Dasar adalah adalah lingkungan sosial. Hal ini terlihat dari besarnya
T-hitung
hubungan lingkungan sosial dengan terpaan media dibandingkan dengan hubungan karakteristik
individu dengan terpaan media yaitu 2,63 dibandingakan 2,05. Besarnya T-
hitung
hubungan terpaan media dengan belajar kognitif dikarenakan karena pada anak, peran orang tua, sekolah serta teman sepermainan masih sangatlah kuat. Kegiatan-kegiatan
mereka sehari tidak dapat dilepaskan dari ketiga pihak tersebut yaitu orang tua, guru dan teman sepermainan. Dalam lingkungan keluarga, anak umur Sekolah Dasar
masih sangat diperhatikan oleh orang tuanya ketika menonton, orang tua pun kadang menemani anaknya saat menonton serta memilihkan tayangan yang diperbolehkan
untuk ditonton. Sedangkan sosok seorang guru bagi anak merupakan sosok “serba tahu” bahkan tak jarang anak-anak lebih mempercayai perkataan yang disampaikan
gurunya di sekolah daripada apa yang disampaikan orang tuanya. Selain seperti dijelaskan sebelunya kebiasaan yang cukup tinggi pada anak untuk menceritakan
kembali tayangan yang sedang “in” bersama teman sekolah atau sepermainnya juga meningkatkan kecenderungan anak untuk menonton tayangan tersebut.
Pengaruh lingkungan sosial terhadap terpaan media televisi mengalahkan faktor pengaruh karakteristik individu itu sendiri misalnya waktu luang. Karena suatu
tayangan sedang sering menjadi bahan perbincangan bersama teman sekolah atau sepermainnya, maka walaupun anak tersebut tidak memiliki waktu yang cukup untuk
menonton,anak tersebut akan cenderung berusaha untuk menonton acara tersebut. Bahkan dalam Hidup 2008 dikatakan bahwa beberapa orang siswa sebuah sekolah
bergantian bolos dari sekolah demi menonton sebuah tayangan opera sabun di televisi.
5.3 Belajar Kognitif pada Anak
Belajar kognitif adalah proses untuk mengetahui atau mengelolah dan menggunakan pengetahuan. Banyaknya materi acara yang dikuasai dipahami oleh
anak yaitu jumlah keseluruhan materi yang diperoleh anak Sekolah Dasar dari satu acara program tertentu yang ditontonnya. Tambahan pengetahuan yang didapat yaitu
peningkatan pengetahuan dari pengetahuan awal ke pengetahuan sekarang.
Belajar kognitif pada anak tergolong rendah terlihat pada rataan skor belajar kognitif yang hanya bernilai 29,61. Jika dilihat dari tingkat penguasaan materi
pemahaman, penguasaan materipemahaman menonton pada anak tergolong rendah terlihat dari nilai skor penguasaan materipemahaman yang bernilai 32,67. Jika dilihat
dari penambahan pengetahuan pada anak setelah memonton televisi juga tergolong rendah terlihat dari nilai skor penambahan pengetahuan yang hanya bernilai 26,56.
Rataan skor untuk
penguasaan materipemahaman dan tambahan pengetahuan dapat dilihat pada Tabel 8 berikut.
Tabel 8. Rataan Skor Belajar Kognitif di SDN 04 Dramaga
Belajar kognitif Rataan Skor
Penguasaan materipemahaman 32,67
Penambahan 26,56
Total Rataan skor 29,61
Keterangan: 0,01 - 30,33 = rendah ; 33,34 - 66,66 = sedang ; 66,67 - 100 = tinggi
5.4. Hubungan Lingkungan Sosial, Faktor Psikologi dan Terpaan Media dengan Belajar Kognitif
Hubungan lingkungan sosial dengan belajar kognitif, faktor psikologi dengan belajar kognitif dan terpaan media dengan belajar kognitif pada anak tersaji pada
Tabel 9 berikut ini.
Tabel 9. Hubungan Lingkungan Sosial, Faktor Psikologi dan Terpaan Media dengan Belajar Kognitif
Variabel Belajar Kognitif T
hitung SEM
Lingkungan social -2,03
• Keluarga
-0,22 •
Tetangga teman sepermainan -0,04
• Sekolah
-0,45 Faktor Psikologi
-0,24
-
Terpaan Media -2,10
• Frekuensi
-0,15 •
Durasi -0,54
• Pilihan pesan
-3,52 Keterangan: berhubungan signifikan pada p0.05 T-
tabel
= 1,96
5.4.1 Hubungan Lingkungan Sosial dengan Belajar Kognitif
Lingkungan sosial memiliki hubungan signifikan dengan belajar kognitif. Hal ini dibuktikan dengan nilai T
hitung
2,03 yang lebih besar daripada T
tabel 0,05
1, 96 sedangkan jika diliat dari koofesien korelasi terlihat bahwa terdapat hubungan
negatif antara lingkungan sosial dan belajar kognitif.
5.4.1.1 Hubungan Keluarga dengan Belajar Kognitif
Tabel 10 memperlihatkan nilai korelasi antara keluarga dengan belajar kognitif bernilai negatif yaitu -0,22. Hal ini menunjukan bahwa walaupun keluarga
mendukung kegiatan belajar kognitif anak tidak selalu mau bersemangat mengikuti belajar kognitif. Rendahnya belajar kognitif pada anak tersebut dapat disebabkan
karena kondisi kesehatan yang tidak mendukung sehingga anak memiliki semangat yang rendah untuk belajar kognitif. Hal serupa disebutkan juga oleh Syah 2003
yang menyatakan bahwa aspek fisiologi yaitu kondisi jasmani dapat mempengaruhi semangat dan intensitas anak dalam mengikuti kegiatan belajar.
5.4.1.2 Hubungan Teman Sepermainan Tetangga dengan Belajar Kognitif
Tabel 10 memperlihatkan nilai korelasi antara teman tetangga dengan belajar kognitif bernilai negatif yaitu -0,04. Dapat dikatakan bahwa dorongan dari teman atau
tetangga untuk belajar tidak selalu memberikan dampak meningkatnya kegiatan belajar siswa terutama dalam hal kognitif. Rendahnya belajar kognitif pada anak
tersebut dapat pula disebabkan karena kondisi kesehatan yang tidak mendukung sehingga anak memiliki semangat yang rendah untuk belajar kognitif. Hal serupa
disebutkan juga oleh Syah 2003 yang menyatakan bahwa aspek fisiologi yaitu kondisi jasmani dapat mempengaruhi semangat dan intensitas anak dalam mengikuti
kegiatan belajar.
5.4.1.3 Hubungan Sekolah dengan Belajar Kognitif
Penelitian di SDN 4 Dramaga memperlihatkan nilai korelasi antara sekolah dengan belajar kognitif bernilai negatif yaitu -0,45 sehingga dapat dikatakan
semangat guru yang tinggi tidak menimbulkan semangat yang tinggi pula pada siswanya. Namun hal berbeda dinyatakan Syah 2003 yaitu bahwa lingkungan sosial
sekolah seperti para guru, para staf administrasi dan teman-teman sekelas dapat mempengaruhi semangat belajar siswa. Para guru yang selalu menunjukan sikap dan
perilaku yang simpatik dan memperlihatkan suri teladan yang baik dan rajin khususnya dalam hal belajar, misalnya rajin membaca dan berdiskusi, dapat menjadi
daya dorong yang positif bagi kegiatan belajar siswa. Perbedaan ini terjadi karena adanya faktor lain yang mempengaruhi belajar kognitif pada anak seperti faktor
kesehatan. Kondisi kesehatan yang tidak mendukung menyebabkan anak tidak memiliki semangat untuk belajar kognitif. Faktor kesehatan ini juga disebutkan dalam
Syah 2003 yang menyatakan bahwa aspek fisiologi yaitu kondisi jasmani, dapat mempengaruhi semangat dan intensitas anak dalam mengikuti kegiatan belajar.
Faktor lingkungan sosial yang paling mempengaruhi belajar kognitif adalah sekolah. Pada Tabel 10 terlihat bahwa nilai korelasi antara sekolah dan belajar
kognitif adalah 0,45 lebih tinggi dari pada nilai korelasi antara keluarga dengan belajar kognitif 0,22 dan nilai korelasi antara tetanggateman sepermainan dengan
belajar kognitif 0,04. Tingginya hubungan korelasi antara sekolah dengan belajar kognitif didukung oleh kebiasaan beberapa guru yang sering menghubungkan antara
materi pelajarankehidupan sehari-hari dengan tayangan televisi yang sering di tonton oleh anak. Kebiasan menghubungkan antara materi pelajaran kehidupan sehari-hari
dengan tayangan yang ditonton anak masih tergolong jarang dilakukan oleh orang tua apalagi oleh tetanggateman sepermainan. Oleh karena itu korelasi antara keluarga
dan tetanggateman sepermainan dengan belajar kognitif tidak lebih kuat dibandingkan korelasi sekolah dengan belajar kognitif.
5.5. Hubungan Faktor Psikologi dengan Belajar Kognitif
Pada kasus SDN 4 Dramga diperoleh data bahwa tidak terdapat hubungan signifikan antara faktor psikologi dan belajar kognitif. Hal ini dibuktikan dengan
nilai T
hitung
0,24 yang lebih kecil daripada T
tabel 0,05
1, 96. Hal ini bertentangan dengan pendapat Syah 2003 yang menyatakan bahwa sikap, bakat, minat dan
motivasi mempengaruhi belajar kognitif. Syah 2003 juga menyatakan kan bahwa sikap positif, terutama terhadap mata pelajaran merupakan awal yang baik bagi
proses belajar siswa tersebut sedangkan bakat dapat mempengaruhi tinggi-rendahnya prestasi belajar bidang-bidang tertentu. Bakat dapat mempengaruhi tinggi-rendahnya
prestasi belajar bidang-bidang tertentu. Dalam perspektif psikologi kognitif, motivasi yang lebih signifikan bagi siswa adalah motivasi intrinsik karena lebih murni dan
langgeng serta tidak bergantung pada dorongan atau pengaruh orang lain. Sikap positif terhadap pelajaran tidak selalu mempengaruhi mudahnya suatu
pelajaran diterima oleh siswa. Siswa yang awalnya memiliki sikap negatif namun karena siswa tersebut berusaha untuk menyukai pelajaran tersebut dan terus belajar
maka pelajaran tersebut akan tetap dapat diterima bahkan mendapatkan nilai yang baik. Sebaliknya siswa yang awalnya bersikap positif terhadap suatu pelajar tidak
menjamin nilainya untuk pelajaran tersebut pasti baik. Sikap positif jika tidak didukung oleh belajar giat maka tidak menjamin prestasi siswa tersebut akan baik
pula.
Begitu juga dengan bakat, umumnya siswa yang berbakat dibidang tertentu akan memperoleh prestasi di bidang tersebut. Namun jika siswa yang sebelumnya
tidak berbakat tapi terus berlatih tidak menutup kemungkinan siswa tersebut juga dapat berprestasi bahkan melebihi siswa yang berbakat. Sebaliknya siswa yang
berbakat namun bakatnya tersebut tidak terus diasah maka dapat saja prestasinya kalah tidak sebaik siswa yang tidak berbakat namun terus berusaha mengasah
bakatnya. Jika diliat dari sisi motivasi, umumnya siswa yang memiliki motivasi yang tinggi akan memiliki prestasi yang baik namun hal tersebut perlu juga didukung
dengan kondisi kesehatan yang baik. Jadi walaupun motivasi belajar siswa tinggi namun jika tidak didukung oleh kondisi kesehatan yang baik tidak akan menjamin
prestasi yang baik pula. Kondisi kesehatan yang tidak mendukung menyebabkan anak tidak memiliki semangat untuk belajar kognitif. Faktor kesehatan ini juga
disebutkan dalam Syah 2003 yang menyatakan bahwa aspek fisiologi yaitu kondisi jasmani, dapat mempengaruhi semangat dan intensitas anak dalam mengikuti
kegiatan belajar.
5.6 Hubungan Terpaan Media dengan Belajar Kognitif