Wright 1987 menekankan bahwa struktur kelas merupakan sebuah struktur dari relasi sosial yang menciptakan matrix dari ekploitasi berdasarkan kepentingan-
kepentingan. Struktur kelas tidak menciptakan pola tertentu dari terbentuknya formasi kelas, tetapi menentukan underlying probabilities dari berbagai formasi
kelas. Wright 1987, kemudian menyebutkan permasalahan aliansi yang dapat terjadi antar kelas, bagian dalam kelas, dan diantara lokasi kelas yang bertentangan.
Aliansi dibentuk berdasarkan strategi-strategi yang bertujuan mengamankan ekploitasi kelas. Bagi Wright 1987, kelas dibentuk atas pola penguasaan atau
kepemilikan efektif atas aspek-aspek dari force of production. Berbagai relasi ekploitasi yang berbeda yang menjelaskan berbagai kelas yang berbeda terhubung
atas qualitatives properties dari berbagai aspek terkait force of production. Dengan demikian, kelas yang diajukan oleh Wright 1987 dengan sendirinya memiliki
dimensi kritis karena mengajukan permasalahan eksploitasi sebagai dasar material pembentukan kelas.
2.2. Kerangka Pemikiran
Permasalahan pengelolaan sumber daya tidaklah semudah dan sesederhana permasalahan membagi-bagikan atau mendistribusikan perangkat-perangkat
kesatuan hak-hak kepada satu atau lebih aktor. Jenis sumber daya yang cenderung bersifat common pool resource, seperti sumber daya perairan, umumnya melibatkan
banyak aktor yang masing-masing memiliki derajat kepentingan yang berbeda. Bahkan tidak jarang derajat kepentingan tersebut saling bertolak belakang sehingga
menimbulkan potensi konflik dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya. Masing-masing aktor memiliki dan terus mengembangkan strategi-strategi yang
bertujuan mempertahankan akses mereka atas sumber daya tersebut. Hal ini menjadi menarik untuk dikaji karena pilihan-pilihan strategi tersebut
melibatkan proses-proses terbentuknya relasi-relasi kekuasaan. Relasi kekuasaan tersebut saling berebut tempat dan pengaruh, berkontestasi satu dengan lainnya
dalam ruang kebijakan. Dalam proses kontestasi tersebut terjadi distribusi atau polarisasi relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara berbagai aktor yang terlibat.
Dampaknya adalah terjadinya proses marjinalisasi salah satu atau beberapa aktor dalam proses pengelolaan sumber daya tersebut.
Sementara dalam konteks pengelolaan perairan Waduk Jatiluhur, setidaknya terdapat beberapa aktor yang saling berinteraksi, yaitu PJT II, Kementerian
Kelautan dan Perikanan, Dinas Perikanan Kabupaten Purwakarta, pembudidaya KJA, nelayan, dan pabrik pakan melalui agen-agen pakan. Titik masuk
permasalahan utama pengelolaan Waduk Jatiluhur adalah berkembang pesatnya usaha budidaya KJA hingga nyaris tidak terkendali. Dua kutub kepentingan
setidaknya terlihat, yaitu pihak-pihak yang tidak menghendaki keberadaan atau pengurangan jumlah usaha budidaya KJA dan pihak-pihak-pihak yang
menghendaki keberadaan atau pengembangan jumlah usaha budidaya KJA. Tarik menarik diantara dua kutub kepentingan ini terlihat implikasinya atas
tidak terkendalinya dan tidak dipatuhinya zonasi-zonasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Selain itu, penetapan jumlah batasan maksimal KJA dan perangkat
aturannya selalu terkendala karena masing-masing kutub kepentingan ini mengacu atas dasar “klaim” pengetahuan ilmiah yang berbeda. Hal yang kemudian menarik
adalah proses termarjinalisasinya nelayan yang notabene adalah mayoritas penduduk setempat dalam proses kontestasi pengelolaan sumber daya perairan
waduk tersebut. Ketika timbul wacana dan “nasionalisme” atas nama usaha KJA adalah untuk kepentingan rakyat, maka menjadi sebuah pertanyaan besar karena
mayoritas usaha KJA adalah pemodal besar dan bukan penduduk setempat. Sementara pada tataran masyarakat sendiri yang jauh dari hiruk pikuk masalah
kebijakan, muncul adanya potensi konflik akibat kecemburuan sosial dan ekonomi. Potensi konflik ini adalah antara penduduk setempat, yang diwakili oleh nelayan,
dengan penduduk luar daerah setempat, yang diwakili oleh pembudidaya dan pekerjanya.
Sementara itu, kondisi sumber daya perairan waduk itu sendiri terus mengalami tekanan yang berdampak pada degradasi perairan. Degradasi perairan
pada akhirnya akan berpengaruh terhadap seluruh kegiatan usaha yang saat ini tengah berlangsung. Proses kontestasi, negosiasi atau bahkan pembiaran menjadi
sangat menarik untuk dikaji mengingat terus terdegradasinya sumber daya.
Teori akses dan teori kepemilikan property rights akan digunakan untuk melihat dan memetakan bagaimana mekanisme distribusi bundle of powers dan
bundle of rights yang terjadi dalam konteks pengelolaan sumber daya perairan waduk. Teori akses juga digunakan untuk mengkaji proses-proses dan bentuk-
bentuk relasi kekuasaan yang terjadi diantara para aktor yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya perairan waduk. Sementara teori konflik digunakan untuk
mengkaji terjadinya ketimpangan relasi kekuasaan yang terjadi antar aktor dan dampaknya atas perbedaan distribusi manfaat dan kerugian dari pengelolaan
sumber daya perairan waduk tersebut. Kerangka pemikiran pemikiran secara sederhana ditampilkan dalam Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Sumber Daya Perairan Waduk
PJT II KKP dan Diskan
Kab Purwakarta Pembudidaya
Nelayan Pedagang
Pakan
Akses dan Kontrol Degradasi Sumber Daya
Perairan
Kepentingan Kekuasaan
Kewenangan Teori Konflik
Teori Property Rights Teori Akses
Teknologi Kapital
Pasar Tenaga Kerja
Pengetahuan Otoritas
Identitas Sosial Relasi Sosial
Teori Akses Mekanisme Struktural
dan Relasional
Pengelolaan Sumber Daya Perairan
2.3. Hipotesis Penelitian