Kampung Ciladong dan Jemaat Ahmadiyah
dan 1992, program Raskin, WC umum dan betonisasi jalan-jalan kecil atau gang 2009. Meski kecewa dengan kesenjangan pembangunan ini masyarakat
Ciladong lebih memilih sabar dan tidak mempermasalahkannya.
Tabel 6 Realisasi Pembangunan Desa Tahun 2010
Jenis Kegiatan
Lokasi Biaya
Rupiah Volume
Sumber
Irigasi Kp. Sadang
50 juta 300 M
APBD Kab Jalan lingkungan
Mekarsari, Cihedang, Lampari,
Bumi Asri, Sadang 63,487 juta
4 unit ADD
Mesjid Kp. Sadang
5 juta 1 unit
APBD Kab Betonisasi jalan
desa 17 RT tanpa Kp.
Ciladong 206,5 juta
17 unit APBN
Perekonomian 9 RT tanpa Kp.
Ciladong 34 juta
9 kelompok APBD Kab
Kegiatan Sosial RT 01, Kp. Bumi
Asri 6 juta
1 kelompok APBD Kab
Sumber: Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Tahun 2010.
Terkesan ada diskriminasi pembangunan yang berlangsung di Desa Cikeukeuh dan warga Ciladong merasa seolah dianaktirikan, terutama
pasacakonflik yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Bahkan, menurut penuturan Ketua RW 5 Kampung Ciladong EH, pascakonflik beberapa tahun yang lalu
program Raskin sempat terhenti untuk Ciladong selama tiga bulan. Tak hanya itu, demikian EH, bantuan insentif guru ngaji dari kabupaten untuk Desa Cikeukeuh
tidak pernah diterima sepersen pun oleh guru ngaji Ciladong. Kekecewaan warga Ciladong juga pernah dialamai pada tahun 1974 ketika
mereka sedang membangun penampungan air dengan dana swadaya. Penampungan air ini dibangun untuk mengalirkan air ke rumah-rumah warga.
Ketika itu Ketua RT 01 MA mengajukan proposal ke Pemerintahan Kabupaten berupa pipa anti karat berukuran 3 inc. Awalnya usulan itu dikabulkan, namun 30
batang pipa yang semula sudah dikirim dan ditempatkan di puskesmas kecamatan
oleh aparat kecamatan dialihkan ke desa tetangga dengan alasan desa tersebut lebih membutuhkan.
Menurut Ketua RT 01 tersebut, pemindahan bantuan pipa dari Pemda ini tidak sesuai dengan hasil rapat sebelumnya yang berlangsung di tingkat
kecamatan. Saat itu MA memberitahu kalau warga Ciladong sedang membutuhkan pipa karena sedang membangun penampungan air, di samping
Kampung Ciladong belum pernah mengajukan bantuan ke pemerintah. Akhirnya, untuk memenuhi kebutuhan pipa tersebut warga Ciladong melakukan swadaya
masyarakat. MA mengaku kalau proposal bantuan ini merupakan yang pertama dan terakhir.
Di luar program-program desa yang disebutkan di atas, pembangunan fisik seperti tempat ibadah, sekolah swasta, sarana umum nyaris menggunakan dana
swadaya masyarakat. Pada tahun 1970-an warga Ciladong pernah mengaspal jalan sepanjang 700 m dengan dana swadaya masyarakat yang dibantu oleh sumbangan
dari para perantau asal Ciladong. Begitu juga dengan pembangunan mesjid dan Madrasah Ibtidaiyah setingkat SD tidak pernah mendapatkan bantuan dari pihak
pemerintah, meski program pembangunan madrasah dan mesjid dimasukkan ke dalam Musrenbangdes.
Untuk kebutuhan pembangunan sarana dan prasaran, warga Ciladong kerapkali menggunakan dana swadaya seperti yang dijelaskan di atas. Pola yang
digunakan adalah pertama dengan cara mengambil bagian dari sebuah pembangunan yang sesuai dengan kemampuan ekonominya. Misalnya,
membangun mesjid yang ditargetkan selama setahun. Seorang Ahmadi, sebutan untuk pengikut Ahmadiyah, menentukan bagian mana yang dia sanggupi. Ketika
dia menentukan akan menjamin bagian tiangnya saja, maka selama setahun itu dia akan menjamin pembiayaan tiangnya. Pola kedua adalah berapa kesanggupan
Ahmadi menyumbang dalam setahun target pembangunan mesjid itu tanpa harus menentukan bagian mana yang dia jamin.
Dalam konteks kemandirian ini, Ketua RW Ciladong EH berkata: “Kami tidak begitu ambisi meminta bantuan kepada pemerintah desa dan
kabupaten untuk keperluan pembangunan Kampung Ciladong karena kami dilatih untuk mandiri dan berkorban. Kami dilatih untuk berkorban
bertujuan agar kami tidak berperilaku serakah. Kami juga tidak diajarkan meminta-minta karena Islam melarangnya
”. Wawancara, 16 Mei 2012.
MA memperkuat pernyataannya ini ketika beberapa program masuk Desa Cikeukeuh, baik dari pusat, propinsi dan kabupaten. Di saat kampung-kampung
lain semangat mengajukan bantuan, Kampung Ciladong malah tidak mengajukan apa-apa. Bahkan pernah suatu kali ada tawaran dari Kepala Desa untuk
mengajukan dana pembangunan Mesjid At-Tahrir ke Pemerintahan Desa, namun tokoh masyarakat Ciladong tidak tergiur mengajukannya. MA mengatakan bahwa
warga Ciladong bukan anti bantuan pemerintah akan tetapi tidak mau kalau harus mengajukan proposal yang terkesan meminta-minta.
“Kami merasa malu meminta-minta apalagi untuk pembangunan mesjid. Kita sering melihat penggalangan dana pembangunan mesjid yang
dilakukan di jalan-jalan, mengajukan proposal, keliling ke sana kemari padahal banyak warga yang sanggup membantu menyumbangkan hartanya
untuk kepentingan agama. Bagi kami itu adalah sikap lemah. Masa bikin rumah sendiri bisa sementara membantu membangun rumah Allah
sekampung saja tidak bisa. Oleh karena itu, semboyan kami adalah lebih mendahulukan kepentingan agama daripada masalah dunia
”. Wawancara,
16 Mei 2012. Sebaliknya, warga Ciladong dari dulu sangat patuh dan mendukung
program-program pemerintah dalam bidang apa pun. Kalau semasa pemerintahan Orde Baru Kampung Ciladong seratus persen memilih partai Golkar dengan
alasan bahwa partai Golkar adalah partai pemerintah. Dengan memilih partai pemerintah berarti menunjukkan kepatuhan kepada pemerintah. Ketika program
Keluarga Berencana KB pertama kali diperkenalkan di desa ini, pada saat yang sama kampung-kampung lain menolak dan mengharamkannya dengan alasan
membatasi kelahiran, Kampung Ciladong adalah yang pertama menerimanya hingga Sembilan puluh persen peserta KB. Bagi warga Ciladong program KB
bukan membatasi kelahiran melainkan mengatur kelahiran. Sikap patuh kepada pemerintahan yang sah berasal pendiri Ahmadiyah,
yaitu Mirza Ghulam Ahmad. Menurutnya, Jemaat Ahmadiyah dimana pun berada harus patuh kepada pemerintahan yang sah dan tidak boleh menentang pemerintah
kecuali dengan demonstrasi damai. Itulah sebabnya kenapa dulu Jemaat Ahmadiyah memilih Golkar dan patuh pada program-program pemerintah.
Dipilihnya Golkar sebagai tempat aspirasi warga Ciladong semasa Orde Baru juga merupakan instruksi langsung dari pusat PB JAI dan permintaan aparat desa
ketika dalam rapat-rapat persiapan pemilu.
Namun demikian, situasi aspirasi politik Jemaat Ahmadiyah Kampung Ciladong beberapa tahun belakangan ini, terutama setelah penyerangan Kampus
Jemaat Ahmadiyah Parung pada 2005, mulai bergeser dari satu pilihan partai menjadi multi pilihan partai. Pada pemilu nasional tahun 2009, masyarakat
Ciladong sudah terbuka dengan pilihan partai lain, seperti PKS, PDI-P, Demokrat dan lain-lain.
Menurut MA, perubahan pilihan dari satu partai ke multi partai disebabkan oleh sistem pemerintahan yang sudah berubah dari pemerintahan yang sentralistik
ke pemerintahan demokrasi yang menerapkan sistem otonomi daerah. Pada era otonomi daerah ini terdapat perbedaan partai yang berkuasa antara pusat dan
daerah. Dalam konteks ini, sulit bagi warga Ciladong menentukan partai mana yang berkuasa. Oleh karena itu, sesuai dengan kebebasan yang diberikan oleh PB
JAI, warga Ciladong bebas memilih partai dan sosok mana yang lebih disukai. Alasan ini kontradiksi dengan pernyataan tokoh Ahmadiyah lainnya EH
yang mengatakan bahwa: “Untuk apa kita menyukai seseorang atau partai tertentu tetapi dia atau
partai itu tidak menyukai kita. Kalau dulu Golkar dipilih seratus persen karena ada instruksi untuk memilih Golkar. Oleh karena Golkar tidak ada
tanda-tanda melindungi kita JAI, maka kita PB JAI tidak menginstruksikan warga untuk memilih Golkar sehingga diberi kebebasan
memilih partai-partai lain. Pokok masalahnya adalah Jemaat Ahmadiyah di berbagai tempat sering dikecewakan oleh banyak kalangan termasuk
Golkar. Ketika kami mengalami penganiayaan, Golkar tidak pernah membantu kami, malah partai yang bukan kami pilih PDI-P yang
memperhatikan dan memanggil kami ke DPR
”. Wawancara, 16 Mei 2010. Warga Kampung Ciladong seluruhnya memeluk ajaran Ahmadiyah
Qadian, suatu ajaran dan gerakan keagamaan yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad 1835-1908 asal Qadian, Punjab, India. Dalam perkembangannya,
Ahmadiyah terbagi ke dalam dua golongan, yaitu Ahmadiyah Lahore dan Ahmadiyah Qadian. Perbedaan kedua kelompok ini terletak pada keyakinan pada
sosok Mirza Ghulam Ahmad. Ahmadiyah Qadian berpendapat bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi
karena mereka mempercayai kenabian itu akan tetap ada sesudah Nabi Muhammad. Sementara itu, Ahmadiyah Lahore berpendapat bahwa Mirza
Ghulam Ahmad bukanlah nabi melainkan seorang reformis agama mujaddid karena pintu kenabian setelah Nabi Muhammad sudah tidak ada lagi.
Secara umum, praktek-praktek keagamaan yang dijalankan warga Ciladong
tidak ada yang berbeda dengan warga lain. Mereka mengucapkan syahadat yang sama, melaksanakan shalat lima waktu dalam sehari semalam, puasa, membayar
zakat dan naik haji. Hanya saja ada beberapa keyakinan yang bersifat teologis dan praktek-praktek religius yang membedakan mereka dengan warga lain dan
mayoritas umat Islam yang beraliran Ahlu Sunnah Wal Jamaah
5
Aswaja, seperti masalah al-Mahdi, al-Masih, kenabian dan kewajiban berjihad, canda, wirid
setelah shalat fardu, dan lain-lain. Meski mengaku Islam, namun dalam praktek-praktek religius Jemaat
Ahmadiyah terlihat dan terkesan eksklusif serta tidak berbaur dengan warga di luar Ciladong. Sikap eksklusif yang terlihat dari Jemaat Ahmadiyah didukung
oleh keberadaan mereka yang semuanya mendiami Kampung Ciladong enclave. Menurut pengakuan warga, dari dulu Jemaat Ahmadiyah tidak pernah bergabung
dalam shalat dengan warga lain. Ketika ada kegiatan desa yang melibatkan warga dan Jemaat Ahmadiyah, mereka Jemaat Ahmadiyah memilih pulang ke
Ciladong untuk melaksanakan shalat. Sebaliknya, dalam kegiatan dan interaksi sosial Jemaat Ahmadiyah sangat terbuka dan dikenal santun kepada warga lain.
Sikap eksklusif beragama mereka dikuatkan lagi oleh MA: “Jemaat Ahmadiyah tidak mau shalat dengan imam yang bukan dari
kalangan Ahmadiyah karena belum percaya dengan Imam Mahdi Mirza Ghulam Ahmad. Sebaliknya, tidak jadi masalah kalau Jemaat Ahmadiyah
yang jadi imam dan jamaahnya dari non Ahmadiyah karena tidak pantas berimam kepada orang yang belum percaya kepada Imam Mahdi, dan kita
tidak nyaman mengikuti orang yang belum percaya kepada Imam Mahdi”. Wawancara, 20 April 2010.
Jemaat Ahmadiyah memiliki sebuah mesjid At-Tahrir berukuran 9 x 20 m untuk melaksanakan shalat dan kegiatan keagamaan lainnya. Setiap malam jumat
dan malam sabtu mesjid ini digunakan sebagai tempat pengajian bapak-bapak dan pengajian ibu-ibu secara terpisah. Di samping mesjid, di Ciladong, sebagaimana
5
Kelompok yang berpegang pada Sunnah Nabi dan merupakan mayoritas, sebagai lawan bagi kelompok Mu`tazilah kelompok rasionalis yang bersifat minoritas dan tidak begitu berpegang
pada Sunnah Nabi.
Cabang Ahmadiyah di tempat lain, terdapat rumah Misi yang hanya ditempati oleh mubalig atau ustadz. Di tempat ini juga anggota Jemaat Ahmadiyah dapat
mendengarkan khutbah-khutbah jumat Khalifah melalui Muslim Television Ahmadiyya MTA yang disiarkan langsung dari London, Inggris. Khutbah-
khutbah Khalifah sangat berarti bagi anggota Jemaat Ahmadiyah dalam rangka transformasi pengetahuan keahmadiyahan sekaligus menumbuhkan rasa percaya
diri dan kekuatan di tengah tantangan yang mereka hadapi dalam menyiarkan dakwah Islam.
Sejarah mengapa warga kampung Ciladong menganut paham Ahmadiyah berawal dari seorang guru tarekat Naqsabandiyah-Qodariyah bernama KH.
ABN. Tokoh agama ini berasal dari Labuan Banten yang menikah dengan warga Ciladong tetapi tidak memiliki keturunan. Suatu ketika, tepatnya pada tahun 1932,
KH. ABN pernah bercerita kepada murid-muridnya bahwa suatu saat nanti kalian akan mengalami turunnya Imam Mahdi. Kalau ada orang yang membawa ajaran
dan menerangkan bahwa Imam Mahdi sudah datang sambil menjelaskan berdasarkan al-Quran dan Hadis, maka kalian hendaknya menerima ajaran
tersebut tanpa melihat warna kulit dan bangsanya, meskipun dia seorang pemain ular orang India.
Murid-murid KH. ABN bukan hanya dari kampung Ciladong saja, melainkan berasal dari beberapa desa di sekitar Desa Cikeukeuh. Salah satu
muridnya yang berasal dari Kota Bogor adalah Jakaria, pegawai Kehutanan yang berkantor di Jakarta, yang nantinya menduduki posisi Sekretaris Ahmadiyah
Cabang Bogor. Jakaria mempunyai teman bernama R. Hidayat, kelak menjadi Ketua Ahmadiyah Cabang Bogor, yang kebetulan sudah terlebih dahulu menerima
ajaran Ahmadiyah. Suatu ketika kedua orang ini bertemu dan R. Hidayat bercerita banyak tentang ajaran Ahmadiyah kepada Jakaria. Sementara itu, Jakaria juga
pernah mendengar langsung ajaran Ahmadiyah melalui Rahmat Ali HOT, tokoh pertama yang mengembangkan ajaran Ahmadiyah ke Indonesia, ketika Rahmat
Ali HOT datang ke Kota Bogor. Sejak saat itu, Jakaria datang dan bercerita kepada warga Ciladong,
terutama sesama murid KH. ABN, tentang kedatangan Imam Mahdi. Dia pun mengingatkan cerita dan pesan KH. ABN tentang kedatangan Imam Mahdi
dimana KH. ABN pada saat itu sudah meninggal dunia. Akhirnya, dengan penuh penasaran, warga Ciladong berangkat ke Jakarta, tepatnya Gang Kalekam,
Pegangsaan Timur – sekarang di Jl. Balikpapan 1, Petojo Jakarta Pusat – kelak
menjadi Kantor Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Di Jakarta warga Ciladong mendengarkan langsung ajaran-ajaran Ahmadiyah dari Rahmat Ali. Pada saat itu
juga terjadi perdebatan antara Rahmat Ali dengan para ulama yang menentang ajaran Ahmadiyah. Pasca peristiwa inilah, secara bertahap, warga Ciladong mulai
meyakini dan menyatakan diri masuk Ahmadiyah setelah MR menjadi orang Ciladong pertama yang masuk Ahmadiyah.
Sukses mengembangkan ajaran Ahmadiyah di Jakarta, dulu Batavia, pada tahun 1932 Rahmat Ali mengembangkan ajaran Ahmadiyah di Kota Bogor
Zulkarnain, 2006. Di kota ini tinggal seseorang bernama Muhammad Taher Gelar Sutan Tumenggung, President Landraad Bogor dan ketua sebuah organisasi
kaum intelektual muda bernama Jong Islamieten Bond Cabang Bogor. Dia mempunyai famili bernama H. Marah Wahab, seorang Ahmadi asal Padang, yang
kemudian datang ke Bogor. Muhammad Taher Gelar Sutan Tumenggung meminta Rahmat Ali datang ke Bogor, melalui H. Marah Wahab, untuk berbicara masalah
agama Islam dalam organisasi yang dia pimpin. Rahmat Ali menanggapi positif permintaan Muhammad Taher Gelar Sutan
Tumenggung dan memanfaatkan momen tersebut untuk memperkenalkan Ahmadiyah di kalangan intelektual muda Bogor. Berkat kegigihan dan kesabaran
Rahmat Ali Zulkarnain, 2006, akhirnya beberapa orang diantara mereka masuk Ahmadiyah, diantaranya adalah Muhammad Taher Gelar Sutan Tumenggung, R.
Hidayat, R. Sudita, Sulaeman, S.A.S. Pontih, Usman Natawijaya, Jakaria dan R. Guniwa Partakusumah. Tidak lama kemudian, pada November 1932 terbentuklah
cabang Ahmadiyah kedua di Jawa, setelah cabang Ahmadiyah Betawi, yaitu cabang Ahmadiyah Bogor yang diketuai oleh R. Hidayat, Jakaria Sekretaris, N.
Nadjid Bendahara dan beranggotakan lebih kurang sepuluh orang.
Sebagaimana di daerah-daerah lain, awal kemunculan Ahmadiyah di Ciladong mendapat tantangan dari para ulama dan ustadz. Penolakan di kalangan
tokoh agama ini lebih disebabkan pada persoalan teologis. Mereka tidak bisa menerima aliran Ahmadiyah karena bertentangan dengan praktek keagamaan dan
teologi yang berkembang di Desa Cikeukeuh, yaitu Ahlu Sunnah wal Jamaah dan mazhab Syafi`iyah. Meski menentangnya, namun kehidupan keberagamaan saling
toleransi dan menghormati. Hal ini dapat dibuktikan dengan hubungan dalam praktek-praktek keagamaan, seperti pengajian bersama, yang sudah berlangsung
lama di antara kedua masyarakat tersebut. Para tokoh agama tidak sampai bereaksi berlebihan dalam menghadapi
ajaran yang mereka anggap baru dan bertentangan dengan ajaran mayoritas umat Islam mainstream. Bahkan toleransi yang berkembang pada saat itu tidak jarang
tokoh agama dan tokoh Ahmadiyah Ciladong berdiskusi tentang konsep-konsep teologis yang selama ini menjadi permasalahan. Di samping sistem pemerintahan
yang otoritarianisme, tidak munculnya konflik terbuka juga banyak dipengaruhi oleh isu masalah Ahmadiyah yang tidak dibesar-besarkan, baik oleh elit agama
maupun media yang memberitakannya. Organisasi Ahmadiyah Cabang Ciladong dipimpin oleh Ketua Cabang, yaitu
MA. Dia terpilih dan menjabat Ketua Cabang sejak dua tahun yang lalu, dengan masa jabatan selama tiga tahun. Masa kepemimpinan ketua hanya diperbolehkan
selama dua kali masa jabatan, tetapi bisa dipilih kembali jika sudah melewati satu kali masa jabatan. Berbeda halnya dengan masa jabatan Ketua Cabang, ketua
badan yang berada di bawah organisasi cabang, seperti Ketua Ansarullah, Lajna Maillah, dan Khudamu Ahmadiyah hanya menjabat selama dua tahun.
Susunan pengurus, sebagaimana dalam ADART JAI, sekurang-kurangnya terdiri dari Ketua, Sekretaris Khusus, Sekretaris Mal, dan selanjutnya boleh
menambah sekretaris-sekretaris lain sesuai kebutuhan. Dengan demikian, cabang Ahmadiyah antara yang satu dengan cabang yang lain bisa saja berbeda jumlah
sekretaris-sekretarisnya karena perbedaan kebutuhan. Susunan kepengurusan Jemaat Ahmadiyah Cabang Ciladong periode 2010-2013 dapat dilihat pada
Gambar 11:
Gambar 11 Struktur organisasi Jemaat Ahmadiyah Cabang Ciladong periode 2010-2013.
Ketua JAI Cabang Ciladong MA menjelaskan bahwa pemilihan dirinya sebagai Ketua Cabang berawal dari masalah pemberian sanksi dari Amir
6
kepada ketua sebelumnya karena ikut menandatangai penghentian pembangunan mesjid
pada saat sebelum terjadinya konflik dua tahun yang lalu. Menurut Amir Jemaat Ahmadiyah Indonesia, silahkan mesjidnya dibongkar asal Ketua Cabang
Ahmadiyah Ciladong tidak ikut menandatangani penghentian pembangunan mesjid tersebut karena terkesan melegalkan penghentian pembangunan.
Pemilihan ketua dilakukan secara aklamasi setelah menetapkan bakal calon ketua. Uniknya, tidak satu pun calon yang mengajukan dirinya sebagai calon
ketua melainkan atas dasar pilihan atau usulan dari anggota yang berhak memilih. Anggota yang berhak memilih tidak akan memilih mereka yang mencalonkan diri
sebagai ketua karena bagi mereka orang seperti itu jelas ambisius dan tidak baik menurut agama.
6
Amir Nasional adalah pimpinan tertinggi Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang berkantor di Parung. Kedudukan Amir berada di sebuah negara dimana Jemaat Ahmadiyah berada sekaligus
sebagai wakil dari pimpinan tertinggi Khalifah yang berkedudukan di London, Inggris. Amir Jemaat Ahmadiyah Indonesia sekarang dijabat oleh Abdul Basit.
Badan-badan
Abna 0-6 tahun
AthfalBanat 7-14 tahun
KhudamNashirat 15-40 tahun
AnsharullahLajnah 40+ tahun
Ketua MA
Sekretaris Mal AY
Sekretaris RMA
Bendahara AZ
Sekretaris Pengajaran Qur`an
NA Sekretaris Pendidikan
MA
Sekretaris Hub. Luar JH
Sekretaris Urusan Umum JMH
Sekretaris Perlengkapan AS
Sekretaris Pertanian HSD
Sekretaris Industri Perdagangan HSD
Ketua yang terpilih harus menjadi contoh bagi anggota Jemaat Ahmadiyah terutama dalam masalah pengorbanannya pada agama. Prinsip yang diyakini oleh
anggota Jemaat Ahmadiyah adalah anggota tidak boleh mencari-cari jabatan, akan tetapi kalau ditunjuk menduduki posisi tertentu jangan ditolak karena hal itu
adalah amanah. Anggota yang berhak hadir untuk memilih dan dipilih adalah
mereka yang membayar canda dawam, yaitu mereka yang membayar infak
minimal enam bulan dalam setahun. Canda
merupakan iuran yang bersifat “wajib” di kalangan Jemaat Ahmadiyah yang dikeluarkan sesuai dengan bentuk penghasilannya; harian,
mingguan, bulanan bagi mereka yang sudah berpenghasilan. Bagi mereka yang belum berpenghasilan juga tidak dilarang membayar canda, bahkan anak-anak
pun seringkali diperkenalkan dengan canda dan membayarnya melalui tabungan yang dikumpulkan dengan jumlah yang dikehendakinya.
Canda dikumpulkan melalui Sekretaris Mal yang ada di Ciladong lalu pada akhir bulan disetorkan pada Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia PB
JAI yang berada di Parung bersamaan dengan laporan pertanggung jawaban cabang. Dari dana yang sudah dikumpulkan ke PB JAI, Jemaat Ahmadiyah
Cabang Cisalada mendapatkan dan operasional sebesar Rp 1,5 juta per bulan, dimana sebelumnya dana operasional itu sebesar dua puluh lima persen dari dana
canda yang terkumpul, sisanya disetor ke PB JAI. Semua dana canda terkumpul di PB JAI yang berfungsi untuk keperluan
dakwah dan kegiatan sosial yang dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah dimana pun berada. Jika Jemaat Ahmadiyah di belahan dunia membutuhkan dana atau terdapat
bencana alam di negara-negara lain, kantor pusat London dapat menginstruksikan kepada PB JAI untuk mengirimkan dana canda tersebut ke London. Kemudian
pihak Londonlah yang berhak langsung mendistribusikan keperluan dana tersebut. Dalam organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia ada istilah pembayar canda
tingkat tinggi, yaitu mereka harus membayar secara terus menerus setiap bulan selama setahun. Kalau bulan sebelumnya belum dibayar, maka bulan berikutnya
dibayar dua kali lipat menutupi bulan sebelumnya. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa canda dibayar sesuai dengan kemampuannya. Akan tetapi dalam Jemaat
Ahmadiyah juga ditentukan besaran canda yang dibayar, seperti 116 dari setiap
penghasilan canda `am atau pemula, sepersepuluh, seperlima dan paling besar sepertiga tiga terakhir dinamakan canda wasiat.
Di samping kegiatan dakwah, Jemaat Ahmadiyah Ciladong juga melakukan kegiatan sosial baik yang bersifat internal maupun eksternal. Kegiatan sosial yang
hanya diperuntukkan bagi kalangan Ahmadiyah misalnya membantu anak-anak yatim, panti jompo, orang sakit, pengobatan, pendidikan. Kegiatan sosial yang
diperuntukkan bagi orang non Ahmadiyah ghoir adalah membantu korban bencana alam yang menginduk kepada lembaga Humanity First seperti terlibat
dalam bencana gempa dan tsunami di Aceh, Padang, Yogyakarta dan lain-lain. Selain itu, Jemaat Ahmadiyah Ciladong juga aktif dalam pengobatan gratis,
khitanan massal, donor darah dan bahkan sampai pada donor mata. Pengobatan gratis yang ditawarkan kepada warga di Desa Cikeukeuh kerapkali ditanggapi
masyarakat secara negatif, kuatir dibujuk untuk masuk ke Ahmadiyah. Bagi Ahmadiyah, yang terpenting adalah bagaimana bisa membantu sesama
manusia seperti yang diajarkan dalam agama, apakah setelah kegiatan sosial itu orang lain masuk Ahmadiyah silahkan saja karena tidak ada paksaan untuk masuk
ke Ahmadiyah. Kegiatan sosial yang diperuntukkan kepada non Ahmadiyah pasca konflik sudah tidak pernah lagi diselenggarakan karena kuatir akan memicu
konflik lagi, kecuali ke desa-desa di luar Cikeukeuh. Respon masyarakat atas keberadaan Jemaat Ahmadiyah sangatlah beragam
bergantung pada lapisan masyarakat, bidang kehidupan dan masa dimana kedua kelompok agama ini hidup. Secara teologis para tokoh agama di Desa Cikeukeuh
menentang ajaran Ahmadiyah dan menganggap sesat serta keluar dari Islam. Sejak keberadaan Jemaat Ahmadiyah pada 1930-an respon tokoh agama dari dulu
hingga sekarang tidak berubah bahkan cenderung semakin reaktif. Masa kemerdekaan, Orde Lama dan Orde Baru perbedaan keyakinan
cenderung diwadahi melalui diskusi atau debat antartokoh agama masing-masing kelompok atau paling tidak saling menahan diri dan bisa memperlihatkan sikap
toleransi. Kondisi pemerintahan otoritarianisme Orde Baru dianggap masyarakat sebagai pereda kenapa tindakan kekerasan dan konflik antara warga Ahmadiyah
dan non Ahmadiyah tidak muncul.
Pascareformasi tradisi yang positif tersebut diskusi keagamaan dan sikap toleransi mulai memudar, jika tidak dikatakan hilang sama sekali. Era reformasi
yang dianggap masyarakat era kebebasan memungkinkan orang untuk menyatakan pendapat, tidak peduli dengan cara melanggar aturan, dan mengakses
informasi yang begitu derasnya sehingga masyarakat gampang tersulut ke dalam tindakan anarkis. Televisi dan komunikasi telepon genggam sangat berpengaruh
membentuk masyarakat dalam bertindak anarkis. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, kalangan tokoh agama ini cukup
toleran kepada Jemaat Ahmadiyah. Mereka tidak canggung berinteraksi dan menjalin hubungan sosial dengan pengikut Ahmadiyah. Bagi mereka, pengikut
Ahmadiyah juga warga desa yang diperlakukan sama seperti warga lain. Dalam benak mereka tidak terlintas atribut-atribut Ahmadiyah ketika berbaur dan bersatu
dalam melakukan kegiatan-kegiatan desa, sepanjang warga Ahmadiyah tidak menunjukkan ajaran-ajaran Ahmadiyah secara gamblang.
Sementara itu, kebanyakan masyarakat menanggapinya biasa-biasa saja karena tidak tahu secara mendalam ajaran-ajaran Ahmadiyah. Kalaupun mereka
tahu, itu pun hasil transformasi pengetahuan secara instan dan tidak mendalam melalui pengajian-pengajian di mesjid dan mushala. Sama seperti para tokoh
agama, kehidupan dan interaksi sosial masyarakat biasa dengan Jamaah Ahmadiyah terjalin dengan baik.
Meski dalam kehidupan sosial tokoh agama menjalin hubungan yang toleran dengan kalangan Ahmadiyah, akan tetapi kalangan tokoh agama dan sebagian
masyarakat yang berdekatan dengan Kampung Ciladong sangat sensitif jika sudah berbicara dan bersinggungan dengan masalah akidah teologi. Tokoh agama
sangat sensitif dan reaktif menanggapi Jemaat Ahmadiyah ketika mereka melakukan praktek-praktek keagamaan, menyebarkan dan secara gamblang
menunjukkan identitas keahmadiyahannya kepada masyarakat. Karena keterbatasan pengetahuan agama, masyarakat biasa menanggapinya
dengan tanpa reaksioner dan tidak berlebihan, bahkan sangat toleran. Sikap reaksioner yang berlebihan hanya ditunjukkan oleh sebagian kalangan tokoh
agama yang secara geografis lebih dekat dengan Kampung Ciladong. Mereka ini
berada di Kampung Mekarsari, kampung yang berbatasan langsung dengan Ciladong, dan Kampung Sukasari.
Respon reaktif atas ketidaksetujuan mereka atas keberadaan Jemaat Ahmadiyah lebih ditentukan oleh empat faktor. Pertama peran tokoh agama dalam
memberikan pemahaman tentang ajaran Jemaat Ahmadiyah kepada masyarakat. Kedua, sebagai konsekuensi yang pertama, seberapa besar akses masyarakat biasa
dalam berinteraksi dengan tokoh agama baik secara formal pengajian-pengajian maupun secara informal di luar pengajian. Ketiga, Fatwa MUI dan Surat
Keputusan Bersama SKB yang ditandatangani oleh Muspida Kabupaten. Keempat televisi yang menyiarkan dialog atau peristiwa kekerasan terhadap
Jemaat Ahmadiyah yang terjadi di beberapa daerah di tanah air. Aparat
pemerintahan desa
lebih cenderung
menanggapi secara
kemasyarakatan, dan tidak terlibat dalam persoalan keagamaan. Alasan ini didasari oleh kedangkalan mereka dalam masalah agama dan lebih cenderung
menyerahkannya kepada ahlinya, yaitu tokoh agama. Aparat desa lebih fokus pada bagaimana memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat dan
terciptanya keamanan desa. Bagi aparat desa, semua warga sama termasuk warga Ahmadiyah. Sehingga, dalam konteks keberadaan Jemaat Ahmadiyah,
pemerintahan desa lebih memilih pendekatan keamanan dan ketertiban sosial social order.
Dalam konteks kecamatan dan kabupaten pada umumnya, keberadaan Jemaat Ahmadiyah Ciladong sebetulnya kurang menjadi perhatian masyarakat,
terutama pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Perhatian masyarakat hanya terjadi pada lapisan tokoh agama atau mereka memiliki pengetahuan yang
lumayan tentang Islam dengan intensitas yang tidak tinggi. Mereka menolak keberadaan Jemaat Ahmadiyah yang dikuatirkan dapat mempengaruhi masyarakat
atau dapat mengancam kepercayaan yang selama ini mereka pegang. Sebaliknya, bagi masyarakat umum, keberadaan Jemaat Ahmadiyah tidak
mewujud dalam penolakan karena, disamping tidak mengerti apa itu Ahmadiyah, masyarakat sendiri banyak yang tidak tahu kalau Jemaat Ahmadiyah ada di
Kampung Ciladong. Kurangnya resistensi masyarakat umum atas keberadaan Ahmadiyah juga sangat didukung oleh bagaimana elit agama bersikap karena
sangat berpengaruh kepada masyarakat ketika sikap itu disampaikan dalam pengajian-pengajian. Pengaruh yang tidak kalah pentingnya adalah peran media
massa dalam memberitakan tindakan kekerasan terhadap Ahmadiyah. Tidak banyak yang menyinggung masalah Ahmadiyah dalam pengajian-
pengajian meski kalangan agama menolak teologi yang diyakini Ahmadiyah. Pengajian-pengajian ketika menyinggung masalah akidah hanya dalam bentuk
penyadaran akidah agar umat Islam tidak salah menerima aliran-aliran yang banyak menyimpang. Tidak ada upaya ketika itu untuk membentuk sikap berupa
permusuhan kepada Jemaat Ahmadiyah. Membicarakan masalah Ahmadiyah bukanlah menjadi topik utama atau isu hangat di kalangan tokoh agama ketika itu.
Sehingga dapat menjadi bukti kenapa masyarakat umum banyak yang tidak tahu apa itu Ahmadiyah sekaligus tidak sampai membentuk sikap-sikap terhadap
Ahmadiyah. Hal ini dapat dijelaskan dari beberapa faktor. Pertama, tokoh agama ketika
itu tidak agresif dalam membicarakan masalah Ahmadiyah dalam pengajian- pengajian sehingga membentuk pemahaman dan sikap baru terhadap Ahmadiyah.
Kedua, tidak ada isu yang menyulut kebencian terhadap Ahmadiyah seperti peristiwa-peristiwa kekerasan terhadap Ahmadiyah yang terjadi di daerah lain.
Ketiga, keberadaan media massa, terutama televisi, yang menyiarkan dan membahas masalah Ahmadiyah atau kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah.
Keempat, Jemaat Ahmadiyah dalam berinteraksi dengan masyarakat lain tidak memperlihatkan ajaran-ajaran dan kegiatan-kegiatan organisasi Ahmadiyah
sehingga masyarakat ketika itu sulit mengetahui apakah dia Ahmadiyah atau tidak, bahkan masyarakat hanya tahu Ahmadiyah itu hanya organisasi keagamaan
saja. Keempat faktor inilah yang membedakan respon masyarakat saat ini di Desa Cikeukeuh dibandingkan dengan respon masyarakat sebelum era reformasi.