V. KONFIGURASI AKTOR DAN HAK PENGELOLAAN
SUMBER DAYA WADUK
5.1. Pendahuluan
“…rasanya banyak orang yang ngatur nih waduk, tapi sampe sekarang saya ga berasa ada perubahan manfaat apa-apa buat saya. Paling yang ada Cuma
tambah larangan inilah, itulah, bayar pajek inilah, bayar pajek itulah. Katanya alasan diatur tuh biar air waduk bisa jadi bagus, tapi nyatanya
udah lebih 15 tahun saya di sini usaha KJA yang ada ikan mati massal tambah sering dan tambah susah dikira-kira tiap tahunnya
… Dan makin sering orang dilarang buka KJA baru, malahan kayanya makin nambah
banyak orang ‘baru’…”, JE, pembudidaya skala kecil dan penduduk setempat, 2011
Kutipan wawancara di atas setidaknya memberikan gambaran kasar bahwa masalah pengelolaan sumber daya waduk tidaklah semudah persoalan membangun
dan mendelegasikan kewenangan pengelolaan pada satu atau beberapa insitusi saja. Sementara kewenangan pengelolaan pun bukan semata-semata terbatas pada
kewajiban membuat aturan yang sering dikonotasikan terbatas pada hal larangan saja. Lebih jauh lagi, terdapat
“konsensus” atau pandangan pendapat umum di tingkat masyarakat pengguna sumber daya dan instansi otorita pengelola sumber
daya terkait “siapa” yang memiliki hak dalam “mengatur” sumber daya. Hasil temuan di lokasi penelitian mengindikasikan umumnya masyarakat
pengguna seakan- seakan “menyerahkan” kewajiban dan tanggung jawab
pengelolaan sumber daya kepada pihak otorita pengelola. Pandangan di tingkat otorita pengelola pun seakan-
akan “mengamini” pendapat ini dengan dasar landasan legalitas aturan yang mendelegasikan kewenangan pengelolaan sumber
daya kepada pihak mereka. Dengan demikian maka terjadi pemisahan secara tidak langsung antara pihak subjek pengelola dengan pihak objek yang dikelola. Relasi
yang terbentuk antara kedua pihak ini seakan-akan hanya satu arah dan masing- masing pihak tanpa sadar
“menuntut” dua hal yang berbeda: 1 pihak pengelola menuntut masyarakat pengguna mematuhi segala aturan dan memenuhi segala
kewajiban yang mengikat pajak, uang sewa lahan, dan retribusi; 2 pihak
masyarakat pengguna menuntut jaminan usaha yang seringkali berubah menjadi tuntutan jaminan mendapatkan keuntungan usaha dan perbaikan lingkungan
sumber daya sebagai konsekuensi dari pemenuhan kewajiban yang mengikat tersebut.
Kedua “tuntutan” tersebut seakan-akan saling terlepas dan berdiri sendiri dari masing-masing pihak.
Ketika dua tuntutan ini tidak “bertemu” dalam keseharian maka permasalahan semakin mengemuka di lapang. Implikasinya
masing-masing pihak mengembangkan strategi yang saling berkonfrontasi. Pihak pengelola semak
in mengetatkan “cengkeraman”-nya dengan menambah atau meningkatkan derajat keeratan aturan-aturannya. Alasannya sederhana, setiap
pengguna sumber daya waduk selalu mencari celah untuk “mengakali” aturan- aturan yang ada sehingga mereka dirugikan dari sisi biaya untuk perawatan
lingkungan perairan. “ Sejak 10 tahun lalu, saya bekerja di bagian lapang yang mengurusi
masalah monitoring dan perizinan. Sepengetahuan saya, banyak dari pemilik KJA yang selalu curang dan sering kali menghindar dari kewajiban-
kewajiban mereka. Mereka selalu curang dalam hal registrasi jumlah KJA, tidak mematuhi persyaratan konstruksi dan bangunan serta aktifitas yang
dibolehkan di atas KJA dan masih banyak lagi. Pokoknya, mereka itu merugikan kami, karena tidak sebanding antara pemasukan dari uang biaya
pajak dan izin dari mereka dengan biaya yang kami keluarkan untuk perawatan lingkungan, monitoring dan perawatan alat-alat utama kami
seperti turbin. Mereka itu yan
g mengotori lingkungan perairan…”, AA, petugas lapang PJT II, 2011
Sementara itu, pihak pengguna sumber daya mengembangkan strategi keluar dari “cengkeraman” pihak otorita pengelola. Mereka dengan segala cara
berupaya mengatasi segala larangan-larangan yang telah dibuat oleh pihak pengelola. Dalam pandangan mereka segala larangan itu membatasi mereka untuk
mendapatkan keuntungan usaha yang lebih banyak lagi, sementara penanggungan resiko usahapun sepenuhnya ditanggung oleh mereka. Selain itu, segala kewajiban
yang dibebankan kepada mereka, seperti besarnya biaya izin lokasi dan retribusi izin usaha tidak lain menambah beban mereka saja. Mereka pun tidak mendapatkan
keuntungan apa-apa dari membayar hal-hal tersebut. Semakin bertambah berkurangnya kualitas perairan juga semakin menekan usaha mereka. Terkait hal
kualitas perairan, mereka tidak lain melemparkan tanggung jawab tersebut kepada pihak otorita.
Bromley 1991 telah menegaskan bahwa pengelolaan sumber daya tidak lain adalah kesatuan dari struktur hak dan kewajiban yang mengikat setiap pihak
yang terlibat dalam pemanfaatan sumber daya. Kesatuan struktur hak dan kewajiban ini dikenal lebih jauh dengan konsep hak kepemilikan atau property
right. Kunci dari konsep hak kepemilikan adalah memandang setiap hak dan kewajiban sebagai sebuah mekanisme sosial yang mengikat setiap individu atau
kelompok atau pihak yang sama-sama terlibat dalam pemanfaatan sumber daya yang sama. Dengan demikian, permasalahan pertama yang muncul dalam
pengelolaan sumber daya di waduk ini adalah tidak terpetakannya dengan baik pihak-pihak mana saja yang sebenarnya terlibat dalam pemanfaatan sumber daya
waduk. Pihak otorita hanya mengindentifikasikan satu kategori saja, yaitu masyarakat pengguna untuk menyebut seluruh pihak yang terlibat dalam
pemanfaatan langsung sumber daya waduk tersebut. Hal ini berimbas pada generalisasi dan penyederhanaan masalah serta pilihan strategi yang diambil bagi
kedua belah pihak pengelola otorita dan pengguna seperti diuraikan di atas. Pada kenyataannya, hubungan antara pihak otorita, sumber daya waduk dan pengguna
tidaklah bersifat bilateral yang hanya mempertemukan pihak otorita dengan pemanfaat langsung saja, namun bersifat multilateral dan multirelasional dengan
banyak tipe pengguna dan juga klaim otorita.
5.2. Konfigurasi Aktor Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Waduk