2.  Fiksional  berasal  dari  dunia  humanities  psychology  dan  bersifat  subjektif.  Fungsi primer  dari  materi  fiksional  adalah  psikologi  menghibur.  Materi  fiksional  juga
memiliki fungsi informasional namun hanya bersifat sekunder. Menurut  Hoffman  1999  dalam  Testiandini  2006,  fungsi  televisi  dalam
masyarakat  tidak  dilihat  lagi  sebagai    sarana  pendidikan  dan  juga  tidak  seharusnya menjadi sarana promosi perdagangan. Adapun fungsi televisi adalah:
1.  Pengawasan  situasi    masyarakat  dan  dunia,  bisa  juga  disebut  sebagai  fungsi informasi,  namun  istilah  ini  tidak  digunakan  karena  dikhawatirkan  menimbulkan
salah paham seakan-akan televisi adalah sarana penerangan bagi penguasa kepada masyarakat.  Fungsi  televisi  sebenarnya  adalah  mengamati  kejadian  yang  terjadi
dalam  masyarakat  kemudian  melaporkan  sesuai  dengan  kenyataan  yang ditemukan.
2. Menghubungkan  satu dengan  yang lain, televisi dapat saja menghubungkan hasil pengawasan  satu  dengan  hasil  pengawasan  lain  secara  lebih  gamplang  daripada
sebuah dokumen tertulis. Dengan demikian televisi dapat berfungsi sesuai dengan kepentingan masyarakat dan dapat membuka mata pemirsa.
3.  Menyalurkan  kebudayaan,  sebenarnya  fungsi  ini  dapat  disebutkan  sebagai  fungsi pendidikan.  Namun  istilah  “pendidikan”  tidak  digunakan  karena  di  dalam
kebudayaan audiovisual tidak ada kurikulum. 4.  Hiburan,  fungsi  ini  memang  dibutuhkan  oleh  masyarakat,  karena  kalau  tidak
menghibur umumnya sebuah tayangan tidak akan ditonton. Namun hiburan bukan berarti  hiburan  semata  tanpa  ada  sesuatu  yang  dapat  diambil  pelajaran  dari  suatu
program. 5.  Pengarahan  masyarakat  untuk  bertindak  dalam  keadaan  darurat  ,  televisi  harus
proaktif dalam memberi motivasi.
2.2 Terpaan Media Televisi
Menurut Sari 1993 dalam Testiandini 2006, terpaan media media exposure adalah  upaya  untuk  mencari  data  khalayak  mengenai  penggunaan  media  baik  jenis
media,  frekuensi  penggunaan  maupun  durasi  penggunaan  longevity.  Sari  1993
dalam Testiandini  2006  juga  menambahkan  bahwa  frekuensi  penggunaan  media
merupakan  pengumpulan  data  khalayak  tentang  berapa  kali  hari  seseorang menggunakan  televisi  dalam  satu  minggu.  untuk  meneliti  program  harian,  berapa
kali  minggu  seseorang  menggunakan  media  dalam  satu  bulan  untuk  program mingguan dan tengah bulan serta berapa kali bulan seseorang menggunakan media
dalam satu tahun. Sebagian  besar  anak-anak  merasa  lebih  nyaman  duduk  di  depan  televisi
ketimbang  bermain  di  luar  rumah.  Seorang  anak  dapat  menghabiskan  tiga  sampai empat  jam  perharinya  untuk  duduk  menonton  televisi,  tapi  tak  sedikit  anak  yang
menonton televisi lima sampai enam jam perhari bahkan lebih pada hari-hari tertentu, seperti Sabtu dan Mingg Hidup, 2008.
Hasil  survei  ini  bak  dering  jam  weker  yang  pantas  membuat  orangtua  awas. Data Perserikatan Bangsa Bangsa Thamrin, 2008 menyatakan bahwa para bocah di
Indonesia  terpekur  rata-rata  lima  jam  sehari  di  depan  layar  kaca  atau  total  jenderal 1.560  hingga  1.820  jam  setahun.  Angka  ini,  menurut  UNICEF,  jauh  lebih  gemuk
ketimbang  jumlah  belajar  mereka  yang  1.000  jam  setahun  di  sekolah.  Maka  jadilah kotak  televisi  sekolah  tandingan  bagi  anak-anak  ini.  Padahal  Thamrin  2008
menyatakan bahwa seharusnya anak usia lima tahun hanya menonton televisi selama 1,5  jam  per  hari  atau  paling  lama  dua  jam  per  hari.  Itu  juga  tidak  terus-menerus,
dibagi-bagi,  misalnya  satu  jam  setelah  pulang  sekolah,  dan  satu  jam  lagi  setelah mengerjakan Pekerjaan Rumah PR di malam hari.
Survei lain yang dilakukan menyebutkan bahwa  lebih dari setengah anak-anak di Amerika Serikat mempunyai televisi di kamar mereka. Usia remaja paling banyak
menonton  televisi  di  kamar  dan  hampir  sepertiga  anak-anak  pra  sekolah  memiliki televisi  di  kamar  mereka  dan  menghabiskan  lebih  banyak  waktu  untuk  menonton
televisi.  Disebutkan  juga  adanya  beberapa  orang  siswa  sebuah  sekolah  yang bergantian  bolos  dari  sekolah  demi  menonton  sebuah  tayangan  opera  sabun  di
televisi.  Di  Indonesia  mungkin  tidak  sampai  menjangkau  persentase  sebesar  ini namun  pengaruh  televisi  juga  telah  banyak  membentuk  pola  pikir  dari  anak-anak
Indonesia Thamrin 2008.
Isnaini  2006  menyebutkan    bahwa  Yayasan  Pengembangan  Media  Anak menyatakan  penelitiannya    pada  2002  yang  menunjukkan  bahwa  jam  menonton
televisi  pada  anak  Indonesia  mencapai  30-35  jam  minggu  atau  1560-1820  tahun. Hal  ini  jauh  lebih  besar  dibanding  jam  belajar  di  Sekolah  Dasar  yang  tidak  sampai
1000  jam  tahun.  Sehingga  dapat  dikatakan  bahwa  televisi  telah  menjadi  guru  yang menawan  di  luar  kelas,  menjadi  saingan  guru  sesungguhnya  di  dalam  kelas  atau
pendidikan dalam keluarga.
Hal ini diperkuat oleh Vera 2007 yang menyatakan bahwa: “Tidak  dapat  dipungkiri  peran  televisi  saat  ini  semakin  besar  saja.  Peranannya
sebagai  media  komunikasi  visual  sangat  luar  biasa  dibandingkan  media-masa yang  lain.  Temuan  Yayasan  Kesejahteraan  Anak  Indonesia  tahun  1996  yang
dilansir  majalah  [aikon]  media  alternatif  menyebutkan  bahwa  anak-anak Indonesia  usia  6-15  tahun  harus  menyisihkan  waktu  22-26  jam  per  minggu
untuk menonton televisi. Bahkan anak Amerika sejak usia delapan belas bulan sudah  secara  mendalam  dikonfrontasikan  pada  medium  televisi.  Pada  akhir
humaniora-nya  jumlah  jam  menonton  televisi  dari  anak-anak  muda  Amerika mencapai  16.000  jam.  Ketika  usia  mencapai  20  tahun  secara  total  hampir
mencapai juta reclamesport atau mencapai rata-rata 1000 per pekan”
Padahal,  Thamrin  2008  mengungkapkan  penilaian  terhadap  kualitas  program acara  televisi  secara  umum  dan  diperoleh  hasil  0,5  persen  menyatakan  sangat  baik,
27,2  persen  menyatakan  baik,  41,9  persen  menyatakan  biasa  saja,  24,6  persen menyatakan buruk, 4,2 persen menyatakan sangat buruk, dan 1,6 persen menyatakan
tidak tahu. Selain itu dikatakan pula bahwa 80,1 persen responden menyatakan bahwa tayangan  hiburan  di  televisi  justru  tidak  ramah  anak  alias  berbahaya  jika  ditonton
oleh  anak-anak,  68,6  persen  responden  menyatakan  tayangan  hiburan  di  televisi buruk  dan  sangat  buruk  dalam  memberi  model  perilaku  yang  baik  kepada
pemirsanya,  50,8  persen  responden  menyatakan  bahwa  program  hiburan  di  televisi amat  buruk  dalam  meningkatkan  empati  sosial,  yakni  memberi  kesadaran  untuk
peduli terhadap orang lain dan 70,7 persen responden menyebut program hiburan di televisi  menunjukkan  kualitas  buruk  dalam  mengangkat  tema  yang  relevan  dalam
kehidupan masyarakat.
2.3. Belajar pada Anak