kualitas perairan, mereka tidak lain melemparkan tanggung jawab tersebut kepada pihak otorita.
Bromley 1991 telah menegaskan bahwa pengelolaan sumber daya tidak lain adalah kesatuan dari struktur hak dan kewajiban yang mengikat setiap pihak
yang terlibat dalam pemanfaatan sumber daya. Kesatuan struktur hak dan kewajiban ini dikenal lebih jauh dengan konsep hak kepemilikan atau property
right. Kunci dari konsep hak kepemilikan adalah memandang setiap hak dan kewajiban sebagai sebuah mekanisme sosial yang mengikat setiap individu atau
kelompok atau pihak yang sama-sama terlibat dalam pemanfaatan sumber daya yang sama. Dengan demikian, permasalahan pertama yang muncul dalam
pengelolaan sumber daya di waduk ini adalah tidak terpetakannya dengan baik pihak-pihak mana saja yang sebenarnya terlibat dalam pemanfaatan sumber daya
waduk. Pihak otorita hanya mengindentifikasikan satu kategori saja, yaitu masyarakat pengguna untuk menyebut seluruh pihak yang terlibat dalam
pemanfaatan langsung sumber daya waduk tersebut. Hal ini berimbas pada generalisasi dan penyederhanaan masalah serta pilihan strategi yang diambil bagi
kedua belah pihak pengelola otorita dan pengguna seperti diuraikan di atas. Pada kenyataannya, hubungan antara pihak otorita, sumber daya waduk dan pengguna
tidaklah bersifat bilateral yang hanya mempertemukan pihak otorita dengan pemanfaat langsung saja, namun bersifat multilateral dan multirelasional dengan
banyak tipe pengguna dan juga klaim otorita.
5.2. Konfigurasi Aktor Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Waduk
Seluruh aktor pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya waduk dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu otorita dan pengguna. Kelompok aktor
otorita dibagi lagi menjadi dua, yaitu otorita Perum Jasa Tirta II dan Pemerintah Daerah Pemda Kabupaten Purwakarta cq Dinas Peternakan dan Perikanan-
Disnakkan. Kelompok aktor pengguna terbagi menjadi kelompok pemanfaat pengguna langsung dan kelompok pemanfaat tidak langsung.
Kelompok Aktor Otorita
Kelompok aktor otorita terdiri dari dua institusi dengan karakteristik yang berbeda, bahkan hampir bertolak belakang. Pertama, Perum Jasa Tirta II PJT II
yang merupakan suatu badan usaha milik negara dengan karakteristik maksimalisasi profit. Kedua, Pemda Kabupaten Purwakarta cq Dinas Peternakan
dan Perikanan dengan karakteristik pelayanan publik. Keduanya memiliki “mandat” yang berbeda dan diatur dalam tingkatan serta peraturan yang juga
berbeda. Perum Jasa Tirta II diberi “mandat” oleh negara melalui PP No 94 Tahun
1999 sebagai sebuah Badan Usaha Milik Negara BUMN yang memiliki tugas menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk
keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan Pasal 6 ayat 1 PP No 94 Tahun 1999. Lebih lanjut dalam pasal 6 ayat 2 disebutkan bahwa maksud
didirikannya Perusahaan adalah untuk menyelenggarakan pemanfaatan umum atas air dan sumber-sumber air yang bermutu dan memadai bagi pemenuhan hajat
hidup orang banyak, serta melaksanakan tugas-tugas tertentu yang diberikan Pemerintah dalam pengelolaan daerah aliran sungai, yang meliputi perlindungan,
pengembangan, dan penggunaan sungai dan atau sumber-sumber air termasuk pemberian informasi, rekomendasi, penyuluhan dan bimbingan. Pasal 6 ayat 3
secara jelas menggariskan tujuan perusahaan yaitu, turut membangun ekonomi nasional dengan berperan serta melaksanakan program pembangunan nasional di
dalam bidang pengelolaan air, sumber-sumber air dan ketenagalistrikan. Pemda Kabupaten Purwakarta cq Disnakkan merujuk UU No 31 Tahun
2004 tentang Perikanan yang kemudian diubah menjadi UU No 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
sebagai pemberian “mandat” dalam upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
waduk. Dalam
lanjutannya Disnakkan
Kabupaten Purwakarta
menterjemahkan operasionalisasi “mandat” tersebut ke dalam Perda No 6 Tahun 2010 tentang Retribusi Izin Usaha Perikanan dengan pertimbangan
“dalam rangka pemanfaatan potensi dan pelestarian sumber daya ikan di Kabupaten Purwakarta
dan pengendalian” sebagaimana termaktub di uraian hal menimbang dalam perda tersebut.
Jika dicermati terdapat dua terminologi berbeda yang digunakan dalam dasar hukum kedua institusi otorita tersebut, yaitu sumber daya air yang digunakan
oleh PJT II dan sumber daya ikan yang digunakan oleh Disnakkan. Namun demikian, kedua terminologi tersebut merujuk pada satu subjek yang sama, karena
karakteristik kedua sumber daya tersebut yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Hal ini menyebabkan terjadinya overlapping dalam hal batas jurisdiksi
pada beberapa hal. Kedua institusi tersebut tepat melakukan hal yang sama, seperti halnya pengendalian, rehabilitasi lingkungan, pembinaan, pengembangan potensi
dan pengambilan pungutan jasa pemanfaatan sumber daya. Koordinasi menjadi hal penting, namun tidaklah mudah untuk dilakukan. Hal ini dibatasi oleh garis
kebijakan masing-masing institusi. Permasalahan lainnya adalah lemah atau kurang maksimalnya lembaga intermediate diantara kedua institusi tersebut menyebabkan
koordinasi menjadi sesuatu hal yang tidak mudah untuk dilakukan.
Kelompok Aktor Pengguna
Kelompok aktor pengguna dibagi menjadi dua berdasarkan sifat relasinya terhadap sumber daya, yaitu pemanfaat langsung dan pemanfaat tidak langsung.
Pemanfaat langsung adalah pengguna yang berinteraksi langsung dengan sumber daya atau mengambil manfaat atas sumber daya secara langsung. Pemanfaat
langsung juga merupakan pihak pertama dari pengguna yang mendapatkan dampak akibat terjadinya perubahan-perubahan kondisi sumber daya, baik dari sisi kualitas
maupun kuantitas. Sementara pemanfaat tidak langsung adalah pengguna yang tidak secara langsung berinteraksi atau mengambil manfaat sumber daya melalui
perantaraan pemanfaat langsung. Dampak terhadap perubahan-perubahan yang terjadi atas kualitas dan kuantitas sumber daya hanya akan berpengaruh melalui
perubahan yang terjadi dari hasil manfaat langsung oleh pemanfaat langsung. Nelayan dan pembudidaya ikan keramba jaring apung KJA adalah
pemanfaat langsung sumber daya, berikut juga masyarakat umum pelintas perairan dan pelaku usaha pariwisata. PJT II juga bisa dimasukkan ke dalam pemanfaat
langsung, mengingat salah satu kewenangannya adalah menyediakan dan mengolah bahan baku air bersih serta tenaga listrik. Sementara pedagang pengumpul ikan dan
pedagang pakan masuk di dalam kategori pemanfaat tidak langsung. Para pemodal usaha perikanan juga masuk di dalam kategori ini.
Permasalahan menjadi lebih rumit, karena pada kenyataannya beberapa pihak menempati posisi aktor pengguna sekaligus. Hal yang umum terjadi adalah
satu pihak bisa sekaligus menempati posisi sebagai pembudidaya, pedagang pengumpul ikan, pedagang pakan dan pemodal. Ada banyak kemungkinan jenis
kombinasi yang terjadi, bahkan tidak jarang terjadi kombinasi antara aktor otorita dan aktor pengguna.
“saya usaha mulai tiga tahun lalu. Tadinya saya kerja sama orang laen di KJA juga, sudah hampir lima tahun. Modalnya dapet dari Bapak P yang
juga pegawai di otorita salah satu instansi kelompok aktor otorita- red. Modalnya yah dari mulai modal awal beli kolam bekas dan juga buat
benerin kolam bekas sampe ke operasional dari mulai beli benih sampe ke pakan. Dia mah ga mau tau soal bisnisnya gimana, yang penting tiap panen
ada bagi hasil
sama balikin cicilan modal.” HM, pembudidaya skala kecil dan penduduk setempat, 2011.
Konfigurasi aktor ini menyebabkan munculnya begitu banyak kerumitan dalam hal pengelolaan sumber daya waduk. Munculnya berbagai kepentingan yang
saling terkait ditengarai menjadi salah satu penyebab rumitnya permasalahan pengelolaan. Dalam konteks pengelolaan sumber daya, konfigurasi aktor berarti
juga konfigurasi hak dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya serta juga berarti konfigurasi kepentingan. Gambar 3 memperlihatkan kategori dan relasi
aktor dalam pemanfaatan sumber daya waduk.
Gambar 3. Kategori dan Relasi Aktor dalam Pemanfaatan Sumber Daya Waduk
Aktor Otorita
PJT II Disnakkan Kab.
Purwakarta
SUMBER DAYA PERAIRAN
WADUK Aktor Pengguna
Manfaat Langsung
Budidaya KJA Nelayan
Aktor Pengguna Manfaat Tidak
Langsung
Bandar Ikan Pedagang Pakan
Alur Pemanfaatan Alur Instruktif Pengelolaan
5.3. Distribusi Hak dan Kewenanganan dalam Pengelolaan Sumber Daya