model pengelolaan sumber daya secara kolaboratif co-management dengan menggunakan kerangka bundle of rights Ostrom. Secara prinsip, model pengelolaan
sumber daya yang bersifat co-management adalah model berbagi peran dan tanggung jawab atas pengelolaan sumber daya antara dua pihak, umumnya antara
pemerintah dengan masyarakat atau swasta. Penelitian ini berupaya mencari jawaban dan menyoroti berbagai kelompok
kepentingan yang saling berkontestasi dalam pengelolaan sumber daya perairan Waduk Jatilhur. Kelompok-kelompok kepentingan ini disinyalir memberikan
warna dalam proses-proses negosiasi dan kontestasi atas rights dan otoritas, sehingga hal-hal terkait akses dan kontrol atas sumber daya tidak hanya sebatas atas
masalah distribusi rights diantara para aktor saja.
1.2. Rumusan Masalah Penelitian
Kegunaan waduk yang bersifat multi fungsi melibatkan beberapa aktifitas diantaranya adalah penyediaan bahan baku air bersih, pembangkit tenaga listrik,
irigasi, pengendali banjir, perikanan budidaya, perikanan tangkap dan transportasi air. Beragamnya kegunaan waduk tersebut menyebabkan sifat pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya perairannya melibatkan berbagai aktor yang memiliki kepentingan yang berbeda. Berdasarkan kronologis pengelolaan waduk, diawali
dengan diterbitkannya PP No.8 tahun 1967, maka dibentuklah suatu badan pengelola dan pembina Waduk Jatiluhur dengan nama Perusahaan Negara PN
Jatiluhur yang berkedudukan di Jatiluhur. Berdasarkan PP tersebut, maka segala hak dan kewajiban, perlengkapan dan kekayaan serta usaha beralih kepada PN
Jatiluhur. Pengalihan hak dan kewajiban ini mencakup pengelolaan sumber daya air dan potensi ekonominya Sudjana, 2004; Witomo dan Reswati, 2009.
Agar pengelolaan dan pengusahaan maksimal dari potensi-potensi tersebut, maka perlu adanya perubahan bentuk perusahan berupa perusahan umum.
Perusahaan umum yang dimaksud adalah suatu unit bisnis negara dengan seluruh modal dan kepemilikan dikuasai oleh pemerintah bertujuan menyediakan barang
dan jasa publik dan melayani masyarakat umum serta mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengolahan perusahaan. Kemudian diterbitkanlah PP No. 20
Tahun 1970 tentang Pembentukan Perusahaan Umum Perum “Otorita Jatiluhur”.
Kewenangan Perum ini mencakup sebagai pengelola air dan sumber-sumber air serta prasarana pengairan yang berada di wilayahnya. Berdasarkan PP No 94 Tahun
1999, maka pengelolaan, perlindungan, pemanfaatan dan pengembangan waduk Ir. H. Djuanda merupakan kewenangan Perum Jasa Tirta II PJT II sebagai BUMN
pengelola air dan atau sumber air Sudjana, 2004. Kegiatan ekonomi yang ada di waduk saat masa-masa awal penggenangan air
adalah hanya sebatas pada perikanan tangkap secara sederhana, yaitu menggunakan alat tangkap pancing dan jaring insang gill net. Kemudian semenjak Tahun 1974
dimulai uji coba dan penelitian terkait pengembangan teknik budidaya Keramba Jaring Apung KJA. Kegiatan budidaya KJA tersebut pada awalnya
direkomendasikan sebagai bagian dari program pemindahan dan pemukiman kembali penduduk yang terkena dampak pembangunan waduk. Program ini
bertujuan memberikan mata pencaharian baru bagi penduduk setempat sebagai pengganti mata pencaharian pertanian sawah dan kebun, juga perikanan tangkap di
aliran Sungai Citarum. Berkembangnya budidaya ikan KJA di waduk Ir. H. Djuanda terbukti telah memberikan dampak positif terhadap peningkatan produksi
ikan, konsumsi ikan, peluang usaha, kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan semenjak diintroduksikan Sudjana, 2004.
Pada awal perkembangan budidaya KJA, baik masyarakat umum maupun pihak pemerintah dan Perum Otorita sama-sama melihat sebagai sebuah potensi
ekonomi yang cukup besar. Tidak lama setelah terlihat berhasilnya budidaya KJA dikeluarkanlah oleh pemerintah berupa Keppres No.7 Tahun 1981 tentang
Penetapan Perusahaan Umum Perum ”Otorita Jatiluhur“ sebagai perusahaan yang dapat menarik dan menerima iuran pembiayaan eksploitasi dan pemeliharaan
prasarana pengairan. Iuran pembiayaan eksploitasi dan pemeliharaan prasarana pengairan ini mengacu atas UU No 11 Tahun 1974 tentang pengairan yang
mewajibkan baik badan hukum, badan sosial maupun perorangan yang mendapat manfaat langsung dari tersedianya air sebagai hasil pembangunan pengairan, baik
untuk diusahakan lebih lanjut maupun untuk keperluan sendiri, wajib ikut serta menanggung pembiayaan dalam bentuk iuran.
Kemudian, sebagai konsekuensi dari UU No 11 Tahun 1974 tersebut maka ditetapkanlah PP No.6 Tahun 1981 tentang Iuran Pembiayaan Eksploitasi dan
Pemeliharaan Prasarana Pengairan yang menjadi dasar hukum bagi Perum Otorita Jatiluhur. Iuran pembiayaan eksploitasi dan pemeliharaan prasarana pengairan
meliputi dana yang ditarik sebagai imbalan dari pihak-pihak yang telah memperoleh manfaat penggunaan dan kenikmatan dengan tersedianya air, dari
sumber-sumber air, dan dengan adanya bangunan-bangunan pengairan sebagai hasil pengelolaan perusahaan baik untuk diusahakan sendiri atau yang akan
diusahakan lebih lanjut untuk kepentingan pihak ketiga. Juga dari mereka yang usaha atau kegiatannya telah mengakibatkan pencemaran air dan sumber-sumber
air di dalam wilayah perusahaan yang bersangkutan Witomo dan Reswati, 2009. Berdasarkan uraian kronologis di atas, maka terlihat perubahan sifat
“kepemilikan” sumber daya perairan dari bersifat publik umum menjadi privat swasta, dalam hal ini dikuasai oleh BUMN. Seluruh wilayah genangan air waduk
kemudian secara de jure menjadi “hak milik” perusahaan BUMN tersebut. Namun
demikian, secara de facto masyarakat masih menganggap wilayah genangan air waduk tersebut adalah miliknya karena tanah yang ada di dasar perairan adalah
milik mereka Koeshendrajana et al., 2008. Pengakuan secara de facto ini muncul akibat rasa tidak puas dari proses ganti rugi dahulu yang tidak sesuai sehingga
banyak masyarakat yang tadinya memiliki sawah dan kebun, setelah proses ganti rugi tidak mampu memiliki sawah dan kebun pengganti. Hal ini terlihat dari
berkembangnya usaha pertanian di daerah lereng pasang surut waduk yang diklaim oleh masyaraka
t atas dasar “kedekatan” jarak dari tanah asalnya yang terendam dahulu. Masyarakat juga menolak dikenakan biaya sewa atas usaha pertanian ini
ACIAR, 2004; Koeshendrajana et al, 2008. Pihak PJT II tetap memberikan akses utamanya bagi kegiatan budidaya dal
am kerangka “sewa lahan” yang mengacu pada PP No.6 Tahun 1981 tentang Iuran Pembiayaan Eksploitasi dan Pemeliharaan
Prasarana Pengairan. Permasalahan lebih kompleks kemudian muncul seiring dengan terus
berkembangnya usaha budidaya KJA. Bagi masyarakat terjadi kecemburuan sosial dan ekonomi. Hal ini disebabkan karena mayoritas kepemilikan usaha budidaya
KJA berasal dari luar daerah, yaitu lebih dari 60 dengan penguasaan jumlah petak
keramba mencapai lebih dari 80 dari total KJA yang ada ACIAR, 2004. Total KJA mencapai 8.043 petak pada Tahun 2004 ACIAR, 2004. Kecenderungan yang
ada adalah terus bertambahnya kepemilikan KJA oleh pihak di luar penduduk setempat. Hal ini disebabkan besarnya modal yang diperlukan dalam mengawali
usaha budidaya KJA dan besarnya biaya operasional, terutama dari komponen biaya pakan. Penduduk setempat semakin terjepit karena pekerja di KJA milik
penduduk luar daerah bukan berasal dari penduduk tempatan. Pemilik KJA cenderung mengambil tenaga kerja sebagai operator sehari-hari dari daerah asalnya
masing-masing dibanding penduduk setempat sekitar waduk. Masyarakat setempat kemudian terpinggirkan dengan berusaha sebagai
nelayan akibat keterbatasan modal bukan sebagai pilihan utama. Hal ini ditunjukkan dengan mayoritas nelayan sebesar 85 dari total 871 nelayan pada
Tahun 2004 ACIAR, 2004. Jenis ikan tangkapan bukan merupakan jenis ikan ekonomis tinggi, dengan mayoritas hasil tangkapan berupa Ikan Nila. Penghasilan
tangkapan nelayan bersifat tidak pasti dan jauh dibandingkan dengan pendapatan sebagai operator KJA. Hal ini diperparah dengan terbatasnya sumber-sumber mata
pencaharian bagi nelayan tersebut. Umumnya nelayan tidak memiliki lahan pertanian dan cenderung bergantung atas pekerjaan sebagai nelayan atau buruh
lepas Koeshendrajana et al, 2008. Sementara bagi pihak PJT II, perkembangan kegiatan budidaya KJA
cenderung menimbulkan permasalahan, utamanya akibat dari sisa pakan. Semakin besar jumlah dan intensitas eksploitasi sumber daya air tersebut berdampak
terhadap degradasi kualitas lingkungan yang cenderung meningkat, terjadi penurunan kualitas air sekitar KJA, dan peraiaran yang mengarah ke kondisi
anoksia tidak terdapat kandungan oksigen sehingga dapat menyebabkan kematian ikan serta menghasilkan gas beracun seperti amoniak dan H
2
S. Hal ini berpengaruh pada estetika, usaha kepariwisataan dan penduduk sekitar Sudjana, 2004.
Intensitas limbah sisa pakan juga ditengarai mempercepat proses pelapukan bendungan, dan korosi pada turbin selain mengurangi kualitas bahan baku air
minum. Dengan demikian, akibat adanya aktifitas budidaya KJA ini dipandang hanya menambah beban biaya perawatan instalasi PJT II.
Pemerintah, baik pemerintah pusat Kementerian Kelautan dan Perikanan dan pemerintah daerah Dinas Perikanan Kabupaten Purwakarta, memiliki
kepentingan yang berbeda terkait Waduk Juanda. Arah kebijakan perikanan nasional yang masih tetap pada jalur pemacuan produksi perikanan menyebabkan
sub sektor budidaya perikanan secara umum menjadi strategi dalam pencapaiannya. Sementara bagi pemerintah daerah memiliki kepentingan atas pungutan bagi
pemasukan asli daerah. Upaya penambahan jumlah KJA dan intensifikasi usaha menjadi alternatif yang ditempuh dalam pembinaan dan pengembangan budidaya.
Pemahaman akan jargon “batasi penangkapan dan kembangkan budidaya” diterapkan juga pada perikanan perairan umum seperti waduk. Sementara beberapa
hasil penelitian di perairan umum seperti waduk, kondisinya mengatakan hal yang berlawanan, yaitu “batasi budidaya dan kembangkan penangkapan”.
Lain halnya dengan pihak swasta, dalam hal ini adalah perusahaan pakan melalui agen-agen pakan memiliki kepentingan bisnis yang besar dari keberadaan
budidaya KJA. Biaya pakan mencakup lebih dari 70 keseluruhan biaya operasional budidaya KJA. Perputaran uang yang terjadi setiap harinya dapat
mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Sementara harga pakan cenderung terus meningkat setiap tahunnya ACIAR, 2004: Koeshendrajana et al., 2008.
Agen-agen pakan dapat memberikan paket-paket keringan dalam permodalan yang bertujuan mendorong pertambahan jumlah KJA.
Berdasarkan uraian di atas, maka terlihat beberapa aktor yang terlibat dan berinteraksi pada satu sumber daya perairan yang sama. Setiap aktor memiliki
derajat kepentingan, kekuasaan dan otoritas yang berbeda dengan aktor lainnya. Hal ini mempengaruhi pilihan-pilihan strategi masing-masing aktor dalam menghadapi
dan berkontestasi atas isu pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perairan waduk tersebut.
Hal yang menarik adalah terpinggirkannya nelayan dari permasalahan dan proses-proses negosiasi terkait aturan-aturan pengelolaan waduk. Kegiatan
budidaya menjadi sorotan dan menyita ruang publik dari pengelolaan waduk. Sementara penentuan jumlah besaran KJA akan juga berpengaruh terhadap
berkurang atau bertambahnya luasan zona penangkapan mereka. Lokasi yang telah berkembang usaha KJA secara otomatis “menutup” dan memperkecil zona
penangkapan. Hal tersebut akibat semakin rapatnya jarak satu kepemilikan usaha KJA dengan kepemilikan usaha KJA lainnya. Permasalahan lainnya adalah hampir
mayoritas penduduk setempat hanya mampu mengakses sumber daya perairan sebagai nelayan, sementara budidaya KJA dikuasai mayoritas oleh penduduk luar
daerah setempat. Hal ini tentu akan memicu permasalahan keadilan lingkungan dan bisa menjadi sumber pemicu konflik terkait keadilan distribusi manfaat sumber
daya perairan. Berdasarkan uraian di atas, maka timbul pertanyaan-pertanyaan penelitian
sebagai berikut : 1. Bagaimanakah konfigurasi aktor dan distribusi hak kepemilikan sumber daya
perairan waduk yang terjadi ? 2. Bagaimanakah akses terhadap sumber daya perairan waduk dan strategi aktor
dalam memperoleh dan mempertahankannya ? 3. Bagaimanakah proses kontestasi kepentingan yang terjadi di dalam penguasaan
dan pengelolaan sumber daya perairan waduk?
1.3. Tujuan Penelitian