Belajar pada Anak Hubungan Terpaan Media Televisi dengan Perilaku Belajar Kognitif Anak

2.3. Belajar pada Anak

Biggs 1991 dalam Syah 2003 mendefinisikan belajar dalam tiga macam rumusan yaitu: rumusan kuantitatif, rumusan institusional, dan rumusan kualitatif. Secara kuantitatif ditinjau dari sudut jumlah, belajar berarti kegiatan pengisian atau pengembangan kemampuan kognitif dengan fakta sebanyak-banyaknya. Jadi belajar dalam hal ini dipandang dari sudut berapa banyak materi yang dikuasai siswa. Syah 2003 menyebutkan secara kuantitatif tinjauan kelembagaan, belajar dipandang sebagai proses validitas pengabsahan terhadap penguasaan siswa atas materi-materi yang telah ia pelajari. Ukurannya ialah semakin baik mutu mengajar yang dilakukan guru maka akan semakin baik pula mutu perolehan siswa yang kemudian dinyatakan dalam bentuk skor atau nilai. Adapun pengertian belajar secara kualitatif tinjauan mutu adalah proses memperoleh arti-arti dan pemahaman-pemahaman serta cara-cara menafsirkan dunia di sekeliling siswa. Belajar dalam pengertian ini difokuskan pada tercapainya daya pikir dan tindakan yang berkualitas untuk memecahkan masalah-masalah yang kini dan nanti dihadapi siswa Syah, 2003

2.4 Belajar Kognitif pada Anak

Istilah cognitive berasal dari kata cognition berarti mengetahui. Dalam arti yang luas, cognition kognisi ialah perolehan, penataan dan penggunaan pengetahuan Neisser dalam Syah, 2003. Dalam perkembangan selajutnya, istilah kognitif menjadi popular sebagai salah satu domain atau wilayah ranah psikologi manusia yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan dan keyakinan. Menurut Syah 2003 ada dua macam kecakapan kognitif siswa yang perlu dikembangkan segera, khususnya oleh guru yaitu: 1. Strategi belajar memahami isi materi pelajaran. 2. Strategi meyakinkan arti penting isi materi pelajaran dan aplikasi serta menyerap pesan-pesan moral yang terkandung dalam materi pelajaran tersebut. Menurut Syah 2003, belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan. Syah 2003 menyatakan implikasi teori perkembangan kognitif dalam pembelajaran adalah: a. Bahasa dan cara berpikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berpikir anak. b. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya. c. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing. d. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya. e. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temannya. 2.5 Hubungan Karakteristik Individu, Faktor Psikologi dan Lingkungan Sosial dengan Terpaan Media Televisi dan Belajar Kognitif Anak

2.5.1 Hubungan Karakteristik Individu dengan Terpaan Media Televisi

Testiandini 2006 menyatakan perbedaan pola dan pengaruh menonton televisi berdasarkan perbedaan karakteristrik individu. Perbedaan pola dan pengaruh menonton televisi berdasarkan karakteristik individu adalah sebagai berikut. 1. Jenis kelamin Kuswanto 1993 dalam Testiandini 2006, responden laki-laki menunjukkan motivasi yang rendah untuk memenuhi kebutuhan kognitifnya dari menonton televisi. Sebaliknya responden wanita menunjukkan motivasi yang sangat tinggi untuk memenuhi kebutuhan kognitif dari menonton televisi. Riana 1995 dan Purwanto 1998 dalam Testiandini 2006 menyatakan bahwa laki-laki lebih menyukai menonton televisi seperti kuis, acara olahraga dan film aksi, sedangkan perempuan lebih menyukai menonton sinetron, telenovela, infortainment. 2. Usia Hasil penelitian Kuswanto 1993 dalam Testiandini 2006, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang cukup berarti antara karakteristik individu responden dengan motivasi menonton televisi untuk memenuhi kebutuhan kognitif. Semakin rendah usia responden maka semakin semakin rendah pula motivasi menonton televisi untuk memenuhi kebutuhan kognitif. Sejalan dengan Kuswanto, hasil penelitian Bajari 1995 dalam Testiandini 2006, juga menunjukkan bahwa semakin tua usia ternyata responden semakin lebih banyak mencurahkan waktu untuk melakukan kontak dengan media massa. 3. Uang saku Hasil penelitian Kuswanto 1993 dalam Testiandini 2006 menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat ekonomi ternyata tingkat motivasi untuk memenuhi kebutuhan kognitif dari belajar akan berkurang. Namun hal berbeda disampaikan oleh Bajari 1995 dalam Testiandini 2006. Bajjari menunjukkan bahwa semakin tinggi penghasilan ternyata semakin menyisihkan televisi karena kesenangan non media yang lebih luas. 4. Tipe kepribadian. Tipe kepribadian mempengaruhi selera dalam memilih suatu jenis acara. Selain itu tipe kepribadian diperkirakan juga akan mempengaruhi respons dan efek yang akan dirasakan setelah mengakses media massa Testiandini 2006 5. Pendidikan Hasil penelitian Bajari 1995 dalam Testiandini 2006, menunjukkan bahwa pendidikan dan tanggung jawab pekerja professional yang lebih tinggi dapat mengakibatkan pilihan acara yang berbeda. Selain itu disebutkan pula bahwa semakin tinggi pendididkan responden maka kebutuhan untuk memperoleh informasi dari televisi juga semakin besar. 6. Waktu luang Waktu luang orang yang pekerjaannya banyak bisa diduga cenderung akan menggunakan waktu kosongnya untuk beristirahat daripada menonton televisi. Sedangkan orang yang waktu kerjanya lebih sedikit mungkin lebih banyak meluangkan waktunya untuk menonton televisi Testiandini 2006

2.5.2 Hubungan Lingkungan Sosial dengan Terpaan Media Televisi pada Anak

Lingkungan sosial seperti lingkungan keluarga dan teman-teman memiliki hubungan nyata dengan terpaan media televisi pada anak. Ketika menonton televisi, biasanya anak didampingi oleh orang tua atau keluarga. Maka dapat dikatakan bahwa semakin sering suatu keluarga menonton televisi maka semakin sering pula anak menonton televisi dan sebaliknya semakin jarang suatu keluarga menonton televisi, maka semakin jarang pula seorang anak menonton televisi. Selain itu orang tua juga berperan dalam mengawasi anaknya dalam menonton televisi Testiandini 2006. Tasmin 2002 menyatakan bahwa perilaku orang tua dalam mengawasi pola menonton televisi pada anaknya antara lain, yaitu: 1. Mendampingi anak ketika menonton televisi dan memberi penjelasan. Hal pertama yang sebaiknya dilakukan adalah memberi pengertian dan mendampingi anak ketika menonton televisi. Jika anak bertanya jawablah pertanyaan tersebut dengan rinci dan sesuai dengan perkembangan anak. Banyak hal yang belum diketahui oleh seorang anak, oleh karena itu kalau tidak ada yang memberi tahu ia akan mencari sendiri dengan mencoba-coba dan meniru dari orang dewasa. Apakah hasil percobaan maupun peniruannya salah atau benar, anak mungkin tidak tahu. Di sini tugas orang tua untuk selalu memberi pengertian kepada anak, secara konsisten. Kebingungan anak karena standar ganda yang diterapkan orang tua juga bisa teratasi kalau orang tua memberi penjelasan kepada anak. 2. Bersama dengan anak membuat jadwal kegiatan. Anak juga perlu diajarkan bahwa ada waktu tersendiri untuk setiap kegiatan. Atur waktu yang jelas kapan menonton televisi, kapan belajar dan kapan bermain. Walaupun anak sudah relaks dengan menonton televisi, anak tetap butuh waktu untuk bermain. Televisi mengkondisikan anak menjadi pasif, hanya menerima dan menyerap informasi dengan posisi tubuh yang juga pasif. Oleh karenanya anak tetap butuh waktu untuk bermain terutama bermain dengan anak lain supaya mereka tetap aktif dan mampu bersosialisasi. 3. Menyeleksi program tayangan televisi yang cocok untuk anak. Jika tidak sempat mendampingi anak. Orang tua sebaiknya menyeleksi tayangan televisi mana yang cocok untuk anak. Sebelum anak diizinkan untuk menonton program tersebut, orang tua telah mengetahui apakah program tersebut cocok atau tidak untuk anak. 4. Membangun kerjasama dengan seluruh anggota keluarga. Bangunlah kerjasama dengan seluruh anggota keluarga, karena kerjasama dari seluruh anggota keluarga termasuk pengasuh sangat diperlukan. Pastikan bahwa seluruh keluarga memiliki pengertian yang sama mengenai anak dan masalah televisi tersebut. 5. Konsistensi dalam bertindak. Orang tua atau pengasuh selalu bertindak secara konsisten dan tidak bosan-bosan dalam memberikan pengertian kepada anak, sehingga anak tahu dengan jelas mana yang boleh mana yang tidak, mana yang baik mana yang buruk. Kurniasih 2006 menyatakan bahwa lingkungan sosial yang juga berhubungan nyata dengan perilaku menonton televisi adalah lingkungan teman. Lingkungan teman dapat menyebabkan seseorang untuk tertarik menonton tayangan tertentu, dimana teman sering menonton, mengajak dan menceritakan kembali jalan cerita tayangan tersebut.

2.5.3 Hubungan Faktor Psikologi dengan Belajar Kognitif pada Anak

Syah 2003 menyatakan bahwa karakteristik individu yang mempengaruhi perilaku belajar anak meliputi dua aspek yaitu: 1. Aspek Fisiologi Kondisi umum jasmani dan tonus tegangan otot yang menandai tingkat kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya, dapat mempengaruhi semangat dan intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran. Kondisi organ yang lemah, apalagi jika disertai pusing kepala berat misalnya dapat menurunkan kualitas ranah cipta kognitif sehingga materi yang dipelajarinya pun kurang atau tidak berbekas. 2. Aspek Psikologi Banyak faktor yang termasuk aspek psikologi yang dianggap mempengaruhi perilaku belajar, namun faktor –faktor yang dianggap lebih esensial adalah: a. Intelegensi siswa Intelegensi pada umumnya dapat diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik untuk mereaksi rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara yang tepat. Tingkat kecerdasan atau intelegensi siswa tidak dapat diragukan lagi sangat menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa. Ini bermakna, semakin tinggi kemampuan intelegensi seorang siswa maka semakin besar peluangnya untuk meraih sukses. b. Sikap siswa Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afeksi berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespons dengan cara yang relatif tetap terhadap objek orang, barang, dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif. Sikap positif, terutama terhadap mata pelajaran merupakan awal yang baik bagi proses belajar siswa tersebut. c. Bakat siswa Dalam perkembangannya, bakat diartikan sebagai kemampuan individu untuk melakukan tugas tertentu tanpa banyak bergantung pada upaya pendidikan dan latihan. Sehingga dapat dikatakan bahwa, bakat dapat mempengaruhi tinggi- rendahnya prestasi belajar bidang-bidang tertentu. Pemaksaan kehendak terhadap siswa dan ketidaksadaran siswa terhadap bakatnya sendiri sehingga memilih jurusan keahlian tertentu yang sebenarnya tidak sesuai dengan bakatnya, akan berpengaruh buruk terhadap kinerja akademik. d. Minat siswa Secara sederhana, minat berarti kecenderungan dan gairah yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Minat dapat mempengaruhi kualitas pencapaian hasil belajar dalam bidang-bidang studi tertentu. Seorang siswa yang berminat terhadap bidang studi tertentu, akan memusatkan perhatiannya lebih banyak daripada siswa lainnya. Kemudian pemusatan perhatian yang insentif inilah yang memungkinkan siswa untuk belajar lebih giat dan akhirnya mencapai prestasi yang diinginkan. e. Motivasi siswa Dalam perkembangannya, motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu: 1 motivasi intrinsik dan 2 motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah hal dan keadaan yang berasal dari diri siswa sendiri yang dapat mendorongnya melakukan tindakan belajar. Contohnya perasaan menyenangi pelajaran dan kebutuhannya terhadap materi tersebut. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah hal dan keadaan yang datang dari luar individu siswa yang juga dapat mendorong untuk melakukan tindakan belajar. Perspektif psikologi kognitif menyatakan bahwa motivasi yang lebih signifikan bagi siswa adalah motivasi intrinsik karena lebih murni dan langgeng serta tidak bergantung pada dorongan atau pengaruh orang lain. Selanjutnya, dorongan mencapai prestasi dan dorongan memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk masa depan juga memberi pengaruh kuat dan relatif lebih langgeng dibanding dengan dorongan hadiah atau dorongan keharusan dari orangtua dan guru.

2.5.4 Hubungan Lingkungan Sosial dengan Belajar Kognitif pada Anak

Lingkungan yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar adalah orang tua dan keluarga siswa itu sendiri. Sifat-sifat orang tua, praktek pengolahan keluarga, ketegangan keluarga dan demografi keluarga letak rumah semuanya dapat mempengaruhi kegiatan belajar dan hasil belajar siswa. Syah 2003 menyatakan bahwa lingkungan sosial sekolah seperti para guru, para staf administrasi dan teman-teman sekelas dapat mempengaruhi semangat belajar siswa. Para guru yang selalu menunjukkan sikap dan perilaku yang simpatik dan memperlihatkan suri-teladan yang baik dan rajin khususnya dalam hal belajar, misalnya rajin membaca dan berdiskusi, dapat menjadi daya dorong yang positif bagi kegiatan belajar siswa. Lingkungan sosial siswa yang mempengaruhi belajar kognitif meliputi masyarakat dan tetangga serta teman-teman sepermainan di sekitar perkampungan siswa tersebut. Kondisi masyarakat kumuh yang serba kekurangan dan sebagian besar adalah anak pengangguran misalnya, akan sangat mempengaruhi aktivitas belajar siswa. Paling tidak, siswa tersebut akan menemukan kesulitan ketika memerlukan teman belajar dan berdiskusi atau meminjam alat-alat belajar tertentu yang kebetulan belum dimilikinya.

2.6 Hubungan Terpaan Media Televisi dengan Perilaku Belajar Kognitif Anak

Efek kognitif komunikasi masa menurut Robert 2003 dalam Kurniasih 2006 yaitu komunikasi masa secara tidak langsung menimbulkan perilaku tertentu tetapi cenderung mempengaruhi cara kita mengorganisasikan citra kita tentang lingkungan dan citra. Inilah yang mempengaruhi cara kita berperilaku. Media massa bekerja untuk menyampaikan informasi dan informasi itu dapat membentuk, mempertahankan atau meredefinisikan citra. Media menampilkan realitas yang sudah diseleksi realitas tangan kedua, misalnya televisi memilih tokoh-tokoh tertentu untuk ditampilkan dan mengesampingkan tokoh lain dan karena seseorang tidak dapat dan tidak sempat mengecek peristiwa-peristiwa yang disajikan media sehingga cenderung menerima informasi itu hanya berdasarkan pada apa yang dilaporkan media. Akhirnya seseorang membentuk citra tentang lingkungan sosial seseorang berdasarkan realitas kedua yang ditampilkan media massa. Isnaini 2006 menyatakan bahwa selama ini, usaha untuk menjadikan televisi sebagai media pembelajar, masih berporos pada bagaimana cara program televisi sebagai media penyampai pesan belajar melalui program-program pendidikan di televisi, seperti ide awal munculnya Televisi Pendidikan Indonesia TPI dan beberapa program Aku Cinta Indonesia ACI, Cerdas-cermat dan Televisi-edukasi yang yang diluncurkan Pusat Teknologi dan Komunikasi Pustekkom tahun 2004 dan direlai di seluruh kabupaten di Indonesia tahun 2006. Lebih lanjut Isnaini 2006 menyatakan bahwa semua program televisi sebenarnya memiliki nilai edukasi yang dapat digali dan diintegrasikan dalam rangka membangun karakter siswa ataupun individu. Dengan menggunakan teori belajar “penguatan positif” dan “penguatan negatif” dapat digunakan untuk membuat stategi pembelajaran yang diminati oleh siswa. Isnaini 2006 menyatakan bahwa televisi dapat membawa dampak buruk pada anak-anak, salah satunya televisi dapat mengurangi semangat belajar. Bahasa televisi yang simpel, memikat dan membuat ketagihan sangat mungkin membuat anak menjadi malas belajar. Hal ini berikutnya akan membentuk pola pikir yang sederhana pada anak. Terlalu sering menonton televisi dan malas membaca menyebabkan anak memiliki pola pikir sederhana, tidak kritis, linier atau searah yang pada akhirnya akan mempengaruhi imajinasi intelektual, kreativitas dan perkembangan kognitifnya. Televisi juga dapat mengurangi konsentrasi anak, rentang waktu konsentrasi anak hanya sekitar tujuh menit, persis seperti acara dari iklan ke iklan. Hal ini dapat membatasi daya konsentrasi anak. Melihat realita di atas, maka guru dan orang tua harus berinisiatif untuk membangun karakter anak dengan memanfaatkan, dan menjadikan televisi sebagai mitra dalam pembelajaran. Guru dan orang tua harus secara aktif mendesain sistem dan strategi untuk menjadikan tayangan televisi sebagai pembelajaran bahkan mendesak untuk memasukan program ini dalam mata pelajaran yang berlaku secara nasional. Sadiman 1984 menyatakan salah satu strategi yang dapat digunakan untuk mengajak pembelajar untuk mengemukakan pengalamannya menonton televisi misalnya: 1 Apa program tayangan yang ditonton? 2 Kesimpulan apa yang dapat diambil? 3 Hikmah apa yang dapat disarikan? 4 Apakah pernah mengalami hal yang sama mirip dengan yang ditayangkan? dan 5 Pendapat pembelajar terhadap tayangan. Selanjutnya guru orang tua dapat mengajak pembelajar untuk berdiskusi mengenai tayangan yang ditontonnya dengan harapan diskusi dapat meningkatkan daya apresiasinya. Hal ini sangat efektif dilakukan jika dikaitkan dengan mata pelajaran tertentu yang kental dengan nuansa nilai seperti PPKN dan Pendidikan Agama. Menurut Sadiman 1984 kelebihan-kelebihan televisi sebagai media pendidikan antara lain adalah sebagai berikut. 1. Televisi dapat menerima, menggunakan dan mengubah atau membatasi semua bentuk media lain, menyesuaikan dengan tujuan. 2. Televisi merupakan medium yang menarik, modern dan selalu siap diterima oleh anak-anak karena mereka mengenalkannya sebagai bagian dari kehidupan luar sekolah mereka. 3. Televisi dapat memikat perhatian sepenuhnya dari penonton. Seperti halnya film, televisi menyajikan informasi visual dan lisan secara simultan. 4. Televisi memiliki realitas dari film, tapi juga memiliki kelebihan yang lain yaitu immediancy objek yang baru saja ditangkap kamera dapat segera dipertontonkan. 5. Sifatnya langsung dan nyata. Dengan televisi anak dapat tahu kejadian-kejadian mutakhir, mereka dapat mengadakan kontak dengan orang-orang besar tertentu dalam bidangnya, melihat dan mendengarkan mereka berbicara. Kelebihan-kelebihan televisi tersebut akan membuat program yang menyampaikan hal-hal mengenai pendidikan akan mudah diterima oleh anak-anak sehingga pada akhirnya akan menambah pengetahuan anak tersebut. Guru dan orang tua harus secara aktif mendesain sistem dan strategi untuk menjadikan tayangan televisi sebagai pembelajaran bahkan mendesak untuk memasukan program ini dalam mata pelajaran yang berlaku secara nasional. Salah satunya dengan mengajak pembelajar untuk mengemukakan pengalamannya menonton televisi Televisi dapat pula membawa dampak buruk pada kegiatan belajar kognitif anak-anak, salah satunya televisi dapat mengurangi semangat belajar. Bahasa televisi yang simpel, memikat dan membuat ketagihan selain dapat mendukung perilaku belajar kognitif anak ternyata juga sangat mungkin membuat anak menjadi malas belajar. Anak-anak menjadi malas membaca sehingga menyebabkan anak memiliki pola pikir sederhana, tidak kritis, linier atau searah yang pada akhirnya akan mempengaruhi imajinasi intelektual, kreativitas dan perkembangan kognitifnya. Selain itu banyaknya program yang tidak cocok dengan usia anak-anak menyebabkan tambahan pengetahuan yang diperoleh anak dapat dikatakan tidak baik tidak cocok untuk anak tersebut sehingga nanti akan berpengaruh pada kepercayaankeyakinan anak tersebut yang pada akhirnya akan mempengaruhi sikap anak. Adapun keterkaitan antara variabel-variabel tersebut, tersaji dalam kerangka pemikiran di bawah ini. Gambar 1. Kerangka Pemikiran Gambar 1 di atas menjelaskan bahwa karakteristik individu seperti usia, uang saku dan waktu luang mempengaruhi terpaan media televisi pada anak SD. Selain Lingkungan Sosial: • Sekolah guru, teman sekolah • Tetangga dan teman sepermainan • Keluarga Karakteristik individu: • Usia • Uang saku • Waktu luang Terpaan Media Televisi: • frekuensi penggunaan • durasi penggunaan • pilihan pesan Belajar Kognitif: • penguasan materi • tambahan pengetahuan Faktor Psikologi: • Sikap • Bakat • Minat • Motivasi karakteristik individu, lingkungan sosial seperti sekolah guru dan teman sekolah, tetangga dan teman sepermainan serta keluarga juga tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan terpaan media televisi pada anak SD. Faktor psikologi dan lingkungan sosial juga ikut serta mempengaruhi perilaku belajar kognitif. Faktor psikologi yang mempengaruhi belajar kognitif adalah aspek yang meliputi sikap, bakat, minat dan motivasi. Dilihat dari lingkungan sosial, yang dapat digolongkan menjadi hal yang mempengaruhi perilaku belajar kognitif adalah lingkungan sekolah guru dan teman sekolah, tetangga dan teman sepermainan, serta keluarga. Terpaan media sendiri akan mempengaruhi perilaku belajar kognitif pada anak. Terpaan media pada anak dapat dilihat dari frekuensi dan durasi anak menggunakan televisi dalam sehari sedangkan pengaruh dengan perilaku belajar dapat dilihat dari aspek banyaknya materi yang didapat dan tambahan pengetahuan yang diperoleh. Berdasarkan kerangka pemikiran dapat disusun hipotesis sebagai berikut: H 1= Terdapat hubungan signifikan antara karakteristik individu dan terpaan media pada anak. H 2= Terdapat hubungan signifikan antara lingkungan sosial dan terpaan media pada anak. H 3= Terdapat hubungan signifikan antara faktor psikologi dan perilaku belajar kognitif pada anak. H 4= Terdapat hubungan signifikan antara lingkungan sosial dan perilaku belajar kognitif pada anak. H 5= Terdapat hubungan signifikan antara terpaan media televisi dan perilaku belajar kognitif pada anak.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri SDN 04 Kelurahan Dramaga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan dengan cara sengaja purposive berdasarkan pertimbangan bahwa SDN 04 Dramaga merupakan salah satu Sekolah Dasar yang ada di daerah lingkar kampus. Waktu pelaksanaan penelitian ini dilakukan selama tiga bulan yaitu Juli sampai September 2009.

3.2 Penetapan Populasi dan Responden Penelitian

Populasi yang diambil adalah siswa Sekolah Dasar Negeri SDN 04 Kelurahan Dramaga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Populasi total dalam penelitian berjumlah 665 orang dengan 346 orang sebagai populasi sasaran sedangkan jumlah responden yang diambil sebanyak 70 orang. Teknik yang digunakan untuk memilih responden adalah Stratified Random Sampling. Pemilihan kelas ini mempertimbangkan bahwa anak pada tingkatan kelas tersebut anak telah memiliki kemampuan membaca dan menulis yang baik sehingga lebih mampu memahami pertanyaan pernyataan. Selain itu, anak pada tingkat kelas tersebut lebih dapat menyatakan keinginan atau pendapatnya sehingga dapat menjawab pertanyaan pernyataan yang diajukan. Kemudian setiap kelas diambil masing-masing 20 persen. Dari enam kelas yang ada dipilih kelas IV, V dan VI. Setelah pemilihan kelas kemudian diambil masing-masing 20 persen dari siswa kelas tersebut.

Dokumen yang terkait

Hubungan Karakteristik Petani dengan Tingkat Partisipasinya sebagai Anggota Kelompok Tani. Kasus pada Kelompok Tani Mekarsari, Desa Purwasari, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat

0 9 89

Prestasi Belajar Anak SD yang Bekerja sebagai Pedagang Asongan di Desa Babakan, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat

0 7 95

Respon Masyarakat Pedesaan terhadap Penayangan Ikan Partai Politik di Televisi (Kasus Penduduk Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat)

0 7 136

Hubungan antara Kebutuhan Informasi dengan Terpaan Media Para Penyuluh Agama Islam : Kasus di Kota Bogor, Jawa Barat

1 12 162

Perilaku masyarakat dalam pengelolaan sampah (Kasus masyarakat Kelurahan Gunung Batu, Kecamatan bogor Barat, Kota Bogor dan Desa Petir, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat

0 12 117

Efektivitas komunikasi periklanan produk sirup marjan pada khalayak media televisi: kasus Desa Babakan, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor

28 279 228

Keanekaragaman jenis Burung pada beberapa tipe Habitat di Hutan Penelitian Dramaga, Bogor, Jawa Barat

0 10 34

HUBUNGAN TERPAAN ACARA HARIRING DI TVRI JAWA BARAT DENGAN SIKAP MASYARAKAT JAWA BARAT TERHADAP KESENIAN SUNDA.

0 0 2

HUBUNGAN ANTARA TERPAAN MEDIA MENGENAI PENCULIKAN ANAK DI TELEVISI DENGAN TINGKAT KECEMASAN ORANG TUA DI RT 23 KELURAHAN SIDOMULYO SAMARINDA

0 1 14

HUBUNGAN TERPAAN BERITA PENCULIKAN ANAK DI TELEVISI DENGAN KEWASPADAAN IBU RUMAH TANGGA DI SURABAYA (Studi Korelasional Kuantatif Tentang Hubungan Terpaan Berita Penculikan Anak di Televisi Dengan Kewaspadaan Ibu Rumah Tangga di Surabaya).

0 0 31