk hidup berinteraksi timbal balik dengan lingkungan hidupnya baik yang bersifat hidup (biotic) maupun tak hidup (abiotic) sedemikian rupa, sehingga terbentuk suatu jaring-jaring sistem kehidupan pada berbagai tingkatan organisasi. Di dalam ekosistem, tumbuhan, hewan, dan mikro organisme saling berinteraksi melakukan transaksi materi dan energi membentuk satu kesatuan sistem kehidupan.

2.1.1.1 Kerusakan Ekologi Laut

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki potensi kekayaan hayati kelautan yang tinggi3. Indonesia sebagai negara kepulauan tidak mempunyai data kualitatif dan kuantitatif yang memadai serta menyeluruh tentang kerusakan ekologi laut (Kompas, 29 Agustus 2003 dalam Kartodiharjo, 2006). Akibat penangkapan ikan yang ilegal (illegal fishing), perubahan iklim, maupun praktek perikanan yang merusak (destructive fishing) terumbu karang di perairan Indonesia banyak yang rusak. Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad, seperti yang dikutip dalam Minapolitan Edisi Desember 2010, menjelaskan bahwa sebagai etalase terumbu karang dunia Indonesia memiliki 82 genera dan 590 spesies karang keras yang tersebar pada 74.748 km2 atau setara dengan 18 persen luasan terumbu karang dunia. Namun keberadaan terumbu

3

Namun seperti ekosistem lainnya di Indoensia, ekosistem laut juga mengalami krisis karena kerusakan dan pemanfaatan yang berlebih (Kartodiharjo, 2006).


(10)

karang di Indonesia mengalami tingkat kerusakan dan ancaman yang tinggi setiap tahunnya.

Interaksi masyarakat pesisir dan aktivitas pembangunan menurut Cicin-Sain and Knecht (1998) dalam Putra (2002) mengakibatkan kerusakan ekologi pada zona pesisir dan sumberdaya pesisir. Ditambah dengan tingginya permintaan pasar dunia akan pasokan ikan dan dengan disperitas harga ikan, menyebabkan terancam gulung tikarnya sektor perikanan di sejumlah negara (Demersal edisi Desember 2010). Kedua hal di atas turut menyumbang peranan dalam semakin tergerusnya sumberdaya pesisir. Berdasarkan data dari United Nations Food and Agriculture Organization bahwa stok ikan dunia mengalami kemunduran yang tajam, 48 persen telah dieksploitasi habis, 16 persen telah mengalami kelebihan tangkap, dan 9 persen telah habis. Bukti empiris keilmuan seperti ini sering kali diabaikan demi kepentingan politik dan kuota yang diatur lebih dari yang direkomendasikan.

Undang-Undang Nomor 9/1985 tentang Perikanan, Pasal 6 ayat 1 melarang penggunaan sianida untuk perikanan. Penggunaan sianida menjadi cara penangkapan yang populer karena cara ini dianggap cara paling mudah. Nelayan menyemprotkan larutan sianida dari botol plastik. Semprotan sianida akan membuat ikan pingsan sehingga mudah dibawa ke permukaan (Kartodiharjo, 2006). Ini merupakan salah satu contoh pola tangkap yang tidak ramah lingkungan. Belum lagi pola tangkap yang menggunakan alat-alat yang merusak (destructive fishing) seperti pukat harimau.

2.1.2 Masyarakat Nelayan

Sebagai negara kepulauan, laut merupakan wilayah terluas di Indonesia dibandingkan daratan. Sebagian besar masyarakat Indonesia tinggal di sepanjang garis pantai. Desa pesisir menurut Satria (2009) dalam bukunya “Pesisir dan Laut Untuk Rakyat” merupakan tempat bertemunya entitas sosial ekonomi, sosial-budaya, sosial-ekologi, yang menjadi batas antara daratan dan lautan. Sementara masyarakat pesisir menurut Satria (2004) dalam Satria (2009), adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir.


(11)

Nelayan adalah orang yang melakukan penangkapan ikan di laut yang terbagi atas status pengusaan kapital, yaitu nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik atau juragan berarti adalah orang yang memiliki sarana dan alat penangkapan, seperti kapal dan jaring. Sedangkan nelayan buruh adalah orang yang menjual jasa tenaga kerja sebagai buruh dalam kegiatan penangkapan ikan di laut, atau anak buah kapal (ABK). Sedikit berbeda dengan definisi nelayan yang dijabarkan oleh Ditjen Perikanan Tangkap Kementrian Kelautan dan Perikanan (2007), nelayan adalah orang yang aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air. Selain itu Ditjen Perikanan Tangkap juga mengklasifikasikan nelayan menjadi tiga tipe sebagai berikut:

1. Nelayan penuh yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air.

2. Nelayan sambilan utama yaitu nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air. Disamping melakukan pekerjaan penangkapan, nelayan kategori ini dapat pula mempuyai pekerjaan lain.

3. Nelayan sambilan tambahan yaitu nelayan yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan penangkapan ikan.

Masyarakat nelayan menurut Satria (2002) digambarkan memiliki karakteristik tertentu yang cenderung berbeda dengan masyarakat lain yang tidak tinggal di daerah pesisir. Desa pesisir merupakan cerminan dari desa-pantai dan terisolasi yang memiliki karakteristik dalam beberapa aspek, diantaranya:

1. Sistem Pengetahuan

Pengetahuan mengenai teknik penangkapan ikan umumnya diperoleh secara turun temurun dengan berdasarkan pengalaman empirik. Kuatnya pengetahuan lokal ini menjadi salah satu faktor terjaminnya kelangsungan hidup sebagai nelayan.


(12)

2. Sistem Kepercayaan

Nelayan masih memiliki kepercayaan yang kuat bahwa laut memiki kekuatan khusus dalam aktivitas penangkapan ikan agar keselamatan dan hasil tangkapan terjamin. Namun seiring dengan berjalannya waktu tradisi dilangsungkan hanya sebagai instrumen stabilitas sosial dalam komunitas nelayan.

3. Peran Wanita

Istri nelayan dominan dalam hal mengatur ekonomi rumah tangga sehari-hari sehingga sepatutnya dalam program pengembangan masyarakat para istri nelayan dilibatkan.

4. Struktur Sosial

Struktur yang terbentuk dalam hubungan produksi (termasuk pasar) dalam usaha perikanan, perikanan tangkap maupun perikanan budidaya, umumnya dicirikan dengan ikatan patron-klien yang kuat. Kuatnya hubungan ini konsekuensi akibat ketidakpastian dan resiko yang tinggi dalam penangkapan ikan. Bentuk stratifikasi sosial masyarakat pesisir di Indonesia cenderung beragam. Hal ini dapat dilihat dari semakin bertambahnya jumlah posisi sosial yang terjadi lebih mengarah kepada stratifikasi yang vertikal, berjenjang menurut ekonomi, prestise, atau kekuasaan.

5. Posisi Sosial Nelayan

Rendahnya posisi sosial nelayan ini merupakan akibat dari keterasingan nelayan sehingga masyarakat bukan nelayan tidak mengetahui lebih jauh cara hidup nelayan. Hal ini terjadi akibat sedikitnya waktu dan kesempatan nelayan untuk berinteraksi dengan masyarakat lain karena alokasi waktu yang besar untuk kegiatan penangkapan ikan dibanding untuk bersosialisasi dengan masyarakat bukan nelayan yang memang secara geografis relatif jauh dari pantai. Secara politis posisi nelayan kecil terus dalam posisi dependen dan marjinal akibat dari faktor kapital yang dimilikinya sangatlah terbatas.


(13)

2.1.3 Adopsi Inovasi

Satria (2009) menyebutkan beberapa strategi mata pencaharian yang dapat dilakukan untuk memutus rantai kemiskinan nelayan. Pertama, mengembangkan strategi nafkah ganda. Tujuannya agar nelayan tidak bergantung pada hasil penangkapan saja. Pengembangan dan penguatan strategi ganda ini perlu dilakukan terutama pada nelayan lapisan bawah. Salah satu aspek yang diperlukan untuk mendukung strategi ini adalah kebijakan permodalan. Kedua, mendorong ke arah laut lepas. Kendalanya tidak hanya teknologi, tapi juga modal dan budaya. Menangkap ikan di laut lepas sangatlah kompleks, mencakup manajemen usaha, organisasi produksi, perbekalan, ketahanan fisik, pemahaman perilaku ikan, pengoperasian kapal, jaring dan lainnya. Sehingga selain dibutuhkan teknologi, para nelayan ini juga membutuhkan pelatihan (magang) untuk menggali pengalaman dan pengetahuan di usaha penangkapan skala menengah dan besar. Ketiga, mengembangkan diversifikasi alat tangkap untuk mengantisipasi variasi musim. Dengan diversifikasi alat tangkap ini memungkinkan nelayan bisa melaut sepanjang tahun.

Diversifikasi alat tangkap dalam penerapannya melalui proses adopsi inovasi. Inovasi adalah suatu gagasan, praktek, atau objek yang dipandang baru oleh individu yang mencakup dua komponen, ide dan objek (Rogers dan Shoemaker, 1971 dalam Mugniesyah, 2006). Namun faktanya inovasi tidaklah harus berbentuk fisik. Proses adopsi terjadi apabila individu belajar mengenai suatu inovasi (teknologi baru) dan mengalami perkembangan pada mentalnya. Menurut komite yang terdiri dari ahli sosiologi pedesaan, The North-Central Rural Sociology Subcommittee for The Study of Farm Practise, ada lima tahapan dalam proses adopsi inovasi. Adapun kelima tahapan tersebut adalah:

1. Awareness(tahap menjadi sadar)

Pada tahap ini seseorang menyadari bahwa adanya inovasi namun masih belum memperoleh informasi mengenai hal tersebut selengkapnya.

2. Interest(tahap menaruh minat)

Individu mengembangkan minat terhadap inovasi dan mencari dengan aktif informasi tambahan atau yang lebih lengkap mengenai inovasi.


(14)

Tahap ini berfungsi meningkatkan pengetahuan individu tentang inovasi.

3. Evaluation(tahap menilai)

Tahap ini disebut juga sebagai tahap uji mental. Merupakan tahap awal dari pembuatan keputusan untuk mencoba. Individu menerapkan inovasi secara mental dan mendapatkan bukti-bukti internal (dari dalam pikirannya sendiri) tentang kemungkinan menggunakan inovasi itu, dengan membandingkannya dengan keadaan masa kini dan antisipasi keadaan masa depan.

4. Trial(tahap mencoba)

Individu mulai mencoba menerapkan inovasi dalam skala yang kecil, dalam usaha untuk mendapatkan bukti-bukti eksternal (dari lapangan, dari luar pikirannya sendiri) untuk menentukan kegunaan dan keuntungan inovasi dalam keadaan yang mendekati nyata.

5. Adoption(tahap mengadopsi)

Pada tahap ini individu menerapkan inovasi secara kontinyu dalam skala yang lebih besar, dengan kata lain individu telah menerapkan inovasi.

Proses adopsi inovasi inilah yang kemudian menetukan proses partisipasi individu nelayan dalam PRL.

2.1.4 Partisipasi

Partisipasi didefinisikan sebagai proses aktif, inisiatif dikemukakan oleh masyarakat setempat sendiri, dengan dibimbing oleh cara berpikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) yang dapat mereka kontrol secara efektif (Nasdian, 2006). Partisipasi masyarakat digambarkan secara bertingkat sesuai dengan gradasi, derajat wewenang, dan tanggung jawab yang dapat dilihat pada Tabel 1. Arstein menggunakan metafora anak tangga partisipasi di mana setiap anak tangga mewakili strategi partisipasi yang berbeda berdasarkan pola distribusi kekuasaanya.


(15)

Tabel 1. Tingkat Partisipasi Masyarakat menurut Tangga Partisipasi Arstein No. Tingkatan Partisipasi Hakekat Kesetaraan Tingkat pembagian

Kekuasaan

1. Manipulasi Permainan oleh

Pemerintah

Tidak ada partisipasi 2. Terapi (Therapy) Sekedar agar

masyarakat tidak marah (sosialisasi)

3. Pemberitahuan (Informing)

Sekedar pemberitahuan searah (Sosialisasi)

Tokenisme (sekedar justifikas agar

mengiyakan) 4. Konsultasi

(Consultation)

Masyarakat didengar tapi tidak selalu dipakai sarannya

5. Penentraman (Placation)

Saran masyarakat diterima tapi tidak selalu dijalankan 6. Kemitraan

(Partnership)

Timbal balik dinegosiasikan

Tingkat kekuasaan ada di masyarakat 7. Pendelagisian

Kekuasaan (Delegated Power)

Masyarakat diberi kekuasaan (sebagian atau seluruh porgram) 8. Kontrol Masyarakat

(Citizen Control)

Sepenuhnya dikuasai masyarakat

Sumber: Arstein (1969) dalam Rosyida (2010)

Partisipasi masyarakat secara bertingkat sesuai dengan gradasi kekuasaan yang dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusan (Arstein, 1969). Ada pun pola distribusi kekuasaan dan peran dominan pemangku kepentingan pada Tabel 1, diterangkan sebagai berikut.

1. Manipulatif, partisipasi pada anak tangga ini tidak memerlukan respon partisipan untuk terlibat banyak.

2. Terapi, yakni terapi yang mulai melibatkan anggota komunitas lokal untuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang diberikan, tetapi jawaban ini tidak berpengaruh terhadap kebijakan.


(16)

3. Pemberitahuan, yakni kegiatan yang dilakukan oleh instansi penyelenggara program sekedar melakukan pemberitahuan searah (sosialisasi program).

4. Konsultasi, yakni anggota komunitas diberikan pendampingan dan konsultasi dengan semua pihak terkait sehingga diikutsertakan dalam penentuan keputusan.

5. Penentraman, pada tahap ini komunikasi telah berjalan dengan baik dan sudah ada negosiasi antara masyarakat dan penyelenggara program. 6. Kerjasama, merupakan tahap partisipasi fungsional di mana semua pihak

baik masyarakat dan para pemangku kepentingan lainnya, mewujudkan keputusan bersama, dengan duduk secara berdampingan.

7. Pendelagasian wewenang, merupakan suatu bentuk partisipasi yang aktif di mana semua anggota komunitas melakukan perencanaan, implementasi, dan monitoring.

8. Pengawasan oleh komunitas, dalam bentuk ini sudah terbentuk independensi dari monitoring oleh komunitas lokal.

2.1.4 Hak Kepemilikan Sumberdaya

Hak atas sumberdaya milik bersama memiliki beberapa tipe sebagaimana yang dibedakan oleh Ostrom and Schlager (1996) dalam Satria (2006) dan Ostorm dan Hess (2007) , antara lain:

a. Access right, hak untuk akses, hak untuk dapat memasuki dan mengakses sumberdaya alam dan dapat menikmatinya tanpa mengurangi keuntungan bersama dari sumberdaya alam.

b. Withdrawal right, hak untuk dapat menikmati hasil produk dari sumberdaya alam (hak menangkap).

c. Management right, hak untuk mengelelola sumberdaya alam agar dapat dimanfaatkan hasilnya.

d. Exclusion right, hak untuk memilih siapa saja yang dapat memiliki akses kepada sumberdaya alam dan bagaimana hak tersebut dapat dipindah-tangankan.

e. Alleniation Right, hak untuk menjual dan memberikan semua atau sebagian dari hak-hak kolektif di atas (hak pengalihan).


(17)

Apabila hak-hak tersebut di atas diasosiasikan dengan posisi kepemilikan sumberdaya alam, seperti yang dikemukakan oleh Ostorm (1990) dalam Satria (2006) maka akan tergambar seperti pada Tabel 2.

Tabel 2 Hak Kepemilikan Sumberdaya Alam Terhadap Posisi Hak Kepemilikan Owner

(Pemilik)

Properior Claiment Authorized User

Authorized entrant

Hak Akses     

Hak Menangkap    

Hak Mengelola   

Hak Eksklusi  

Hak Aleanasi 

Sumber: Ostorm (1990) dalam Satria (2006)

Pemegang hak kepemilikan atas sumberdaya alam baik pemilik hak sepenuhnya maupun tidak, dapat dikategorikan dalam lima tipe seperti ini:

a. Owner, pemilik, yang memiliki hak kepemilikan yang kolektif untuk berpartisipasi dalam mengelola dan eksklusi dan juga memegang hak alenasi (hak menjual atau menyerahkan hak kepemilikan).

b. Properior, pemilik yang memiliki hak pemilikan kolektif namun tidak memiliki hak alenasi.

c. Claiment, pemilik yang memiliki hak akses, hak menangkap (memanfaatkan hasil sumberdaya alam), dan hak mengelola.

d. Authorized user, pemilik yang hanya memiliki hak untuk akses dan hak memanfaatkan hasilnya.

e. Authorized entrant, pemegang hak untuk akses pengoperasian produksi sumberdaya.

Salah satu bentuk hak kepemilikan sumberdaya alam adalah hak kepemilikan komunal (Berkes (1989) dalam Adhuri (2004)). Hak kepemilikan ini memiliki peran penting dalam keseharian komunitas tersebut, antara lain:

1) Memastikan keamanan mata pencaharian, dengan memastikan setiap anggota dari komunitas dapat memenuhi kebutuhan dasar dengan memanfaatkan hak akses atas sumberdaya alam yang vital.

2) Resolusi konflik, Berkes percaya bahwa hak kepemilikan bersama (komunitas) membuktikan bahwa adanya mekanisme yang adil dalam pemanfaatan sumberdaya alam dapat meminimalisir kemungkinan perselisihan atau konflik.


(18)

3) Hak kepemilikan bersama mengikat para anggota komunitas menjadi satu unit yang kompak dan membentuk keanggotaan serta kontrol atas sumberdaya bersama untuk memfasilitasi kerja tim dan koorperasi.

4) Hak kepemilikan bersama bersifat konservasionis karena biasanya berdasarkan pada prinsip ambil sesuai kebutuhan.

5) Hak kepemilikan bersama dikatakan dapat membantu menjaga keberlanjutan ekologi, dan dengan pengelolaan bersama ini sering kali menggabungkan praktek ritual yang disinkronisasikan dengan siklus alam. Ostrom et.al (1999) memaparkan mengenai tipe hak kepemilikan atas sumberdaya bersama.

Tabel 3. Hak Kepemilikan dan Karakteristiknya Hak Kepemilikan Karakteristik

Open access(akses terbuka) Tidak ada yang memegang hak kepemilikan pada tipe kepemilikan ini

Kepemilikan kelompok Hak kepemilikan sumberdaya dipegang oleh

sekelompok penguna yang dapat mengeksklusi orang lain.

Kepemilikan pribadi Hak kepemilikan sumberdaya dipegang oleh individu atau perusahaan yang dapat mengeksklusi orang lain. Kepemilikan pemerintah Hak kepemilikan sumberdaya dipegang oleh

pemerintah yang dapat mengeksklusi pihak lain. Sumber: Ostormet.al(1999)

2.1.4 Pelabelan Ramah Lingkungan(Ecolabelling)

Berikut merupakan beberapa definisi mengenai ecolabelling (PRL) oleh berbagai ahli, antara lain:

1. PRL oleh Gardiner dan Visnawathan (2004) diartikan sebagai penyedia informasi bagi konsumen dengan memberi kesempatan kepada konsumen untuk menunjukkan perhatiannya terhadap ekologi maupun lingkungan melalui produk yang mereka pilih.

2. Nunes dan Riyanto (2005) menyebutkan bahwa PRL mengarah kepada skema kebijakan yang dikarakterisasi oleh evaluasi suatu produk, atau karakteristik produk. Hal ini berlawanan dengan menspesifikasi produk secara khusus. Intinya untuk mengukur dan mengemukakan


(19)

secara detail nilai sosial, ekologi, dan ekonomi yang menjadi atribut dari produk tersebut.

3. FAO (2007) mendefinisikan PRL sebagai pemberian label pada produk dengan sukarela guna menyampaikan informasi produk kepada konsumen untuk menciptakan insentif berbasis pasar demi pengelolaan perikanan yang lebih baik.

4. European Council (2002) dalam Mungkung et.al(2006) menyatakan bahwa PRL merupakan sebuah pendekatan, digunakan secara luas dalam mengindustrialisasikan negara-negara sebagai jalan untuk mempromosikan produk yang berkelanjutan dengan cara yang saling melengkapi, yakni dengan meyediakan informasi bagi konsumen untuk memudahkan mereka memilih produk yang lebih ramah lingkungan atau dengan menggunakan “brenchmarking” untuk meningkatkan pengembangan produk.

5. Dalam bukuSeafood Ecolabelling: Principles and Practise, Ward dan Phillpis (2009) menyatakan PRL merupakan sistem yang dibentuk berdasarkan insentif dari mekanisme pasar untuk mendorong produk yang memberitahukan bahwa diproduksi dengan memperhatikan keberlanjutan ekologi.

Gambar 1 menggambarkan apa yang disebutkan oleh Ward dan Phillps (2009) mengenai sistem insentif pasar dan beberapa elemen pendukungnya PRL ini sebenarnya adalah hanya sebuah tanda, logo, label, atau sebuah pengesahan produk perikanan yang dimaksudkan untuk menyatakan secara tidak langsung kepada konsumen bahwa produk yang mereka beli adalah produk yang telah diproduksi melalui prosedur keberlanjutan ekologi, dan bersumber dari sumberdaya alam yang dikelola dengan baik. Gambar 2 merupakan contoh PRL yang beredar di dunia.


(20)

Gambar 1 Insentif Pasar untuk Mendukung Praktik Lingkungan dan Keberlanjutan dalam Penangkapan dan Produksi Hasil Perikanan (Ward dan Philips, 2009)

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa PRL ditelurkan dari didirikannya Marine Stewardship Council (MSC) yang diinisiasi oleh Unilever dan WWF pada tahun 1997. Sejarah inisiasi PRL pada sub-bab ini akan dilihat dari kedua aktor besar yang berperan. Pertama, berlandaskan padaUnilever’s Fish Sustainibility Initiative (2003). Unilever, berdasar pada data-data yang didapat dari FAO melihat perikanan global mulai menghadapi ancaman yang memiliki implikasi sosial. Satu miliar orang di Asia dan Afrika yang menggantungkan hidupnya pada sumber protein ikan akan menghilang. Teknik penangkapan ikan dan penurunan stok perikanan membuat konservasi menjadi suatu kebutuhan. Pada 2002, dalam World Summit on Sustainable Development para pemerintah setuju bahwa stok ikan perlu diperbaharui demi terjaganya stok ikan pada tahun 2015. Di dalam FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries (1995) dinyatakan:

Fisheries, including aquaculture, provide a vital source of food, employement, recreation, trade, and economic well-being for people throughout the world, both of present and future generations and should therefore be conducted in a responsible manner. FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries sets out principles and international standards of behavior for responsible

Credibillity anAAppealappeal

Consumer preference

Consumer Product

endorsement

verification

Environmental Regulations, Policies, plans and strategies; principles and guidelines; practice; customary producers

Producer

standard

Improved ecological sustainability


(21)

practices with a view to ensuring the effective conservation, management, and development of living aquatic resources, with due respect for the ecosystem and biodiversity”

Gambar 2. Contoh Label Ramah Lingkungan (PRL)

WWF untuk mencapai tujuannya membuat perikanan berkelanjutan dengan membuat sarana dan insentif untuk perikanan yang dikelola dengan baik dengan menggandeng partner baik dari organisasi pemerintahan maupun non-pemerintah, industri, dan masyarakat pesisir. Merujuk kepada Gardiner dan Visnawathan (2004) PRL memiliki tiga skema yang secara garis besar mengklasifikasikan PRL dalam tiga kategori. Adapun kategori tersebut, antara lain:

1. Skema PRL jenis pertama atau biasa disebut self declaration. Skema ini diterapkan oleh perusahaan berdasarkan pada standar produk yang mereka produksi sendiri. Biasanya diinformasikan melalui media periklanan.

2. Skema PRL jenis kedua. Skema ini diterapkan oleh asosiasi industri untuk konsumen mereka. Para anggota asosiasi ini menetapkan kriteria sertifikasi sendiri, atau terkadang dibantu oleh ahli dari luar asosiasi mereka, seperti akademisi maupun organisasi lingkungan.

3. Skema PRL jenis ketiga. Skema ini diterapkan oleh inisiator (publik maupun swasta) yang bebas dari produsen, distributor, maupun pedagang dari produk tersebut. Produk yang disuplai oleh organisasi


(22)

atau sumbernya disertifikasi untuk menginformasikan kepada konsumen bahwa produk ini ramah lingkungan. Skema ini bertipikal sama dengan lisensi.

Forsyth (2008) menyatakan bahwa apabila berbicara mengenai lingkungan, kerusakan lingkungan, ataupun ekologi akan terkait dengan kebijakan yang telah ada dan kebijakan yang akan dibuat. Penetapan kebijakan dan pelaksanaannya tidak terlepas dari unsur politik, sehingga menganalisis kejadian serta peristiwa alam yang terjadi dapat dengan baik dijelaskan dalam kerangka ekologi politik. Adapun dampak dari kekurangan dan kelebihan pelaksanaan program PRL perikanan ini bagi nelayan terutama nelayan skala kecil yang banyak terdapat di NSB seperti yang terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kelebihan dan Kekurangan PRL Berdasarkan Aktor

Aktor Ekolabeling

Kelebihan Kekurangan

Negara Skala Besar

(NSB) 

Produk yang telah bersertifikasi memiliki harga yang tinggi di pasar

 Mewujudkan praktek perikanan yang berkelanjutan

Mengurangi jatah tangkap ikan NSBs sehingga permintaan akan produk ini yang tinggi tidak dapat dipenuhi semua (memebuat harga ikan bersertifikasi lebih tinggi di pasar) Nelayan Skala Kecil

(NSK)

Mewujudkan praktek perikanan yang berkelanjutan

 PRL perikanan berbiaya tinggi sehingga NSK tidak dapat memenuhinya

 PRL merupakan instrumen pasar internasional sehingga mempengaruhi praktek ekspor impor (negara sedang

berkembang akan ter-drive oleh negara maju)

Kelangsungan Kelestarian Alam

 Perikanan dikelola secara baik, dapat merekoveri stok ikan lebih cepat

 Mewujudkan praktek perikanan yang berkelanjutan.

 Belum ada hasil signifikan bahwa PRL ini

meningkatkan stok ikan

 Hanya berfokus pada hasil tapi tidak memperhatikan system pengelolaan yang digunakan

Sumber: Gardiner dan Visnawathan (2004); Gudmusson dan Wessel (2000); Molyneaux (2008); Suwarsono (2006); Sainsbury (2010)


(23)

Bila dilihat dari sudut pandang nelayan skala kecil dan dari aspek sosial, ekonomi, dan politik, PRL memiliki dampak tersendiri, antara lain:

1. Biaya sertifikasi yang mahal membuat nelayan skala kecil tidak dapat mensertifikasikan produk perikanannya. Hal ini membuat produk perikanan ini tidak dapat memasuki perdagangan internasional, kerena tidak memenuhi persyaratan PRL (Gardiner dan Visnawathan 2004). 2. Bagi perikanan yang telah tersertifikasi pun tidak lepas dari permasalahan.

Dari aspek politik, perikanan yang telah disertifikasi untuk memenuhi tuntutan pasar ekspor-impor ternyata memiliki implikasi adanya ketergantungan NSB kepada NM (Soewarsono, 2000).

2.1.4.1 Dampak Ekologi Penerapan Sertifikasi Ekolabeling

Dampak diartikan sebagai adanya suatu benturan antara dua kepentingan yang berbeda, yaitu kepentingan pembangunan dengan kepentingan usaha melestarikan kualitas lingkungan yang baik. Dampak yang diartikan dari benturan antara dua kepentingan itupun masih kurang tepat karena yang tercermin dari benturan tersebut hanyalah kegiatan yang menimbulkan dampak negatif (Kristanto, 2004). Pada penelitian ini, kepentingan yang menjadi fokus utama pertama, kepentingan nelayan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya dengan kata lain sebagai kepentingan pembangunan (dapat diartikan sebagai kepentingan ekonomi, sosial, dan politik) dan kedua, kepentingan masyarakat nelayan dalam menjaga kelestarian laut (ekologis).

PRL perikanan merupakan peristiwa masuknya instrumen pasar dalam menangani masalah ekologis. Dalam buku “Seafood Ecolabelling: Principles and Practise”, Ward dan Phillpis (2009) menyatakan PRL merupakan sistem yang dibentuk berdasarkan insentif dari mekanisme pasar untuk mendorong produk yang memberitahukan bahwa diproduksi dengan memperhatikan keberlanjutan ekologi. Berikut dampak ekologis yang terjadi akibat berlangsungnya praktek PRL perikanan:

1. Tidak diperbolehkannya perikanan tangkap yang menggunakan alat tangkap yang merusak (destructive fishing) seperti, bom ataupun zat kimia berbahaya (Sainsbury (2010) dan Gardiner dan Visnawathan (2004)). Sehingga wilayah perairan laut yang sebelumnya terkena


(24)

dampak negatif akibat penangkapan yang menggunakan bahan peledak dan zat berbahaya seperti potassium-sianida, khususnya terumbu karang, menjadi baik kembali.

2. Keterbatasan kelimpahan ikan (stok ikan) dapat mulai dikendalikan (Sainsbury (2010) dan Visnawathan (2004)). Dengan pengelolaan yang tepat dan penghitungan produktivitas ikan di perairan, permasalahan stok ikan yang mulai menipis dapat diatasi. Yang menjadi indikator dalam hal ini adalah jumlah stok ikan.

3. Penangkapan ikan yang memperhatikan keanekaragaman hayati ikan, maksudnya penangkapan dengan mempertimbangakan kelimpahan dan keberadaannya dalam rantai makanan (Sainsbury, 2010). Ikan langka dan hampir punah tidak akan ditangkap untuk diperjualbelikan disini. Sehingga rantai makanan ekosistem ikan di laut tidak terganggu. 4. Dengan tidak digunakannya zat-zat kimia berbahaya dalam sistem

penangkapan ikan, membuat masayarakat pesisir di sekitar pantai berkurang kemungkinan terkontaminasi zat berbahaya.

2.1.4.2 Dampak Sosial Ekonomi Penerapan PRL

PRL perikanan sebenarnya bermuara pada perikanan berkelanjutan. Menurut Eyjólfur Gudmundsson dan Cathy R. Wessells (2000) praktek perikanan berkelanjutan dapat dibuat perhitungan bio-ekonominya. Efektifitas label ramah lingkungan yang menunjukkan praktek perikanan berkelanjutan dibawah rezim open-access, limited access, dan pengelolaan perikanan yang optimal dengan produk PRL yang berharga bagus di pasar. Dalam pelaksanaannya perikanan berkelanjutan ini, mengundang pesimitis dari beberapa pihak, seperti dalam tulisan “Whose sustainability? Top–down participation and emergent rules in marine protected area management in Indonesia” oleh Galser et.al (2010) wilayah perlindungan laut (konservasi) untuk melindungi wilayah laut yang terkena dampak kelebihan penangkapan, atau tereksploitasi lebih. Wilayah konservasi biasanya ditentukan oleh pemerintah dengan disandarkan kepada peraturan IUCN mengenai perikanan yang diimplementasikan oleh pemerintah dalam UU No. 5 Tahun 1997. Praktek perikanan yang terjadi dengan adanya


(25)

peraturan yang top-down ini membuat gerah masyarakat nelayan. Hak-hak nelayan tereduksi oleh peraturan seperti ini.

Dampak sosial ekonomi praktek PRL perikanan ini tidak bisa dipungkiri terjadi pada masyarakat nelayan. Di bawah ini beberapa butir dampak sosial ekonomi yang terjadi dalam praktek PRL.

1. Ada hak-hak nelayan yang tereduksi, karena hanya berfokus pada hasil tetapi tidak memperhatikan sistem pengelolaan yang digunakan (Molyneaux, 2008).

2. Sertifikasi perikanan dapat mendorong kesadaran dan peningkatan pemasaran produk perikanan, namun tidak untuk perikanan skala kecil. Biaya sertifikasi yang tinggi, dan ke-eksklusifan yang ditawarkan pemegang sertifikasi PRL membuat adanya kesenjangan ekonomi dalam masyarakat nelayan (Schimidt 1998 dalam Gardiner dan Visnawathan 2004). Ditambahkan oleh Molyneaux (2008) skema ekolabeling yang dikendalikan oleh perusahaan tujuan akan berbalik arah sehingga tidak dapat dipercaya bahwa skema MSC ini dapat menguntungkan nelayan skala kecil. Ada pasar yang hanya membeli ikan yang bersertifikat, mengunci pada status ikan yang berkelanjutan dan potensial. Kembali lagi ini menguatkan bahwa PRL seakan menutup akses nelayan kecil untuk memperdagangkan hasil tangkapannya di pasar Internasional.

3. Akan terjadi ketimpangan harga di pasar (Gudmusson dan Wessel 2000). Oleh karena harga ikan yang bersertifikasi dinilai lebih tinggi sehingga hasil tangkapan yang tidak bersertifikasi PRL lebih rendah di pasar. Hal ini membuat nelayan skala kecil mengalami kesulitan dalam ekonomi.

2.1.5 Perikanan Berkelanjutan

Merujuk kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa pembangunan berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya, kedalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup


(26)

generasi saat ini. Ditambahkan FAO dalam Sinclair dan Valdimarsson (2003) perikanan berkelanjutan semestinya dilihat secara pendekatan holistik dan integratif juga dengan partisipasi dari para pemangku kepentingan yang mengarah kepada dimensi pengelolaan yang terpusat. Berikut Galser et.al merumuskan beberapa instrumen yang seharusnya ada dalam praktek perikanan berkelanjutan:

1.

Keadilan distributif; ini penting untuk memastikan siapa yang bertanggung jawab atas biaya dan yang memperoleh keuntungan dari wilayah konservasi. Baik keuntungan material maupun non-material.

2.

Transparansi dan Representatif; pada tingkat lokal peraturan dan program ini dibangun, pemilihan pengurus, dan lainnya harus diurus secara inklusif dan menghindari marginalisasi. Seluruh pelaksanaan ini dilaksanakan secara transparan dan memilki unsur keterwakilan.

3.

Budaya lokal; hal tabu maupun mitos di lingkungan sekitar wilayah konservasi harus diperhatikan dan dipertimbangkan dalam memutuskan wilayah konservasi.

4.

Partisipasi aktif; diperlukan peran aktif dari masyarakat pengguna sumberdaya dalam merumuskan implementasi wilayah konservasi.

5.

Mengaitkan pengetahuan; baik itu pengetahuan lokal maupun pengetahuan modern dan pengetahuan lainnya disejajarkan dalam pertimbangan pengambilan keputusan agar tercipta peraturan yang tidak berat sebelah.

6.

Peraturan Lokal; jangan abaikan peraturan lokal yang telah menjadi tradisi

di wilayah tersebut. 2.2 Kerangka Pemikiran

Timbul kesadaran akan rusaknya lingkungan di laut Les yang diakibatkan penggunaan bahan berbahaya dalam menangkap ikan (destructive fishing) serta penangkapan ikan berlebih (over-exploitation fishing). Hal ini kemudian mengawali pergerakan perikanan ramah lingkungan yang dilakukan oleh kelompok nelayan ikan hias dibantu oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal, yakni Yayasan Bahtera Nusantara yang juga dibantu oleh Telapak Indonesia. Gerakan pelestarian yang dilakukan dimulai dengan merubah cara pandang nelayan, kemudian diikuti dengan memutuskan solusi yang tepat untuk kebaikan bersama. Gerakan ini mengubah cara tangkap ikan hias yang dari


(27)

menggunakan potassium-sianida menjadi menggunakan jaring, dari pola tangkap mengambil sebanyak-banyaknya ikan menjadi berpola mengikuti order, juga termasuk memberi pelatihan penyelaman untuk menangkap ikan yang hidup lebih dari 15 meter di bawah permukaan laut.

Setelah gerakan perikanan ramah lingkungan berjalan beberapa waktu, kemudian Marine Aquarium Council melakukan PRL (ecolabelling) terhadap pemangku kepentingan rantai pasar dari ikan hias. Munculnya program PRL ini kemudian menimbulkan dampak, baik dari sisi sosial dan ekonomi masyarakat nelayan dan ekologis lingkungan (terutama laut). Perubahan pendapatan, perubahan kondisi tempat tinggal, ragam sumber pandapatan, serta kepemilikan alat tangkap menjadi tolak ukur ekonomi nelayan. Sedangkan dari sisi sosial, kekuatan jejaring sosial (networking), stratifikasi masyarakat nelayan, sebaran wilayah tangkap, dan tingkat kepuasan kerja oleh nelayan menjadi parameternya. Sementara luas tutupan karang dan keberanekaragaman ikan hias di laut Les menjadi alat ukur akibat yang dihasilkan dari PRL ini.

2.1 Hipotesis Penelitian

1) Terdapat hubungan perubahan pola kehidupan sosio-ekonomi masyarakat nelayan ikan hias akibat pelaksanaan PRL. Perubahan sosial yang terjadi memiliki hubungan:

 Responden yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi cenderung memiliki keikutsertaan yang tinggi dalam kelompok.  Responden yang memiliki tingkat pengalaman kerja yang tinggi

maka cenderung memiliki tingkat keikutsertaan yang tinggi.  Responden dengan tingkat pengalaman yang tinggi maka

cenderung memiliki tingkat pendapatan tinggi.

 Responden yang memiliki tingkat pengalaman kerja yang tinggi maka cenderung memiliki tingkat pendapatan yang tinggi.

2) Terdapat perubahan ekologi perairan Les akibat pelaksanaan PRL. 3) Terdapat perubahan pelaksanaan perikanan ikan hias setelah


(28)

Kerusakan Lingkungan (Laut)

Gerakan Perikanan Ramah Lingkungan

Sertifikasi Ekolabeling

Dampak Sosial:  Jaringan sosial  Tingkat keikutsertaan

dalam kelompok  Stratifikasi

masyarakat nelayan

Dampak Ekonomi:

 Tingkat pendapatan

 Ragam sumber pendapatan

 Persaingan wilayah tangkap

 Kondisi tempat tinggal Karakteristik Nelayan:

 Umur

 Tingkat pendidikan

 Tingkat pengalaman

 Tingkat pengetahuan tentang perikanan yang ramah lingkungan

Dampak Ekologi:  Luas tutupan Karang  Keberanekaragaman

ikan hias Nelayan Ikan Hias

LSM

Lembaga sertifikasi

Dampak Sosial:  Jaringan sosial  Tingkat keikutsertaan

dalam kelompok  Stratifikasi

masyarakat nelayan

Dampak Ekonomi:

 Tingkat pendapatan

 Ragam sumber pendapatan

 Persaingan wilayah tangkap

 Kondisi tempat tinggal Karakteristik Nelayan:

 Umur

 Tingkat pendidikan

 Tingkat pengalaman

 Tingkat pengetahuan tentang perikanan yang ramah lingkungan Dampak Sosial:

 Jaringan sosial  Tingkat keikutsertaan

dalam kelompok  Stratifikasi

masyarakat nelayan

Keterangan:

Hubungan Pengaruh

Stakeholderyang berperan dalam kegiatan

Hubungan peristiwa

Gambar 3. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Penelitian Sertifikasi Ekolabeling Dan Dampaknya Terhadap Nelayan Ikan Hias


(29)

2.2 Definisi Konseptual

1. Kerusakan lingkungan di laut merupakan akibat dari aktivitas perikanan yang tidak ramah lingkungan dengan menggunakan alat atau bahan yang merusak, dapat berupa rusaknya terumbu karang.

2. Perikanan ramah lingkungan merupakan aktivitas perikanan yang menerapkan prinsip tidak merusak lingkungan yang dalam penerapannya perikanan ini tidak menggunakan alat-alat atau bahan yang merusak (destructive fishing). PRL perikanan merupakan sistem penangkapan ikan yang memiliki sertifikasi ramah lingkungan yang diakui di dunia, sehingga produk perikanan ini dapat menembus pasar internasional untuk diperdagangkan.

3. Dampak sosial merupakan akibat yang terjadi pada masyarakat dalam bentuk hubungan-hubungan sosial yang terjadi karena dilaksanaannya program PRL perikanan ini.

4. Jaringan sosial (social networking) adalah bentuk hubungan yang saling mempengaruhi satu sama lain antar pemangku kepentingan dalam memenuhi kebutuhan masing–masing pihak.

5. Stratifikasi sosial adalah pergeseran verikal status dan peran dalam pekerjaan, dapat naik atau pun turun.

6. Dampak ekonomi merupakan akibat yang terjadi dalam masyarakat nelayan yang berhubungan dengan ekonomi karena dilaksanakannya PRL perikanan ini.

7. Ragam sumber pendapatan maksudnya adalah berbagai bidang pekerjaan lain selain pekerjaan utama responden yang turut menyumbang pemasukan pendapatan keluarga responden.

8. Strategi nafkah nelayan merupakan aktivitas yang dilakukan nelayan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya.

9. Sumber pendapatan merupakan sumber penghasilan nelayan baik dari hasil menangkap ikan maupun dari hasil pekerjaan lainnya.

2.3 Definisi Operasional

1. Karakteristik nelayan adalah ciri-ciri yang melekat pada individu nelayan meliputi umur, tingkat pengalaman menekuni pekerjaan, tingkat


(30)

pendidikan, dan pengetahuan mengenai perikanan yang ramah lingkungan.

a. Umur adalah usia responden pada tahun dilaksanakannya penelitian. Namun, dibagi kedalam tiga kategori oleh Havighurts dan Acherman dalam Sugiyah (2008):

i. Muda (18-30 tahun) ii. Dewasa (31-50 tahun) iii.Tua (50 tahun)

b. Pendidikan adalah jenjang atau tingkat pendidikan formal yang telah ditempuh oleh individu pada saat penelitian ini berlangsung, yang dibedakan sebagai berikut:

i. Rendah (tidak tamat SD, tamat SD/sederajat, tidak sekolah) ii. Sedang (tamat SMP/sederajat)

iii.Tinggi (Tamat SMA/sederajat)

c. Tingkat pengalaman menekuni pekerjaan diukur dari selang waktu yang telah ditempuh oleh individu dengan pekerjaan utama sebagai nelayan ikan hias, dihitung dalam satuan waktu tahun. Oleh karena praktek perikanan ikan hias berjalan sejak tahuan 1986 dan dihitung pada tahun 2011, maka selang periodenya adalah 25 tahun. Sehingga, range yang digunakan adalah:

i. Rendah (0-5 tahun) ii. Sedang (5-15 tahun) iii. Tinggi (diatas 15 tahun)

d. Pengetahuan mengenai perikanan yang ramah lingkungan adalah kumpulan pengetahuan yang dimiliki nelayan dalam bidang dan praktek perikanan yang ramah lingkungan.

i. Rendah (jika jawaban kurang benar)

ii. Sedang (jika jawaban benar tetapi kurang menyakinkan) iii. Tinggi (jika jawaban mendekati benar)

2. Tingkat pendapatan adalah jumlah penghasilan yang diperoleh oleh responden secara keseluruhan (tidak hanya dari hasil bekerja sebagai nelayan ikan hias) dalam satuan waktu bulan.


(31)

i. Rendah (jika penghasilan individu dibawah penghasilan rata-rata keseluruhan responden)

ii. Sedang (jika penghasilan individu berada ditengah pengahasilan rata-rata keseluruhan responden)

iii. Tinggi (jika penghasilan individu berada diatas penghasilan rata-rata keseluruhan responden)

3. Tingkat keikutsertaan dalam kelompok adalah seberapa banyak kehadiran individu dalam acara atau pertemuan-pertemuan rutin kelompok nelayan ikan hias dalam satu tahun. Oleh karena pertemuan rutin diadakan setiap bulan hitungan kalender Bali, yakni setiap 35 hari yang bertepatan dengan upacara agama Hindu,tumpek, maka satuan yang digunakan adalah berapa kali pertemuan. Satu tahun berarti berkisar ada 10 kali pertemuan.

i. Rendah (jika kehadiran individu kurang dari 5 kali dalam kurun waktu satu tahun)

ii. Sedang (jika kehadiran individu antara 5 sampai 8 kali dalam kurun waktu satu tahun)

iii. Tinggi (jika kehadiran individu lebih dari 8 kali dalam kurun waktu satu tahun)


(32)

BAB III

PENDEKATAN LAPANGAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Les, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali. Sejalan dengan judul serta tujuan dari penelitian ini, melihat praktek pelabelan ramah lingkungan (ecolabelling) berlangsung dan bagaimana pengaruhnya bagi nelayan ikan hias. Lokasi ini dipilih secara sengaja karena latar belakang praktek perikanan ikan hias yang ramah lingkungan yang telah dilaksanakan di desa ini. Juga karena para nelayan Desa Les ini telah pernah tersertifikasi oleh lembaga sertifikasi Marine Aquarium Council. Waktu penelitian dilakukan selama bulan Juni hingga Juli 2011.

Tabel 5. Perencanaan Waktu Penelitian

No. Kegiatan Juni Juli Agustus September Oktober

3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1. Pengambilan data

lapangan 2. Pengolahan dan

analisis data

3. 3

. Penulisan draft skripsi

4. Sidang skripsi 5. Perbaikan laporan

penelitian

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Metode dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang didukung oleh pendekatan kuantitatif. Dalam metode penelitian kualitatif digunakan observasi, pengamatan, dan wawancara. Sedangkan pada pendekatan kuantitatif, penelitian ini menggunakan metode penelitian survei. Penelitian survei adalah penelitian dengan mengumpulkan informasi dari suatu sampel dengan menanyakan melalui angket atau interview supaya menggambarkan berbagai aspek dari populasi (Fraenkel dan Wallen sebagaimana dikutip Wahyuni dan Muljono 2009). Penelitian survei yang dilakukan antara lain untuk melihat hubungan antara tingkat pendidikan nelayan dengan tingkat pendapatan dan tingkat keikutsertaannya dalam kelompok nelayan. Lalu melihat hubungan tingkat


(33)

pengalaman kerja dan hubungannya dengan tingkat pendapatan dan tingkat keikutsertaannya dalam kelompok nelayan.

Pengambilan data dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama adalah pengambilan data melalui kuesioner yang dibagikan kepada responden dan informan untuk melakukan test sebagai preliminary research. Kemudian setelah dilakukan tes dilakukan pengeditan kuesioner sebagai kuesioner penelitian sesungguhnya yang disesuaikan dengan karakteristik masyarakat dan daerah lokasi penelitian. Hal ini dilakukan agar data yang diperoleh dapat terjamin, baik realibilitas maupun validitasnya. Oleh karena penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang didukung oleh kuantitatif, maka tahap kedua pengambilan data dilakukan dengan wawancara mendalam kepada beberapa pemegang peran serta pengamatan lapang. Selain itu diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussion) dilakukan bersama para nelayan untuk memetakan permasalahan serta dampak yang terjadi. Diskusi ini menghasilkan Gambar runtututan aktivitas perikanan yang terjadi di desa ini dalam kurun waktu 25 tahun dan diagram tulang ikan atas dampak yang terjadi dari aktivitas perikanan.

Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung, observasi lapang dan menggunakan kuesioner yang disebarkan, kemudian diisi oleh responden. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui dokumentasi dan studi literatur yang berkaitan dengan tujuan penelitian seperti buku, data potensi desa dan lainnya.

3.3 Populasi dan Sampel

Pada penelitian ini, terdapat dua subjek penelitian yang terdiri dari informan dan responden. Informan adalah pihak-pihak yang berpotensi untuk memberikan informasi mengenai diri sendiri, keluarga, pihak lain, dan lingkungannya. Pemilihan informan dilakukan dengan teknik snowball sampling (teknik bola salju). Teknik ini juga digunakan untuk menentukan daftar populasi yang karakteristiknya sesuai dengan masalah yang akan diteliti (kerangka sampling). Pada penelitian ini yang menjadi informan antara lain, Kepala Desa Les, Ketua Kelompok Nelayan Ikan Hias Soansari, LINI, LSM Telapak, dan beberapa tokoh masyarakat.


(34)

Metode pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik random sederhana. Desa Les diambil secara purposif karena merupakan daerah yang mendapat sertifikat penerapan praktek perikanan terbaik (best practised). Kemudian diambil data jumlah nelayan keseluruhan dan jumlah nelayan ikan hias yang masih aktif serta telah tersertifikasi ramah lingkungan. Pengambilan responden berdasarkan cara penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan.

Adapun unit analisis dalam penelitian ini adalah rumah tangga sebagai unit terkecil dalam pengambilan keputusan keluarga seperti mengukur tingkat pendapatan dan aspek-aspek lain yang mempengaruhi keadaan sosial ekonomi masyarakat nelayan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Profil desa dan Kelurahan Desa Les tahun 2010, terdapat sejumlah 150 penduduk desa yang berprofesi sebagai nelayan. Diantaranya 50 orang merupakan nelayan ikan hias aktif yang juga merupakan anggota aktif kelompok nelayan ikan hias Soansari. Dengan demikian populasi dari penelitian ini adalah 50 nelayan ikan hias aktif dan sampel yang diambil dengan menggunakan teknik random sampling (pengambilan sampel random sederhana). Teknik ini digunakan karena populasi memiliki karakteristik yang homogen. Besar sampel sebanyak 15 orang juga mempertimbangkan beberapa hal berikut:

1. Derajat keseragaman yang tinggi (Degree of Homogenity) dari populasi, sehingga semakin kecil sampel yang diambil (Singarimbun, 2006), 2. Penyebaran tempat tinggal dari seluruh nelayan ikan hias aktif tersebar

hingga di daerah yang relatif berjauhan,

3. Waktu penelitian yang bertepatan dengan beberapa Hari Raya besar umat Hindu-Bali.

3.5 Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan dan analisis data menggunakan kuesioner yang dibagikan kepada responden dengan diolah melalui beberapa langkah yaitu editing kuesioner, pengkodean data, pemindahan data ke lembar penyimpanan data, memasukkan data ke dalam programmicrosoft excel.Dalam penelitian kuantitatif, analisa data pada data primer dapat diolah dengan menggunakan tabulasi silang untuk menggambarkan karakteristik sampel. Data yang ditampilkan berupa grafik, diagram, atau bagan. Kemudian data tersebut digabungkan dengan hasil


(35)

wawancara mendalam dan observasi berupa kutipan untuk kemudian penarikan kesimpulan dari semua data yang telah diolah sebelumnya.


(36)

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Profil Kabupaten Buleleng dan Kecamatan Tejakula

Kabupaten Buleleng merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Propinsi Bali yang terletak di belahan utara Pulau Bali memanjang dari barat ke timur. Secara geografis, Kabupaten Buleleng terletak pada posisi 8o 03’40”-8o23’00” lintang selatan dan 114o25’55”-115o27’28” bujur timur. Secara keseluruhan luas wilayah Kabupaten Buleleng adalah 136.588 hektar atau 24,25 persen dari luas Propinsi Bali. Terdiri dari sembilan kecamatan, yakni Kecamatan Gerokgak, Seririt, Bungsubiu, Banjar, Sukasada, Buleleng, Sawan, Kubutambahan, dan Kecamatan Tejakula.

Desa Les secara administratif merupakan bagian dari Kecamatan Tejakula yang memiliki luas 97,68 km2 dan terletak di sisi timur Kabupaten Buleleng. Kecamatan Tejakula berjarak 38 km dari pusat pemerintahan Kabupaten Buleleng. Kecamatan ini memiliki garis pantai sepanjang 27,23 km yang merupakan garis pantai kedua terpanjang di kabupaten ini. Topografi Kecamatan Tejakula adalah daratan rendah dengan suhu rata-rata 28oC. Kecamatan Tejakula terdiri atas 10 desa, salah satunya adalah Desa Les yang berada disebelah timur Desa Tejakula (ibukota Kecamatan Tejakula).

Kabupaten Buleleng memiliki potensi yang besar dalam bidang perikanan, seperti yang digambarkan pada Gambar 4. Setiap kecamatan dalam wilayah administratif Kabupaten Buleleng memiliki potensi perikanan. Kecamatan Tejakula selain dikenal potensial untuk pembudidayaan rumput laut juga memiliki potensi sebagai daerah penghasil ikan hias. Desa Les, Desa Penuktukan, dan Desa Tembok merupakan tiga desa pada Kecamatan Tejakula yang sekarang menjadi penghasil ikan hias terbesar, juga sebagai penghasil ikan hias ramah lingkungan di Bali.


(37)

Gambar 4. Peta Pesebaran Wilayah Potensi Perikanan (sumber:www.bulelengkab.go.id)

4.2 Profil Desa Les

Desa Les merupakan salah satu dari sepuluh desa yang berada di Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Propinsi Bali.

4.2.1 Sejarah Desa Les

Diceritakan bahwa penduduk Desa Panjingan selalu didatangi dan dirusak oleh bajak laut sehingga mereka merasa tidak aman dan selalu dalam ketakutan. Hal ini menyebabkan semua warga desa terpaksangenes/mekiles(berpindah tempat dan bersembunyi di tempat yang lain) agar terbebas dari kedatangan bajak laut itu. Menurut penuturan secara turun menurun dari orang-orang tua di Desa Les, Desa Les adalah bagian dari Kancasatak (perhimpunan/persekutuan) dari desa-desa yang jumlah seluruh warganya sebanyak 200 KK, desa-desa itu sekarang adalah:

1. Desa Les Penuktukan

2. Desa Sambirenteng/ Banjar Geretek 3. Desa Tembok

4. Desa Pinggan 5. Desa Si Yakin


(38)

Desa Pinggan dan Desa Si Yakin termasuk Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, sedangkan Desa Les, Penuktukan, Sambirenteng, Geretek dan Tembok termasuk Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng. Kancasatak ini sampai sekarang masih menyungsung Kahyangan Kancasatak yaitu Pura Dalem Blingkang yang terletak di Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli, serta Pura Segara Pegonjongan dan Pura Puseh Panjingan yang terletak di Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng.

Mengenai asal usul nama “Les” sendiri, dapat dijelaskan sebagai berikut: nama “Les” berasal dari katangenesyang sama artinya denganmekilesyaitu pergi dari suatu tempat ke tempat lain sambil bersembunyi. Akan tetapi karena katangenesditulis dengan huruf bali maka huruf “ngemelelemaka oleh orang-orang yang paham dengan pasang Sastra Bali ‘ngemelele / ’me’ megantungan ‘ne’ metengenan ‘se’di baca Les, dan sampai saat ini tetap dibaca Les (dikutip dari situs resmi pemerintah Kabupaten Buleleng, Propinsi Bali).

Desa Les merupakan desa yang masih memegang teguh warisan kebudayaan dan agama dari leluhur. Kebudayaan Hindu sangat kental disini, upacara adat diadakan di beberapa Pura yang tersebar di seluruh desa. Adapun upacara adat besar yang mereka lakukan antara lain:

1. Upacara Galungan dan Kuningan, merupakan upacara setahun sekali yang merupakan upacara terbesar di Bali. Pada Hari Raya ini umat Hindu Bali dari seluruh nusantara diwajibkan untuk kembali ke Bali dan berdoa bersama di Pura keluarga masing-masing.

2. Upacara Bulan Mati dan Bulan Hidup, dilaksanakan sebulan sekali pada saat bulan purnama (bulan hidup) dan pada saat akhir bulan (bulan mati). 3. Upacara Tumpek, merupakan upacara awal bulan kalender Bali yang

diadakan setiap 35 hari sekali. 4.2.2 Kondisi Geografis dan Demografis

Desa Les merupakan salah satu desa yang berada dalam Kecamatan Tejakula yang memiliki batas teritori wilayah, yakni: sebelah utara berbatasan dengan laut Bali, sementara sebelah selatan berbatasan dengan hutan Bangli, Kecamatan Kintamani. Sebelah timur berbatasan langsung dengan Desa Penuktukan, sementara di sebelah barat berbatasan dengan Desa Tejakula, kedua


(39)

desa tersebut masih di dalam satu kecamatan yang sama, yakni Kecamatan Tejakula. Beberapa desa di Kecamatan Tejakula biasanya dibatasi oleh sungai musiman yang melintas diantara dua desa. Desa Les terdiri atas sembilan dusun, yakni dusun Kanginan, Butiyang, Panjingan, Tegallinggah, Kawanan, Selonding, Tubuh, Lempedu, dan Dusun Panyumbahan.

Luas wilayah Desa Les adalah 769 hektar, termasuk di dalamnya hutan seluas 200 hektar dan wilayah pesisir seluas 135 hektar. Sebagian besar wilayah Desa Les merupakan tegalan atau ladang dan hutan lindung. Daerah persawahan hanya empat persen sedangkan wilayah pemukiman umum hanya enam persen dari total luas desa. Pantai Desa Les membujur dari barat ke timur sepanjang dua kilometer. Bentuk geografis Desa Les yang merupakan kombinasi dataran rendah dan dengan dataran tinggi membuat suhu udara dan mata air desa ini cukup unik. Tabel 6 menggambarkan persentase pemanfaatan wilayah Desa Les.

Topografi Desa Les bila dilihat secara melintang, laut Bali berada di sebelah utara desa dan perbukitan di sebelah selatan. Hal ini membuat suhu rata-rata di daerah pesisir ini cukup sejuk. Suhu rata-rata-rata-rata Desa Les adalah antara 25oC sampai 31oC. Suhu akan sangat dingin bila malam dan pagi hari karena ada aliran udara yang berasal dari gunung. Sumber air Desa Les adalah mata air dari gunung yang berada di selatan desa dan air sumur bor. Kedua sumber air ini cukup berbeda, air dari pegunungan cenderung dingin dan segar dengan kadar salinitas nol. Berbeda dengan air sumur bor yang masih memiliki kadar salinitas yang cukup tinggi. Kondisi pantai berbatu mulai dari bongkahan batu ukuran kecil hingga sedang dan berpasir warna kelabu hingga hitam dimana warna kelabu ini merupakan hasil sisa dari letusan gunung api yakni Gunung Agung (LINI, 2008).

Mata pencaharian penduduk Desa Les beraneka ragam, seperti nelayan ikan konsumsi, nelayan ikan hias, pekerja bangunan, pedagang, dan beberapa pengusaha. Namun sebagian besar terkonsentrasi pada sektor pekerjaan non-formal bertani dan berternak. Jumlah nelayan ikan hias yang masih aktif ada sekitar 50 orang dan sekitar 100 orang lainnya merupakan nelayan ikan konsumsi. Ada empat kelompok nelayan di desa ini, salah satunya mengkhususkan diri sebagai kelompok nelayan ikan hias.


(40)

Tabel 6. Pemanfaatan Wilayah Desa Les Tahun 2010

No Pemanfaatan Wilayah Luas

Hektar Persentase

1 Pemukiman Umum 48 6%

2 Sawah 30 4%

3 Tegalan/Ladang 394 52%

4 Perkebunan 45 5%

5 Hutan Lindung 200 26%

6 Kuburan 3 0.40%

7 Bangunan Umum 49 6%

Total 769 100%

Sumber: Data Monografi Desa Les, Kecamatan Tejakula, Bali (2010)

Mata pencaharian terbesar di Desa Les adalah sebagai petani peladang, dengan luas lahan yang dimanfaatkan sebagai ladang di Desa Les sebanyak 394 hektar. Luas sawah yang terbentang di Desa Les hanya sebesar 30 hektar dengan 78 orang buruh tani yang tersebar. Hampir seluruh keluarga di Desa Les memiliki usaha ternak babi, ataupun ternak sapi. Sebagian besar masyarakat Desa Les merantau keluar desa, bagi perempuan menjadi karyawan perusahaan swasta dan menjadi pembantu di Denpasar, sementara laki-laki akan bekerja sebagai buruh kasar. Pada Tabel 7 terlihat persentase mata pencaharian penduduk Desa Les pada tahun 2010.

Jarak tempuh menuju Desa Les dari ibukota Kabupaten Buleleng, Singaraja (Kabupaten Buleleng) adalah 35 kilometer sekitar satu jam menggunakan kendaraan bermotor. Akses mencapai Les dari Singaraja dapat menggunakan kendaraan umum yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan desa-desa lain sepanjang Bali utara. Jarak tempuh dari Desa Les menuju ibukota propinsi, Denpasar adalah sekitar 124 kilometer dengan waktu tempuh dapat mencapai empat jam dengan kendaraan bermotor. Tidak terdapat angkutan umum yang menghubungkan Les dan Denpasar, sehingga masyarakat Les akan mengandalkan kendaraan pribadi atau menggunakan jasa travel plat hitam.


(41)

Tabel 7. Jenis Pekerjaan Penduduk Desa Les Menurut Jenis Kelamin Tahun 2010

No Jenis Pekerjaan Laki-Laki Perempuan Jumlah

1 Petani 1851 1368 3219

2 Buruh Tani 53 25 78

3 Pegawai Negri Sipil 49 30 79

4 Pedagang Keliling 1 0 1

5 Peternak 240 310 550

6 Nelayan 150 0 150

7 Pengrajin Industri Rumah Tangga

0 10 10

8 Montir 4 0 4

9 Pembantu Rumah Tangga 0 65 65

10 TNI 4 0 4

11 POLRI 5 0 5

12 Pensiunan PNS/TNI/POLRI 7 4 11

13 Pengusaha Kecil dan menengah

5 2 7

14 Pengusaha Besar 2 0 2

15 Karyawan Perusahaan Swasta 356 483 839

16 Karyawan perusahaan Pemerintah

6 12 18

Jumlah Penduduk 2733 2309 5042

Sumber: Data Monografi Desa Les, Kecamatan Tejakula (2010)

Potensi Desa Les antara lain potensi wisata bahari laut maupun gunung, industri rumah tangga jajan Bali (seperti dodol dan kerupuk manuk), kerajinan anyaman bambu, dan pengrajin perak. Kondisi alam Desa Les mendukung untuk dikembangkan ekowisata. Ekowisata bawah laut yang sedang dikembangkan adalah taman terumbu karang, sedangkan ekowisata alam pegunungan yang menjadi perhatian adalah air terjun, Yeh Mampeh, dan pesona gua, serta wisata hiking atau mendaki gunung. Selain itu, garam adalah komoditas potensial dari Desa Les. Terdapat sebuah perusahaan pengolahan air laut menjadi garam tradisional di Desa Les yang bergerak sejak Desa Les berdiri.

Jumlah penduduk Desa Les adalah sebesar 7453 jiwa pada tahun 2010. Jumlah penduduk perempuan sebesar 3712 jiwa atau sekitar 49 persen seimbang dengan jumlah penduduk pria 3741 jiwa sekitar 51 persen dari jumlah total penduduk Desa Les. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 8 berikut.


(42)

Tabel 8. Perbandingan Jenis Kelamin Penduduk Desa Les Tahun 2010

No. Jenis Kelamin Jumlah Penduduk

Jiwa Persen

1. Perempuan 3712 49

2 Laki-laki 3741 51

Total 7453 100

Sumber: Data Monografi Desa Les, Kecamatan Tejakula, Bali (2010)

Tahun 2009 jumlah kepala keluarga yang menetap di Desa Les, adalah sebanyak 2094 KK. Keluarga tersebut tersebar di sembilan dusun di Desa Les. Penyebaran keluarga di Desa Les cenderung merata karena sumber air tersebar rata diseluruh desa. Keseluruhan warga Desa Les beretnik Bali. Mayoritas penduduk Desa Les, 99 persen beragama Hindu, sedangkan sisanya beragama Islam. Perbedaan agama bukan merupakan masalah bagi masyarakat Desa Les. Berikut pengakuan dari Kepala Desa Les mengenai fenomena ini:

“…Tenggang rasa antar umat beragama disini begitu kuat sehingga tidak pernah tejadi perkelahian ataupun selisih paham antar umat Hindu dan Islam disini.” (NA,52)

Sarana pendidikan yang dimiliki Desa Les antara lain dua PAUD, satu Taman Kanak-Kanak, lima Sekolah Dasar Negeri dan satu Sekolah Menengah Pertama Terbuka (sumber:www.kabbuleleng.go.id) . Adapun Sekolah Menengah Atas terdekat berada di Desa Tejakula. Tingkat pendidikan masyarakat Desa Les cenderung rendah, terutama pada keluarga nelayan dan buruh bangunan (pekerja kasar). Nelayan ikan hias Desa Les, sebagian besar tidak menamatkan pendidikan menengah pertama. Kendala utama dalam pendidikan adalah ketidakmampuan ekonomi dalam memenuhi biaya pendidikan. Terutama pada keluarga nelayan ikan hias, pendidikan adalah sesuatu yang susah untuk dipenuhi. Pendapat mengenai hal ini disampaikan oleh salah satu nelayan ikan hias MP (31 tahun):

“…Bahkan 50 orang dari nelayan ikan hias, hanya beberapa yang berhasil menamatkan SMP (Sekolah Menengah Pertama), sisanya hanya tamat SD. Ada juga yang tidak pernah sekolah sama sekali dan buta huruf.”

Kemiskinan membuat nelayan tidak mampu menyekolahkan anggota keluarga. Khusus untuk keluarga nelayan ikan hias, biasanya anak laki-laki yang telah menyelesaikan pendidikan menengah pertama akan membantu bapaknya bekerja di laut ataupun bekerja di proyek bangunan (sektor non-formal tentunya). Lain lagi dengan anak perempuan yang setelah menyelesaikan pendidikan menengah pertama merantau ke kota (Denpasar) atau pilihan lainnya menikah.


(43)

Pernikahan pada usia yang sangat belia (15-21 tahun) akibat tuntutan ekonomi merupakan hal biasa di Desa Les.

Gambar 4. Penduduk Desa Les Berdasarkan Agama

4.3 Profil Kelompok Nelayan Ikan Hias Mina Bhakti Soansari

Praktek penangkapan ikan hias yang mengandalkan sinanida memiliki beberapa efek negatif bagi ekologi laut Les. Terjadi kerusakan berantai akibat penggunaan sianida, dimulai dari kerusakan terumbu karang yang menyebabkan hilangnya tempat hidup berbagai ikan hias. Hal ini mengakibatkan menurunnya jumlah keberlimpahan dan keberagaman ikan hias di Desa Les. Menurunnya jumlah ikan hias yang terdapat di alam kemudian mempengaruhi ekonomi nelayan yang sangat bergantung pada alam. Selama kurun waktu 15 tahun kerusakan alam yang terjadi membawa nelayan menghadapi titik kritis. Titik kritis merupakan saat dimana nelayan harus menerima kenyataan bahwa sudah tidak ada lagi ikan yang dapat ditangkap diperairan Desa Les. Titik kritis tersebut membawa nelayan kepada masa transisi.

Masa transisi menurut para nelayan Les adalah selang waktu antara sadarnya nelayan atas perbuatan merusak lingkungan yang selama ini dilakukan dengan kemungkinan nelayan ikan hias harus berpindah profesi karena sudah tidak ada ikan lagi yang bisa ditangkap. Pertimbangan lain adalah tetap berprofesi sebagai nelayan ikan hias, namun harus melakukan perbaikan atas kerusakan lingkungan yang terjadi agar tidak menjadi lebih parah. Pendampingan oleh beberapa LSM yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan para nelayan mulai

0 1000 2000 3000 4000 Series1 Series2 Ju m la h P e n d u d u k

Penduduk Desa Les Berdasarkan Agama yang Dianut

Pernikahan pada usia yang sangat belia (15-21 tahun) akibat tuntutan ekonomi merupakan hal biasa di Desa Les.

Gambar 4. Penduduk Desa Les Berdasarkan Agama

4.3 Profil Kelompok Nelayan Ikan Hias Mina Bhakti Soansari

Praktek penangkapan ikan hias yang mengandalkan sinanida memiliki beberapa efek negatif bagi ekologi laut Les. Terjadi kerusakan berantai akibat penggunaan sianida, dimulai dari kerusakan terumbu karang yang menyebabkan hilangnya tempat hidup berbagai ikan hias. Hal ini mengakibatkan menurunnya jumlah keberlimpahan dan keberagaman ikan hias di Desa Les. Menurunnya jumlah ikan hias yang terdapat di alam kemudian mempengaruhi ekonomi nelayan yang sangat bergantung pada alam. Selama kurun waktu 15 tahun kerusakan alam yang terjadi membawa nelayan menghadapi titik kritis. Titik kritis merupakan saat dimana nelayan harus menerima kenyataan bahwa sudah tidak ada lagi ikan yang dapat ditangkap diperairan Desa Les. Titik kritis tersebut membawa nelayan kepada masa transisi.

Masa transisi menurut para nelayan Les adalah selang waktu antara sadarnya nelayan atas perbuatan merusak lingkungan yang selama ini dilakukan dengan kemungkinan nelayan ikan hias harus berpindah profesi karena sudah tidak ada ikan lagi yang bisa ditangkap. Pertimbangan lain adalah tetap berprofesi sebagai nelayan ikan hias, namun harus melakukan perbaikan atas kerusakan lingkungan yang terjadi agar tidak menjadi lebih parah. Pendampingan oleh beberapa LSM yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan para nelayan mulai

0 1000 2000 3000 4000

islam Kristen Katolik Hindu Budha

Series1 6 0 0 3735 0

Series2 4 0 0 3708 0

Penduduk Desa Les Berdasarkan Agama yang Dianut

Pernikahan pada usia yang sangat belia (15-21 tahun) akibat tuntutan ekonomi merupakan hal biasa di Desa Les.

Gambar 4. Penduduk Desa Les Berdasarkan Agama

4.3 Profil Kelompok Nelayan Ikan Hias Mina Bhakti Soansari

Praktek penangkapan ikan hias yang mengandalkan sinanida memiliki beberapa efek negatif bagi ekologi laut Les. Terjadi kerusakan berantai akibat penggunaan sianida, dimulai dari kerusakan terumbu karang yang menyebabkan hilangnya tempat hidup berbagai ikan hias. Hal ini mengakibatkan menurunnya jumlah keberlimpahan dan keberagaman ikan hias di Desa Les. Menurunnya jumlah ikan hias yang terdapat di alam kemudian mempengaruhi ekonomi nelayan yang sangat bergantung pada alam. Selama kurun waktu 15 tahun kerusakan alam yang terjadi membawa nelayan menghadapi titik kritis. Titik kritis merupakan saat dimana nelayan harus menerima kenyataan bahwa sudah tidak ada lagi ikan yang dapat ditangkap diperairan Desa Les. Titik kritis tersebut membawa nelayan kepada masa transisi.

Masa transisi menurut para nelayan Les adalah selang waktu antara sadarnya nelayan atas perbuatan merusak lingkungan yang selama ini dilakukan dengan kemungkinan nelayan ikan hias harus berpindah profesi karena sudah tidak ada ikan lagi yang bisa ditangkap. Pertimbangan lain adalah tetap berprofesi sebagai nelayan ikan hias, namun harus melakukan perbaikan atas kerusakan lingkungan yang terjadi agar tidak menjadi lebih parah. Pendampingan oleh beberapa LSM yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan para nelayan mulai


(1)

Lampiran 4. Dokumentasi 1. Jenis Nelayan Ikan Hias

Keluarga Nelayan Kompresor

Nelayan Ikan Hias Pinggiran

2.Pengepul Ikan Hias

Penanganan Ikan Hias di Pengepul Kelompok Pengepul Swasta Memberi Order Kepada Nelayan


(2)

Order Ikan Hias dari Nelayan Pengepul 3. Rehabilitasi Ekologi Laut Les

Hexadome Sebagai Salah Satu Alat dalam Merestorasi Karang

Terumbu Karang Buatan (Roti Buaya) Setelah 4 Bulan


(3)

Gerakan Selamatkan Terumbu Karang Bali


(4)

RINGKASAN

HUMAYRA SECELIA MUSWAR. Dampak Pelabelan Ramah Lingkungan (Ecolabelling) Bagi Nelayan Ikan Hias (Kasus Nelayan Ikan Hias Desa Les, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali). Di bawah Bimbingan ARIF SATRIA

Indonesia merupakan negara yang memiliki luas wilayah laut yang lebih besar dibanding dengan daratannya. Hal ini membuat perikanan menjadi salah satu sektor penentu perekonomian Indonesia. Oleh karena itu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional memuat misi pembangunan jangka panjang yakni, “menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan yang maju kuat dan sejahtera” memberikan arah yang jelas dalam pembangunan nasional berbasis kelautan1. Pada prakteknya penangkapan ikan di Indonesia tidak terlepas dari penangkapan yang berlebihan ( over-exploitated) dan penangakapan yang merusak (destructive fishing) baik degan alat maupun bahan yang digunakan untuk menangkap ikan. Terutama pada perikanan ikan hias, penangkapan ikan hias cenderung merupakan penangkapan ikan yang merusak. Terlebih bahan yang digunakan nelayan adalah bahan kimia potasium-Sianida yang dapat merusak terumbu karang. Sumatera Barat merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang telah mengalami kerusakan lingkungan laut yang cukup parah akibat penggunaan sianida. Rusaknya terumbu karang yang merupakan habitat bagi biota laut laut lainnya turut menyumbang kepunahan beberapa spesies ikan hias. Hal ini juga hampir terjadi di beberapa propinsi di Indonesia seperti Bali.

Kesadaran masyarakat internasional yang meningkat mengenai produk hasil ramah lingkungan menjadi awal munculnya istilah ecolabelling atau pelabelan ramah lingkungan (PRL). PRL muncul sebagai sebuah gerakan yang mendukung produksi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. PRL adalah label yang dicantumkan kepada produk yang telah berhasil memenuhi kriteria ramah lingkungan yang ditetapkan oleh lembaga sertifikasi. Sebelum PRL dibicarakan 1

Dikutip dari Tulisan Dasril Munir (Kepala Sekretariat Dewan Kelautan Indonesia) dalam Demersaledisi Desember 2010


(5)

dalam ranah perikanan, PRL telah lebih dahulu diterapkan pada hasil produk kehutanan. Keberhasilan PRL dalam sektor hasil hutan menjadi pertimbangan dilaksanakannya PRL pada sektor perikanan.

Desa Les, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali Utara merupakan wilayah penghasil ikan hias ramah lingkungan terbesar di Bali. Para nelayan ikan hias Desa Les telah mengalami perubahan mendasar pada cara penangkapan yang dilakukan. Nelayan pernah menjadi perusak karang selama satu dasawarsa unutk memenuhi permintaan ikan hias yang tinggi. Penggunaan potassium-sianida menjadi cara utama yang dilakukan nelayan untuk menangkap ikan hias. Dengan usaha penyadaran dari beberapa LSM, nelayan ikan hias Les mulai meninggalkan potassium-sianida dan beralih menggunakan cara tangkap yang ramah lingkungan. Sebagai wilayah best practiced penangkapan ramah lingkungan, MAC mensertifikasi sistem perikanan ikan hias di Desa Les. Mulai dari para nelayan ikan hias, pengepul, hingga eksportir disertifikasi untuk menghasilkan produk perikanan yang ramah lingkungan.

Secara umum, PRL di Desa Les hanya berjalan selama dua tahun. PRL ikan hias di Desa Les tidak memiliki pengaruh atau dampak langsung terhadap nelayan ikan hias, baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun ekologi. Dari sisi ekonomi, PRL belum mampu menaikkan harga jual ikan ditingkat pengepul, sehingga tidak terjadi peningkatan pendapatan yang signifikan dari perubahan pola tangkap ini. Kondisi tempat tinggal, pendapatan sehari-hari, tingkat pendidikan rata-rata keluarga nelayan tidak mengalami perubahan yang berarti. Harga ikan yang telah disertifikasi di tingkat pengepul cenderung sama dengan harga ikan yang tidak disertifikasi. Hal ini tidak sesuai dengan visi awal PRL yang ingin meningkatkan harga ikan hias.

Pada sisi sosial, nelayan ikan hias yang telah disertifikasi tidak mengalami perubahan pada posisi sosial. Sedangkan pada sisi ekologi, perubahan lingkungan telah dilakukan oleh nelayan dan LSM sebelum PRL masuk di Les. Dibangun Kelompok Nelayan Ikan Hias Mina Bhakti Soansari sebagai wadah bagi nelayan untuk saling bertukar informasi dan berbagi pengalaman. Tingkat pendidikan nelayan tidak mempengaruhi signifikan keikutsertaan nelayan dalam kelompok, begitu juga tingkat pengalaman kerja. Baik yang berpendidikan rendah


(6)

maupun tinggi, serta berpengalaman atau belum berpengalaman memiliki keterikatan yang tinggi dalam kelompok nelayan. Oleh karena ada motif lain yang lebih kuat dari sekedar pendidikan dan pengelaman kerja, yaitu kesadaran nelayan yang tinggi dalam melaksanakan perikanan yang ramah lingkungan.

Ekologi laut Les yang sudah mulai membaik menunjukkan kestabilan keberlimpahan dan keanekaragaman ikan. Dengan demikian meski harga ikan di tingkat pengepul tidak mengalami kenaikan, namun kestabilan hasil tangkapan membantu nelayan mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Dengan beralih menjadi nelayan yang ramah lingkungan nelayan menjadi lebih aman dan memiliki nilai sosial yang lebih baik. Perlu digarisbawahi bahwa perubahan lingkungan ini telah berlangsung sebelum PRL diterapkan. Pelaksanaan PRL selama dua tahun ini (2006-2008), cenderung tidak menunjukkan dampak pada ekologis perairan Les.