Tabel 24. Arena Kontestasi Kepentingan di Tingkat Kebijakan Aktor
PJT II Disnakkan Kab. Purwakarta
Basis Kepentingan - Penyedia bahan baku
air bersih -
Penyedia listrik -
PAD retribusi
Kontestasi KJA sumber
permasalahan degradasi lingkungan perairan
Pengelolaan usaha KJA yang kurang tepat merupakan
penyebab permasalahan degradasi lingkungan perairan
Strategi Kebijakan Pengurangan jumlah KJA
Mempertahankan jumlah KJA dan pengetatan perizinan serta
penarikan retribusi
7.4. Pemanfaatan Sumber Daya Operasional dan Arena Kontestasi Kepentingan
Kontestasi kepentingan di lapisan operasional terjadi dalam bentuk kegiatan ekstraksi manfaat sumber daya oleh kelompok aktor pengguna. Kontestasi
kepentingan di lapisan ini terjadi dalam 3 tiga hal, yaitu tata cara mengontrol akses, mempertahankan akses dan juga memperoleh akses. Hubungan antara
mereka yang mengontrol akses pihak lain dengan pihak yang harus mempertahankan akses, paralel dengan hubungan antara pemilik modal dengan
buruh dalam konsep Marx. Untuk mempertahankan akses, pihak subordinat seringkali harus membagi manfaat yang mereka peroleh kepada pihak yang
memiliki kontrol terhadap akses. Pihak subordinat mengeluarkan sumber daya yang mereka miliki demi menjaga relasi dengan pihak yang memiliki kontrol Ribot dan
Peluso, 2003. Hanya dengan membagi manfaat saja maka dapat memperoleh manfaat bagi dirinya. Kekuasaan memainkan peranan penting dalam setiap posisi
aktor pada relasi akses. Seorang aktor bisa memiliki kekuasan yang lebih dibanding yang lain pada saat tertentu atau pada suatu relasi tertentu.
Ribot dan Peluso 2003 menyebutkan bahwa pintu akses bagi masyarakat bisa melalui beberapa hal, seperti penguasaan akan teknologi, kapital, pasar, tenaga
kerja, pengetahuan, otoritas, identitas sosial dan relasi sosial. Namun demikian, dalam kenyataannya di lokasi penelitian, faktor penguasaan akan kapital tetap
menjadi hal yang paling menentukan. Hubungan antara alam dan manusia bisa juga dipahami dalam konteks konfigurasi kapital. Hal ini disebabkan karena alam tidak
serta merta menjadi sumber daya, tanpa adanya interaksi dengan manusia. Proses perubahan alam menjadi sumber daya, bahkan kemudian menjadi komoditas,
terkait erat dengan pola relasi yang terjadi diantara manusia dengan alam, dan manusia dengan manusia. Pola relasi ini tidaklah bersifat statis, namun bersifat
dinamis. Karakteristik relasi alam dan manusia itu sendiri mewarnai berbagai tujuan dan kepentingan yang dimiliki oleh setiap individu. Karakteristik tersebut juga
mewarnai tata cara pengorganisasian sosial dalam hal mengekstraksi sumber daya. Hanna dan Jentoft 1996 menyebutkan,
“When people use nature’s goods and services, they transform nature into a resource…As nature enters the human
sphere as resouces, it takes on attributes of capital and is influenced by goals, values, and uncertainty”. Dalam konteks ini, sumber daya alam dipandang sebagai
sebuah kapital modal yang penguasaan dan penggunaannya dipengaruhi oleh tujuan, sistem nilai dan ketidakpastian. Ekosistem dipandang sebagai modal alam
karena ekosistem memproduksi aliran barang dan jasa lingkungan Hanna dan Jentoft, 1996. Namun demikian, modal alam ini tidak dapat berdiri sendiri tanpa
adanya campur tangan jenis kapital modal lainnya. Kompleksitas relasi sosial terletak di konfigurasi berbagai jenis kapital yang berinteraksi dengan modal alam
tersebut. Hanna dan Jentoft 1996, mencatat setidaknya ada empat jenis kapital
lainnya yang terkait erat dengan relasi sosial, yaitu modal fisik berupa peralatan dan teknologi untuk mengekstrak sumber daya; modal finansial yang diakumulasi untuk
menyediakan modal fisik; modal kultural – berupa norma, sistem nilai dan aturan
yang mendorong adaptasi dan modifikasi lingkungan sumber daya – sebagai arena
sosial tempat interaksi manusia dan alam Berkes dan Folke, 1994; dan modal kelembagaan, bagian dari modal kultural, sebagai tempat perangkat aturan dan
menentukan kemampuan pengorganisasian yang mengkoordinasikan tindakan manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam Hanna, 1996.
Ribot dan Peluso 2003 menyebutkan pola relasi akses selalu melibatkan pihak yang menguasai dan mengkontrol akses dan pihak yang harus
mempertahankan aksesnya. Pola relasi akses tersebut juga erat kaitannya dengan faktor kekuasaan. Sementara kekuasaan yang ada di lokasi penelitian jelas
terbentuk utamanya dari penguasaan akan kapital. Secara umum pola relasi yang
terjadi tidaklah mengerucut kepada dua polar seperti halnya tradisi Marx, yaitu kelompok pihak dominan berlawanan dengan kelompok pihak sub ordinat.
Kenyataannya kontestasi terjadi diantara kelompok-kelompok vertikal satu dengan lainnya. Setiap pihak yang menguasai akses kapital pembudidaya skala besar,
pedagang pakan, pemodal akan berkolaborasi dengan pihak-pihak yang membutuhkan akses kapital tersebut nelayan dan pembudidaya KJA skala kecil
dan membentuk satu “front” sendiri serta saling berhadapan dengan “front” sejenis lainnya. Dalam kerangka analisis Marx, hal ini muncul akibat tidak terjadinya
kesadaran kelas class in it self. Aliansi dan kolaborasi diantara dua kelas yang berbeda ini dapat dipandang
dari dua sisi dan menjadikan kepentingan interest sebagai basis dari pola hubungan tersebut. Eksploitasi tetap terjadi di dalam pola aliansi antar kelas ini.
Kelas pemegang kontrol atas sumber daya mempertahankan aliansi dengan kelas sub ordinatnya dengan kepentingan mempertahankan tambahan akumulasi aliran
manfaat sumber daya. Sementara kelas sub ordinat mempertahankan aliansi dengan tujuan tetap memperoleh manfaat sumber daya melalui terjaganya akses. Hal ini
lebih sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Wright 1987, yang menekankan bahwa struktur kelas merupakan sebuah struktur dari relasi sosial yang menciptakan
matrix dari ekploitasi berdasarkan kepentingan-kepentingan. Hal yang berbeda dari tradisi Marx lainnya adalah kelas sub ordinat tetap dapat memproduksi dan
memiliki beberapa tingkat kekuasaan yang terbatas dalam pengambilan keputusan dengan menggunakan alat produksi milik sendiri, berbeda halnya dengan kelas
buruh dalam konsep Marx yang tidak dimungkinkan untuk berproduksi untuk kepentingan dirinya sendiri. Gambar 5 menunjukkan arena kontestasi kepentingan
di tingkat operasional.
Gambar 5. Arena Kontestasi Kepentingan di Tingkat Operasional
Patron 1 Aktor
: pengusaha KJA skala menengah dan besar,
pemilik modal, bandar ikan, pedagang pakan
Kepentingan
: mengontrol aliran manfaat
sumber daya
Patron 3 Aktor
: pengusaha KJA skala menengah dan besar,
pemilik modal, bandar ikan, pedagang pakan
Kepentingan
: mengontrol aliran manfaat
sumber daya
Patron 2 Aktor
: pengusaha KJA skala menengah dan besar,
pemilik modal, bandar ikan, pedagang pakan
Kepentingan
: mengontrol aliran manfaat
sumber daya
Patron - n
Aktor : pengusaha KJA
skala menengah dan besar, pemilik modal, bandar
ikan, pedagang pakan Kepentingan
: mengontrol aliran manfaat
sumber daya
Klien 1 Aktor
: pengusaha KJA skala kecil dan nelayan
Kepentingan
: mempertahankan aliran manfaat sumber daya
SUMBER DAYA PERAIRAN WADUK
Kontestasi :
Kepentingan usaha
Klien - n
Aktor : pengusaha KJA skala
kecil dan nelayan Kepentingan
: mempertahankan aliran manfaat sumber daya
Klien 3 Aktor
: pengusaha KJA skala kecil dan nelayan
Kepentingan
: mempertahankan aliran manfaat sumber daya
Klien 2 Aktor
: pengusaha KJA skala kecil dan nelayan
Kepentingan
: mempertahankan aliran manfaat sumber daya
Keterangan : Aliansi
Kontestasi Ekstraksi
7.5. Ikhtisar