2.3. Belajar pada Anak
Biggs  1991  dalam  Syah  2003  mendefinisikan  belajar  dalam  tiga  macam rumusan  yaitu:  rumusan  kuantitatif,  rumusan  institusional,  dan  rumusan  kualitatif.
Secara kuantitatif ditinjau dari sudut jumlah, belajar berarti kegiatan pengisian atau pengembangan  kemampuan  kognitif  dengan  fakta  sebanyak-banyaknya.  Jadi  belajar
dalam hal ini dipandang dari sudut berapa banyak materi yang dikuasai siswa. Syah  2003  menyebutkan  secara  kuantitatif  tinjauan  kelembagaan,  belajar
dipandang  sebagai  proses  validitas  pengabsahan  terhadap  penguasaan  siswa  atas materi-materi  yang  telah  ia  pelajari.  Ukurannya  ialah  semakin  baik  mutu  mengajar
yang  dilakukan  guru  maka  akan  semakin  baik  pula  mutu  perolehan  siswa  yang kemudian dinyatakan dalam bentuk skor atau nilai.
Adapun  pengertian  belajar  secara  kualitatif  tinjauan  mutu  adalah  proses memperoleh arti-arti dan pemahaman-pemahaman serta cara-cara menafsirkan dunia
di  sekeliling  siswa.  Belajar  dalam  pengertian  ini  difokuskan  pada  tercapainya  daya pikir  dan  tindakan  yang  berkualitas  untuk  memecahkan  masalah-masalah  yang  kini
dan nanti dihadapi siswa Syah, 2003
2.4 Belajar Kognitif pada Anak
Istilah cognitive berasal dari kata cognition berarti mengetahui. Dalam arti yang luas,  cognition  kognisi  ialah  perolehan,  penataan  dan  penggunaan  pengetahuan
Neisser  dalam  Syah,  2003.  Dalam  perkembangan  selajutnya,  istilah  kognitif menjadi  popular  sebagai  salah  satu  domain  atau  wilayah  ranah  psikologi  manusia
yang  meliputi  setiap  perilaku  mental  yang  berhubungan  dengan  pemahaman, pertimbangan,  pengolahan  informasi,  pemecahan  masalah,  kesengajaan  dan
keyakinan. Menurut  Syah  2003  ada  dua  macam  kecakapan  kognitif  siswa  yang  perlu
dikembangkan segera, khususnya oleh guru yaitu: 1. Strategi belajar memahami isi materi pelajaran.
2.  Strategi  meyakinkan  arti  penting  isi  materi  pelajaran  dan  aplikasi  serta  menyerap pesan-pesan moral yang terkandung dalam materi pelajaran tersebut.
Menurut  Syah  2003,  belajar  akan  lebih  berhasil  apabila  disesuaikan  dengan tahap  perkembangan  kognitif  peserta  didik.  Peserta  didik  hendaknya  diberi
kesempatan  untuk  melakukan  eksperimen  dengan  obyek  fisik,  yang  ditunjang  oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh  pertanyaan tilikan dari  guru.  Guru
hendaknya  banyak  memberikan  rangsangan  kepada  peserta  didik  agar  mau berinteraksi  dengan  lingkungan  secara  aktif,  mencari  dan  menemukan  berbagai  hal
dari lingkungan. Syah  2003  menyatakan  implikasi  teori  perkembangan  kognitif    dalam
pembelajaran adalah: a.  Bahasa dan cara berpikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru
mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berpikir anak. b.  Anak-anak  akan  belajar  lebih  baik  apabila  dapat  menghadapi  lingkungan  dengan
baik.  Guru  harus  membantu  anak  agar  dapat  berinteraksi  dengan  lingkungan sebaik-baiknya.
c.  Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing. d.  Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
e.  Di  dalam  kelas,  anak-anak  hendaknya  diberi  peluang  untuk  saling  berbicara  dan diskusi dengan teman-temannya.
2.5  Hubungan  Karakteristik  Individu,  Faktor  Psikologi  dan  Lingkungan  Sosial dengan Terpaan Media Televisi dan Belajar  Kognitif Anak
2.5.1 Hubungan Karakteristik Individu dengan Terpaan Media Televisi
Testiandini 2006 menyatakan perbedaan pola dan pengaruh menonton televisi
berdasarkan  perbedaan  karakteristrik  individu.    Perbedaan  pola  dan  pengaruh menonton televisi berdasarkan karakteristik individu adalah sebagai berikut.
1. Jenis kelamin Kuswanto  1993  dalam  Testiandini  2006,  responden  laki-laki  menunjukkan
motivasi  yang  rendah  untuk  memenuhi  kebutuhan  kognitifnya  dari  menonton televisi.  Sebaliknya  responden  wanita  menunjukkan  motivasi  yang  sangat  tinggi
untuk  memenuhi  kebutuhan  kognitif  dari  menonton  televisi.  Riana  1995  dan
Purwanto  1998    dalam  Testiandini  2006  menyatakan  bahwa  laki-laki  lebih menyukai menonton televisi seperti kuis, acara olahraga dan film aksi, sedangkan
perempuan lebih menyukai menonton sinetron, telenovela, infortainment. 2. Usia
Hasil penelitian Kuswanto 1993 dalam Testiandini 2006, menunjukkan bahwa terdapat  hubungan  yang  cukup  berarti  antara  karakteristik  individu  responden
dengan motivasi menonton televisi untuk memenuhi kebutuhan kognitif. Semakin rendah  usia  responden  maka  semakin  semakin  rendah  pula  motivasi  menonton
televisi  untuk  memenuhi  kebutuhan  kognitif.  Sejalan  dengan  Kuswanto,  hasil penelitian  Bajari  1995    dalam  Testiandini  2006,  juga  menunjukkan  bahwa
semakin  tua  usia  ternyata  responden  semakin  lebih  banyak  mencurahkan  waktu untuk melakukan kontak dengan media massa.
3. Uang saku Hasil  penelitian  Kuswanto  1993  dalam  Testiandini  2006
menunjukkan  bahwa semakin  rendah  tingkat  ekonomi    ternyata  tingkat  motivasi  untuk  memenuhi
kebutuhan  kognitif  dari  belajar  akan  berkurang.  Namun  hal  berbeda  disampaikan oleh Bajari 1995 dalam Testiandini 2006. Bajjari menunjukkan bahwa semakin
tinggi  penghasilan  ternyata  semakin  menyisihkan  televisi  karena  kesenangan  non media yang lebih luas.
4. Tipe kepribadian. Tipe kepribadian mempengaruhi selera dalam memilih suatu jenis acara. Selain itu
tipe  kepribadian  diperkirakan  juga  akan  mempengaruhi  respons  dan  efek  yang akan dirasakan setelah mengakses media massa Testiandini 2006
5. Pendidikan Hasil  penelitian  Bajari  1995  dalam  Testiandini  2006,  menunjukkan  bahwa
pendidikan  dan  tanggung  jawab  pekerja  professional    yang  lebih  tinggi  dapat mengakibatkan  pilihan  acara  yang  berbeda.  Selain  itu  disebutkan  pula  bahwa
semakin  tinggi  pendididkan  responden  maka  kebutuhan  untuk  memperoleh informasi dari televisi juga semakin besar.
6. Waktu luang Waktu  luang  orang  yang  pekerjaannya  banyak  bisa  diduga  cenderung  akan
menggunakan  waktu  kosongnya  untuk  beristirahat  daripada  menonton  televisi. Sedangkan  orang  yang  waktu  kerjanya  lebih  sedikit  mungkin  lebih  banyak
meluangkan waktunya untuk menonton televisi Testiandini 2006
2.5.2 Hubungan Lingkungan Sosial dengan Terpaan Media Televisi pada Anak
Lingkungan  sosial  seperti  lingkungan  keluarga  dan  teman-teman  memiliki hubungan  nyata  dengan  terpaan  media  televisi  pada  anak.  Ketika  menonton  televisi,
biasanya anak didampingi oleh orang tua atau keluarga. Maka dapat dikatakan bahwa semakin  sering  suatu  keluarga  menonton  televisi  maka  semakin  sering  pula  anak
menonton  televisi  dan  sebaliknya  semakin  jarang  suatu  keluarga  menonton  televisi, maka semakin jarang pula seorang anak menonton televisi. Selain itu orang tua juga
berperan dalam mengawasi anaknya dalam menonton televisi Testiandini 2006. Tasmin  2002  menyatakan  bahwa  perilaku  orang  tua  dalam  mengawasi  pola
menonton televisi pada anaknya antara lain, yaitu: 1. Mendampingi anak ketika menonton televisi dan memberi penjelasan.
Hal  pertama  yang  sebaiknya  dilakukan  adalah  memberi  pengertian  dan mendampingi  anak  ketika  menonton  televisi.  Jika  anak  bertanya  jawablah
pertanyaan  tersebut  dengan  rinci  dan  sesuai  dengan  perkembangan  anak.  Banyak hal yang belum diketahui oleh seorang anak, oleh karena itu kalau tidak ada yang
memberi  tahu  ia  akan  mencari  sendiri  dengan  mencoba-coba  dan  meniru  dari orang  dewasa.  Apakah  hasil  percobaan  maupun  peniruannya  salah  atau  benar,
anak mungkin tidak tahu. Di sini tugas orang tua untuk selalu memberi pengertian kepada  anak,  secara  konsisten.  Kebingungan  anak  karena  standar  ganda  yang
diterapkan orang tua juga bisa teratasi kalau orang tua memberi penjelasan kepada anak.
2. Bersama dengan anak membuat jadwal kegiatan. Anak juga perlu diajarkan bahwa ada waktu tersendiri untuk setiap kegiatan. Atur
waktu  yang  jelas  kapan  menonton  televisi,  kapan  belajar  dan  kapan  bermain.
Walaupun  anak  sudah  relaks  dengan  menonton  televisi,  anak  tetap  butuh  waktu untuk bermain. Televisi mengkondisikan anak menjadi pasif, hanya menerima dan
menyerap  informasi  dengan  posisi  tubuh  yang  juga  pasif.  Oleh  karenanya  anak tetap  butuh  waktu  untuk  bermain  terutama  bermain  dengan  anak  lain  supaya
mereka tetap aktif dan mampu bersosialisasi. 3. Menyeleksi program tayangan televisi yang cocok untuk anak.
Jika  tidak  sempat  mendampingi  anak.  Orang  tua  sebaiknya  menyeleksi  tayangan televisi  mana  yang  cocok  untuk  anak.  Sebelum  anak  diizinkan  untuk  menonton
program tersebut, orang tua telah mengetahui apakah program tersebut cocok atau tidak untuk anak.
4. Membangun kerjasama dengan seluruh anggota keluarga. Bangunlah  kerjasama  dengan  seluruh  anggota  keluarga,  karena  kerjasama  dari
seluruh anggota keluarga termasuk pengasuh sangat diperlukan. Pastikan bahwa seluruh  keluarga  memiliki  pengertian  yang  sama  mengenai  anak  dan  masalah
televisi tersebut. 5.  Konsistensi dalam bertindak.
Orang tua atau pengasuh selalu bertindak secara  konsisten dan tidak bosan-bosan dalam memberikan pengertian kepada anak, sehingga anak tahu dengan jelas mana
yang boleh mana yang tidak, mana yang baik mana yang buruk. Kurniasih 2006 menyatakan bahwa lingkungan sosial yang juga berhubungan
nyata  dengan  perilaku  menonton  televisi  adalah  lingkungan  teman.  Lingkungan teman  dapat  menyebabkan  seseorang  untuk  tertarik  menonton  tayangan  tertentu,
dimana  teman  sering  menonton,  mengajak  dan  menceritakan  kembali  jalan  cerita tayangan tersebut.
2.5.3 Hubungan Faktor Psikologi dengan Belajar Kognitif pada Anak
Syah  2003  menyatakan  bahwa  karakteristik  individu  yang  mempengaruhi perilaku belajar anak meliputi dua aspek yaitu:
1. Aspek  Fisiologi Kondisi  umum  jasmani  dan  tonus  tegangan  otot  yang  menandai  tingkat
kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya, dapat mempengaruhi semangat dan  intensitas  siswa  dalam  mengikuti  pelajaran.  Kondisi  organ  yang  lemah,
apalagi jika disertai pusing kepala berat misalnya dapat menurunkan kualitas ranah cipta  kognitif  sehingga  materi  yang  dipelajarinya  pun  kurang  atau  tidak
berbekas. 2. Aspek Psikologi
Banyak  faktor  yang  termasuk  aspek  psikologi  yang  dianggap  mempengaruhi perilaku belajar, namun faktor –faktor yang dianggap lebih esensial adalah:
a. Intelegensi siswa Intelegensi  pada  umumnya  dapat  diartikan  sebagai  kemampuan  psiko-fisik
untuk mereaksi rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara  yang  tepat.  Tingkat  kecerdasan  atau  intelegensi  siswa  tidak  dapat
diragukan  lagi  sangat  menentukan  tingkat  keberhasilan  belajar  siswa.  Ini bermakna, semakin tinggi kemampuan intelegensi seorang siswa maka semakin
besar peluangnya untuk meraih sukses. b. Sikap siswa
Sikap  adalah  gejala  internal  yang  berdimensi  afeksi  berupa  kecenderungan untuk  mereaksi  atau  merespons  dengan  cara  yang  relatif  tetap  terhadap  objek
orang,  barang,  dan  sebagainya,  baik  secara  positif  maupun  negatif.  Sikap positif,  terutama  terhadap  mata  pelajaran  merupakan  awal  yang  baik  bagi
proses belajar siswa tersebut. c. Bakat siswa
Dalam  perkembangannya,  bakat  diartikan  sebagai  kemampuan  individu  untuk melakukan tugas tertentu tanpa banyak bergantung pada upaya pendidikan dan
latihan.  Sehingga  dapat  dikatakan  bahwa,  bakat  dapat  mempengaruhi  tinggi- rendahnya  prestasi  belajar  bidang-bidang  tertentu.  Pemaksaan  kehendak
terhadap  siswa  dan  ketidaksadaran  siswa  terhadap  bakatnya  sendiri  sehingga
memilih  jurusan  keahlian  tertentu  yang  sebenarnya  tidak  sesuai  dengan bakatnya, akan berpengaruh buruk terhadap kinerja akademik.
d. Minat siswa Secara  sederhana,  minat  berarti  kecenderungan  dan  gairah  yang  tinggi  atau
keinginan  yang  besar  terhadap  sesuatu.  Minat  dapat  mempengaruhi  kualitas pencapaian  hasil  belajar  dalam  bidang-bidang  studi  tertentu.  Seorang  siswa
yang  berminat  terhadap  bidang  studi  tertentu,  akan  memusatkan  perhatiannya lebih  banyak  daripada  siswa  lainnya.  Kemudian  pemusatan  perhatian  yang
insentif inilah yang memungkinkan siswa untuk belajar lebih giat dan akhirnya mencapai prestasi yang diinginkan.
e. Motivasi siswa Dalam perkembangannya, motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu:
1 motivasi intrinsik dan 2 motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah hal dan  keadaan  yang  berasal  dari  diri  siswa  sendiri  yang  dapat  mendorongnya
melakukan  tindakan  belajar.  Contohnya  perasaan  menyenangi  pelajaran  dan kebutuhannya  terhadap  materi  tersebut.  Sedangkan  motivasi  ekstrinsik  adalah
hal  dan  keadaan  yang  datang  dari  luar  individu  siswa  yang  juga  dapat mendorong untuk melakukan tindakan belajar.
Perspektif psikologi kognitif menyatakan bahwa motivasi yang lebih signifikan bagi  siswa  adalah  motivasi  intrinsik  karena  lebih  murni  dan  langgeng  serta  tidak
bergantung pada dorongan atau pengaruh orang lain. Selanjutnya, dorongan mencapai prestasi  dan  dorongan  memiliki  pengetahuan  dan  keterampilan  untuk  masa  depan
juga  memberi  pengaruh  kuat  dan  relatif  lebih  langgeng  dibanding  dengan  dorongan hadiah atau dorongan keharusan dari orangtua dan guru.
2.5.4 Hubungan Lingkungan Sosial dengan Belajar Kognitif  pada Anak
Lingkungan  yang  lebih  banyak  mempengaruhi  kegiatan  belajar  adalah  orang tua dan keluarga siswa itu sendiri. Sifat-sifat orang tua, praktek pengolahan keluarga,
ketegangan  keluarga  dan  demografi  keluarga  letak  rumah  semuanya  dapat mempengaruhi kegiatan belajar dan hasil belajar siswa.
Syah  2003  menyatakan  bahwa  lingkungan  sosial  sekolah  seperti  para  guru, para  staf  administrasi  dan  teman-teman  sekelas  dapat  mempengaruhi  semangat
belajar  siswa.  Para  guru  yang  selalu  menunjukkan  sikap  dan  perilaku  yang  simpatik dan  memperlihatkan  suri-teladan  yang  baik  dan  rajin  khususnya  dalam  hal  belajar,
misalnya rajin membaca dan berdiskusi, dapat menjadi daya dorong yang positif bagi kegiatan belajar siswa.
Lingkungan  sosial  siswa  yang  mempengaruhi  belajar  kognitif  meliputi masyarakat  dan  tetangga  serta  teman-teman  sepermainan  di  sekitar  perkampungan
siswa tersebut. Kondisi masyarakat kumuh yang serba kekurangan dan sebagian besar adalah  anak  pengangguran  misalnya,  akan  sangat  mempengaruhi  aktivitas  belajar
siswa.  Paling  tidak,  siswa  tersebut  akan  menemukan  kesulitan  ketika  memerlukan teman belajar dan berdiskusi atau meminjam alat-alat belajar tertentu yang kebetulan
belum dimilikinya.
2.6 Hubungan  Terpaan Media Televisi dengan Perilaku Belajar Kognitif Anak
Efek kognitif komunikasi masa menurut Robert 2003 dalam Kurniasih 2006 yaitu  komunikasi  masa  secara  tidak  langsung  menimbulkan  perilaku  tertentu  tetapi
cenderung  mempengaruhi  cara  kita  mengorganisasikan citra  kita  tentang  lingkungan dan  citra.  Inilah  yang  mempengaruhi  cara  kita  berperilaku.  Media  massa  bekerja
untuk menyampaikan
informasi dan
informasi itu
dapat membentuk,
mempertahankan atau meredefinisikan citra. Media menampilkan realitas yang sudah diseleksi  realitas  tangan  kedua,  misalnya  televisi  memilih  tokoh-tokoh  tertentu
untuk  ditampilkan  dan  mengesampingkan  tokoh  lain  dan  karena  seseorang  tidak dapat dan tidak sempat mengecek peristiwa-peristiwa yang disajikan media sehingga
cenderung  menerima  informasi  itu  hanya  berdasarkan  pada  apa  yang  dilaporkan media.  Akhirnya  seseorang  membentuk  citra  tentang  lingkungan  sosial  seseorang
berdasarkan realitas kedua yang ditampilkan media massa. Isnaini  2006  menyatakan  bahwa  selama  ini,  usaha  untuk  menjadikan  televisi
sebagai  media  pembelajar,  masih  berporos  pada  bagaimana  cara  program  televisi sebagai  media  penyampai    pesan  belajar  melalui  program-program  pendidikan  di
televisi,  seperti  ide  awal  munculnya  Televisi  Pendidikan  Indonesia  TPI  dan beberapa  program  Aku  Cinta  Indonesia  ACI,  Cerdas-cermat  dan  Televisi-edukasi
yang  yang  diluncurkan  Pusat  Teknologi  dan  Komunikasi  Pustekkom  tahun  2004 dan direlai di seluruh kabupaten di Indonesia tahun 2006. Lebih lanjut Isnaini 2006
menyatakan  bahwa  semua  program  televisi  sebenarnya  memiliki  nilai  edukasi  yang dapat  digali  dan  diintegrasikan  dalam  rangka  membangun  karakter  siswa  ataupun
individu.  Dengan  menggunakan  teori  belajar  “penguatan  positif”  dan  “penguatan negatif”  dapat  digunakan  untuk  membuat  stategi  pembelajaran  yang  diminati  oleh
siswa. Isnaini 2006 menyatakan bahwa televisi dapat membawa dampak buruk pada
anak-anak, salah satunya televisi dapat mengurangi semangat belajar. Bahasa televisi yang  simpel,  memikat  dan  membuat  ketagihan  sangat  mungkin  membuat  anak
menjadi malas belajar. Hal ini berikutnya akan membentuk pola pikir yang sederhana pada anak. Terlalu sering menonton televisi dan malas membaca menyebabkan anak
memiliki pola pikir sederhana, tidak kritis, linier atau searah yang pada akhirnya akan mempengaruhi  imajinasi  intelektual,  kreativitas  dan  perkembangan  kognitifnya.
Televisi  juga  dapat  mengurangi  konsentrasi  anak,  rentang  waktu  konsentrasi  anak hanya  sekitar  tujuh  menit,  persis  seperti  acara  dari  iklan  ke  iklan.  Hal  ini  dapat
membatasi daya konsentrasi anak. Melihat  realita  di  atas,  maka  guru  dan  orang  tua  harus  berinisiatif  untuk
membangun  karakter  anak  dengan  memanfaatkan,  dan  menjadikan  televisi  sebagai mitra  dalam  pembelajaran.  Guru  dan  orang  tua  harus  secara  aktif  mendesain  sistem
dan  strategi  untuk  menjadikan  tayangan  televisi  sebagai  pembelajaran  bahkan mendesak  untuk  memasukan  program  ini  dalam  mata  pelajaran  yang  berlaku  secara
nasional. Sadiman  1984  menyatakan  salah  satu  strategi  yang  dapat  digunakan  untuk
mengajak  pembelajar  untuk  mengemukakan  pengalamannya  menonton  televisi misalnya:  1  Apa  program  tayangan  yang  ditonton?  2  Kesimpulan  apa  yang  dapat
diambil? 3 Hikmah apa yang dapat disarikan? 4 Apakah pernah mengalami hal yang sama  mirip  dengan  yang  ditayangkan?  dan  5  Pendapat  pembelajar  terhadap
tayangan.  Selanjutnya  guru  orang  tua  dapat  mengajak  pembelajar  untuk  berdiskusi mengenai  tayangan  yang  ditontonnya  dengan  harapan  diskusi  dapat  meningkatkan
daya  apresiasinya.  Hal  ini  sangat  efektif  dilakukan  jika  dikaitkan  dengan  mata pelajaran  tertentu  yang  kental  dengan  nuansa  nilai  seperti  PPKN  dan  Pendidikan
Agama. Menurut  Sadiman  1984  kelebihan-kelebihan  televisi  sebagai  media
pendidikan antara lain adalah sebagai berikut. 1.  Televisi  dapat  menerima,  menggunakan  dan  mengubah  atau  membatasi  semua
bentuk media lain, menyesuaikan dengan tujuan. 2.  Televisi merupakan medium yang menarik, modern dan selalu siap diterima oleh
anak-anak  karena  mereka  mengenalkannya  sebagai  bagian  dari  kehidupan  luar sekolah mereka.
3.  Televisi dapat memikat perhatian sepenuhnya dari penonton. Seperti halnya film, televisi menyajikan informasi visual dan lisan secara simultan.
4.  Televisi memiliki realitas dari film, tapi juga memiliki kelebihan yang lain yaitu immediancy
objek  yang  baru  saja  ditangkap  kamera  dapat  segera dipertontonkan.
5.  Sifatnya langsung dan nyata. Dengan televisi anak dapat tahu kejadian-kejadian mutakhir, mereka dapat mengadakan kontak dengan orang-orang besar  tertentu
dalam bidangnya, melihat dan mendengarkan mereka berbicara. Kelebihan-kelebihan
televisi tersebut
akan membuat
program yang
menyampaikan  hal-hal  mengenai    pendidikan  akan  mudah  diterima  oleh  anak-anak sehingga pada akhirnya akan menambah pengetahuan anak tersebut. Guru dan orang
tua  harus  secara  aktif  mendesain  sistem  dan  strategi  untuk  menjadikan  tayangan televisi sebagai pembelajaran bahkan mendesak untuk memasukan program ini dalam
mata  pelajaran  yang  berlaku  secara  nasional.  Salah  satunya  dengan    mengajak pembelajar untuk mengemukakan pengalamannya menonton televisi
Televisi  dapat  pula  membawa  dampak  buruk  pada  kegiatan  belajar  kognitif anak-anak, salah satunya televisi dapat mengurangi semangat belajar. Bahasa televisi
yang  simpel,  memikat  dan  membuat  ketagihan  selain  dapat  mendukung  perilaku
belajar  kognitif  anak  ternyata  juga  sangat  mungkin  membuat  anak  menjadi  malas belajar.  Anak-anak  menjadi  malas  membaca  sehingga  menyebabkan  anak  memiliki
pola  pikir  sederhana,  tidak  kritis,  linier  atau  searah  yang  pada  akhirnya  akan mempengaruhi imajinasi intelektual, kreativitas dan perkembangan kognitifnya.
Selain  itu  banyaknya  program  yang  tidak  cocok  dengan  usia  anak-anak menyebabkan tambahan pengetahuan yang diperoleh anak dapat dikatakan tidak baik
tidak  cocok  untuk  anak  tersebut  sehingga  nanti  akan  berpengaruh  pada kepercayaankeyakinan  anak  tersebut  yang  pada  akhirnya  akan  mempengaruhi  sikap
anak. Adapun  keterkaitan  antara  variabel-variabel  tersebut,  tersaji  dalam  kerangka
pemikiran di bawah ini.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Gambar  1  di  atas  menjelaskan  bahwa  karakteristik  individu  seperti  usia,  uang saku  dan  waktu  luang  mempengaruhi  terpaan  media  televisi  pada  anak  SD.  Selain
Lingkungan Sosial:
• Sekolah
guru, teman sekolah
• Tetangga
dan teman
sepermainan •
Keluarga
Karakteristik individu:
• Usia
• Uang saku
• Waktu luang
Terpaan Media
Televisi:
• frekuensi penggunaan
• durasi penggunaan
• pilihan pesan
Belajar Kognitif:
• penguasan materi
• tambahan pengetahuan
Faktor Psikologi:
• Sikap
•
Bakat •
Minat •  Motivasi
karakteristik  individu,  lingkungan  sosial  seperti  sekolah  guru  dan  teman  sekolah, tetangga  dan  teman  sepermainan  serta  keluarga  juga  tidak  dapat  dilepaskan
hubungannya dengan terpaan media televisi pada anak SD. Faktor  psikologi  dan  lingkungan  sosial  juga  ikut  serta  mempengaruhi  perilaku
belajar  kognitif.  Faktor  psikologi  yang  mempengaruhi  belajar  kognitif  adalah  aspek yang  meliputi  sikap,  bakat,  minat  dan  motivasi. Dilihat  dari  lingkungan  sosial,  yang
dapat  digolongkan  menjadi  hal  yang  mempengaruhi  perilaku  belajar  kognitif  adalah lingkungan sekolah guru dan teman sekolah, tetangga dan teman sepermainan, serta
keluarga. Terpaan media sendiri akan mempengaruhi perilaku belajar kognitif pada anak.
Terpaan media pada anak dapat dilihat dari frekuensi dan durasi anak menggunakan televisi  dalam  sehari  sedangkan  pengaruh  dengan  perilaku  belajar  dapat  dilihat  dari
aspek banyaknya materi yang didapat dan tambahan pengetahuan yang diperoleh. Berdasarkan kerangka pemikiran dapat disusun hipotesis sebagai berikut:
H
1=
Terdapat hubungan signifikan antara karakteristik individu dan terpaan media pada anak.
H
2=
Terdapat hubungan signifikan antara lingkungan sosial dan terpaan media pada anak.
H
3=
Terdapat hubungan signifikan antara faktor psikologi dan perilaku belajar kognitif pada anak.
H
4=
Terdapat hubungan signifikan antara lingkungan sosial dan perilaku belajar kognitif pada anak.
H
5=
Terdapat hubungan signifikan antara terpaan media televisi dan perilaku belajar kognitif pada anak.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian  dilaksanakan  di  Sekolah  Dasar  Negeri  SDN  04  Kelurahan Dramaga,  Kabupaten  Bogor,  Provinsi  Jawa  Barat.  Pemilihan  lokasi  tersebut
dilakukan dengan cara sengaja purposive berdasarkan pertimbangan bahwa SDN 04 Dramaga  merupakan  salah  satu  Sekolah  Dasar  yang  ada  di  daerah  lingkar  kampus.
Waktu  pelaksanaan  penelitian  ini  dilakukan  selama  tiga  bulan  yaitu  Juli  sampai September 2009.
3.2 Penetapan Populasi dan Responden Penelitian
Populasi  yang  diambil  adalah    siswa  Sekolah  Dasar  Negeri  SDN  04 Kelurahan  Dramaga,  Kabupaten  Bogor,  Provinsi  Jawa  Barat.  Populasi  total  dalam
penelitian  berjumlah  665  orang  dengan  346  orang  sebagai  populasi  sasaran sedangkan  jumlah  responden  yang  diambil  sebanyak  70  orang.  Teknik  yang
digunakan  untuk  memilih  responden  adalah  Stratified  Random  Sampling.  Pemilihan kelas  ini  mempertimbangkan  bahwa  anak  pada  tingkatan  kelas  tersebut  anak  telah
memiliki  kemampuan  membaca  dan  menulis  yang  baik  sehingga  lebih  mampu memahami pertanyaan pernyataan. Selain itu, anak pada tingkat kelas tersebut lebih
dapat menyatakan keinginan atau pendapatnya sehingga dapat menjawab pertanyaan pernyataan yang diajukan. Kemudian setiap kelas diambil masing-masing 20 persen.
Dari  enam  kelas  yang  ada  dipilih  kelas  IV,  V  dan  VI.  Setelah  pemilihan  kelas kemudian diambil masing-masing 20 persen dari siswa kelas tersebut.