5.3. Distribusi Hak dan Kewenanganan dalam Pengelolaan Sumber Daya
Beberapa ilmuwan dengan jelas menyebutkan bahwa sifat hubungan antara sumber daya dengan pengguna adalah bersifat relasional dua arah. Kunci dari
pengelolaan sumber daya adalah penataan hak dan kewajiban dari setiap pengguna sesuai dengan posisi dan kewenangannya. Hal ini kemudian dikenal dengan istilah
bundle of rights sekumpulan hak dan kewajiban yang mengikat setiap pengguna Ostrom dan Schlager, 1996; Bromley, 1991; North, 1990 dalam Hanna et al, 1996.
Entry point dari hal ini berdasarkan atas konsep property right hak kepemilikan sumber daya yang membagi pengguna menjadi beberapa tingkatan kewenangan
sesuai dengan sifat property right sumber daya nya. Secara umum jenis dan sifat property right sumber daya dapat
dikelompokkan menjadi empat yaitu state property, private property, communal property dan non-property
– open access. Namun demikian dalam kenyataannya sangatlah sulit mendapatkan jenis sumber daya bersifat common pool resources
yang murni ke dalam salah satu tipe tersebut Berkes, 1996. Sumber daya Waduk Djuanda Jatiluhur adalah milik negara state property
berdasarkan UUD 1945 pasal 33 ayat 3. Dalam pelaksanaan pengelolaannya negara melimpahkan setidaknya kepada dua institusi berbeda, yaitu BUMN PJT II yang
menggunakan prinsip semi private property dan juga Pemda Kabupaten Purwakarta yang menggunakan prinsip milik negara state property. Lain lagi dengan
kenyataan di lapang, para pengguna walaupun secara sadar mengakui sumber daya tersebut milik pemerintah, namun dalam tindakannya memperlakukan sumber daya
seakan-akan bersifat non-property-open access. Hal ini terlihat dari anggapan bahwa siapa saja bebas berusaha di sumber daya waduk selama memiliki
kemampuan modal. Sementara permasalahan lingkungan sumber daya bukan dianggap bagian dari tanggung jawab pengguna.
Dengan demikian, karakteristik pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya waduk ini tidak dapat dilakukan secara sederhana dengan hanya melihat sifat
property right nya saja. Alternatif lain adalah dengan memperhatikan konfigurasi bundle of rights yang ada dari setiap pengguna. Ostrom dan Schlager 1996
mengklasifikasikan bundle of rights menjadi empat, yaitu access right, yaitu hak memasuki suatu wilayah sumber daya, withdrawal right, yaitu hak melakukan
kegiatan produksi atau ekstraksi sumber daya, management right, yaitu hak terlibat dalam pengelolaan sumber daya, exclusion right, yaitu hak menentukan pihak mana
saja yang dapat memiliki access dan withdrawal right, alienation right, yaitu hak menjual atau mengalihkan atau mentransfer management dan exclusion right.
Sementara posisi pengguna dikelompokkan menjadi owner pemilik, proprietor pengatur-proprietor, claimant, authorized user dan authorized entrant.
Konfigurasi Hak bundles of rights
Hak dalam konteks kepemilikan sumber daya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu hak pada tingkatan operasional operational-level rights dan
hak terlibat dalam pengambilan keputusan kolektif collective-choice decision rights. Hak pada tingkatan operasional terdiri dari hak akses access right dan hak
memanfaatkan withdrawal right. Sementara hak terlibat dalam pengambilan keputusan kolektif terdiri dari hak pengelolaan management rights, hak
mengontrol exclusion rights, dan juga hak mengalihkan kepemilikan hak manajemen dan mengontrol alienation rights.
Hak Melintas Access Hak melintas atau mengakses, didefinisikan sebagai,
“the right to enter a defined physical area and enjoy nonsubstractive benefits” Ostrom dan Schlager,
1996. Jika diperhatikan, hak melintas ini membatasi setiap individu hanya mengambil manfaat dari jasa lingkungan saja yang dihasilkan oleh sumber daya
alam. Dalam konteks hak kepemilikan, setiap individu yang akan melintas harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah diatur dan itu pun dibatasi lokasi mana
yang dapat dilalui atau dikunjungi. Sebagai contoh, indvidu dapat mengakses jika yang bersangkutan telah membayar atau mendapatkan izin untuk satu periode
tertentu. Hak akses di Waduk Djuanda Jatiluhur, berlaku bagi setiap orang tanpa
batasan dan tanpa ada syarat tertentu yang harus dipenuhi. Walaupun, sebenarnya terdapat area yang difungsikan sebagai pintu gerbang, lengkap dengan petugas
karcis, tetapi hal ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Penyebabnya adalah hanya ada satu pintu masuk bagi seluruh masyarakat, sementara terdapat banyak
desa yang berada di sekitar waduk dan memanfaatkan pintu masuk ini sebagai satu- satunya jalan utama. Masyarakat juga menggunakan waduk sebagai sarana
transportasi untuk melintas dari satu desa ke desa lainnya. Hampir seluruh bagian waduk dapat diakses atau dilintasi oleh semua orang, kecuali bagian kecil di dekat
bendungan utama.
Hak Memanfaatkan Withdrawal Hak memanfaatkan withdrawal, didefinisikan sebagai,
“the right to obtain the resource units or “products” of a resource” Ostrom dan Schlager, 1996.
Definisi tersebut memberikan kewenangan bagi setiap individu yang memilikinya untuk mengambil manfaat langsung dari barang atau produk yang dihasilkan oleh
sumber daya alam. Hak memanfaatkan ini terkait erat dengan apa, dimana, siapa dan bagaimana sumber daya tersebut dimanfaatkan. Hak ini juga dapat
dikelompokkan menjadi dua berdasarkan tujuan hasil ekstraksinya, yaitu komersil dan subsitensi. Hak memanfaatkan secara komersil yaitu bagi setiap individu yang
bertujuan untuk menjual hasil ekstraksinya. Sementara hak memanfaatkan secara subsistensi berlaku bagi setiap individu yang dibatasi jumlah ekstraksinya untuk
kebutuhan sehari-hari dan tidak dibolehkan menjual hasil ekstraksinya. Waduk Djuanda Jatiluhur bersifat multi fungsi sehingga hak
memanfaatkannya terdiri dari beberapa jenis yang berbeda. Hak memanfaatkan sumber daya air yang ditujukan untuk kepentingan PJT II sebagai penyedia sumber
bahan baku air bersih dan penyedia listrik. Namun pada perkembangannya, sumber daya air juga difungsikan untuk kegiatan MCK mandi, cuci, kakus bagi operator
atau pekerja di KJA. Aktifitas MCK sebenarnya dilarang dilakukan, seperti halnya tidak diizinkannya terdapat hunian di atas KJA. Hak lainnya adalah hak usaha
perikanan, yang terdiri dari perikanan budidaya KJA dan perikanan tangkap. Hak usaha perikanan ini diberikan kepada setiap individu yang berusaha sebagai
pembudidaya dan nelayan. Kegiatan perikanan budidaya yang berkembang di Waduk Jatiluhur
terfokus pada budidaya ikan dalam keramba jaring apung KJA. Jenis komoditas yang dibudidayakan umumnya Mas, Nila dan Patin. Luasan petak KJA memiliki
ukuran 7x7 meter. Berdasarkan aturan pemanfaatan yang berlaku, bagi pelaku
usaha budidaya ikan KJA diperlukan beberapa syarat legalitas, yaitu SIUP Surat Izin Usaha Perikanan dan SPPAP Surat Perjanjian Pemanfaatan Area Perairan.
Izin kepemilikan KJA dikeluarkan oleh Bupati Purwakarta Cq Dinas Peternakkan dan Perikanan Kabupaten Purwakarta berbentuk SIUP dengan rekomendasi Teknik
dari PJT II berbentuk Surat Perjanjian Pemanfaatan Area Perairan SPPAP dengan masa berlaku satu tahun. Kriteria batasan Jumlah KJA di perairan waduk Jatiluhur
Surat Keputusan SK Bupati Kabupaten Purwakarta No. 06 Tahun 2000 dan Surat Keputusan Bupati Kabupaten Purwakarta No. 532.32 Tahun 2000, dimana kriteria
batasan jumlah KJA adalah : Jumlah Petak KJA yang di izinkan
: 2.100 Petak Jumlah Petak Unit KJA
: Maxsimal 8 petak Unit KJA Ukuran per Unit KJA
: Maxsimal 28 x 14 Meter Ukuran satu petak KJA
: 7 x 7 meter Jarak antara Unit KJA
: minimal 50 meter Lokasi KJA dalam kelompok
: Max. 420 petak Kelompok Luas efektif waduk Pemeruman, 2000
: 5.320 Ha Perda Kabupaten Purwakarta No. 6 Tahun 2010 tentang Retribusi Usaha Perikanan,
merubah kriteria batasan jumlah KJA menjadi maksimal 20 petak pemilik usaha KJA.
Kegiatan budidaya KJA seharusnya berada pada wilayah zonasi yang telah ditentukan. PJT II membagi wilayah badan air waduk Jatiluhur menjadi lima zonasi,
yaitu zonasi I, zonasi II, zonasi III, zonasi IV dan zonasi V. Jumlah petak KJA saat ini yang berada dalam zonasi sebanyak 16.545 petak, sementara petak KJA yang
berada di luar zonasi sebanyak 3.085 petak Koeshendrajana et al, 2011. Sebaran jumlah KJA yang terdapat di perairan Waduk Jatiluhur adalah sebagai berikut
Tabel 10. Banyaknya jumlah KJA yang terdapat pada Zona V disebabkan karena pada zona tersebut memiliki permukaan air yang luas. Zona V merupakan zona
tambahan karena besarnya jumlah KJA yang terdapat pada zona tersebut dan merupakan posisi KJA yang lebih baik dibandingkan zona lainnya.
Tabel 10. Jumlah KJA Dan Jumlah Pembudidaya Pada Masing-Masing Zona Pengelolaan di Waduk Djuanda Jatiluhur, 2010
No Nama Zona
Jumlah KJA petak
Jumlah pembudidaya
orang Rata-rata
kepemilikan KJA petakorang
1 Zona I
2.013 217
9 2
Zona II 1.620
130 12
3 Zona III
1.346 97
14 4
Zona IV 1.768
118 15
5 Zona V
9.798 684
14 6
Luar Zona ilegal 3.085
530 6
Jumlah 19.630
1.776 11
Sumber : PJT II 2011
Rata-rata kepemilikan KJA secara keseluruhan adalah 11 petak per pembudidaya. Bila ditinjau dari masing-masing zona, maka zona IV merupakan
zona kepemilikan tertinggi dibandingkan zona lainnya yaitu 15 petak per pembudidaya. Perbandingan jumlah petak KJA dengan pembudidaya terkecil
adalah pada lokasi di luar zona yang tidak diberi izin. Hal ini disebabkan pembudidaya yang berada di luar zona adalah pembudidaya lokal yang baru
memulai. Karamba jaring apung yang terdapat di luar zona berada di Kecamatan Sukasari, Maniis, Tegalwaru dan Sukatani. Jumlah KJA yang terbesar terdapat di
Kecamatan Sukasari yang meliputi empat desa yaitu Kertamanah, Ciririp, Sukasari dan Parungbanteng. Jumlah KJA yang terdapat diluar zona berdasarkan kecamatan
disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Jumlah Petak Dan Jumlah Pembudidaya Di Luar Zona Berizin, Waduk Djuada Jatiluhur, 2010
Kecamatan Desa
Jumlah KJA Petak
Jumlah Pembudidaya orang
Sukasari Kertamanah
785 83
Ciririp 526
69 Sukasari
76 18
Parungbanteng 172
40 Maniis
Sukamukti 61
44 Tegalwaru
Galumpit 778
152 Pesanggarahan
309 59
Sukatani Panyindangan
378 65
Sumber: Koeshendrajana et al 2011.
Hak pemanfaatan perikanan tangkap diberikan kepada nelayan. Pada prinsipnya tidak ada larangan bagi siapapun untuk menangkap ikan. Berbeda
dengan perikanan budidaya KJA yang telah dengan jelas memiliki aturan zonasi, maka belum terdapat zonasi penangkapan ikan yang jelas diatur. Sebenarnya hak
penangkapan ini pun juga belum jelas diatur dalam suatu aturan tertentu. Aturan yang ada hanyalah aturan tentang jenis alat tangkap yang diizinkan untuk digunakan
dan berlaku secara umum. Umumnya jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan adalah berupa jaring insang, jala, anco dan pancing. Jenis perahu yang
digunakan berupa perahu kayu dengan atau tanpa motor tempel. Seluruh wilayah badan air dapat dimanfaatkan untuk penangkapan ikan, kecuali lokasi di dekat
bendungan utama. Pola pemanfaatan sumberdaya perairan untuk kegiatan perikanan tangkap,
umumnya berdasarkan pada tinggi muka air. Tinggi muka air ini dipengaruhi oleh kebijakan PJT II dan curah hujan. Pada saat muka air tinggi, nelayan menggunakan
alat tangkap berukuran kecil mata jaring ± 1,5 inci, sehingga ikan yang tertangkap adalah ikan yang ukurannya kecil dan melimpah. Sedangkan pada saat muka air
rendah air mengumpul di tengah, nelayan menangkap ikan menggunakan alat tangkap berukuran besar mata jaring ± 3 inci, sehingga ikan yang tertangkap
adalah ikan yang ukurannya besar 500 gram. Jenis ikan yang tertangkap di Waduk Djuanda Jatiluhur didominasi oleh nila 79-96, mas, patin dan gabus
DKP dan ACIAR, 2007. Hasil tangkapan ikan di Waduk Djuanda bervariasi antara 74.674
–148.024 kgbulan dengan rata-rata 118.875 kgbulan atau total tangkapan ikan sebesar 1.359,439 tontahun.
Hak Pengelolaan Management Hak pengelolaan didefinisikan sebagai,
“the right to regulate internal use patterns and transform the resource by making improvements” Ostrom dan
Schlager, 1996. Hak pengelolaan juga dipahami sebagai hak untuk menyusun dan menerapkan aturan operasional tentang tata cara akses dan pemanfaatan sumber
daya. Dalam konteks hak kepemilikan, seharusnya terdapat kesinambungan antara hak di tingkat operasional akses dan pemanfaatan dengan hak pengambilan
keputusan kolektif pengelolaan, ekslusi dan alienasi. Hal ini berarti sebagian
pengguna atau pemanfaat langsung sumber daya memiliki kesempatan terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Namun demikian, hal ini tidak terjadi di
lokasi Waduk Djuanda Jatiluhur. Hak pengelolaan hanya dimiliki oleh kelompok aktor otorita PJT II dan
Pemda, tanpa melibatkan kelompok aktor pengguna. Sebagai contoh, berdasarkan SK Bupati Kabupaten Purwakarta No 06 Tahun 2000, tercantum instansi pengelola
Waduk Djuanda adalah Perum Jasa Tirta II yang memiliki wewenang dalam hal menyelenggarakan proses perizinan melalui pola pelayanan satu atap dengan
pemerintah daerah; menetapkan zonasi untuk kegiatan perikanan; dan melakukan pembinaan, pengawasan dan pengendalian terhadap pemegang izin yang
melakukan kegiatan perikanan di waduk. Meskipun demikian, sebenarnya aktor pengguna juga memiliki hak ini
dalam konteks yang hanya terbatas pada lingkup kegiatan usaha yang dimilikinya saja. Hal ini sebagai konsekuensi dari beralihnya sifat kepemilikan menjadi private
property selama jangka waktu “sewa” tertentu satu tahun. Hak ini tidak berlaku
dan tidak bisa dilakukan bagi aktor pengguna lainnya. Permasalahan kemudian muncul karena aturan pengelolaan waduk secara umum baik aturan pengelolaan
sumber daya air maupun sumber daya perikanan tidak secara tegas mengatur pola- pola pengelolaan usaha di tingkat masing-masing aktor pengguna. Hal ini
menyebabkan masing-masing aktor pengguna memiliki seperangkat aturan pengelolaan usaha sendiri yang seringkali berbeda satu dengan lainnya. Tidak
terjadinya sinergi antara tujuan pengelolaan waduk dengan tujuan pengelolaan usaha KJA menyebabkan seakan-akan setiap aktor pengguna hanya berupaya
memperoleh keuntungan semaksimal mungkin dan tidak memperhatikan permasalahan kualitas lingkungan. Lemahnya pengawasan dan penegakan aturan
yang dilakukan oleh pihak aktor otoritas semakin memberikan kontribusi terhadap semakin terdegradasinya kualitas sumber daya waduk baik sumber daya air
maupun sumber daya perikanan.
Hak Membatasi Exclusion Hak eksklusi didefinisikan sebagai,
“the right to determine who will have an access right, and how that right may be transferred” Ostrom dan Schlager,
1996. Dalam pengertiannya, pemegang hak ini memiliki kewenangan mengatur kualifikasi atau persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap individu yang diizinkan
untuk ikut serta mengambil manfaat sumber daya. Penerapan hak ini di Waduk Djuanda Jatiluhur tidak berbeda dengan hak pengelolaan, yaitu hak ekslusi ini pun
hanya dimiliki oleh kelompok aktor otorita saja. Secara hukum PJT II merupakan kelompok otorita yang memiliki hak dan kewenangan ini. Meskipun demikian,
dalam prakteknya otoritas hak exclusion ini sepertinya berada di tangan pihak Disnakkan melalui kekuasaan yang dimiliki oleh Bupati sebagai kepala
pemerintahan daerah. Kenyataannya, hak ini pun belum sepenuhnya dijabarkan ke dalam aturan
yang ada. Aturan yang jelas ada masih banyak terkait tentang hak pengelolaan. Sementara menurut penulis, justru dalam penjabaran hak eksklusi ini menjadi hal
terpenting dalam masalah keadilan distribusi bagi setiap individu. Sebagai contoh, aturan pengelolaan yang ada memang mencantumkan batas kepemilikan jumlah
KJA maksimal, yaitu 20 petak per pemilik. Namun tidak pernah menyentuh tentang distribusi kesempatan usaha yang memberikan peluang dan jaminan kepada
penduduk setempat di sekitar waduk. Tidak heran, dikotomi “setempat-pendatang”
masih cukup kental terasa di tengah keseharian masyarakat. Banyak munculnya jumlah KJA yang berada di luar zonasi dan tidak memiliki izin dapat dipandang
sebagai bentuk reaksi masyarakat setempat terhadap lemahnya perlindungan dan kesempatan usaha bagi mereka.
Hak membatasi di tingkat aktor pengguna terjadi dan terbatas pada lingkup kegiatan usahanya saja. Aktor pengguna memiliki hak untuk melarang pihak-pihak
tertentu untuk masuk ke dalam lingkup usahanya. Hak ini terlihat jelas pada hubungan diantara pemilik KJA dengan nelayan. Nelayan biasanya menebar jaring
dan jalanya di dekat KJA. Hal ini disebabkan karena ikan-ikan yang berada di luar KJA tertarik untuk mendekati KJA sebagai akibat tersedianya sisa pakan yang
tersebar keluar KJA. Kondisi ini dianggap merugikan oleh pemilik KJA karena memungkinkan terjadinya beberapa hal, diantaranya adalah tersangkutnya jaring
dan jala nelayan di KJA yang dapat merusak jaring KJA, dan juga meskipun sudah jarang terjadi adalah pencurian ikan dengan cara merobek jaring KJA. Pemilik KJA
memiliki hak melarang nelayan untuk menebar jaring dan jala di dekat KJA dalam jarak tertentu.
Hak Mengalihkan Alienation Hak alienasi didefinisikan sebagai,
“the right to sell or lease either or both of the above collective-
choice rights management and exclusion rights” Ostrom dan Schlager, 1996. Pemilik hak ini memiliki wewenang untuk mengalihkan hak
pengelolaan dan hak eksklusi kepada pihak lain. Sifat kepemilikan sumber daya Waduk Djuanda Jatiluhur yang lebih mengarah kepada kepemilikan negara tidak
memungkinkan terjadinya hak alienasi di dalam pengelolaan sumber daya waduk. Artinya, hak alienasi ini sepenuhnya berada di tangan negara dan perubahan
terhadap hak yang bersifat pengelolaan dan eksklusi hanya dimungkinkan terjadi melalui perubahan peraturan mendasar. Hak mengalihkan ini berdasarkan aturan
yang berlaku lebih berada di tangan pihak PJT II sesuai dengan mandat PP No 94 Tahun 1999 tentang pembentukan BUMN PJT II. Sementara Disnakkan seharusnya
tidak memiliki hak dan kewenangan terkait hak alienation ini. Namun dalam kenyataannya, PJT II seakan-akan tidak memiliki pengaruh dan kekuasaan yang
kuat di dalam menjalankan hak ini meskipun secara hukum memiliki kewenangan ini. Disnakkan sebagai kepanjangan tangan kekuasaan dari Bupati Kabupaten
Purwakarta dalam prakteknya lebih menunjukkan kekuasaan menggunakan hak ini melalui perangkat peraturan daerah.
Sementara bagi aktor pengguna, sebenarnya tidak dibolehkan oleh aktor otorita untuk memiliki hak mengalihkan ini. Dilarangnya aktor pengguna memiliki
hak mengalihkan dalam kerangka membatasi bertambahnya jumlah kepemilikan KJA. Namun demikian, pada kenyataannya aktor pengguna dapat melakukannya
secara sembunyi-sembunyi. Modus yang sering dilakukan adalah pemilik KJA lama menjual unit KJA yang dimiliki sekaligus perizinannya kepada pemilik baru
dengan tetap mengatasnamakan pemilik lama dalam pengurusan perpanjangan perizinan selanjutnya. Tabel 12 memperlihatkan kategori hak berdasarkan kategori
aktor.
Tabel 12. Kategori Hak Kepemilikan Sumber Daya Waduk berdasarkan Kategori Aktor
Kategori Hak PJT II
Disnakkan Pengguna
Access Hak melintas
Hak melintas Hak melintas
Withdrawal Sumber daya air
- Sumber daya ikan
Management Membuat aturan pengelolaan waduk
Membuat aturan pengelolaan perikanan
Terbatas pada
lingkup usaha
yang dimiliki
KJA Exclusion
Lingkup pengusahaan sumber
daya air di waduk dan belum
sepenuhnya dilakukan
Tidak memiliki namun berupaya menyusun aturan
melalui kewenangan pengusahaan sumber daya
perikanan Terbatas
pada lingkup
usaha yang
dimiliki KJA
Alienation Lingkup
pengusahaan sumber daya air di waduk
dan belum sepenuhnya
dilakukan Tidak memiliki namun
berupaya menyusun aturan melalui kewenangan
pengusahaan sumber daya perikanan
Terbatas pada
lingkup usaha
yang dimiliki
KJA dan
dilakukan secara diam-diam
Kategori Aktor dalam Hak Pengelolaan Sumber Daya
Pelintas authorized entrant Pelintas adalah setiap pihak yang mendapatkan hak untuk secara bebas
masuk dan melintas di dalam batas wilayah sumber daya. Pelintas hanya memiliki hak untuk melintas saja tanpa memiliki hak untuk untuk mengambil atau
mengekstrak manfaat lainnya dari sumber daya. Ostrom dan Schlager 1996, mendefinisikannya sebagai “[I]ndividuals who possesses no rights at any level in
relation to a common pool resource ”.
Setiap individu termasuk dalam kategori ini, tidak ada kebijakan sistem satu pintu atau lainnya yang melarang atau mengizinkan seseorang untuk melintas di
perairan waduk. Masyarakat menggunakan transportasi perahu di perairan waduk untuk melintas dari satu desa ke desa lainnya yang dipisahkan oleh perairan waduk.
Bahkan dalam aturan baik yang mendasari maupun aturan operasional dari pihak aktor otorita tidak satupun mengatur tentang permasalahan pelintas di perairan
waduk. Hal ini berlaku di hampir seluruh bagian perairan waduk, kecuali bagian kecil dekat bendungan yang terlarang untuk dimasuki oleh siapa saja kecuali
petugas dari pihak aktor otorita. Bagian kecil lokasi ini dibatasi dengan jelas berupa jaring pengaman dan pelampung. Masyarakat pun tidak memiliki kepentingan
untuk mendekati lokasi ini. Berdasarkan sudut pandang teori property right, tidak adanya kebijakan
yang mengatur jelas tentang siapa yang berhak untuk melintas sumber daya membuka peluang terjadinya hal-hal yang merugikan bagi pemanfaat langsung
sumber daya lainnya. Dalam konteks teori ini, pelintas dalam perjalanannya dimungkinkan secara sadar untuk ikut mengambil manfaat sumber daya walaupun
sebenarnya tidak memiliki hak. Kenyataannya, memang ditemukan beberapa kasus bahwa tidak adanya kontrol atau pengawasan terhadap para pelintas ini
menyebabkan mudahnya pihak-pihak tertentu menggunakan teknologi yang merusak lingkungan, seperti penggunaan teknik penyetruman ikan dan racun dalam
penangkapan ikan. Beberapa kasus lainnya juga pernah ditemukan satu muatan truk penuh bangkai ikan yang akan digunakan untuk olahan pakan ikan buatan untuk
budidaya ikan KJA pengganti pelet yang jauh lebih murah biayanya.
Authorized User pengusaha sumber daya Normalnya, pengertian authorized user adalah setiap pihak yang
mendapatkan hak untuk tidak hanya melintas sumber daya saja, namun juga memiliki hak untuk mengambil dan mengusahakan pemanfaatan sumber daya
untuk mendapatkan manfaat langsung ekonomi sumber daya. Kata kuncinya adalah authorized yaitu diizinkan atau diberikan hak. Ostrom dan Schlager 1996
menjelaskan hak authorized used sebagai berikut, “[T]he rights of authorized users
are defined by others who hold collective-choice rights of management and exclusion. Authorized users lack the authority to devise their own harvesting rules
or to exclude others from gaining access to fishing grounds”. Dengan demikian jelas haknya hanya terbatas pada pemanfaatan saja. Tujuannya dalam konteks teori
property right adalah agar terciptanya kontrol akan keseimbangan antara jumlah pengusahaan dan kondisi lingkungan sumber daya. Hal ini disebabkan bagi
siapapun yang memiliki hak untuk mengatur besaran jumlah pengusahaan dapat membatasi dan menjaga keseimbangan.
Pihak yang termasuk dalam kategori ini dalam konteks sumber daya Waduk Djuanda Jatiluhur adalah kelompok aktor pengguna, utamanya dari kelompok
pemanfaat langsung seperti nelayan dan pembudidaya ikan KJA. Baik nelayan maupun pembudidaya memiliki hak untuk menangkap ikan dan membudidayakan
ikan dalam KJA dengan aturan yang telah ditetapkan. Namun demikian, tidak ditemukan aturan yang secara jelas mendefinisikan syarat siapa saja yang dapat
diberikan hak sebagai authorized user. Walaupun memang terdapat konsensus awal saat pengembangan budidaya KJA pertama kali diintroduksikan, yaitu kesempatan
budidaya dibuka seluasnya utamanya bagi masyarakat setempat yang lahannya terkena dampak pembangunan waduk terendam. Namun dalam perkembangannya
menjadi siapa saja yang memiliki kemampuan modal dapat membuka usaha KJA di waduk. Tidak jauh berbeda dengan nelayan, yaitu siapa saja yang berkeinginan
untuk menangkap ikan diperbolehkan.
Claimant Ostrom dan Schlager 1996 mendefinisikannya sebagai berikut,
“[I]ndividuals who posseses the same rights as authorized users plus the collective- choice right of management. With the right of management, claimants have the
collective-choice authority to devise operational-level rights of withdrawal. They cannot however, specify who may or may not have access to resources, nor can they
alienate their right of management”. Dengan istilah lain, claimant adalah authorized user yang juga memiliki tambahan hak untuk ikut dalam proses
manajemen di level operasionalisasi hak pemanfaatan. Hak manajemen ini sebatas pada bagaimana aturan dalam pemanfaatan sumber daya, seperti aturan tentang
jenis teknologi pemanfaatan, tata cara pengambilan manfaat sumber daya dan lainnya. Aturan ini umumnya dapat berupa aturan formal maupun berupa konsensus
yang terjadi diantara kelompok aktor pengguna dan ditaati bersama. Hal yang ditemukan di Waduk Djuanda Jatiluhur adalah tercabutnya hak
manajemen dari authorized user sama sekali, sehingga tidak ditemukan adanya posisi claimant dalam konteks Waduk Djuanda Jatiluhur. Hak manajemen
sepenuhnya berada di tangan kelompok aktor otorita. Sepanjang pengetahuan penulis selama proses pengambilan data dan penelitian, tidak juga ditemukan
adanya konsensus-konsensus yang berjalan di tingkat kelompok aktor pengguna dan ditaati bersama. Sebagai contoh, tidak ditemukan adanya aturan tata letak KJA
yang berkembang di masyarakat. Semuanya lebih kepada siapa yang cepat, mereka yang dapat. Hal ini jelas terlihat saat keadaan perairan waduk yang surut dalam
waktu yang lama atau saat terjadinya blooming algae. Normalnya, para pemilik KJA akan memindahkan ke lokasi yang baru untuk sementara waktu. Hal yang
berlaku adalah siapa saja yang memiliki modal dan siapa yang lebih cepat, bebas untuk memilih lokasi. Tidak ditemukan pengaturan-pengaturan di tingkat
pembudidaya KJA yang dikembangkan sendiri. Tentu, terdapat aturan dari pihak kelompok aktor otorita terkait masalah zonasi, tata letak dan jarak, dan sebagainya,
namun dalam kenyataannya aturan ini tidak sepenuhnya diikuti oleh pihak kelompok aktor pengguna.
Tidak berbeda halnya dengan nelayan, juga tidak ditemukan adanya pengaturan-pengaturan sendiri terkait operasionalisasi penangkapan. Semua aturan
penangkapan bersumber dari pihak kelompok aktor otorita. Namun dalam kenyataannya tidak jarang aturan ini dilanggar dengan mudah. Prinsip siapa cepat
dan kuat, mereka yang dapat masih berjalan dalam keseharian. Claimant pada beberapa kasus biasanya berjalan dalam bentuk kelompok-
kelompok profesi kelompok nelayan atau kelompok pembudidaya, seperti halnya kasus nelayan di Jambudwip, India, posisi claimant dijalankan oleh kelompok
nelayan Raychaudhuri, 1980 dalam Ostrom dan Schlager, 1996. Sementara di lokasi ini, kelompok-kelompok nelayan dan pembudidaya tidak berjalan
sepenuhnya. Kenyataannya, kelompok-kelompok yang ada tidak lebih hanya bentuk lain patronase antara pedagang pengumpul atau pedagang pakan atau
pemilik modal terhadap nelayan dan atau pembudidaya. Antara satu kelompok dengan kelompok lainnya yang ada adalah persaingan atau kompetisi usaha.
Ditambah lagi dengan tidak tersedianya saluran ataupun wadah yang memungkinkan kelompok-kelompok ini ikut serta dalam proses perencanaan dan
pengambilan keputusan terkait penyusunan peraturan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya, menjadikan authorized user tidak terbiasa dalam pelaksanaan proses
manajemen sumber daya.
Pengatur proprietor Ostrom dan Schlager 1996 mendefinisikannya sebagai berikut,
“[P]roprietor are defined as individuals who possess collective-choice rights to participate in management and exclusion. Proprietors authorize who may access
resources and how resources may be utilized; however, they do not have the right to alienate either of these collective-
choice rights”. Berdasarkan definisi tersebut, pengatur atau proprietor selain memiliki hak dalam manajemen penyusunan aturan
operasional pengelolaan dan pemanfaatan, juga memiliki hak eksklusi. Hak eksklusi adalah hak untuk menentukan syarat-syarat siapa yang berhak ikut serta
dalam pemanfaatan sumber daya dan hak untuk melarang pihak tertentu ikut serta dalam pemanfaatan sumber daya. Dalam kasus pengelolaan sumber daya yang
berbasis komunitas, pengatur biasanya dipegang oleh lembaga adat, kelompok profesi atau juga badan usaha seperti koperasi Martin, 1979 dalam Ostrom dan
Schlager, 1996; Berkes, 1986. Pengatur dalam konteks Waduk Djuanda Jatiluhur lebih banyak diambil
perannya oleh kelompok aktor otorita, baik PJT II maupun Disnakkan Kabupaten Purwakarta. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, kedua institusi ini memiliki
kewenangan yang sama. Penyusunan aturan pemanfaatan sumber daya waduk disusun oleh masing-masing institusi secara terpisah. Penyusunan aturan ini tidak
jarang berdasarkan garis kebijakan yang berbeda. Hal ini menyebabkan tidak mudahnya terjadi koordinasi diantara kedua institusi ini. Sebagai contoh, garis
kebijakan PJT II lebih kepada pembatasan bahkan dipandang perlu untuk mengurangi sebanyak mungkin jumlah KJA. Sementara Disnakkan terdorong oleh
upaya pengembangan potensi perikanan, cenderung untuk bersifat hanya menahan laju pertumbuhan jumlah KJA dengan tetap berupaya memberikan fasilitas bagi
pembudidaya KJA. Dalam penyusunan peraturan jelas sama sekali tidak melibatkan kelompok aktor pengguna lainnya.
Walaupun pihak kelompok aktor otorita memiliki hak eksklusi, tetapi dalam kenyataannya sangatlah sulit menjalankan hak ini. Lemahnya pengawasan dan
luasnya area sumber daya menjadi faktor penyebab utama tidak berjalan sempurnanya hak eksklusi ini. Selain juga lemahnya koordinasi diantara institusi
terkait menambah deretan permasalahan. Sebagai contoh, masih mudah
ditemukannya pihak yang membuka usaha KJA baru, walaupun telah jelas ditetapkan bahwa tidak ada penambahan usaha baru ataupun penambahan jumlah
KJA. Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan mencoba
mengikutsertakan masyarakat dalam proses pengawasan sumber daya, melalui program nasional Pokwasmas Kelompok Pengawas Masyarakat. Disnakkan
setempat juga mengupayakan berdirinya Pokwasmas di Waduk Djuanda Jatiluhur. Saat ini setidaknya terdapat dua Pokwasmas yang masih aktif. Namun demikian,
keberadaan Pokwasmas menjadi sebuah masalah baru di masyarakat. Pokwasmas seakan-akan berada di tengah-tengah antara masyarakat dengan aparat pemerintah.
Lembaga ini tidak sepenuhnya diterima di masyarakat, bahkan tidak jarang mendapatkan perlawanan dari masyarakat. Sementara pelaksana Pokwasmas
merasakan kurangnya dukungan dari aparat pemerintah akibat kurangnya koordinasi diantara lembaga penegak hukum serta dinas terkait dan juga terkait
jaminan perlindungan keselamatan mereka.
Pemilik owner Ostrom dan Schlager 1996 mendefinisikan pemilik sebagai berikut,
“[I]f in addition to collective-choice rights of management and exclusion, individuals
also hold the right of alienation, that is, they can sell or lease their collective-choice rights, the
n they are defined as owners”. Hal yang membedakan pemilik dengan proprietor adalah adanya hak alineasi, atau hak mengalihkan kepemilikan
seperangkat hak-hak lainnya dari satu pihak kepada pihak lain. Dalam konteks Waduk Djuanda Jatiluhur, pemilik seakan-akan tersamar dengan proprietor, yaitu
dipegang oleh kelompok aktor otorita. Kelompok aktor otorita beranggapan bahwa mereka adalah perpanjangan tangan dari negara sebagai “pemilik” dari seluruh
sumber daya alam. Posisi aktor dalam pengelolaan sumber daya perairan waduk berdasarkan kategori aktor diperlihatkan dalam Tabel 13.
Tabel 13. Posisi Aktor dalam Pengelolaan Sumber Daya Perairan Waduk berdasarkan Kategori Aktor
Posisi Aktor Aktor Otorita
Aktor Pengguna Authorized entrant PJT II, Disnakkan
KJA, nelayan Authorized User
PJT II KJA, nelayan
Claimant PJT II, Disnakkan
- Proprietor
PJT II de jure, Disnakkan de facto
- Owner
PJT II de jure, Disnakkan de facto
-
Berdasarkan uraian di atas, terlihat beberapa hal yang menjadi entry point permasalahan dan rumitnya pengelolaan sumber daya Waduk Djuanda Jatiluhur.
Aturan yang ada saat ini tidak jelas mengatur seluruh hak dan kewenangan dari berbagai kelompok aktor yang ada, baik otorita maupun pengguna. Aturan yang ada
juga tidak jelas mendefinisikan siapa berikut syarat-syaratnya bagi pihak-pihak yang dapat ikut serta dalam pemanfaatan sumber daya. Kedua lembaga otorita yang
ada sulit berkoordinasi karena memiliki karakteristik yang berbeda dan dasar hukum yang berbeda. Tidak adanya satu payung hukum bersama yang mengatur
bahkan mewajibkan kedua lembaga otorita tersebut untuk bekerja sama juga menjadi kendala dalam mewujudkan koordinasi yang efektif.
Tabel 14. Distribusi Hak dan Kategori Aktor dalam Hak Pengelolaan Sumber Daya Waduk Djuanda Jatiluhur
Access Withdrawal
Management Exclusion
Alienation Owner
Negara yang diwakili oleh PJT II de jure dan Disnakkan Kab. Purwakarta de facto
Proprietor Claimant
Authorized User PJT II, Pembudidaya,
Nelayan -
Authorized Entrant
Setiap orang
-
Hal penting lainnya adalah hilangnya jembatan antara pihak pengguna dengan pihak otorita menjadikan permasalahan utama. Dalam kasus ini,
berdasarkan konteks bundle of rights adalah hilangnya peranan claimant yang menempatkan sebagian hak atas manajemen dari aktor pengguna Tabel 14.
Berbeda halnya dengan kasus nelayan di Lombok Utara yang tercabut hak manajemennya secara sistematis yang secara tradisional mereka miliki dengan
pemberian kompensasi oleh pengelola pariwisata Satria, 2006, kasus di waduk ini adalah semenjak awal berkembangnya usaha perikanan memang tidak pernah ada
upaya melibatkan mereka dalam proses manajemen. Proses pembinaan dan penyuluhan yang saat ini berlangsung pun belum mengarah kepada membiasakan
aktor pengguna melakukan atau melatih diri dalam proses manajemen sumber daya. Pembinaan dan penyuluhan masih lebih banyak bersifat intruksional tentang
teknologi dan sosialisasi aturan. Aktor pengguna berperan sebagai owner terbatas pada lingkup usaha KJA
yang dimilikinya. Sebagai owner, dengan demikian pemilik KJA memiliki keseluruhan hak yang terbatas pada kegiatan usahanya, dengan pengecualian atas
hak alienasi yang tidak dapat dilakukan secara terang-terangan. Dalam kenyataan keseharian, aktor pengguna terutama para pemilik KJA besar dan juga beberapa
aktor pengguna tidak langsung seperti bandar ikan, bandar pakan dan pemodal lebih menentukan terjadinya dinamika pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya waduk
secara keseluruhan. Sebagai contoh, keputusan terkait hak alienasi meskipun dilarang berdasarkan aturan yang ada, tetap dapat terjadi dengan perantaraan pihak-
pihak ini. Keputusan manajemen budidaya ikan juga sangat dipengaruhi oleh pihak- pihak ini dibandingkan rekomendasi-rekomendasi yang diberikan oleh aktor
otorita. Manajemen budidaya ikan ini termasuk di dalamnya adalah jenis ikan, padat tebar, jumlah pakan, jenis pakan, dan obat-obatan. Sementara manajemen budidaya
ikan ini adalah sumber utama dari permasalahan kualitas lingkungan perairan waduk secara keseluruhan yang sering menjadi objek konflik kepentingan antara
aktor otorita dan aktor pengguna. Pihak-pihak aktor pengguna ini juga menggunakan jaringan-jaringan yang seringkali juga melibatkan pihak-pihak dari
aktor otorita dalam menyelesaikan permasalahan pelanggaran hukum.
5.4. Ikhtisar