Kebijakan dan Arena Kontestasi Kepentingan

Tabel 23. Arena Kontestasi Kepentingan di Tingkat Diskursus Arena Diskursus Daya Dukung Pakan Aktor Otorita PJT II dan Disnakkan Kab. Purwakarta Pabrik pakan, Pedagang pakan, pengusaha KJA Kontestasi Daya dukung berbasis oksigen terlarut VS total nitrogen dan fosfor a. Pakan komersial VS non- komersial b. Teknik pemberian pakan sistem pompa VS non-sistem pompa Basis Kepentingan Pengurangan jumlah KJA VS Mempertahankan jumlah KJA Keuntungan usaha VS kualitas lingkungan sumber daya perairan Pihak yang kuat Otorita PJT II dan Disnakkan Kab. Purwakarta Pabrik pakan dan pedagang pakan Pihak yang lemah Pengguna Pengusaha KJA skala kecil

7.3. Kebijakan dan Arena Kontestasi Kepentingan

Kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya Waduk Djuanda, Jatiluhur dibentuk oleh berbagai faktor, namun kesemuanya tidak terlepas dari masalah kepentingan pihak-pihak yang menyusunnya. Berdasarkan analisis teori hak kepemilikan sumber daya di bab sebelumnya diperoleh informasi bahwa terdapat ketimpangan distribusi hak antara aktor otorita dan pengguna. Hal yang paling mendasar adalah terakumulasinya hak-hak yang terkait dengan pengambilan keputusan kolektif pada kelompok aktor otorita. Hak ini terdiri dari hak management, exclusion dan alienation. Ketiga hak ini memiliki peranan penting di dalam hal menentukan segala aturan tentang tata cara pemanfaatan dan pengelolaan. Dengan terakumulasinya hak-hak tersebut pada kelompok aktor otorita, maka dengan sendirinya hanya kepentingan kelompok aktor otorita saja yang terakomodasi. Kelompok aktor pengguna yang terputus aksesnya terhadap hak-hak ini secara otomatis tidak memiliki tempat untuk memperjuangkan kepentingannya secara legal. Dengan demikian bisa dikatakan distribusi hak kepemilikan sumber daya bias terhadap kelompok aktor otorita. Sementara itu, kontestasi kepentingan yang terjadi di lapisan kebijakan sebenarnya juga terkait erat dengan kepentingan “core business” dari 2 dua aktor otorita, yaitu PJT II dan Disnakkan Kabupaten Purwakarta. PJT II sebagai sebuah badan usaha memiliki kepentingan mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin dari core business nya, yaitu penyedia bahan baku air bersih dan juga penyedia listrik. Dengan demikian, segala hal yang merusak dan menurunkan kualitas lingkungan perairan dianggap sebagai sebuah ancaman usaha bagi mereka. PJT II menganggap kegiatan perikanan budidaya justru menjadi beban bagi usahanya. Kerusakan dan degradasi kualitas perairan salah satunya dituding sebagai dampak dari kegiatan perikanan budidaya yang semakin tidak terkendali jumlahnya. Kerugian usaha yang dialami oleh PJT II termasuk di dalamnya adalah biaya perawatan instalasi yang mereka miliki, baik instalasi air maupun instalasi listrik. Meskipun PJT II mendapatkan “keuntungan” dari dikenakannya biaya “sewa lahan” dalam bentuk izin lokasi KJA, namun dianggap tidak sebanding dengan keseluruhan biaya operasional perawatan unit-unit instalasi tersebut. PJT II berupaya melindungi kepentingan bisnisnya dengan mengambil strategi cenderung untuk membatasi dan mengurangi kegiatan budidaya KJA. Legitimasi ilmu pengetahuan juga ditempuh dengan melakukan serangkaian kegiatan penelitian terkait dampak dari kegiatan KJA terhadap lingkungan perairan. Penguatan dan pengembangan diskursus pengetahuan seperti yang dijelaskan sebelumnya merupakan salah satu strategi yang ditempuh oleh PJT II. Dalam berbagai forum yang mempertemukan kelompok elit masyarakat, seperti ilmuwan dan pemerintah, permasalahan dampak kegiatan KJA terhadap lingkungan perairan selalu menjadi sorotan utama dari pihak PJT II. Namun demikian, proses-proses dialog dengan kelompok aktor pengguna minim dilakukan. Jika pun ada, maka proses dialog tersebut hanya lebih berkisar tentang sosialisasi peraturan dan himbauan mentaati peraturan. Disnakkan, di lain pihak, memiliki kepentingan PAD dari sektor perikanan. Hal ini mengingat manfaat sumber daya yang diperoleh berasal dari alur kegiatan perikanan, baik budidaya maupun penangkapan, melalui retribusi dan perizinan sebagai sumber PAD. Bentuk kegiatan yang dilakukan oleh pihak Disnakkan lebih banyak kepada kegiatan pengawasan. Sayangnya, berdasarkan informasi selama penelitian diperoleh bahwa kegiatan pengawasan ini menjadi sempit maknanya menjadi pemeriksaan dan penagihan perizinan. Kegiatan penyuluhan juga sangatlah minim dilakukan. Pembentukan kelompok-kelompok pembudidaya KJA berdasarkan lokasi zonasi memang telah dilakukan dengan inisiasi dari Disnakkan dan juga PJT II. Namun sekali lagi, kelompok-kelompok ini juga lebih banyak berperan sebagai tempat penagihan dan pengurusan kolektif retribusi dan perizinan. Kelompok-kelompok ini tidak berkembang menjadi sebuah tempat bernegosiasi kepentingan antara pihak otorita dan pengguna dalam penyusunan aturan-aturan pengelolaan sumber daya. Kepentingan terhadap sumber PAD melalui retribusi dan perizinan membuat Disnakkan tidak berkeinginan hilangnya kegiatan KJA dari Waduk Djuanda, Jatiluhur. Namun demikian, Disnakkan juga tidak menutup mata bahwa kegiatan KJA yang tidak terkontrol juga merupakan sebuah sumber masalah bagi lingkungan perairan. Strategi yang ditempuh oleh Disnakkan dengan cenderung mempertahankan jumlah pembudidaya dan perbaikan teknik-teknik usaha yang lebih ramah lingkungan. Sayangnya strategi ini tidak diimbangi dengan ketersediaan penyuluhan dan aturan serta sanksi terkait teknik-teknik usaha yang ramah lingkungan. Sebagai contoh, meskipun pihak Disnakkan mengetahui penggunaan sistem pompa dalam pemberian pakan akan lebih cepat mengotori lingkungan perairan, tetapi tidak dilakukan pengaturan tentang hal tersebut. Perbedaan kepentingan diantara kedua lembaga otorita ini membuat kebijakan pengelolaan sumber daya waduk yang ada menjadi tidak utuh. Seakan- akan kedua lembaga otorita ini hanya berkutat dengan permasalahan KJA saja dan melupakan faktor-faktor lainnya. Sementara kedua lembaga otorita ini disibukkan dengan berkontestasi di dalam penyusunan kebijakan tentang perlu tidaknya pengurangan KJA, permasalahan seperti pengaturan jumlah pakan yang masuk, teknik budidaya yang ramah lingkungan, akses permodalan, keadilan kesempatan usaha bagi masyarakat, proses penangkapan ikan dan lainnya luput di dalam pembahasan penyusunan peraturan pengelolaan. Tabel 24 menunjukkan arena kontestasi kepentingan di tingkat kebijakan. Tabel 24. Arena Kontestasi Kepentingan di Tingkat Kebijakan Aktor PJT II Disnakkan Kab. Purwakarta Basis Kepentingan - Penyedia bahan baku air bersih - Penyedia listrik - PAD retribusi Kontestasi KJA sumber permasalahan degradasi lingkungan perairan Pengelolaan usaha KJA yang kurang tepat merupakan penyebab permasalahan degradasi lingkungan perairan Strategi Kebijakan Pengurangan jumlah KJA Mempertahankan jumlah KJA dan pengetatan perizinan serta penarikan retribusi

7.4. Pemanfaatan Sumber Daya Operasional dan Arena Kontestasi Kepentingan