Pendahuluan AKSES SUMBER DAYA DAN STRATEGI AKTOR

VI. AKSES SUMBER DAYA DAN STRATEGI AKTOR

6.1. Pendahuluan

“Kalo ngomongnya soal surat-surat dokumen resmi, perizinan, yah saya- saya ini ga punya hak buat usaha di sini. Tapi saya ini keturunan asli orang sini, masa saya usaha di tanah leluhur saya sendiri mesti dilarang-larang. Nah, mereka cuma modal kertas dokumen resmi perizinan aja boleh bikin kolam KJA di waduk. Padahal tuh orang banyak bukan orang dari sini. Dimana adilnya buat saya?” J, pembudidaya skala kecil dan penduduk setempat, 2011 Penggalan kutipan wawancara di atas memiliki banyak makna tentang permasalahan sumber daya di lokasi penelitian. Jika dipandang dari perspektif hak kepemilikan, maka beberapa orang seperti kutipan di atas akan dipandang sebagai ilegal users, atau lebih jauh disebut pencuri. Hal ini timbul karena hak kepemilikan biasan ya diasosiasikan dengan dukungan peraturan dan hukum yang “melindungi” seperangkat hak-hak yang melekat bagi pemiliknya. Peraturan dan hukum tersebut bisa berbentuk legal formal ataupun konsensus sosial dalam masyarakat. Dalam konteks sumber daya di Waduk Djuanda, peraturan dan hukum yang dimaksud adalah dalam bentuk legal formal. Hak kepemilikan dengan demikian dapat bermakna penguasaan dan kekuasaan, serta “menyingkirkan” pihak lain yang tidak memiliki hak dari upaya memperoleh manfaat. Pihak lain yang tersingkir ini secara tidak langsung tercabut hak-haknya untuk mengektraksi manfaat dari sumber daya yang “telah dimiliki” oleh pemegang hak. Jika pihak lain tersebut memaksakan diri mengekstraksi manfaat atas sumber daya tersebut, maka mereka tersebut dikatakan sebagai illegal users. Hal ini tidak menjadi masalah jika mekanisme distribusi hak-hak kepemilikan terjadi secara adil dengan memperhitungkan dan melibatkan berbagai kepentingan dan pengguna. Namun, dalam konteks lokasi penelitian, keadilan distribusi hak-hak kepemilikan bagi pengguna tidak terjadi secara merata. Permasalahan dikotomi penduduk asli dan penduduk pendatang mengemuka dalam berbagai wawancara yang dilakukan. Meskipun tidak menjadi sebuah konflik sosial yang terbuka, tetapi memberikan permasalahan tersendiri dalam penerapan berbagai aturan pengelolaan sumber daya. Hasil wawancara di lapang mengindikasikan bahwa rata-rata penduduk lokal yang lebih sering melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh pengelola waduk. Bentuk pelanggaran ini berbagai macam, yaitu dari mulai pembuatan dan penempatan KJA pada lokasi di luar zonasi hingga penghindaran dari kewajiban membayar retribusi dan pajak. Semua hal ini biasanya dilakukan dengan dalih bahwa mereka hanya pembudidaya ikan skala kecil dan identitas penduduk lokal yang seharusnya mendapatkan keistimewaan perlakuan. Mereka ini biasanya mengungkit kembali perihal di masa lalu saat mereka menjadi “korban” relokasi keberadaan waduk. Mereka secara tidak langsung menuntut bahwa seharusnya merekalah pihak pertama yang mendapatkan kesempatan berusaha KJA dibanding penduduk pendatang. Memang dalam kebijakan awal pengembangan sumber daya waduk telah diberikan kesempatan bagi penduduk setempat untuk berusaha. Sayangnya hal ini tidak diimbangi dengan dibukanya akses dan tidak difasilitasinya masalah permodalan pada saat itu dan juga sekarang. Hal ini mengingat besarnya modal usaha yang diperlukan untuk ikut dalam kegiatan usaha KJA. Sementara penduduk pendatang memiliki kemampuan permodalan dan secara otomatis dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama kegiatan usaha budidaya KJA didominasi oleh penduduk pendatang. “Kami bukan ilegal apalagi pencuri. Masa kami berusaha di halaman rumah dan di tanah leluhur dibilang pencuri? Kami cuma nuntut keadilan. Apa yang boleh kaya cuma orang pendatang? Sekarang enak aja saya mau diusir- usir sama POJ PJT II, enggak boleh usaha. Bapak saya dulu dapet ganti rugi, tapi gak adil. Ga seberapa. Dulu punya kebun yang bisa digarap biar juga sedikit. Abis dipindahin sama sekali gak punya apa-apa, cuma rumah doangan yang enggak juga lebih gede dari dulunya. Sampai wafatnya hidupnya gak berubah, padahal itu orang-orang dari Jakarta, Jawa, Bandung, Purwakarta pada sukses-sukses usaha KJA. Sekarang saya nuntut hak saya, hak orang tua saya. Biar juga modal kecil-kecilan boleh pinjem sana-sini, saya berani bikin KJA. Sengaja bikinnya di sini, kalo bikinnya di itu zonasi saya kudu ngurus surat ama bayar retribusi.”, E, pembudidaya skala kecil dan penduduk setempat, 2011. Ada beberapa hal yang menarik dari kutipan wawancara di atas. Penyebutan kata ilegal atau pencuri bersifat subjektif tergantung dari sudut pandang siapa yang berbicara. Bagi para pemegang hak kepemilikan, tentu saja mereka yang tidak memiliki hak adalah ilegal ataupun pencuri sumber daya. Namun bagi mereka yang disebut ilegal itu dan kebanyakan penduduk lokal, justru para pemegang hak tersebut yang tidak lain adalah pencuri hak berusaha mereka. Selain itu, ada indikasi bahwa meskipun mereka tidak memiliki hak berusaha yang diatur dalam peraturan formal, namun pada kenyataannya mereka tetap bisa menikmati manfaat langsung dari sumber daya waduk. Hal tersebut dilakukan secara terang-terangan dengan keberadaan fisik bangunan dan operasional usaha. Mereka tetap tidak dapat mengakses bantuan permodalan yang resmi seperti dari perbankan ataupun pemerintah karena tidak memiliki izin. Namun jumlah mereka semakin bertambah dari tahun ke tahun. Dengan demikian, ada hal lain selain dari hak kepemilikan yang memungkinkan seseorang dapat mengambil manfaat secara langsung maupun tidak langsung dari sumber daya waduk. Penulis beranggapan bahwa teori hak kepemilikan tidak serta merta dapat mendefinisikan secara jelas pihak-pihak yang dapat turut serta secara langsung memanfaatkan sumber daya. Dalam kenyataannya ada pihak-pihak yang secara teoritis tidak berhak mendapatkan manfaat secara langsung dari sumber daya tetapi mendapatkannya. Pihak yang memegang hak pun pada kenyataannya tidak dengan bebas menggunakan haknya sesuai dengan kehendaknya yang telah diatur dalam peraturan. Dampaknya adalah keputusan pemegang hak pada tingkatan pengguna pembudidaya tidaklah murni keputusannya. Tidak jarang keputusannya tersebut merupakan keputusan pihak lain yang tidak terlibat langsung dalam operasionalisasi usaha. Hal ini yang memicu dilanggarnya beberapa peraturan yang ada dan secara tidak langsung berdampak terhadap kualitas sumber daya. Pelanggaran ini sebagai akibat “kesepakatan-kesepakatan” yang terjadi antara pembudidaya dan pihak lain. Teori akses memperluas cakupan teori hak kepemilikan. Teori akses lebih menekankan tentang tata cara setiap orang mendapatkan manfaat dari sumber daya dibandingkan dengan semata-mata kepemilikan hak yang mengatur tentang hak dan tanggung jawab. Teori akses juga menganggap bahwa teori kepemilikan hanyalah salah satu cara atau mekanisme dalam mendapatkan akses terhadap sumber daya. Ribot and Peluso 2003 menjelaskan, “…property as one set of factors nuanced in many ways in a larger array of institutions, social and political-economic relation, and discursive strategies that shape benefit flows. Some of these are not acknowledged or recognized as legitimate by all or any part of society; some are residues of earlier legitimating institutions and discourses ”. Dalam pengertian lain, hak kepemilikan sumber daya bisa disebut juga sebagai akses berdasarkan hak. Upaya mengidentifikasi jenis akses yang ada dapat dilakukan dengan memperhatikan tiga hal, yaitu tata cara mengontrol akses access control, mempertahankan akses access maintenance dan juga memperoleh akses gaining access. Mengontrol akses adalah kemampuan memediasi akses pihak lain. Pengelolaan untuk mempertahankan akses memerlukan pengeluaran sebagian atau seluruh sumber daya atau kekuasaan untuk menjaga tetap terbukanya akses sumber daya tertentu bagi dirinya Berry, 1993 dalam Ribot and Peluso, 2003. Ribot and Peluso 2003 menegaskan bahwa, “maintenance and control are complementary. They are social positions that temporarily crystalize around means of access ”. Perolehan akses adalah keseluruhan proses yang lebih umum terjadi dalam mendapatkan akses. Hubungan antara mereka yang mengontrol akses pihak lain dengan pihak yang harus mempertahankan akses mereka paralel dengan hubungan antara pemilik modal dengan buruh dalam konsep Marx. Untuk mempertahankan akses, pihak subordinat seringkali harus membagi manfaat yang mereka peroleh kepada pihak yang memiliki kontrol terhadap akses. Pihak subordinat mengeluarkan sumber daya yang mereka miliki demi menjaga relasi dengan pihak yang memiliki kontrol. Hanya dengan cara membagi manfaat saja mereka dapat memperoleh manfaat bagi dirinya. Dalam konteks ini, kekuasaan memegang peranan penting. Kekuasaan memainkan peranan penting dalam setiap posisi aktor pada relasi akses. Seorang aktor bisa memiliki kekuasan yang lebih dibanding yang lain pada saat tertentu atau pada suatu relasi tertentu. Dalam konteks lain, dengan memperhatikan pendekatan kekuasaan di dalam akses sumber daya, juga dapat menjelaskan mengapa ada pihak yang dapat memiliki akses dan pihak yang tidak memiliki akses atas sumber daya. Kekuasaan yang dimaksud tidak hanya bersumber dari legitimasi peraturan formal yang ada, tetapi juga kepada sumber-sumber kekuasaan yang ada di tengah masyarakat. Sumber-sumber kekuasaan ini pada gilirannya akan membentuk jejaring akses yang saling terkait satu dengan lainnya dan mempengaruhi relasi antara aktor. Dengan demikian fokus kajian dalam teori akses jejaring dan perangkat kekuasaan adalah alat atau media, proses dan relasi dimana aktor dapat memperoleh, mengontrol dan mempertahankan aksesnya ke sumber daya. Media, proses dan relasi dipahami sebagai mekanisme Ribot and Peluso, 2003.

6.2. Jenis dan Alur Manfaat Sumber Daya Waduk Djuanda