Diana L. Eck berpendapat, seperti yang ditulis Omid Safi 2003, Misrawi 2007 dan Ali 2003 bahwa terdapat tiga hal penting yang perlu diperhatikan
dalam pluralisme, yaitu: 1 pluralisme sama sekali tidak sama dengan perbedaan diversity, seperti masyarakat yang berlatar belakang agama dan etnik yang
berbeda. Perbedaan latar belakang ini membutuhkan keterlibatan aktif satu sama lain; 2 tujuan pluralisme sama sekali bukan bersikap ”toleransi” terhadap orang
lain tetapi lebih dari itu ada upaya aktif untuk mencapai pemahaman satu sama lain; 3 pluralisme berbeda dengan relativisme. Jika pluralisme hendak mencapai
komitmen bersama untuk kemanusiaan, maka relativisme justru menegasikan dan mengingkari kebenaran agama-agama itu sendiri.
Pluralisme keberagamaan Banchoff 2008 merupakan konsep yang melampui konteks nasional dan politik. Dalam teologi, terma pluralisme
keberagamaan kerapkali menganjurkan sikap-sikap harmoni, tindakan terlibat di satu tempat, atau kesesuaian dengan orang lain yang melampaui tradisi-tradisi
keberagamaan sebagai lawan dari sikap eksklusivisme keagamaan. Dalam sosiologi, pluralisme keberagamaan mengacu kepada tradisi-tradisi keberagamaan
yang berbeda-beda di dalam ruang sosial atau kultural yang sama. Pluralisme keberagamaan juga mengacu pada pola-pola interaksi damai diantara aktor-aktor
pemeluk agama yang berbeda-beda, yaitu individu dan kelompok yang bertindak menurut cara-cara keagamaan tertentu.
Berdasarkan atas berbagai kajian terhadap gagasan dan praktek pluralisme keberagamaan di berbagai kawasan, para sarjana telah menyusun beragam
pengertian pluralisme keberagamaan yang berbeda-beda. Sebagian pengertian tersebut sekalipun pada intinya dimasudkan untuk memperjelas arti penting etika
global ini dalam menciptakan harmoni antarumat beragama, namun tidak semuanya digunakan sebagai definisi operasional dalam kajian ini. Konsep
pluralisme dalam penelitian ini mengacu pada konsep Diana L. Eck 2006.
2.3. Fundamentalisme dan Konflik Keberagamaan
Ketika Islam datang, sebenarnya kepuluan Nusantara sudah mempunyai peradaban yang bersumber dan pengaruh dari kebudayaan Hindu-Budha dari
India, yang penyebaran pengaruhnya tidak merata. Para sejarawan sepakat bahwa penyebaran Islam di Indonesia dilakukan melalui proses dan pola secara damai
Azra 1999; Hidayat 2012; Madjid 1998. Berbeda dengan penyebaran Islam di Timur Tengah yang dalam beberapa kasus disertai dengan pendudukan wilayah
oleh militer Muslim. Islam dalam batasan tertentu disebarkan dengan pedang, kemudian dilanjutkan oleh para guru agama da`i dan pengembara sufi Sunanto
2010. Islam masuk ke Indonesia Nusantara semula diperkenalkan oleh para
pedagang Arab melalui jalur perdagangan di Samudera Hindia. Arus Islam ke Nusantara pada gilirannya juga melibatkan partisipasi pedagang-pedagang dari
India Gujarat, Persia dan China yang juga membawa pengaruh kebudayaan mereka masing-masing Latif 2011. Para pedagang ini membawa Islam dengan
cara damai sejalan dengan karakter pedagang itu sendiri yang bersahabat, terbuka dan menjalin relasi dengan orang lain. Sifat pedagang ini rupanya sejalan dengan
semangat dakwah yang juga selalu ingin menawarkan dan menyebarkan ajaran Islam di wilayah baru.
Menarik untuk diperhatikan bahwa Islam yang dikembangkan pada masa- masa awal lebih banyak bermuatan tasawuf esoterisme yang berasal dari Persia
dan India, sehingga ekspresi dan artikulasi Islam pada saat lebih inklusif, esoterik dan ramah Hidayat 2012. Genealogi historis ini mungkin dapat menjelaskan
mengapa Islam yang berkembang di Nusantara yang tadinya menjadi pusat Hindu-Budha berubah menjadi pusat Islam terbesar di dunia. Warisan berbagai
candi yang tersebar di Indonesia telah cukup menjadi bukti betapa Indonesia dulu menjadi pusat agama Hindu dan Budha, di samping agama dan kepercayaan lokal
yang sebagiannya masih bertahan hingga sekarang. Genealogis historis-teologis masuknya Islam ke Indonesia ini telah memberi
karakter ekspresi keislaman di Indonesia hingga saat ini. Corak keislaman yang berkembang di Indonesia lebih bersifat kultural yang sangat apresiatif dan
akomodatif terhadap tradisi lokal tanpa kehilangan substansi dari ajaran Islam itu sendiri. Karena itu Madjid 1998, perkembangan kebudayaan Islam di Indonesia
sebagian besarnya merupakan hasil dialog antara nilai-nilai Islam yang universal dan nilai-nilai kultural kepulauan Nusantara.
Kendati demikian, keberagamaan umat Islam di negara ini bukan berarti seutuhnya berwajah mulus. Dalam periode dan di daerah tertentu, sikap
fundamentalisme dari kelompok Islam tertentu ikut menghiasi wajah keislaman Indonesia. Menurut Abd A`la 2008, peristiwa awal yang melakukan
fundamentalisme keberagamaan adalah ketika meletusnya gerakan Padri yang bukan saja kepada orang di luar Islam, tapi kekerasan juga dilakukan kepada
sesama muslim yang tidak mau mengikuti ajaran mereka. Kekerasan dan tindakan sejenis dapat dirujuk pandangan keagamaan
tertentu yang sampai derajat tertentu melegitimasi atas terjadinya sikap dan tindakan semacam itu. Menurut Azra 1996 dan A`la 2008, sikap
fundamentalisme keagamaan tersebut dapat dilacak dan dipengaruhi oleh pandangan aliran keagamaan Wahabi di Arab Saudi. Menurut Benda 1958 dalam
A`la, 2008, gerakan Wahabi yang lahir di Arab Saudi itu telah memberikan tarikan magnetik kepada muslim Indonesia melampaui perbedaan doktrinal yang
ada. Kaum Wahabi adalah kelompok keagamaan yang sangat tidak toleran
dengan praktek-praktek yang bersifat bid`ah, khurafat dan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Siapa saja yang menyimpang, kelompok
Wahabi siap ”meluruskan,” atau jika perlu diperangai dengan jalan kekerasan. Mereka berusaha melakukan purifikasi keagamaan sesuai dengan prinsip yang
mereka anut dan akan meluruskan ritual keagamaan yang dianggap tidak sesuai melalui cara mereka sendiri. Dalam hal ini, ajaran mereka yang rigid tersebut,
tidak bisa dilepaskan dari pemahaman keagamaan mereka yang literal- skriptualistik.
Gerakan Islam fundamentalisme di Indonesia memiliki genealogi dengan gerakan Islam salafi yang berkembang di Timur Tengah, khususnya Arab Saudi.
Entah suatu kebetulan atau memang seperti itu, kebanyakan tokoh-tokoh gerakan Islam radikal di Indonesia adalah keturunan Arab, seperti Habieb Riziq Syihab,
p emimpin Front Pembela Islam FPI, Ja’far Umar Thalib Laskar Jihad, Abu
Bakar Ba’asyir Majelis Mujahidin Indonesia, Habieb Husein al-Habsyi Ikhwanul Muslimin, Hafidz Abdurahman Hizbut Tahrir Indonesia.
Terma fundamentalisme, jelas Karen Armstrong 2000, awalnya merujuk kepada sebutan yang dilekatkan kepada kelompok tertentu dari kalangan Protestan
Amerika awal abad kedua puluh. Mereka menyebut diri mereka sebagai kelompok