Ruang Lingkup Penelitian PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Hasil penelitian M. Lutfi Mustofa 2010 tentang etika pluralisme di kalangan warga nahdliyin di Jawa Timur menyebutkan bahwa; 1 konsepsi NU mengenai pluralisme keagamaan terkonstruksi dan tumbuh berkembang dalam konteks sejarah dan sosialnya melalui proses dialektika teologis, ideologis, dan sosio-kultural; 2 keterlibatan NU dalam mempromosikan dan memelihara nilai- nilai pluralisme keagamaan di Jawa Timur menampakkan gambaran yang beraneka ragam, dari yang bersifat responsif, kontra produktif, dan pada elemen terbesarnya bersikap diam silent majority; 3 dampak psiko-sosial etika pluralisme NU terhadap relasi-relasi internal maupun eksternal NU di Jawa Timur, paling tidak dapat dirasakan dan disaksikan dari semakin menguatnya kontestasi antara kelompok konservatif dan progresif. Pro-kontra pluralisme keagamaan di dalam NU Jawa Timur, sekalipun tidak sepanas di dunia politik, tetapi setidaknya hal ini telah menimbulkan keprihatinan pada kelompok- kelompok minoritas dan marjinal akan ancaman melemahnya kekuatan civil society yang selama ini telah dicontohkan oleh Gus Dur dan NU. Ada tiga aspek yang menjadi fokus penelitian Mustofa, yaitu: 1 pertama, konsepsi pluralisme keagamaan NU yang terelaborasi dalam konstitusi organisasi maupun pemikiran komunitas nahdliyin; 2 bentuk-bentuk keterlibatan aktif NU dalam mempromosikan dan memelihara nilai-nilai pluralisme keagamaan; 3 dampak psiko-sosial etika pluralisme keagamaan NU dalam relasi-relasi internal maupun eksternal komunitas nahdliyin. Gagasan dan praktik pluralisme keagamaan di dalam NU memiliki akar- akar ideologis dan teologis sangat jauh ke belakang, yang berakar pada perkembangan pemikiran dan praktik keagamaan dalam sejarah masyarakat muslim hingga pada masa-masa kenabian. Menurut Mustofa, dalam persoalan pluralisme keagamaan tersebut bukan hanya berkaitan dengan akar-akar ideologis dan teologis, tetapi telah berkembang menjadi salah satu elemen utama dari wacana civil society yang berkaitan dengan posisi dan agenda politik NU pada paroh terakhir 1990-an. Sebagai organisasi sosial-keagamaan, kiprah NU tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai dan norma-norma keislaman yang secara baku disusun dalam konstitusi fiqh maupun teologinya, termasuk untuk mempromosikan gagasan dan praktik pluralisme keagamaan. Meminjam istilah Berger 1966, nilai-nilai dan norma-norma keislaman inilah yang dalam waktu sangat lama merupakan faktor penting yang ikut membentuk realitas sosial komunitas NU di Indonesia. Hasil penelitian Umar dan Priyangga 2007 tentang pluralisme agama dan paham keagamaan di Kota Bandar Lampung menunjukkan bahwa pluralisme agama dan paham keagamaan tidak menjadi kendala dalam menciptakan toleransi kehidupan beragama baik antar umat beragama maupun intern umat beragama. Menurut Umar dan Priyangga, hampir tidak pernah terjadi keributan dan konflik akibat perbedaan agama dan paham keagamaan. Dalam penelitiannya, Umar dan Priyangga menyimpulkan bahwa kerukunan yang terjadi di kota Bandar Lampung, baik antar umat beragama dan intern umat beragama Islam tidak terlepas dari peran Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung, tokoh agama serta pemimpin Ormas Islam yang senantiasa membina umat dalam bentuk dialog antar umat beragama dan dialog antar pemerintah dengan umat beragama. Forum Aksi Sosial dan Kerjasama Antar Umat Beragama Lampung FASKAUBAL yang dibentuk oleh pemerintah daerah untuk menangani kerukunan antar umat beragama berperan besar dalam menciptakan pluralisme keberagamaan dan hidup toleransi di Kota Bandar Lampung. Kajian Syafru El Fauzi 2007 tentang Jemaat Ahmadiyah menunjukkan bahwa kelompok keagamaan yang berkembang di Indonesia sejak tahun 1925 hingga kini tidak pernah aman dari kritikan dan kecaman. Hal itu terlihat dari respon beberapa ormas Islam terhadap Jemaat Ahmadiyah, seperti Muhammadiyah, NU dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Respon negatif dari ormas-ormas Islam ini lebih bersifat teologis ketimbang sosiologis. Sementara itu, kajian Iskandar Zulkarnain 2006 lebih menitikberatkan pada gerakan organisasi Jemaat Ahmadiyah antara tahun 1920-1942. Dari sudut pandang yang lain, Zaenuri 2009 meneliti konflik Jemaat Ahmadiyah dengan masyarakat non Ahmadiyah. Dalam penelitiannya ditemukan bahwa konflik yang terjadi antara Jemaat Ahmadiyah dan masyarakt non Ahmadiyah di Lombok lebih disebabkan karena proses komunikasi yang tidak efektif komunikator, pesan dan metode, baik dari kalangan Jemaat Ahmadiyah maupun dari masyarakat Lombok. Penelitian yang terkait dengan pluralisme dan Jemaat Ahmadiyah ditulis oleh Budiwanti 2009. Dalam tulisannya, Budiwanti mengatakan bahwa pluralisme di Indonesia sudah runtuh melihat perlakuan masyarakat, ormas Islam dan MUI kepada Jemaat Ahmadiyah. Menurut Budiwanti fatwa MUI tentang Jemaat Ahmadiyah yang sesat menjadi legitimasi bagi organisasi Islam radikal untuk menyerang Jemaat Ahmadiyah.

2.2. Pluralisme Keberagamaan

Pluralism adalah istilah kefilsafatan yang diadopsi dari Bahasa Inggris, plural yang berarti jamak atau banyak dengan implikasi perbedaan, dan ism yang berarti paham atau aliran. Dengan demikian, istilah pluralisme selengkapnya dapat diartikan sebagai paham atau aliran kefilsafatan yang mengakui secara sungguh- sungguh terhadap kenyataan bahwa terdapat banyak kelompok manusia yang berbeda-beda dalam suatu negara, baik atas dasar etnis, ras, budaya, agama dan kepercayaan. Menurut The Oxford English Dictionary, seperti yang dikutip Abdillah 2001 disebutkan, bahwa pluralisme dipahami sebagai: 1 suatu teori yang menentang kekuasaan negara monolitis, dan mendukung desentralisasi dan otonomi untuk organisasi-organisasi utama yang mewakili keterlibatan individu dalam masyarakat. Suatu keyakinan bahwa kekuasaan itu harus dibagi bersama- sama di antara sejumlah partai politik. 2 keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultural dalam suatu masyarakat atau negara, serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan, dan sebagainya. Definisi yang pertama mengandung pengertian pluralisme politik, sedangkan definisi kedua mengandung pengertian pluralisme sosial atau primordial. Namun demikian, sebagaimana perhatian utama tesis ini adalah mengenai agama dan interaksi antarkelompok keagamaan, maka istilah pluralisme akan digunakan dalam konteks agama. Pluralisme keberagamaan di sini diartikan