peraturan yang top-down ini membuat gerah masyarakat nelayan. Hak-hak nelayan tereduksi oleh peraturan seperti ini.
Dampak sosial ekonomi praktek PRL perikanan ini tidak bisa dipungkiri terjadi pada masyarakat nelayan. Di bawah ini beberapa butir dampak sosial
ekonomi yang terjadi dalam praktek PRL. 1. Ada hak-hak nelayan yang tereduksi, karena hanya berfokus pada hasil
tetapi tidak memperhatikan sistem pengelolaan yang digunakan Molyneaux, 2008.
2. Sertifikasi perikanan dapat mendorong kesadaran dan peningkatan pemasaran produk perikanan, namun tidak untuk perikanan skala kecil.
Biaya sertifikasi yang tinggi, dan ke-eksklusifan yang ditawarkan pemegang sertifikasi PRL membuat adanya kesenjangan ekonomi
dalam masyarakat nelayan Schimidt 1998 dalam Gardiner dan Visnawathan 2004. Ditambahkan oleh Molyneaux 2008 skema
ekolabeling yang dikendalikan oleh perusahaan tujuan akan berbalik arah sehingga tidak dapat dipercaya bahwa skema MSC ini dapat
menguntungkan nelayan skala kecil. Ada pasar yang hanya membeli ikan yang bersertifikat, mengunci pada status ikan yang berkelanjutan
dan potensial. Kembali lagi ini menguatkan bahwa PRL seakan menutup akses nelayan kecil untuk memperdagangkan hasil
tangkapannya di pasar Internasional. 3. Akan terjadi ketimpangan harga di pasar Gudmusson dan Wessel
2000. Oleh karena harga ikan yang bersertifikasi dinilai lebih tinggi sehingga hasil tangkapan yang tidak bersertifikasi PRL lebih rendah di
pasar. Hal ini membuat nelayan skala kecil mengalami kesulitan dalam ekonomi.
2.1.5 Perikanan Berkelanjutan
Merujuk kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa
pembangunan berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya, kedalam proses
pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup
generasi saat ini. Ditambahkan FAO dalam Sinclair dan Valdimarsson 2003 perikanan berkelanjutan semestinya dilihat secara pendekatan holistik dan
integratif juga dengan partisipasi dari para pemangku kepentingan yang mengarah kepada dimensi pengelolaan yang terpusat. Berikut Galser et.al merumuskan
beberapa instrumen yang seharusnya ada dalam praktek perikanan berkelanjutan:
1.
Keadilan distributif; ini penting untuk memastikan siapa yang bertanggung jawab atas biaya dan yang memperoleh keuntungan dari wilayah
konservasi. Baik keuntungan material maupun non-material.
2.
Transparansi dan Representatif; pada tingkat lokal peraturan dan program ini dibangun, pemilihan pengurus, dan lainnya harus diurus secara inklusif
dan menghindari marginalisasi. Seluruh pelaksanaan ini dilaksanakan secara transparan dan memilki unsur keterwakilan.
3.
Budaya lokal; hal tabu maupun mitos di lingkungan sekitar wilayah konservasi harus diperhatikan dan dipertimbangkan dalam memutuskan
wilayah konservasi.
4.
Partisipasi aktif; diperlukan peran aktif dari masyarakat pengguna sumberdaya dalam merumuskan implementasi wilayah konservasi.
5.
Mengaitkan pengetahuan; baik itu pengetahuan lokal maupun pengetahuan modern dan pengetahuan lainnya disejajarkan dalam pertimbangan
pengambilan keputusan agar tercipta peraturan yang tidak berat sebelah.
6.
Peraturan Lokal; jangan abaikan peraturan lokal yang telah menjadi tradisi di wilayah tersebut.
2.2 Kerangka Pemikiran
Timbul kesadaran akan rusaknya lingkungan di laut Les yang diakibatkan penggunaan bahan berbahaya dalam menangkap ikan destructive fishing serta
penangkapan ikan berlebih over-exploitation fishing. Hal ini kemudian mengawali pergerakan perikanan ramah lingkungan yang dilakukan oleh
kelompok nelayan ikan hias dibantu oleh Lembaga Swadaya Masyarakat LSM lokal, yakni Yayasan Bahtera Nusantara yang juga dibantu oleh Telapak
Indonesia. Gerakan pelestarian yang dilakukan dimulai dengan merubah cara pandang nelayan, kemudian diikuti dengan memutuskan solusi yang tepat untuk
kebaikan bersama. Gerakan ini mengubah cara tangkap ikan hias yang dari