Hubungan Terpaan Media Televisi dengan Belajar Kognitif pada Anak (Kasus SDN 04 Dramaga, Bogor Jawa Barat)
HUBUNGAN TERPAAN MEDIA TELEVISI
DENGAN BELAJAR KOGNITIF PADA ANAK
(Kasus Sekolah Dasar Negeri 04 Dramaga, Bogor, Jawa Barat)
Oleh : VIORA TORIZA
I34063121
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
(2)
ABSTRACT
This research was conducted in SDN 04 DRAMAGA Bogor, West Java.
Method that was used to determine the respondents was Startified Random Sampling.
Method used to analyze the data is average scores and Structural Equation Modeling (SEM). The average score was used to describe the individual characteristics, sosial environment, psychological factors, exposure to television and cognitive learning in children. SEM was used to determine the relationship between individual characteristics and sosial environment with television exposure and the relationship between sosial environment, psychological factors and exposure to the medium of television with the child’s cognitive learning. In this study, the medium of television exposure in children is high but low cognitive learning. There was a significant relationship (p <0,05) between individual characteristics and sosial environment with television exposure in children. There is also a significant relationship (p <0,05) between sosial environment and exposure to the medium of television with the child's cognitive learning. In reversal, there was not any significant relationship (p <0,05) between the cognitive psychology factors to learning in children.
(3)
RINGKASAN
VIORA TORIZA. HUBUNGAN TERPAAN MEDIA TELEVISI DENGAN
BELAJAR KOGNITIF PADA ANAK (KASUS: SEKOLAH DASAR NEGERI 04
DRAMAGA, BOGOR, JAWA BARAT). DI BAWAH BIMBINGAN
AMIRUDDIN SALEH.
Terpaan media televisi adalah penggunaan media televisi dilihat dari frekuensi dan durasi penggunaan televisi. Sedangkan istilah kognitif meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan dan keyakinan. Oleh karena itu belajar kognitif dapat diartikan sebagai proses untuk mengetahui atau mengelolah dan penggunaan pengetahuan.
Saat ini televisi merupakan teman terdekat bagi anak-anak. Tingginya waktu menonton televisi pada anak saat ini bahkan telah melebihi waktu yang anak habiskan di sekolah. Televisi sendiri memiliki beberapa kelebihan sebagai media pendidikan daripada media massa yang lain. Salah satunya kelebihan tersebut adalah televisi memadukan unsur audio dan visual. Kelebihan televisi tersebut membuat program yang menyangkut hal-hal mengenai pendidikan akan lebih mudah diterima oleh anak-anak sehingga pada akhirnya akan menambah pengetahuan anak tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menganalisis hubungan karakteristik individu, lingkungan sosial dengan terpaan media televisi. (2) Menganalisis hubungan lingkungan sosial, faktor psikologi, dan terpaan media dengan belajar kognitif
Variabel yang mempengaruhi terpaan media televisi antara lain adalah karakteristik individu. Karakteristik individu ini sendiri meliputi usia, uang saku dan waktu luang. Di samping karakteristik individu juga terdapat variabel lain yang mempengaruhi terpaan media televisi yaitu lingkungan sosial. Adapun indikator variabel lingkungan sosial antara lain adalah sekolah (guru dan teman sekolah), tetangga dan teman sepermainan serta keluarga. Faktor lingkungan sosial ini juga turut mempengaruhi belajar kognitif pada anak Sekolah Dasar. Selain variabel
(4)
lingkungan sosial variabel lain yang mempengaruhi belajar kognitif anak Sekolah Dasar adalah faktor psikologi meliputi sikap, bakat, minat dan motivasi.
Penelitian ini dilaksanakan di SDN04 Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara secara sengaja (purposive) didasarkan pertimbangan bahwa SDN04 Dramaga merupakan salah satu Sekolah Dasar yang ada di daerah lingkar kampus. Penelitian dilakukan selama tiga bulan yaitu Juli- September 2009.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan didukung oleh data kualitatif (field notes). Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode survei, dengan teknik wawancara terstuktur. Populasi penelitian adalah siswa SDN04 Dramaga, Bogor yang berjumlah 665 orang sedangkan jumlah responden yang diambil berjumlah 70 orang. Responden dipilih dengan menggunakan teknik
penarikan sampel stratified random sampling dan dipilih siswa kelas IV, V dan VI.
Pemilihan kelas ini mempertimbangkan bahwa anak pada tingkatan kelas tersebut anak telah memiliki kemampuan membaca dan menulis yang baik sehingga lebih mampu memahami pertanyaan/ pernyataan. Selain itu, anak pada tingkat kelas tersebut lebih dapat menyatakan keinginan atau pendapatnya sehingga dapat menjawab pertanyaan/ pernyataan yang diajukan. Kemudian setiap kelas diambil masing-masing 20 persen. Analisis data yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif, berupa frekuensi, persentase, media, rataan skor; dan analisis statistik
inferensial, berupa uji hubungan Stuctural Equation Modeling (SEM).
Hasil penelitian menunjukan terpaan media televisi pada anak cukup tinggi namun belajar kognitifnya rendah. Anak-anak umunya menonton televisi lebih dari lima jam perharinya melebihi waktu yang mereka habiskan di sekolah. Rendahnya belajar kognitif pada anak disebabkan karena pada usia Sekolah Dasar, anak cenderung menonton televisi bukan untuk memenuhi kebutuhan kognitifnya namun hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan akan hiburan.
Terdapat hubungan signifikan (p<0,05) antara karakteristik individu dan lingkungan sosial dengan terpaan media televisi pada anak. Semakin tinggi usia anak maka semakin tinggi pula keinginan anak menonton televisi untuk memenuhi
(5)
kebutuhan kognitifnya. Rendahnya uang jajan menyebabkan tingginya terpaan media televisi pada anak. Jika dilihat dari faktor lingkungan semakin tinggi peran orang tua/ keluarga, sekolah dan teman sekolah serta tetangga dan teman sepermainan mendukung untuk menonton acara/program tertentu maka semakin tinggi pula terpaan media televisi yang terjadi pada anak.
Terdapat juga hubungan yang signifikan (p<0,05) antara lingkungan sosial dan terpaan media televisi dengan belajar kognitif pada anak. Semakin lingkungan sosial (orang tua/keluarga, sekolah dan teman sekolah serta tetangga dan teman sepermainan) mendukung untuk belajar kognitif maka semakin rendah belajar kognitif tersebut. Terdapat faktor lain yang turut mempengaruhi belajar kognitif sepeti faktor kesehatan. Tinggi terpaan media televisi pada anak juga menyebabkan rendahnya belajar kognitif pada anak. Hal ini dikarenakan pada anak SD umumnya motivasi menonton televisi hanyalah untuk memenuhi kebutuhan akan hiburan semata dan mengabaikan pemenuhan kebutuhan kognitif. Namun terdapat hubungan yang tidak signifikan (p<0,05) antara faktor psikologi dengan belajar kognitif pada anak. Dengan kata lain tidak ada hubungan antara faktor psikologi dan belajar kognitif.
(6)
HUBUNGAN TERPAAN MEDIA TELEVISI DENGAN BELAJAR KOGNITIF PADA ANAK (KASUS SDN 04 DRAMAGA, BOGOR, JAWA BARAT)
Oleh: Viora Toriza
I34063121
SKRIPSI
Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
(7)
LEMBAR PENGESAHAN
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh:
Nama : Viora Toriza
Nomor Pokok : I34063121
Judul : Hubungan Terpaan Media Televisi dengan Belajar Kognitif pada
Anak (Kasus SDN 04 Dramaga, Bogor Jawa Barat)
dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr.Ir. Amiruddin Saleh, MS NIP. 19611113 198811 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Soeryo Adi Wibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
(8)
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
“HUBUNGAN TERPAAN MEDIA TELEVISI DENGAN BELAJAR
KOGNITIF PADA ANAK (KASUS SEKOLAH DASAR NEGERI 04
DRAMAGA BOGOR )” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN
TINGI ATAU LEMBAGA LAIN. MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK
MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU
DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN.
Bogor, Februari 2010
Viora Toriza I34063121
(9)
RIWAYAT HIDUP
Penulis memiliki nama lengkap Viora Toriza. Penulis dilahirkan di Lahat, Sumatera Selatan pada tanggal 15 Januari 1989. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari Bapak Candra Hutapri, SH dan Ibu Nirwana, S.Pd. Penulis menamatkan pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) di TK Santo Yosef Lahat (1993-1994), Sekolah Dasar (SD) Santo Yosef Lahat (1994-2000), Sekolah Menengah Pertama (SMP) Santo Yosef Lahat (2000-2003) dan Sekolah Menengah Umum (SMU) di SMU Santo Yosef Lahat (2003-2006). Kemudian pada tahun 2006, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI)
Selama di kampus, penulis juga tergabung dalam Organisasi Mahasiswa Daerah Ikatan Mahasiswa Bumi Sriwijaya (OMDA IKAMUSI) sebagai anggota divisi internal OMDA IKAMUSI pada tahun 2007. Selain itu penulis juga pernah aktif sebagai asisten praktikum Mata Kuliah Sosiologi Umum (2008-2009) dan Komunikasi Kelompok (2008).
(10)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmatNya, skripsi yang berjudul “HUBUNGAN TERPAAN MEDIA TELEVISI DENGAN BELAJAR KOGNITIF PADA ANAK (KASUS SEKOLAH DASAR NEGERI 04 DRAMAGA BOGOR, JAWA BARAT)” ini dapat diselesaikan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Besarnya waktu yang dihabiskan anak terutama pada usia Sekolah Dasar untuk menonton televisi melebihi waktu yang anak habiskan di sekolah. Televisi telah diibaratkan sebagai kotak saingan bagi sekolah. Televisi memiliki beberapa keunggulan untuk dijadikan sebagai media pendidikan. Salah satunya kelebihan tersebut adalah televisi memadukan unsur audio dan visual. Kelebihan televisi tersebut membuat program yang menyangkut hal-hal mengenai pendidikan akan lebih mudah diterima oleh anak-anak sehingga pada akhirnya akan menambah pengetahuan (kognitif) anak tersebut. Oleh karena itulah menarik untuk melihat keterkaitan terpaan media televisi dengan belajar kognitif pada anak itu sendiri.
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun penulis dalam penulisan karya ilmiah ke depan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi khalayak banyak.
Bogor, Februari 2010
(11)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu media massa elektronik yang paling digemari saat ini adalah televisi. Di zaman sekarang ini televisi bukanlah barang yang langka dan hanya dimiliki oleh kalangan tertentu saja. Tidak dapat dipungkiri bahwa hampir semua orang memiliki televisi. Bahkan saat ini televisi telah menjangkau lebih dari 90 persen penduduk di negara berkembang. Televisi yang dulu mungkin hanya menjadi konsumsi kalangan dan umur tertentu saja, saat ini telah dapat dinikmati dan sangat mudah dijangkau
oleh semua kalangan tanpa batas usia.1
Dwikurnia (2008) menyatakan bahwa televisi dapat diartikan sebagai sebuah alat penangkap siaran bergambar. Kata televisi berasal dari kata “tele” dan “vision” yang mempunyai arti masing-masing. ”Tele” berarti jauh dan “vision” berarti tampak. Jadi televisi berarti tampak atau dapat melihat dari jarak jauh. Penemuan televisi itu sendiri dapat disejajarkan dengan penemuan roda, karena penemuan ini dapat merubah peradaban dunia. Televisi selalu indentik dengan kata siaran televisi, dimana menurut Surat Keputusan Menteri Penerangan Republik Indonesia Nomor: 54/B KEP/MENPEN/1971 tentang Penyelenggaraan Siaran Televisi di Indonesia, siaran televisi berarti siaran-siaran dalam bentuk gambar dan suara yang dapat ditangkap (dilihat dan didengarkan) oleh umum baik dengan sistem pemancaran dalam gelombang-gelombang elektromagnetik maupun lewat kabel-kabel.
Selain sebagai sarana hiburan, televisi juga merupakan sarana informasi dan ilmu pengetahuan. Televisi dapat mengerutkan dunia dan melaksanakan penyebaran berita dan gagasan dengan cepat. Adanya media televisi dunia, kelihatan semakin kecil. Masyarakat dapat memperoleh kesempatan untuk memperoleh informasi yang lebih baik tentang apa yang terjadi di dunia. Berita-berita aktual dapat langsung
1
Dwikurnia. Teknologi Televisi.
(12)
disebarkan ke berbagai pelosok dunia secara langsung. Gempa bumi, penyakit menular, kriminalitas, peristiwa olahraga terkini yang terjadi di belahan dunia dapat disaksikan bersama-sama oleh berjuta-juta orang. Selain itu televisi juga selalu menayangkan informasi-informasi yang akurat tentang pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Thamrin (2008) menyatakan bahwa siaran-siaran televisi akan memanjakan orang-orang pada saat-saat luang seperti saat liburan, sehabis bekerja bahkan dalam suasana sedang bekerjapun orang-orang masih menyempatkan diri untuk menonton televisi. Suguhan acara yang variatif dan menarik membuat orang tersanjung untuk meluangkan waktunya duduk di depan televisi. Bahkan suguhan program-program acara yang variatif dan menarik telah menjadikan televisi sebagai salah satu sahabat terdekat bagi keluarga terutama anak.
Sebagian besar anak-anak merasa lebih nyaman duduk di depan televisi ketimbang bermain di luar rumah. Seorang anak dapat menghabiskan tiga sampai empat jam perharinya untuk duduk menonton televisi, tapi tak sedikit anak yang menonton televisi lima sampai enam jam perhari bahkan lebih pada hari-hari tertentu,
seperti Sabtu dan Minggu.2
Hal ini diperkuat dengan survei termutakhir UNICEF pada 2007(Thamrin, 2008). Hasil survei ini bak dering jam weker yang pantas membuat orangtua awas. Menurut Perserikatan Bangsa Bangsa, para bocah di Indonesia terpekur rata-rata lima jam sehari di depan layar kaca atau total jenderal 1.560 hingga 1.820 jam setahun. Angka ini, menurut UNICEF, jauh lebih gemuk ketimbang jumlah belajar mereka yang 1.000 jam setahun di sekolah. Maka jadilah kotak televisi sekolah tandingan bagi anak-anak ini. Padahal Thamrin (2008) menyatakan bahwa seharusnya anak usia lima tahun hanya menonton televisi selama 1,5 jam per hari atau paling lama dua jam per hari. Itu juga tidak terus-menerus, dibagi-bagi, misalnya satu jam setelah pulang
2
Sabda Hidup,Pengaruh Televisi dan Film, http:// www.tftwindo. org / livingwords
(13)
sekolah, dan satu jam lagi setelah mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR) di malam hari.
Hidup (2008) menyebutkan bahwa lebih dari setengah anak-anak di Amerika Serikat mempunyai televisi di kamar mereka. Usia remaja paling banyak menonton televisi di kamar dan hampir sepertiga anak-anak pra sekolah memiliki televisi di kamar mereka dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk menonton televisi. Disebutkan juga adanya beberapa orang siswa sebuah sekolah yang bergantian bolos dari sekolah demi menonton sebuah tayangan opera sabun di televisi. Di Indonesia mungkin tidak sampai menjangkau persentase sebesar ini namun pengaruh televisi
juga telah banyak membentuk pola pikir dari anak-anak Indonesia.3 Lebih lanjut
dijelaskan bahwa:
“Dari pada rewel, daripada main di luar, menjadi beberapa alasan para orang tua membiarkan anak-anaknya berjam-jam duduk menonton televisi. Tapi tanpa kita sadari bahwa hal tersebut akan menyebabkan “kecanduan’’ pada anak. Meski televisi adalah hiburan, namun menonton televisi secara
berlebihan menyimpan bahaya yang besar...”4
Dapat dikatakan bahwa televisi sedikitnya telah banyak mempengaruhi pola perilaku anak-anak, salah satunya adalah mempengaruhi perilaku belajar anak, salah satunya dalam hal kognitif. Perilaku anak menonton televisi kadang sangat menyita waktu mereka, membuat mereka lupa beraktivitas, dan pada akhirnya menghancurkan gairah belajar mereka. Anak-anak memiliki perilaku untuk menunda tugas-tugas sekolah mereka demi menonton sebuah film yang mereka tunggu.
Namun selain itu, televisi juga membawa dampak lain terhadap perilaku belajar kognitif. Salah satunya kelebihan televisi adalah memadukan unsur audio dan visual. Dewasa ini pun stasiun-stasiun televisi pun berlomba untuk mengemas acara tersebut semenarik mungkin, ilustratif, ringan dan tanpa membutuhkan pemikiran yang sulit, sehingga anak-anak mudah untuk menangkap pesan yang ingin disampaikan. Kelebihan televisi tersebut membuat program yang menyangkut hal-hal mengenai
3 ibid 4
(14)
pendidikan akan lebih mudah diterima oleh anak-anak sehingga pada akhirnya akan menambah pengetahuan anak tersebut. Program “televisi pendidikan anak’’ yang menayangkan pengetahuan-pengetahuan atau pelajaran-pelajaran sekolah dapat menimbulkan rasa ingin tahu para anak yang pada akhirnya akan meningkatkan motivasi belajar anak.
Faktor karakteristik individu dan lingkungan sosial ternyata mempengaruhi terpaan media televisi pada anak-anak. Karakteristik individu seperti jenis kelamin, umur dan kepribadian mempengaruhi terpaan media pada anak-anak Sekolah Dasar. Begitu pula dengan lingkungan sosial peran orang tua dalam hal pendidikan anak sudah seharusnya berada pada urutan pertama, orang tualah yang paling mengerti benar akan karakter/sifat-sifat baik dan buruk anak-anaknya, apa saja yang mereka sukai dan apa saja yang mereka tidak sukai. Sedangkan faktor lingkungan sosial lain seperti teman juga mempengaruhi terpaan media televisi terhadap anak.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan utama yang diangkat dalam penelitian adalah apakah terpaan media televisi mempengaruhi perilaku belajar kognitif anak sekolah. Permasalahan ini cukup penting untuk diteliti, melihat terpaan media televisi yang cukup besar pada anak-anak sekolah dewasa ini. Selain itu faktor karakteristik individu dan lingkungan sosial mempengaruhi terpaan media televisi tersebut. Oleh karena itu, perumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Sejauhmana hubungan karakteristik individu, lingkungan sosial dengan terpaan media televisi?
2. Sejauh mana hubungan lingkungan sosial, faktor psikologi, dan terpaan media televisi dengan belajar kognitif?
1.3. Tujuan
Berdasarkan perumusan masalah, tujuan utama yang ingin dicapai dalam penelitian adalah untuk menganalisis hubungan terpaan media televisi dan perilaku
(15)
belajar kognitif anak sekolah. Terpaan media dan perilaku belajar kognitif anak tersebut tidak dapat dipisahkan dari karakteristik anak itu sendiri, faktor psikologi dan lingkungan sosial anak. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis hubungan karakteristik individu, lingkungan sosial dengan terpaan media televisi.
2. Menganalisis hubungan lingkungan sosial, faktor psikologi, dan terpaan media dengan belajar kognitif.
1.4. Kegunaan
Masalah terpaan media televisi terutama bagi anak-anak usia sekolah, dewasa ini merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian bagi banyak pihak baik oleh keluarga, akademisi dan pemerintah. Oleh karena itu, penelitian ini, diharapkan dapat berguna bagi:
1. Akademik
Penelitian berjudul “Hubungan Terpaan Media Televisi dengan Belajar Kognitif pada Anak” ini dapat digunakan oleh mahasiswa untuk memahami hubungan terpaan media televisi dan perilaku belajar kognitif khususnya pada anak SD serta hubungan karakteristik individu dan lingkungan sosial dengan terpaan media televisi dan hubungan faktor lingkungan sosial, faktor psikologi dan terpaan media televisi dengan perilaku belajar kognitif pada anak.
2. Pemerintah
Dewasa ini sebagian besar waktu anak dihabiskan dengan menonton televisi. Hal ini diikuti pula dengan peluang televisi untuk menjadi media pembelajaran. Melihat hal tersebut, maka penelitian dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan mengenai pertelevisian agar program-program yang ditayangkan stasiun-stasiun televisi dapat lebih baik dan mendukung belajar kognitif anak.
(16)
3. Masyarakat
Bagi masyarakat, penelitian dapat juga dijadikan masukan dalam mengontrol perilaku menonton televisi anak Sekolah Dasar secara berlebihan yang dilakukan anak-anak serta semakin selektif terhadap program yang ditonton oleh anak-anak.
(17)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Televisi
2.1.1 Sejarah dan Perkembangan Televisi
Istanto (1995) menyatakan sejarah perkembangan televisi diawali pada tahun 1884, seorang mahasiswa di Berlin menciptakan sebuah alat yang merupakan cikal-bakal pesawat televisi. Namun prinsip-prinsip televisi ini tidak dapat dilepaskan dari penemuan teknologi radio. Pada tahun itu pula penemuan Paul Nipkow itu dipatenkan. Istanto (1995) juga menyatakan bahwa Nipkow bercita-cita menciptakan prinsip-prinsip pembentukan gambar yang kemudian dikenal sebagai jantra Nipkow. Gagasan awal televisi adalah transmisi elektrik dari elemen gambar dan suara secara simultan. Dane pada tahun 1802 menemukan teknologi radio yang berprinsip bahwa pesan dapat dikirim melalui kawat beraliran listrik dalam jarak pendek. Kemudian James Maxwell menemukan prinsip baru untuk mewujudkan gelombang elektromagnetis yaitu gelombang yang digunakan televisi tahun 1965. Gerakan magnetis dapat mengarungi ruang angkasa dengan kecepatan yang sama dengan kecepatan cahaya. Penemuan Maxwell ini kemudian dikembangkan oleh Guglemo Marconi. Pada tahun 1875 George Carey di Boston mengembangkan gambar televisi.
Namun penayangan elemen-elemen gambar dengan cepat garis demi garis, frame
demi frame ditampilkan oleh WE Sawyer dari Amerika dan Maurice Leblanc dari
Perancis pada tahun 1880.
Istanto (1995) menyebutkan bahwa gelar Bapak pertelevisian dunia jatuh pada Paul Nipkow yang mempatenkan ciptaannya pada tahun 1884. Sedangkan John Lugie Baird menemukan dasar-dasar bagi televisi berwarna yang kemudian berhasil pula menciptakan prinsip-prinsip bagi pengembangan teknik gambar hidup atau bioskop. Menyusul kemudian Ernst FW Alexander dari General Electric New York yang pada tanggal 11 September 1928 berhasil menayangkan drama televisi untuk pertama kalinya di Amerika Serikat. Seorang ahli berkebangsaan Rusia yang hijrah ke Amerika Serikat, Vladimir K.Zworykin pada tahun 1923 merancang tabung kamera ikonoskop yang mendasari perkembangan sistim televisi elektris. Kemudian
(18)
penemuan ini dilanjutkan dengan mempatenkan televisi elektronis berwarna pada
tahun 1925. Ciptaannya ini didemonstrasikan di New York World’s Fair pada tahun
1939.
Siaran televisi pertama di Indonesia ditayangkan pada tanggal 17 Agustus 1962 bertepatan dengan peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke XVII. Siaran tersebut berlangsung mulai pukul 07.30 sampai pukul 11.02 waktu Indonesia bagian barat untuk meliput upacara peringatan hari Proklamasi di Istana Negara. Inilah momentum dimana Indonesia mengukuhkan diri sebagai Negara Asia ke empat yang memiliki media penyiaran televisi setelah Jepang, Philipina dan Thailand. (Subidyo,2004)
Subidyo (2004) menyatakan pula liputan perdana TVRI adalah upacara pembukaan Asian Games ke IV di Stadion Utama Senayan Jakarta. Liputan pertama
TVRI ini dikoordinir oleh Organizing Comitte Asian Games IV yang dibentuk khusus
untuk event olahraga itu, di bawah naungan Biro Radio dan Televisi Departemen
Penerangan. Pada tanggal 12 November 1962, TVRI mengudara secara regular setiap hari. TVRI pertama kali menayangkan iklan 1 Maret 1963, seiring ditetapkannya TVRI sebagai televisi berbadan hukum yayasan melalui keputusan Presiden RI Nomor 215 tahun 1963. Saat ini siaran telah dapat menjangkau hampir semua provinsi di seluruh Indonesia berkat pemanfaatan satelit Palapa bahkan mampu pula menjangkau wilayah Asean. Munculnya TVRI kemudian disusul pula dengan munculnya stasiun-stasiun televisi swasta lainnya.
2.1.2 Isi dan Fungsi Televisi
Menurut Siregar (2001) dalam Testiandini (2006), isi siaran televisi dibagi
menjadi dua yaitu:
1. Faktual, berasal dari empiris/sosiologis dan bersifat objektif. Materi dari faktual ada yang bersifat keras yang terikat dengan aktualitas, serta bersifat lunak yang
lebih menekankan nilai human interest. Fungsi primer dari materi faktual adalah
sosial (informasional). Walaupun terdapat juga fungsi hiburannya namun hanya bersifat sekunder.
(19)
2. Fiksional berasal dari dunia humanities psychology dan bersifat subjektif. Fungsi primer dari materi fiksional adalah psikologi (menghibur). Materi fiksional juga memiliki fungsi informasional namun hanya bersifat sekunder.
Menurut Hoffman (1999) dalam Testiandini (2006), fungsi televisi dalam
masyarakat tidak dilihat lagi sebagai sarana pendidikan dan juga tidak seharusnya menjadi sarana promosi perdagangan. Adapun fungsi televisi adalah:
1. Pengawasan situasi masyarakat dan dunia, bisa juga disebut sebagai fungsi informasi, namun istilah ini tidak digunakan karena dikhawatirkan menimbulkan salah paham seakan-akan televisi adalah sarana penerangan bagi penguasa kepada masyarakat. Fungsi televisi sebenarnya adalah mengamati kejadian yang terjadi dalam masyarakat kemudian melaporkan sesuai dengan kenyataan yang ditemukan.
2. Menghubungkan satu dengan yang lain, televisi dapat saja menghubungkan hasil pengawasan satu dengan hasil pengawasan lain secara lebih gamplang daripada sebuah dokumen tertulis. Dengan demikian televisi dapat berfungsi sesuai dengan kepentingan masyarakat dan dapat membuka mata pemirsa.
3. Menyalurkan kebudayaan, sebenarnya fungsi ini dapat disebutkan sebagai fungsi pendidikan. Namun istilah “pendidikan” tidak digunakan karena di dalam kebudayaan audiovisual tidak ada kurikulum.
4. Hiburan, fungsi ini memang dibutuhkan oleh masyarakat, karena kalau tidak menghibur umumnya sebuah tayangan tidak akan ditonton. Namun hiburan bukan berarti hiburan semata tanpa ada sesuatu yang dapat diambil pelajaran dari suatu program.
5. Pengarahan masyarakat untuk bertindak dalam keadaan darurat , televisi harus proaktif dalam memberi motivasi.
2.2 Terpaan Media Televisi
Menurut Sari (1993) dalam Testiandini (2006), terpaan media (media exposure)
adalah upaya untuk mencari data khalayak mengenai penggunaan media baik jenis media, frekuensi penggunaan maupun durasi penggunaan (longevity). Sari (1993)
(20)
dalam Testiandini (2006) juga menambahkan bahwa frekuensi penggunaan media merupakan pengumpulan data khalayak tentang berapa kali (hari) seseorang menggunakan televisi dalam satu minggu. (untuk meneliti program harian), berapa kali (minggu) seseorang menggunakan media dalam satu bulan (untuk program mingguan dan tengah bulan) serta berapa kali (bulan) seseorang menggunakan media dalam satu tahun.
Sebagian besar anak-anak merasa lebih nyaman duduk di depan televisi ketimbang bermain di luar rumah. Seorang anak dapat menghabiskan tiga sampai empat jam perharinya untuk duduk menonton televisi, tapi tak sedikit anak yang menonton televisi lima sampai enam jam perhari bahkan lebih pada hari-hari tertentu, seperti Sabtu dan Mingg (Hidup, 2008).
Hasil survei ini bak dering jam weker yang pantas membuat orangtua awas. Data Perserikatan Bangsa Bangsa (Thamrin, 2008) menyatakan bahwa para bocah di Indonesia terpekur rata-rata lima jam sehari di depan layar kaca atau total jenderal 1.560 hingga 1.820 jam setahun. Angka ini, menurut UNICEF, jauh lebih gemuk ketimbang jumlah belajar mereka yang 1.000 jam setahun di sekolah. Maka jadilah kotak televisi sekolah tandingan bagi anak-anak ini. Padahal Thamrin (2008) menyatakan bahwa seharusnya anak usia lima tahun hanya menonton televisi selama 1,5 jam per hari atau paling lama dua jam per hari. Itu juga tidak terus-menerus, dibagi-bagi, misalnya satu jam setelah pulang sekolah, dan satu jam lagi setelah mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR) di malam hari.
Survei lain yang dilakukan menyebutkan bahwa lebih dari setengah anak-anak di Amerika Serikat mempunyai televisi di kamar mereka. Usia remaja paling banyak menonton televisi di kamar dan hampir sepertiga anak-anak pra sekolah memiliki televisi di kamar mereka dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk menonton televisi. Disebutkan juga adanya beberapa orang siswa sebuah sekolah yang bergantian bolos dari sekolah demi menonton sebuah tayangan opera sabun di televisi. Di Indonesia mungkin tidak sampai menjangkau persentase sebesar ini namun pengaruh televisi juga telah banyak membentuk pola pikir dari anak-anak Indonesia (Thamrin 2008).
(21)
Isnaini (2006) menyebutkan bahwa Yayasan Pengembangan Media Anak menyatakan penelitiannya pada 2002 yang menunjukkan bahwa jam menonton televisi pada anak Indonesia mencapai 30-35 jam/ minggu atau 1560-1820/ tahun. Hal ini jauh lebih besar dibanding jam belajar di Sekolah Dasar yang tidak sampai 1000 jam/ tahun. Sehingga dapat dikatakan bahwa televisi telah menjadi guru yang menawan di luar kelas, menjadi saingan guru sesungguhnya di dalam kelas atau
pendidikan dalam keluarga.
Hal ini diperkuat oleh Vera (2007) yang menyatakan bahwa:
“Tidak dapat dipungkiri peran televisi saat ini semakin besar saja. Peranannya sebagai media komunikasi visual sangat luar biasa dibandingkan media-masa yang lain. Temuan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia tahun 1996 yang dilansir majalah [aikon!] media alternatif menyebutkan bahwa anak-anak Indonesia (usia 6-15 tahun) harus menyisihkan waktu 22-26 jam per minggu untuk menonton televisi. Bahkan anak Amerika sejak usia delapan belas bulan sudah secara mendalam dikonfrontasikan pada medium televisi. Pada akhir humaniora-nya jumlah jam menonton televisi dari anak-anak muda Amerika mencapai 16.000 jam. Ketika usia mencapai 20 tahun secara total hampir
mencapai juta reclamesport atau mencapai rata-rata 1000 per pekan)”
Padahal, Thamrin (2008) mengungkapkan penilaian terhadap kualitas program acara televisi secara umum dan diperoleh hasil 0,5 persen menyatakan sangat baik, 27,2 persen menyatakan baik, 41,9 persen menyatakan biasa saja, 24,6 persen menyatakan buruk, 4,2 persen menyatakan sangat buruk, dan 1,6 persen menyatakan tidak tahu. Selain itu dikatakan pula bahwa 80,1 persen responden menyatakan bahwa tayangan hiburan di televisi justru tidak ramah anak alias berbahaya jika ditonton oleh anak-anak, 68,6 persen responden menyatakan tayangan hiburan di televisi buruk dan sangat buruk dalam memberi model perilaku yang baik kepada pemirsanya, 50,8 persen responden menyatakan bahwa program hiburan di televisi amat buruk dalam meningkatkan empati sosial, yakni memberi kesadaran untuk peduli terhadap orang lain dan 70,7 persen responden menyebut program hiburan di televisi menunjukkan kualitas buruk dalam mengangkat tema yang relevan dalam kehidupan masyarakat.
(22)
2.3. Belajar pada Anak
Biggs (1991) dalam Syah (2003) mendefinisikan belajar dalam tiga macam
rumusan yaitu: rumusan kuantitatif, rumusan institusional, dan rumusan kualitatif. Secara kuantitatif (ditinjau dari sudut jumlah), belajar berarti kegiatan pengisian atau pengembangan kemampuan kognitif dengan fakta sebanyak-banyaknya. Jadi belajar dalam hal ini dipandang dari sudut berapa banyak materi yang dikuasai siswa.
Syah (2003) menyebutkan secara kuantitatif (tinjauan kelembagaan), belajar dipandang sebagai proses validitas (pengabsahan) terhadap penguasaan siswa atas materi-materi yang telah ia pelajari. Ukurannya ialah semakin baik mutu mengajar yang dilakukan guru maka akan semakin baik pula mutu perolehan siswa yang kemudian dinyatakan dalam bentuk skor atau nilai.
Adapun pengertian belajar secara kualitatif (tinjauan mutu) adalah proses memperoleh arti-arti dan pemahaman-pemahaman serta cara-cara menafsirkan dunia di sekeliling siswa. Belajar dalam pengertian ini difokuskan pada tercapainya daya pikir dan tindakan yang berkualitas untuk memecahkan masalah-masalah yang kini dan nanti dihadapi siswa (Syah, 2003)
2.4 Belajar Kognitif pada Anak
Istilah cognitive berasal dari kata cognition berarti mengetahui. Dalam arti yang
luas, cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan dan penggunaan pengetahuan
(Neisser dalam Syah, 2003). Dalam perkembangan selajutnya, istilah kognitif
menjadi popular sebagai salah satu domain atau wilayah ranah psikologi manusia yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan dan keyakinan.
Menurut Syah (2003) ada dua macam kecakapan kognitif siswa yang perlu dikembangkan segera, khususnya oleh guru yaitu:
1. Strategi belajar memahami isi materi pelajaran.
2. Strategi meyakinkan arti penting isi materi pelajaran dan aplikasi serta menyerap pesan-pesan moral yang terkandung dalam materi pelajaran tersebut.
(23)
Menurut Syah (2003), belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Syah (2003) menyatakan implikasi teori perkembangan kognitif dalam pembelajaran adalah:
a. Bahasa dan cara berpikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berpikir anak. b. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan
baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
c. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing. d. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
e. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temannya.
2.5 Hubungan Karakteristik Individu, Faktor Psikologi dan Lingkungan Sosial dengan Terpaan Media Televisi dan Belajar Kognitif Anak
2.5.1 Hubungan Karakteristik Individu dengan Terpaan Media Televisi Testiandini (2006) menyatakan perbedaan pola dan pengaruh menonton televisi
berdasarkan perbedaan karakteristrik individu. Perbedaan pola dan pengaruh
menonton televisi berdasarkan karakteristik individu adalah sebagai berikut. 1. Jenis kelamin
Kuswanto (1993) dalam Testiandini (2006), responden laki-laki menunjukkan
motivasi yang rendah untuk memenuhi kebutuhan kognitifnya dari menonton televisi. Sebaliknya responden wanita menunjukkan motivasi yang sangat tinggi untuk memenuhi kebutuhan kognitif dari menonton televisi. Riana (1995) dan
(24)
Purwanto (1998) dalam Testiandini (2006) menyatakan bahwa laki-laki lebih menyukai menonton televisi seperti kuis, acara olahraga dan film aksi, sedangkan
perempuan lebih menyukai menonton sinetron, telenovela, infortainment.
2. Usia
Hasil penelitian Kuswanto (1993) dalam Testiandini (2006), menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang cukup berarti antara karakteristik individu responden dengan motivasi menonton televisi untuk memenuhi kebutuhan kognitif. Semakin rendah usia responden maka semakin semakin rendah pula motivasi menonton televisi untuk memenuhi kebutuhan kognitif. Sejalan dengan Kuswanto, hasil
penelitian Bajari (1995) dalam Testiandini (2006), juga menunjukkan bahwa
semakin tua usia ternyata responden semakin lebih banyak mencurahkan waktu untuk melakukan kontak dengan media massa.
3. Uang saku
Hasil penelitian Kuswanto (1993) dalam Testiandini (2006) menunjukkan bahwa
semakin rendah tingkat ekonomi ternyata tingkat motivasi untuk memenuhi kebutuhan kognitif dari belajar akan berkurang. Namun hal berbeda disampaikan
oleh Bajari (1995) dalam Testiandini (2006). Bajjari menunjukkan bahwa semakin
tinggi penghasilan ternyata semakin menyisihkan televisi karena kesenangan non media yang lebih luas.
4. Tipe kepribadian.
Tipe kepribadian mempengaruhi selera dalam memilih suatu jenis acara. Selain itu tipe kepribadian diperkirakan juga akan mempengaruhi respons dan efek yang akan dirasakan setelah mengakses media massa (Testiandini 2006)
5. Pendidikan
Hasil penelitian Bajari (1995) dalam Testiandini (2006), menunjukkan bahwa
pendidikan dan tanggung jawab pekerja professional yang lebih tinggi dapat mengakibatkan pilihan acara yang berbeda. Selain itu disebutkan pula bahwa semakin tinggi pendididkan responden maka kebutuhan untuk memperoleh informasi dari televisi juga semakin besar.
(25)
6. Waktu luang
Waktu luang orang yang pekerjaannya banyak bisa diduga cenderung akan menggunakan waktu kosongnya untuk beristirahat daripada menonton televisi. Sedangkan orang yang waktu kerjanya lebih sedikit mungkin lebih banyak meluangkan waktunya untuk menonton televisi (Testiandini 2006)
2.5.2 Hubungan Lingkungan Sosial dengan Terpaan Media Televisi pada Anak Lingkungan sosial seperti lingkungan keluarga dan teman-teman memiliki hubungan nyata dengan terpaan media televisi pada anak. Ketika menonton televisi, biasanya anak didampingi oleh orang tua atau keluarga. Maka dapat dikatakan bahwa semakin sering suatu keluarga menonton televisi maka semakin sering pula anak menonton televisi dan sebaliknya semakin jarang suatu keluarga menonton televisi, maka semakin jarang pula seorang anak menonton televisi. Selain itu orang tua juga berperan dalam mengawasi anaknya dalam menonton televisi (Testiandini 2006).
Tasmin (2002) menyatakan bahwa perilaku orang tua dalam mengawasi pola menonton televisi pada anaknya antara lain, yaitu:
1. Mendampingi anak ketika menonton televisi dan memberi penjelasan.
Hal pertama yang sebaiknya dilakukan adalah memberi pengertian dan mendampingi anak ketika menonton televisi. Jika anak bertanya jawablah pertanyaan tersebut dengan rinci dan sesuai dengan perkembangan anak. Banyak hal yang belum diketahui oleh seorang anak, oleh karena itu kalau tidak ada yang memberi tahu ia akan mencari sendiri dengan mencoba-coba dan meniru dari orang dewasa. Apakah hasil percobaan maupun peniruannya salah atau benar, anak mungkin tidak tahu. Di sini tugas orang tua untuk selalu memberi pengertian kepada anak, secara konsisten. Kebingungan anak karena standar ganda yang diterapkan orang tua juga bisa teratasi kalau orang tua memberi penjelasan kepada anak.
2. Bersama dengan anak membuat jadwal kegiatan.
Anak juga perlu diajarkan bahwa ada waktu tersendiri untuk setiap kegiatan. Atur waktu yang jelas kapan menonton televisi, kapan belajar dan kapan bermain.
(26)
Walaupun anak sudah relaks dengan menonton televisi, anak tetap butuh waktu untuk bermain. Televisi mengkondisikan anak menjadi pasif, hanya menerima dan menyerap informasi dengan posisi tubuh yang juga pasif. Oleh karenanya anak tetap butuh waktu untuk bermain (terutama bermain dengan anak lain) supaya mereka tetap aktif dan mampu bersosialisasi.
3. Menyeleksi program tayangan televisi yang cocok untuk anak.
Jika tidak sempat mendampingi anak. Orang tua sebaiknya menyeleksi tayangan televisi mana yang cocok untuk anak. Sebelum anak diizinkan untuk menonton program tersebut, orang tua telah mengetahui apakah program tersebut cocok atau tidak untuk anak.
4. Membangun kerjasama dengan seluruh anggota keluarga.
Bangunlah kerjasama dengan seluruh anggota keluarga, karena kerjasama dari seluruh anggota keluarga (termasuk pengasuh) sangat diperlukan. Pastikan bahwa seluruh keluarga memiliki pengertian yang sama mengenai anak dan masalah televisi tersebut.
5. Konsistensi dalam bertindak.
Orang tua atau pengasuh selalu bertindak secara konsisten dan tidak bosan-bosan dalam memberikan pengertian kepada anak, sehingga anak tahu dengan jelas mana yang boleh mana yang tidak, mana yang baik mana yang buruk.
Kurniasih (2006) menyatakan bahwa lingkungan sosial yang juga berhubungan nyata dengan perilaku menonton televisi adalah lingkungan teman. Lingkungan teman dapat menyebabkan seseorang untuk tertarik menonton tayangan tertentu, dimana teman sering menonton, mengajak dan menceritakan kembali jalan cerita tayangan tersebut.
2.5.3 Hubungan Faktor Psikologi dengan Belajar Kognitif pada Anak
Syah (2003) menyatakan bahwa karakteristik individu yang mempengaruhi perilaku belajar anak meliputi dua aspek yaitu:
(27)
1. Aspek Fisiologi
Kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang menandai tingkat kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya, dapat mempengaruhi semangat dan intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran. Kondisi organ yang lemah, apalagi jika disertai pusing kepala berat misalnya dapat menurunkan kualitas ranah cipta (kognitif) sehingga materi yang dipelajarinya pun kurang atau tidak berbekas.
2. Aspek Psikologi
Banyak faktor yang termasuk aspek psikologi yang dianggap mempengaruhi perilaku belajar, namun faktor –faktor yang dianggap lebih esensial adalah:
a. Intelegensi siswa
Intelegensi pada umumnya dapat diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik untuk mereaksi rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara yang tepat. Tingkat kecerdasan atau intelegensi siswa tidak dapat diragukan lagi sangat menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa. Ini bermakna, semakin tinggi kemampuan intelegensi seorang siswa maka semakin besar peluangnya untuk meraih sukses.
b. Sikap siswa
Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afeksi berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespons dengan cara yang relatif tetap terhadap objek orang, barang, dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif. Sikap positif, terutama terhadap mata pelajaran merupakan awal yang baik bagi proses belajar siswa tersebut.
c. Bakat siswa
Dalam perkembangannya, bakat diartikan sebagai kemampuan individu untuk melakukan tugas tertentu tanpa banyak bergantung pada upaya pendidikan dan latihan. Sehingga dapat dikatakan bahwa, bakat dapat mempengaruhi tinggi-rendahnya prestasi belajar bidang-bidang tertentu. Pemaksaan kehendak terhadap siswa dan ketidaksadaran siswa terhadap bakatnya sendiri sehingga
(28)
memilih jurusan keahlian tertentu yang sebenarnya tidak sesuai dengan bakatnya, akan berpengaruh buruk terhadap kinerja akademik.
d. Minat siswa
Secara sederhana, minat berarti kecenderungan dan gairah yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Minat dapat mempengaruhi kualitas pencapaian hasil belajar dalam bidang-bidang studi tertentu. Seorang siswa yang berminat terhadap bidang studi tertentu, akan memusatkan perhatiannya lebih banyak daripada siswa lainnya. Kemudian pemusatan perhatian yang insentif inilah yang memungkinkan siswa untuk belajar lebih giat dan akhirnya mencapai prestasi yang diinginkan.
e. Motivasi siswa
Dalam perkembangannya, motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu: (1) motivasi intrinsik dan (2) motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah hal dan keadaan yang berasal dari diri siswa sendiri yang dapat mendorongnya melakukan tindakan belajar. Contohnya perasaan menyenangi pelajaran dan kebutuhannya terhadap materi tersebut. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah hal dan keadaan yang datang dari luar individu siswa yang juga dapat mendorong untuk melakukan tindakan belajar.
Perspektif psikologi kognitif menyatakan bahwa motivasi yang lebih signifikan bagi siswa adalah motivasi intrinsik karena lebih murni dan langgeng serta tidak bergantung pada dorongan atau pengaruh orang lain. Selanjutnya, dorongan mencapai prestasi dan dorongan memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk masa depan juga memberi pengaruh kuat dan relatif lebih langgeng dibanding dengan dorongan hadiah atau dorongan keharusan dari orangtua dan guru.
2.5.4 Hubungan Lingkungan Sosial dengan Belajar Kognitif pada Anak
Lingkungan yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar adalah orang tua dan keluarga siswa itu sendiri. Sifat-sifat orang tua, praktek pengolahan keluarga, ketegangan keluarga dan demografi keluarga (letak rumah) semuanya dapat mempengaruhi kegiatan belajar dan hasil belajar siswa.
(29)
Syah (2003) menyatakan bahwa lingkungan sosial sekolah seperti para guru, para staf administrasi dan teman-teman sekelas dapat mempengaruhi semangat belajar siswa. Para guru yang selalu menunjukkan sikap dan perilaku yang simpatik dan memperlihatkan suri-teladan yang baik dan rajin khususnya dalam hal belajar, misalnya rajin membaca dan berdiskusi, dapat menjadi daya dorong yang positif bagi kegiatan belajar siswa.
Lingkungan sosial siswa yang mempengaruhi belajar kognitif meliputi masyarakat dan tetangga serta teman-teman sepermainan di sekitar perkampungan siswa tersebut. Kondisi masyarakat kumuh yang serba kekurangan dan sebagian besar adalah anak pengangguran misalnya, akan sangat mempengaruhi aktivitas belajar siswa. Paling tidak, siswa tersebut akan menemukan kesulitan ketika memerlukan teman belajar dan berdiskusi atau meminjam alat-alat belajar tertentu yang kebetulan belum dimilikinya.
2.6 Hubungan Terpaan Media Televisi dengan Perilaku Belajar Kognitif Anak
Efek kognitif komunikasi masa menurut Robert (2003) dalam Kurniasih (2006)
yaitu komunikasi masa secara tidak langsung menimbulkan perilaku tertentu tetapi cenderung mempengaruhi cara kita mengorganisasikan citra kita tentang lingkungan dan citra. Inilah yang mempengaruhi cara kita berperilaku. Media massa bekerja
untuk menyampaikan informasi dan informasi itu dapat membentuk,
mempertahankan atau meredefinisikan citra. Media menampilkan realitas yang sudah diseleksi (realitas tangan kedua), misalnya televisi memilih tokoh-tokoh tertentu untuk ditampilkan dan mengesampingkan tokoh lain dan karena seseorang tidak dapat dan tidak sempat mengecek peristiwa-peristiwa yang disajikan media sehingga cenderung menerima informasi itu hanya berdasarkan pada apa yang dilaporkan media. Akhirnya seseorang membentuk citra tentang lingkungan sosial seseorang berdasarkan realitas kedua yang ditampilkan media massa.
Isnaini (2006) menyatakan bahwa selama ini, usaha untuk menjadikan televisi sebagai media pembelajar, masih berporos pada bagaimana cara program televisi sebagai media penyampai pesan belajar melalui program-program pendidikan di
(30)
televisi, seperti ide awal munculnya Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) dan beberapa program Aku Cinta Indonesia (ACI), Cerdas-cermat dan Televisi-edukasi yang yang diluncurkan Pusat Teknologi dan Komunikasi (Pustekkom) tahun 2004 dan direlai di seluruh kabupaten di Indonesia tahun 2006. Lebih lanjut Isnaini (2006) menyatakan bahwa semua program televisi sebenarnya memiliki nilai edukasi yang dapat digali dan diintegrasikan dalam rangka membangun karakter siswa ataupun individu. Dengan menggunakan teori belajar “penguatan positif” dan “penguatan negatif” dapat digunakan untuk membuat stategi pembelajaran yang diminati oleh siswa.
Isnaini (2006) menyatakan bahwa televisi dapat membawa dampak buruk pada anak-anak, salah satunya televisi dapat mengurangi semangat belajar. Bahasa televisi yang simpel, memikat dan membuat ketagihan sangat mungkin membuat anak menjadi malas belajar. Hal ini berikutnya akan membentuk pola pikir yang sederhana pada anak. Terlalu sering menonton televisi dan malas membaca menyebabkan anak memiliki pola pikir sederhana, tidak kritis, linier atau searah yang pada akhirnya akan mempengaruhi imajinasi intelektual, kreativitas dan perkembangan kognitifnya. Televisi juga dapat mengurangi konsentrasi anak, rentang waktu konsentrasi anak hanya sekitar tujuh menit, persis seperti acara dari iklan ke iklan. Hal ini dapat membatasi daya konsentrasi anak.
Melihat realita di atas, maka guru dan orang tua harus berinisiatif untuk membangun karakter anak dengan memanfaatkan, dan menjadikan televisi sebagai mitra dalam pembelajaran. Guru dan orang tua harus secara aktif mendesain sistem dan strategi untuk menjadikan tayangan televisi sebagai pembelajaran bahkan mendesak untuk memasukan program ini dalam mata pelajaran yang berlaku secara nasional.
Sadiman (1984) menyatakan salah satu strategi yang dapat digunakan untuk mengajak pembelajar untuk mengemukakan pengalamannya menonton televisi misalnya: 1) Apa program/ tayangan yang ditonton? 2) Kesimpulan apa yang dapat diambil? 3) Hikmah apa yang dapat disarikan? 4) Apakah pernah mengalami hal yang sama/ mirip dengan yang ditayangkan? dan 5) Pendapat pembelajar terhadap
(31)
tayangan. Selanjutnya guru/ orang tua dapat mengajak pembelajar untuk berdiskusi mengenai tayangan yang ditontonnya dengan harapan diskusi dapat meningkatkan daya apresiasinya. Hal ini sangat efektif dilakukan jika dikaitkan dengan mata pelajaran tertentu yang kental dengan nuansa nilai seperti PPKN dan Pendidikan Agama.
Menurut Sadiman (1984) kelebihan-kelebihan televisi sebagai media pendidikan antara lain adalah sebagai berikut.
1. Televisi dapat menerima, menggunakan dan mengubah atau membatasi semua
bentuk media lain, menyesuaikan dengan tujuan.
2. Televisi merupakan medium yang menarik, modern dan selalu siap diterima oleh
anak-anak karena mereka mengenalkannya sebagai bagian dari kehidupan luar sekolah mereka.
3. Televisi dapat memikat perhatian sepenuhnya dari penonton. Seperti halnya film,
televisi menyajikan informasi visual dan lisan secara simultan.
4. Televisi memiliki realitas dari film, tapi juga memiliki kelebihan yang lain yaitu
immediancy (objek yang baru saja ditangkap kamera dapat segera dipertontonkan).
5. Sifatnya langsung dan nyata. Dengan televisi anak dapat tahu kejadian-kejadian
mutakhir, mereka dapat mengadakan kontak dengan orang-orang besar / tertentu dalam bidangnya, melihat dan mendengarkan mereka berbicara.
Kelebihan-kelebihan televisi tersebut akan membuat program yang
menyampaikan hal-hal mengenai pendidikan akan mudah diterima oleh anak-anak sehingga pada akhirnya akan menambah pengetahuan anak tersebut. Guru dan orang tua harus secara aktif mendesain sistem dan strategi untuk menjadikan tayangan televisi sebagai pembelajaran bahkan mendesak untuk memasukan program ini dalam mata pelajaran yang berlaku secara nasional. Salah satunya dengan mengajak pembelajar untuk mengemukakan pengalamannya menonton televisi
Televisi dapat pula membawa dampak buruk pada kegiatan belajar kognitif anak-anak, salah satunya televisi dapat mengurangi semangat belajar. Bahasa televisi yang simpel, memikat dan membuat ketagihan selain dapat mendukung perilaku
(32)
belajar kognitif anak ternyata juga sangat mungkin membuat anak menjadi malas belajar. Anak-anak menjadi malas membaca sehingga menyebabkan anak memiliki pola pikir sederhana, tidak kritis, linier atau searah yang pada akhirnya akan mempengaruhi imajinasi intelektual, kreativitas dan perkembangan kognitifnya.
Selain itu banyaknya program yang tidak cocok dengan usia anak-anak menyebabkan tambahan pengetahuan yang diperoleh anak dapat dikatakan tidak baik/ tidak cocok untuk anak tersebut sehingga nanti akan berpengaruh pada kepercayaan/keyakinan anak tersebut yang pada akhirnya akan mempengaruhi sikap anak.
Adapun keterkaitan antara variabel-variabel tersebut, tersaji dalam kerangka pemikiran di bawah ini.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Gambar 1 di atas menjelaskan bahwa karakteristik individu seperti usia, uang saku dan waktu luang mempengaruhi terpaan media televisi pada anak SD. Selain
Lingkungan Sosial:
• Sekolah (guru,
teman sekolah)
• Tetangga dan
teman sepermainan
• Keluarga
Karakteristik individu:
• Usia • Uang saku • Waktu luang
Terpaan Media Televisi:
•frekuensi
penggunaan
•durasi
penggunaan
•pilihan pesan
Belajar Kognitif:
•penguasan materi
•tambahan
pengetahuan Faktor Psikologi:
• Sikap
• Bakat
• Minat • Motivasi
(33)
karakteristik individu, lingkungan sosial seperti sekolah (guru dan teman sekolah), tetangga dan teman sepermainan serta keluarga juga tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan terpaan media televisi pada anak SD.
Faktor psikologi dan lingkungan sosial juga ikut serta mempengaruhi perilaku belajar kognitif. Faktor psikologi yang mempengaruhi belajar kognitif adalah aspek yang meliputi sikap, bakat, minat dan motivasi. Dilihat dari lingkungan sosial, yang dapat digolongkan menjadi hal yang mempengaruhi perilaku belajar kognitif adalah lingkungan sekolah (guru dan teman sekolah), tetangga dan teman sepermainan, serta keluarga.
Terpaan media sendiri akan mempengaruhi perilaku belajar kognitif pada anak. Terpaan media pada anak dapat dilihat dari frekuensi dan durasi anak menggunakan televisi dalam sehari sedangkan pengaruh dengan perilaku belajar dapat dilihat dari aspek banyaknya materi yang didapat dan tambahan pengetahuan yang diperoleh. Berdasarkan kerangka pemikiran dapat disusun hipotesis sebagai berikut:
H1= Terdapat hubungan signifikan antara karakteristik individu dan terpaan media
pada anak.
H2= Terdapat hubungan signifikan antara lingkungan sosial dan terpaan media pada
anak.
H3= Terdapat hubungan signifikan antara faktor psikologi dan perilaku belajar
kognitif pada anak.
H4= Terdapat hubungan signifikan antara lingkungan sosial dan perilaku belajar
kognitif pada anak.
H5= Terdapat hubungan signifikan antara terpaan media televisi dan perilaku belajar
(34)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 04 Kelurahan Dramaga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi tersebut
dilakukan dengan cara sengaja (purposive) berdasarkan pertimbangan bahwa SDN 04
Dramaga merupakan salah satu Sekolah Dasar yang ada di daerah lingkar kampus. Waktu pelaksanaan penelitian ini dilakukan selama tiga bulan yaitu Juli sampai September 2009.
3.2 Penetapan Populasi dan Responden Penelitian
Populasi yang diambil adalah siswa Sekolah Dasar Negeri (SDN) 04 Kelurahan Dramaga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Populasi total dalam penelitian berjumlah 665 orang dengan 346 orang sebagai populasi sasaran sedangkan jumlah responden yang diambil sebanyak 70 orang. Teknik yang
digunakan untuk memilih responden adalah Stratified Random Sampling. Pemilihan
kelas ini mempertimbangkan bahwa anak pada tingkatan kelas tersebut anak telah memiliki kemampuan membaca dan menulis yang baik sehingga lebih mampu memahami pertanyaan/ pernyataan. Selain itu, anak pada tingkat kelas tersebut lebih dapat menyatakan keinginan atau pendapatnya sehingga dapat menjawab pertanyaan/ pernyataan yang diajukan. Kemudian setiap kelas diambil masing-masing 20 persen. Dari enam kelas yang ada dipilih kelas IV, V dan VI. Setelah pemilihan kelas kemudian diambil masing-masing 20 persen dari siswa kelas tersebut.
(35)
Distribusi populasi dan sampel penelitian tersaji pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Distribusi Populasi dan Sampel Responden
Kelas Populasi total (orang) Populasi Sasaran
(orang)
Sampel (orang)
I 126 - -
II 105 - -
III 105 - -
IV 97 97 20
V 120 120 24
VI 132 132 26
Jumlah 665 346 70
Sumber: data SDN.04 Dramaga 2009
3.3 Desain Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif yang
didukung oleh data kualitatif. Penelitian kuantitatif di sini menggunakan desain
survei deskriptif kolerasi. Dimana penelitian ini berusaha menggambarkan karakteristik individu, lingkungan sosial dan faktor psikologi serta hubungannya dengan terpaan media televisi/belajar kognitif anak. Selain itu penelitian ini juga berusaha menggambarkan terpaan media televisi dan belajar kognitif pada anak serta hubungan keduanya.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner yang disebarkan dan diisi oleh responden sedangkan data sekunder dalam penelitian ini adalah berupa data mengenai keadaan umum lokasi penelitian yang diperoleh dari kantor Kepala Sekolah.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Kuesioner terdiri dari sejumlah pertanyaan terdiri dari pertanyaan terbuka, dimana jawaban responden tidak dibatasi sehingga dapat mengungkap lebih banyak hal dan pertanyaan tertutup, dimana jawaban telah disediakan.
Kuesioner yang disebar dibagi menjadi lima bagian. Bagian pertama berisikan pertanyaan-pertanyaan mengenai karakteristik individu. Bagian dua berisikan
(36)
pertanyaan/pernyataan mengenai lingkungan sosial baik yang mempengaruhi terpaan media televisi maupun belajar kognitif anak. Bagian ketiga berisikan pertanyaan/pernyataan mengenai faktor psikologi. Bagian keempat berisikan pertanyaan/pernyataan mengenai terpaan media televisi. Bagian kelima berisikan pertanyaan/pernyataan belajar kognitif anak Sekolah Dasar.
3.5 Definisi Operasional
Penelitian ini menggunakan beberapa istilah operasional yang digunakan untuk mengukur berbagai peubah. Masing-masing peubah terlebih dahulu diberi batasan sehingga dapat ditentukan indikator pengukurannya. Istilah-istilah tersebut yaitu: 1. Karakteristik Individu adalah kondisi atau keadaan spesifik individu yang berkaitan
langsung dengan dirinya. Variabel atau pengubah ini dapat diukur dengan:
a. Mengidentifikasi umur anak SD yaitu lamanya seseorang hidup dari sejak
lahir sampai saat penelitian dilakukan yang diukur dengan satuan tahun (dibulatkan berdasarkan angka terdekat dengan tanggal lahir) dengan menggunakan skala rasio;
b. Mengidentifikasi uang saku anak SD yaitu banyaknya uang yang dibawa
seorang anak ketika ke luar dari rumah. Indikator ini ukur dengan skala ordinal dan dibedakan menjadi kategori tinggi, sedang dan rendah dan
c. Mengidentifikasi waktu luang anak SD adalah banyaknya waktu yang
dimiliki oleh anak SD selain kegiatan sekolah dan kegiatan-kegiatan lain yang diikuti setelah jam sekolah. Indikator ini ukur dengan skala ordinal dan dibedakan menjadi kategori tinggi, sedang dan rendah.
2. Karakteristik Lingkungan Sosial adalah kondisi atau situasi yang menggambarkan suasana di sekitar anak SD dan dapat diukur dengan indikator-indikator sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi sekolah (guru, teman sekolah) yaitu orang-orang yang
berinteraksi dengan anak sekolah dasar di sekolah (guru dan teman sekolah) dan memiliki kemungkinan mempengaruhi terpaan media televisi/belajar
(37)
kognitif. Indikator ini ukur dengan skala ordinal dan dibedakan menjadi kategori tinggi, sedang dan rendah;
b. Mengidentifikasi tetangga dan teman sepermainan yaitu orang-orang yang
berinteraksi dengan anak SD di lingkungan tempat tinggal dan memiliki kemungkinan mempengaruhi terapaan media televisi/belajar kognitif. Indikator ini ukur dengan skala ordinal dan dibedakan menjadi kategori tinggi, sedang dan rendah dan
c. Mengidentifikasi keluarga yaitu orang tua dan anggota keluarga lain yang
memiliki hubungan darah dengan anak SD tersebut dan memiliki kemungkinan mempengaruhi terpaan media/belajar kognitif anak SD. Indikator ini ukur dengan skala ordinal dan dibedakan menjadi kategori tinggi, sedang dan rendah.
3. Faktor Psikologi yang mempengaruhi belajar kognitif pada anak SD yaitu aspek-aspek kejiwaan yang mempengaruhi belajar kognitif anak Sekolah Dasar dan dapat diukur dengan menggunakan indikator-indikator sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi sikap anak SD yaitu kecenderungan untuk merespons
dengan cara yang relatif tetap terhadap suatu objek orang, barang, dan sebagainya dan diukur menggunakan skala ordinal dengan kategori tinggi, sedang dan rendah;
b. Mengidentifikasi bakat anak SD yaitu kemampuan individu untuk melakukan
tugas tertentu tanpa banyak bergantung pada upaya pendidikan dan latihan dan diukur menggunakan skala ordinal dengan kategori tinggi, sedang dan rendah;
c. Mengidentifikasi minat anak sekolah dasar yaitu kecenderungan atau gairah
yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu dan diukur menggunakan skala ordinal dengan kategori tinggi, sedang dan rendah dan
d. Mengidentifikasi motivasi anak SD yaitu hal dan keadaan yang berasal dari
diri anak SD yang dapat mendorongnya melakukan tindakan belajar dan diukur menggunakan skala ordinal dengan kategori tinggi, sedang dan rendah.
(38)
4. Terpaan Media Televisi adalah penggunaan media televisi dilihat frekuensi penggunaan, durasi penggunaan (longevity) serta pilihan pesan. Frekuensi, durasi dan pilihan stasiun/ program acara yang dipilih dilihat dalam kurun waktu satu hari dengan indikator-indikator sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi frekuensi anak SD menonton televisi yaitu berapa kali
seorang anak sekolah dasar menonton televisi per harinya dan diukur menggunakan skala ordinal dengan kategori tinggi, sedang dan rendah;
b. Mengidentifikasi durasi anak SD menonton televisi yaitu jumlah jam anak
menonton acara/ program tertentu di televisi dan diukur menggunakan skala ordinal dengan kategori tinggi, sedang dan rendah.
c. Mengidentifikasi pilihan pesan anak SD yaitu keinginan anak terhadap pesan
yang dingin didapat dari menonton televisi terutama yang mengangkut belajar kognitif dan diukur menggunakan skala ordinal dengan kategori tinggi, sedang dan rendah.
5. Belajar Kognitif adalah proses untuk mengetahui atau mengelolah dan menggunakan pengetahuan dan dapat diukur dengan:
a. Mengidentifikasi banyaknya materi acara yang dikuasai oleh anak SD yaitu
jumlah keseluruhan materi yang diperoleh anak SD dari satu acara/ program tertentu yang ditontonnya dan diukur menggunakan skala ordinal dengan kriteria tinggi, sedang dan rendah dan
b. Mengidentifikasi tambahan pengetahuan yang didapat yaitu peningkatan
pengetahuan dari pengetahuan awal ke pengetahuan sekarang dan diukur menggunakan skala ordinal dengan kriteria tinggi, sedang dan rendah.
Pada setiap variabel diberikan tiga pilihan jawaban dari pertanyaan/pertanyaan yang ada. Pilihan tersebut adalah rendah, sedang dan tinggi. Setiap pilihan mendapatkan skor 1-3. Semakin besar nilai skor maka menunjukan bahwa variabel/indikator semakin tinggi.
(39)
Perhitungan nilai skor diatur sebagai berikut:
x 100%
Jumlah skor akhir yang didapat oleh masing-masing variabel kemudian diatur sebagai berikut:
0,01 - 30,33 = rendah 33,34 - 66,66 = sedang 66,67 - 100 = tinggi
3.6 Validitas dan Reliabilitas Instrumen
3.6.1 ValiditasInstrumen
Instrumen yang valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data (mengukur) itu valid. Valid berarti instrumen tersebut dapat mengukur apa yang seharusnya diukur (Priyatno 2008). Validitas dalam penelitian didapat dengan jalan menyesuaikan pertanyaan-pertanyaan yang dibuat dengan teori-teori yang ada dan pendapat dari ahli, termasuk konsultasi dengan dosen serta dengan menggunakan
koefisien product moment Pearson. Secara statistik angka korelasi yang diperoleh dibandingkan dengan nilai kritis tabel korelasi.
Secara lengkap rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
Keterangan:
r = nilai koefisien validitas N = jumlah responden X = skor pertanyaan pertama Y = skor total
Setelah dilakukan uji kuesioner kepada 10 responden maka diperoleh hasil validitasi instrument. Dari 88 pertanyaan yang diajukan terdapat tujuh pertanyaan yang memiliki hasil uji validitas lebih kecil dibandingkan dengan nilai r tabel (0,632). Oleh karena itu ketujuh pertanyaan tersebut kemudian diganti.
(40)
3.6.2 Reliabilitas Instrumen
Reliabilitas instrumen menunjukkan pada pengertian apakah instrumen dapat mengukur sesuatu yang diukur secara konsisten dari waktu ke waktu (Priyatno 2008). Uji Reliabilitas Instrumen dilakukan dengan menggunakan uji koefisien reliabilitas teknik belah dua dengan membagi butir pertanyaan-pertanyaan yang valid tersebut menjadi belahan genap dan belahan ganjil.
Pengukuran koefisien reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
rtot = angka koefisien reliabilitas keseluruhan item
rtt = angka korelasi belahan pertama dan kedua
Setelah dilakuakn uji kuesioner pada 10 responden diperoleh nilai reliabilitas sebesar 0,70 untuk karaketristik individu, 0,71 untuk lingkungan sosial, 0,73 untuk faktor psikologi, 0,89 untuk terpaan media televisi dan 0,85 untuk belajar kognitif. Nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa kuesioner telah valid.
3.7 Analisis data
Analisis data yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif, berupa frekuensi, persentase, median, rataan skor dan analisis statistik inferensial, berupa uji
hubungan Stuctural Equation Modeling (SEM). Analisis frekuensi, persentase dan
median digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik individu berupa umur. Rataan skor digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik individu berupa uang saku dan waktu luang, lingkungan sosial, faktor psikologi, terpaan media dan belajar kognitif pada anak. SEM digunakan untuk melihat hubungan antara karakteristik individu, lingkungan sosial dengan terpaan media televisi dan hubungan lingkungan sosial, faktor psikologi, terpaan media televisi dengan belajar kognitif pada anak.
Menurut Asparouhov (2008) SEM adalah metode analisis data multivarian yang bertujuan menguji model pengukuran dan model stuktural variabel laten. Dalam SEM
(41)
terdapat dua masalah penelitian utama yang akan dijawab yaitu masalah penelitian deskriptif dan masalah penelitian eksplanasi. Masalah penelitian deskriptif bertujuan untuk mengkonfirmasi dan mendeskripsikan variabel manifest atau indikator dominan yang membentuk sebuah konstruk atau variabel laten sedangkan masalah penelitian explanasi bertujuan untuk menjelaskan hubungan kausal antar variabel
laten. Jenis SEM yang digunakan pada penelitian ini adalah bivariate model, dimana
hanya melibatkan satu variabel laten eksogen (variabel yang mempengaruhi) dan satu
variabel laten endogen (variabel yang terpengaruh). Pengukuran SEM dijelaskan
pada gambar berikut.
Gambar 2. Model Persamaan Terstuktur Bivariate 1
Gambar 3. Model Persamaan Terstuktur Bivariate 2
X1
X2
X3
Y6
Y5
Y4
Lingkungansosial
Terpaan media televisi
X1
X2
X3
Y6
Y5
Y4
Karakeristikindividu
Terpaan media televisi
(42)
Gambar 4. Model Persamaan Terstuktur Bivariate 3
Gambar 5. Model Persamaan Terstuktur Bivariate 4
Gambar 6. Model Persamaan Terstuktur Bivariate 5 Keterangan:
X1, X2, X3 = pertanyaan/pernyataan
Y1, Y2, Y3 = pertanyaan/ pernyataan
X1
X2
X3
Y6
Y5
Y4
Terpaanmedia televisi
Belajar Kognitif
X1
X2
X3
Y6
Y5
Y4
Faktorpsikologi
Belajar Kognitif
X1
X2
X3
Y6
Y5
Y4
LingkunganSosial
Belajar Kognitif
(43)
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK INDIVIDU, LINGKUNGAN SOSIAL DAN PSIKOLOGI RESPONDEN 4.1 Gambaran Umum Lokasi
SDN 04 Dramaga terletak di jalan Sawah baru RT 01/ 08 Desa Babakan Dramaga, Bogor, Jawa Barat. SD N Babakan Dramaga 04 berdiri pada tahun 1977
dengan luas tanah 2.580 m2. SDN 04 Babakan Dramaga berada dekat dengan instansi
pendidikan lainnya yaitu SMPN1 Dramaga dan kampus Institut Pertanian Bogor. Jarak SDN 04 Dramaga dengan pusat pemerintahan kecamatan adalah ±4 km dari ibu kabupaten berjarak ± 35 km, dari ibu kota provinsi ± 125 km. sedangkan dari ibu kota Negara berjarak ± 75 km. SDN 04 Dramaga memiliki 18 kelas, setiap tingkat (kelas 1-6) terdiri dari tiga kelas. Jumlah guru SDN 04 Dramaga ada 22 orang yang 75 persennya telah bergelar sarjana dan sisanya (25 persen) bergelar diploma II (D-II) Beberapa prestasi yang telah diraih SDN 04 Dramaga pada tahun terakhir ini antara lain juara 1 olympiade matematika regional Bogor Barat (2008), juara harapan I drama pupuh SD kesenian daerah tingkat kabupaten (2008), juara harapan I Atletik SD Putera tingkat Kabupaten Bogor (2008), juara I gladi Tangkas Puteri Kwaran Dramaga (2008) dan gladi tangkas putera Kwaran Dramaga (2008).
Berbagai upaya peningkatan mutu telah dilakukan SD N Babakan Dramaga 04, baik yang bersifat akademis maupun nonakademis. Adapun kegiatan yang mengarah pada peningkatan mutu antara lain sebagai berikut:
a. Menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTPS) sesuai dengan
rambu-rambu yang ada dengan melibatkan berbagai komponen pendidikan;
b. Meningkatkan standar kelulusan secara bertahap sebagai salah satu parameter
peningkatan kualitas lulusan;
c. Mengirim guru untuk mengikuti berbagai pelatihan baik tingkat kecamatan,
kabupaten, maupun provinsi sebagai upaya menambah wawasan dan memperbaiki kualitas kegiatan belajar mengajar;
(1)
10. Tingkat penambahan informasi mengenai
peristiwa yang bersifat lokal.
1
2
3
11. Tingkat penambahan informasi mengenai
peristiwa yang bersifat internasional.
1
2
3
12. Tingkat penambahan pengetahuan yang
menyangkut pendidikan Agama.
1
2
3
13. Tingkat penambahan pengetahuan yang
menyangkut pendidikan Kewarganegaraan.
1
2
3
14. Tingkat penambahan pengetahuan yang
menyangkut Ilmu Sosial .
1
2
3
15. Tingkat penambahan pengetahuan yang
menyangkut Ilmu Pengetahuan Alam.
1
2
3
16. Tingkat penambahan pengetahuan yang
menyangkut pendidikan kesehatan dan olahraga
1
2
3
17. Tingkat penambahan pengetahuan yang
menyangkut kesenian.
(2)
Lampiran 2. Model Persamaan Terstruktur Bivariate Hubungan Karakteristik
Individu dengan Terpaan Media Televisi
JK 0. 99
P1 0. 98
P2 0. 97
P3 0. 99
P4 0. 88
P5 0. 99
P6 1. 00
P7 0. 85
P8 0. 84
P9 0. 67
P10 0. 86
Krktr _In Trpn_ Medd
P52 0.99
P53 0.99
P54 0.97
P55 0.94
P56 0.77
P57 0.77
P58 0.95
P59 0.90
P6 0 0.97
P6 1 0.91
P6 2 0.88
P6 3 0.98
P6 4 0.99
P6 5 0.95
P6 6 0.84
P6 7 0.81
P6 8 0.67
P6 9 0.86
P70 0.95
P71 0.92
Chi -Squa re=23 2.9 4, df =4 33, P- va lue=1 .00 000, RMSEA =0. 000
0.08 -0.12 -0.16 0.24 0.48 0.47 -0.23 0.31 -0.18 0.30 0.34 0.15 0.10 0.23 0.40 0.44 0.58 0.38 -0.23 0.28 0. 09
-0 .1 4 0. 18 0. 08 0. 35 -0 .0 8 -0 .0 7 0. 38 0. 40 0. 57 0. 37
0.44
JK 5. 84
P1 5. 78
P2 5. 72
P3 5. 85
P4 5. 27
P5 5. 85
P6 5. 85
P7 5. 14
P8 5. 04
P9 3. 75
P10 5. 18
Krktr _In
Trpn_ Medd
P52
5.86P53
5.84P54
5.81P55
5.73P56
5.19P57
5.20P58
5.75P59
5.63P6 0
5.80P6 1
5.64P6 2
5.57P6 3
5.82P6 4
5.85P6 5
5.74P6 6
5.44P6 7
5.32P6 8
4.73P6 9
5.49P70
5.74P71
5.68Chi-Square=232.94, df=433, P-value=1.00000, RMSEA=0.000
0.54 -0.85 -1.16 1.72 3.42
3.38 -1.60 2.19
-1.26 2.14
2.43
1.09 0.73 1.65 2.82 3.13
4.10
2.69
-1.65 1.97 0. 54
-0 .9 2 1. 17 0. 51 2. 24 -0 .5 2 -0 .4 3 2. 43 2. 56 3. 53 2. 37
2.05
Lampiran 3. Model Persamaan Terstruktur Bivariate
Hubungan Lingkungan Sosial
dengan Terpaan Media Televisi
(3)
P11 1. 00
P12 0. 97
P13 0. 88
P14 0. 95
P15 0. 85
P16 1. 00
P17 0. 82
P18 1. 00
P19 0. 95
P2 0 1. 00
P2 1 0. 95
P2 2 0. 95
P2 3 0. 94
P2 4 0. 85
P2 5 0. 84
P2 6 0. 88
P2 7 0. 94
P2 8 0. 96
P2 9 0. 93
P3 0 0. 88
P3 1 0. 98
P3 2 0. 96
P3 3 0. 93
Ling_ Sos Trpn_ Medd
P52 0.98
P53 0.98
P54 0.97
P55 0.96
P56 0.77
P57 0.77
P58 0.92
P59 0.89
P6 0 0.98
P6 1 0.93
P6 2 0.84
P6 3 0.97
P6 4 0.98
P6 5 0.95
P6 6 0.87
P6 7 0.82
P6 8 0.69
P6 9 0.86
P70 0.95
P71 0.93
C hi- Squ are=44 0.5 4, df=859 , P -va lue=1. 000 00, RMSEA =0. 000
0. 14 -0 .1 2 -0 .1 6 0. 20 0. 48 0. 48 -0 .2 9 0. 32 -0 .1 5 0. 27 0. 41 0. 16 0. 13 0. 23 0. 36 0. 42 0. 56 0. 38 -0 .2 2 0. 27 0.07
0.17 0.34 0.22 0.38 -0.03 0.43 0.06 0.22 0.01 0.22 -0.21 0.24 0.39 0.40 0.35 -0.25 0.20 0.27 0.35 0.16 0.20 0.27
0.55
P11
5. 86
P12
5. 79
P13
5. 49
P14
5. 74
P15
5. 39
P16
5. 87
P17
5. 24
P18
5. 86
P19
5. 73
P2 0
5. 87
P2 1
5. 73
P2 2
5. 74
P2 3
5. 70
P2 4
5. 35
P2 5
5. 35
P2 6
5. 47
P2 7
5. 68
P2 8
5. 75
P2 9
5. 65
P3 0
5. 49
P3 1
5. 80
P3 2
5. 76
P3 3
5. 65
Ling_ Sos Trpn_ Medd
P52 5.83
P53 5.84
P54 5.81
P55 5.78
P56 5.20
P57 5.22
P58 5.67
P59 5.61
P6 0 5.83
P6 1 5.69
P6 2 5.43
P6 3 5.82
P6 4 5.83
P6 5 5.76
P6 6 5.54
P6 7 5.39
P6 8 4.88
P6 9 5.50
P70 5.76
P71 5.70
C hi- Squ are=44 0.5 4, df=859 , P -va lue=1. 000 00, RMSEA =0. 000
0. 96 -0 .8 8 -1 .1 5 1. 42
3. 38 3. 35 -2 .0 4 2. 30
-1 .0 3 1. 93
2. 87
1. 13 0. 94 1. 59
2. 54 2. 97 3. 88 2. 69
-1 .5 8 1. 88 0.47
1.18
2.40
1.49
2.69
-0.21
3.01
0.42 1.49 0.04 1.53 -1.47 1.65
2.77 2.79 2.46
-1.75 1.39 1.88
2.43
1.08 1.37 1.88
(4)
Lampiran 4. Model Persamaan Terstruktur Bivariate Hubungan Faktor Psikologi
dengan Perilaku Belajar Kognitif
P 3 4
0.90
P 3 5
0.96
P 3 6
0.99
P 3 7
0.86
P 3 8
0.88
P 3 9
0.98
P 4 0
1.00
P 4 1
0.95
P 4 2
0.99
P 4 3
0.86
P 4 4
0.90
P 4 5
1.00
P 4 6
0.90
P 4 7
0.84
P 4 8
0.69
P 4 9
0.67
P 5 0
0.91
P 5 1
0.64
Fktr_ Psi
Prlk_ Bljd
P7 2
1.00
P7 3
0.94
P7 4
0.98
P7 5
0.93
P7 6
0.72
P7 7
0.83
P7 8
0.89
P7 9
0.80
P8 0
0.92
P8 1
0.95
P8 2
0.87
P8 3
0.83
P8 4
0.83
P8 5
0.86
P8 6
0.92
P8 7
0.88
P8 8
0.91
Chi-Square=321.42, df=559, P-value=1.00000, RMSEA=0.000
0.02
-0.25
0.14
-0.26
-0.53
-0.41
-0.34
-0.44
-0.28
-0.23
-0.36
-0.41
-0.41
-0.37
-0.28
-0.35
-0.30
0.32
-0.20
0.11
0.38
0.35
0.15
0.06
0.22
0.10
-0.38
0.31
-0.05
0.31
0.41
0.56
0.57
-0.30
0.60
-0.04
P 3 4
5.63
P 3 5
5.79
P 3 6
5.85
P 3 7
5.51
P 3 8
5.58
P 3 9
5.83
P 4 0
5.87
P 4 1
5.77
P 4 2
5.85
P 4 3
5.52
P 4 4
5.65
P 4 5
5.87
P 4 6
5.65
P 4 7
5.45
P 4 8
4.89
P 4 9
4.81
P 5 0
5.66
P 5 1
4.65
Fktr_Psi
Prlk_ Bljd
P7 2
5.87
P7 35.70
P7 45.82
P7 55.69
P7 64.89
P7 75.35
P7 85.55
P7 95.24
P8 05.66
P8 15.73
P8 25.49
P8 35.35
P8 45.35
P8 55.47
P8 65.66
P8 75.51
P8 85.62
Chi-Square=321.42, df=559, P-value=1.00000, RMSEA=0.000
0.12
-1.77
0.98
-1.82
-3.88
-2.97
-2.40
-3.22
-1.97
-1.63
-2.60
-2.98
-2.96
-2.64
-1.98
-2.52
-2.15
2.33
-1.40
0.81
2.80
2.55
1.04
0.40
1.57
0.72
-2.76
2.25
-0.34
2.25
3.00
4.26
4.40
-2.21
4.63
-0.24
Lampiran 5. Model Persamaan Terstuktur Bivariate
Hubungan Lingkungan Sosial
dengan Perilaku Belajar Kognitif
(5)
P11 1. 00
P12 0. 98
P13 0. 85
P14 0. 94
P15 0. 87
P16 1. 00
P17 0. 82
P18 1. 00
P19 0. 94
P2 0 1. 00
P2 1 0. 94
P2 2 0. 96
P2 3 0. 96
P2 4 0. 81
P2 5 0. 83
P2 6 0. 88
P2 7 0. 92
P2 8 0. 96
P2 9 0. 96
P3 0 0. 91
P3 1 0. 98
P3 2 0. 95
P3 3 0. 93
Ling_ Sos Prlk_ Bljd
P 7 2 1. 00
P 7 3 0. 93
P 7 4 0. 98
P 7 5 0. 93
P 7 6 0. 71
P 7 7 0. 83
P 7 8 0. 90
P 7 9 0. 81
P 80 0. 92
P 81 0. 94
P 82 0. 87
P 83 0. 82
P 84 0. 81
P 85 0. 88
P 86 0. 92
P 87 0. 88
P 88 0. 92
Chi- Square=3 36.49, df=739, P-valu e=1.000 00, RMS EA=0.000
0. 01 -0 .2 7 0. 13 -0 .2 7 -0 .5 4 -0 .4 1 -0 .3 2 -0 .4 4 -0 .2 9 -0 .2 4 -0 .3 5 -0 .4 2 -0 .4 3 -0 .3 5 -0 .2 8 -0 .3 4 -0 .2 9 0. 06
0. 14 0. 39 0. 24 0. 36 -0 .0 5 0. 42 0. 04 0. 24 -0 .0 3 0. 24 -0 .2 0 0. 21 0. 44 0. 41 0. 34 -0 .2 8 0. 19 0. 21 0. 30 0. 15 0. 22 0. 27
-0 .4 5
P11 5.86
P12 5.81
P13 5.34
P14 5.70
P15 5.43
P16 5.87
P17 5.25
P18 5.87
P19 5.70
P2 0 5.87
P2 1 5.70
P2 2 5.76
P2 3 5.74
P2 4 5.18
P2 5 5.27
P2 6 5.48
P2 7 5.62
P2 8 5.76
P2 9 5.74
P3 0 5.59
P3 1 5.81
P3 2 5.72
P3 3 5.64
Ling_ Sos Prlk_ Bljd
P 7 2 5.87
P 7 3 5.68
P 7 4 5.83
P 7 5 5.69
P 7 6 4.90
P 7 7 5.40
P 7 8 5.60
P 7 9 5.30
P 80 5.65
P 81 5.73
P 82 5.53
P 83 5.36
P 84 5.33
P 85 5.55
P 86 5.67
P 87 5.56
P 88 5.66
Chi- Square=3 36.49, df=739, P-valu e=1.000 00, RMS EA=0.000
0.08 -1.91 0.94 -1.88
-3.84 -2.90 -2.26 -3.13 -2.05
-1.69
-2.51 -2.99 -3.06 -2.45 -1.96 -2.43 -2.04
0.44 0.97
2.75
1.63
2.52
-0.31
2.94
0.30 1.65 -0.22 1.62 -1.34 1.44
3.08 2.90 2.38
-1.94 1.30 1.44
2.07
0.99 1.54 1.88
-2.30
Lampiran 6. Model Persamaan Terstuktur Bivariate
Hubungan Terpaan Media Televisi
dengan Belajar Kognitif
(6)
P53
0. 99
P54
0. 97
P55
0. 93
P56
0. 84
P57
0. 74
P58
0. 95
P59
0. 90
P6 0
0. 96
P6 1
0. 91
P6 2
0. 90
P6 3
0. 98
P6 4
1. 00
P6 5
0. 97
P6 6
0. 83
P6 7
0. 77
P6 8
0. 64
P6 9
0. 89
P70
0. 95
P71
0. 92
Trpn_ Med Prlk_ Bljd
P 7 2 1.00
P 7 3 0.94
P 7 4 0.97
P 7 5 0.93
P 7 6 0.73
P 7 7 0.86
P 7 8 0.87
P 7 9 0.87
P 80 0.91
P 81 0.97
P 82 0.92
P 83 0.78
P 84 0.79
P 85 0.82
P 86 0.92
P 87 0.89
P 88 0.93
C hi- Squ are=33 9.5 9, df=628 , P -va lue=1. 000 00, RMSEA =0. 000
0. 00 -0 .2 5 0. 17 -0 .2 6 -0 .5 2 -0 .3 8 -0 .3 6 -0 .3 6 -0 .3 1 -0 .1 8 -0 .2 8 -0 .4 7 -0 .4 6 -0 .4 2 -0 .2 9 -0 .3 3 -0 .2 7 0.05
-0.11 -0.16 0.27 0.40 0.51 -0.23 0.31 -0.19 0.30 0.31 0.14 0.04 0.18 0.42 0.48 0.60 0.34 -0.23 0.29
-0.8 9
P52
5. 87
P53
5. 86
P54
5. 83
P55
5. 75
P56
5. 56
P57
5. 31
P58
5. 79
P59
5. 70
P6 0
5. 81
P6 1
5. 71
P6 2
5. 70
P6 3
5. 84
P6 4
5. 87
P6 5
5. 82
P6 6
5. 53
P6 7
5. 38
P6 8
4. 97
P6 9
5. 67
P70
5. 78
P71
5. 73
Trpn_ Med Prlk_ Bljd
P 7 2 5.87
P 7 3 5.77
P 7 4 5.83
P 7 5 5.75
P 7 6 5.26
P 7 7 5.59
P 7 8 5.63
P 7 9 5.62
P 80 5.70
P 81 5.82
P 82 5.74
P 83 5.41
P 84 5.42
P 85 5.52
P 86 5.72
P 87 5.67
P 88 5.74
C hi- Squ are=33 9.5 9, df=628 , P -va lue=1. 000 00, RMSEA =0. 000
0. 02 -1 .5 2 1. 13 -1 .5 9
-2 .2 2 -1 .9 6
-1 .9 0 -1 .9 2 -1 .7 5 -1 .1 7 -1 .6 4
-2 .1 5 -2 .1 4 -2 .0 5
-1 .6 9 -1 .8 3 -1 .6 2 0.39
-0.78 -1.17
2.02 3.09 4.00
-1.68
2.37
-1.41
2.30 2.34
1.02 0.32 1.34
3.23 3.79 4.84 2.57
-1.72
2.15