Latar Belakang Historis Munculnya Ahmadiyah

Al-Quran dalam bahasa Urdu dengan interpretasi yang sama sekali baru tentang Islam dan Al-Quran dalam pandangan rasionalisme abad kesembilan belas. Aspek adaptasi yang konstruktif dari Islam terhadap proses sosial yang sedang terjadi lahir di kalangan muslim liberal yang, secara langsung dan tidak langsung, sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Barat umumnya dan kolonialisme Inggris khususnya. Seperti yang dijelaskan di atas, Sir Sayid Ahmad Khan adalah sosok muslim liberal yang tidak bisa diabaikan dalam proses pembentukan pemikiran modern Islam India dan sikap adaptasinya terhadap kebudayaan Barat yang sedang diperkenalkan di India. Selama beberapa dasawarsa dia menjadi anggota Pemerintah Sipil India dan tetap setia kepada pemerintahan Inggris selama pemberontakan Mutiny pada 1857 Donohue Esposito 1995. Di samping Sir Sayid Ahmad Khan, menyebut diantaranya, orang yang mengambil jalan adaptif terhadap perkembangan kondisi sosial masa pemerintahan dan penjajahan Inggris adalah seorang aristokrat bernama Nawab Abdul Latif. Pada tahun 1863 dia mendirikan Muhammadan Literary Society di Calcutta. Dalam organisasi itu kalangan menengah dan atas dari umat Islam berkumpul dan membahas pelbagai macam masalah politik, sosial, agama sambil mengaitkannya dengan ide dan ukuran Barat. Secara kultural Ali, 1998, dengan perantaraan organisasi ini, bahasa dan literatur Inggris diajarkan di Husting Calcutta Madrasah, suatu perguruan tinggi tempat orang-orang kaya membantu memberikan beasiswa kepada mahasiswa-mahasiswanya yang memerlukannya. Secara politis, gerakan ini adalah pro-Inggris dan sangat adaptif dengan kebudayaan Barat. Dalam kehidupan dan pemikiran keagamaan, pertentangan kedua kelompok ini reaksioner dan adaptif tidak dapat dihindari dimana kelompok yang satu menyalahkan kelompok yang lain. Bagi kelompok reaksioner, kelompok adaptif sangat tidak bisa dibenarkan dengan alasan mereka sudah pro-Inggris dan meliberalkan doktrin agama, jika tidak dikatakan sudah menggunakan motode pemikiran Barat dalam menafsirkan ajaran agama Islam. Sebaliknya, bagi kelompok adaptif, menghimbau dan sangat menyayangkan kelompok reaksioner yang selalu mempertahankan pemikiran dan cara-cara keberagamaan lama di tengah kemunduran Islam dalam berbagai aspek, jika berkaca pada kemajuan Barat. Kelompok adaptif ini menginginkan dan berharap kepada umat Islam agar tidak membenci Barat Inggris karena kita bisa mengadopsi apa yang telah dilakukan Barat demi kemajuan umat Islam itu sendiri. Di kalangan muslim tradisional juga terjadi pertentangan yang cukup kuat antara satu aliran atau mazhab yang mereka anut. Misalnya, antara kelompok Syi`ah dengan Sunni, antara Mu`tazilah dengan Asy`ariyah dan Maturidiyah, antara Sufi dengan Syari`ah dan antara mazhab hukum Islam fiqh yang satu dengan hukum Islam yang lain. Perbedaan-perbedaan itu semakin kentara ketika satu kelompok saling mengklaim truth claims bahwa aliran atau mazhabnyalah yang paling benar. Polemik aliran semakin tidak mengambil bentuknya yang konstruktif ketika India sudah dimasuki dan berkembangnya paham wahabiyah yang sangat puritan. Paham ini sangat tidak toleran dengan berbagai praktek dan pemikiran keagamaan yang bersifat modern apalagi liberal. Sikap kelompok muslim tradisional yang cenderung menerima begitu saja taken for granted ajaran Islam hasil penafsiran para ulama klasik tanpa mau melakukan reinterpretasi ajaran-ajaran Islam yang sesuai dengan zamannya berpengaruh pada sikap keberagamaan mereka. Sebut misalnya, sikap statis membawa mereka taklid kepada pendapat dan penafsiran ulama-ulama sebelumnya, sikap konservatif membawa mereka menentang penerjemahan Al- Quran ke dalam bahasa selain Arab, seperti bahasa Persia dan Urdu dan sikap eksklusif mereka yang tidak mau menerima hal-hal baru di luar Islam seperti peradaban Barat yang nyata mereka saksikan di tanah air mereka sendiri, sehingga berakibat pada sulitnya mereka berkembang dalam memperjuangkan kepentingan umat Islam. Dalam keadaan demikian, jelas Maulana Muhammad Ali 1959, kehidupan intelektual di kalangan umat Islam saat itu telah tenggelam sampai pada tingkat yang paling bawah. Pertarungan antarkelompok Islam yang bersumber dari perbedaan paham dipandang sebagai pengabdian terhadap Islam yang paling besar, dan pada akhirnya menghukum muslim lainnya sebagi kafir. Kondisi yang tidak menguntungkan bagi perkembangkan Islam di India ini sesungguhnya menyadarkan kaum intelektual sehingga pembaruan dalam pemikiran Islam menjadi sebuah keharusan sine qua non, baik melalui jalur politik maupun jalur non politik. Mereka itu adalah, diantaranya, Syah Waliyullah, Muhammad Ali Jinnah, Sayyid Ahmad Khan, Sayyid Amir Ali dan Muhammad Iqbal. Syah Waliyullah Nasution 1975, misalnya, berupa mengusung ide-ide pembaharuan dalam bidang politik dan ajaran Islam. Menurutnya, diantara penyebab kemunduran Islam dalam bidang politik adalah perubahan sistem pemerintahan dari sistem kekhalifahan yang demokratis menjadi sistem kerajaan yang otokratis. Syah Waliyullah mencoba mendamaikan pertentangan-pertentangan yang terjadi dalam berbagai aliran dalam Islam, terutama antara Syiah dan Sunni. Di saat kebanyakan umat Islam mengklaim Syiah keluar dari Islam, Syah Waliyullah mengatakan bahwa Syiah sama halnya dengan kaum Sunni, yaitu masih tetap orang Islam dan ajaran-ajaran yang mereka anut tidak membuat mereka keluar dari Islam. Sadar akan kondisi yang dialami umat Islam di India, Syah Waliyullah juga berupaya menegakkan kembali ajaran Islam yang lebih murni, yaitu hanya bersumber pada al-Quran dan Hadis. Syah Waliyullah menilai bahwa banyak ajaran Islam yang berkembang di India tidak lagi mencerminkan Islam yang sebenarnya, yaitu sudah bercampur dengan adat istiadat dan ajaran non Islam Hindu. Tak hanya itu, Syah Waliyullah juga memperkenalkan cara berpikir rasional dan tidak setuju dengan sikap mengikut dan patuh pada penafsiran ulama- ulama masa lalu yang menyebabkan umat Islam menjadi statis di tengah kondisi sosial yang terus berubah. Oleh karena itu, Syah Waliyullah menghimbau agar umat Islam harus dinamis menghadapi zaman dan para ulama jangan takut dalam berijtihad.

5.1.2 Ahmadiyah di Tengah Kemunduran Umat Islam

Abad sembilan belas merupakan sebuah era yang sangat penting dalam sejarah modern, suatu era dimana kegelisahan intelektual dan berbagai macam konflik di Dunia Islam mulai memuncak, dan India adalah salah satu pusat dari konflik itu. Di belahan dunia ini, konflik antara peradaban Barat dan Timur, sistem pendidikan tradisional dan modern, bahkan antara Islam dan Kristen telah mencapai puncaknya. Menurut Ali Nadwi 2005, di satu sisi, Inggris pada saat itu mulai gencar-gencarnya kampanye untuk menyebarkan peradaban dan kultur baru di India. Sementara di sisi lain, para misionaris Kristen telah bergerak ke seluruh pelosok India untuk menyebarkan kristenisasi. Peristiwa paling penting yang tidak bisa dianggap enteng oleh ahli sejarah adalah penjajahan bangsa Eropa terhadap Dunia Islam, terutama India. Ali Nadwi 2005 mencatat bahwa sistem pendidikan yang diusung dan diperkenalkan Eropa tidak memiliki jiwa kesadaran beragama, dan budaya yang muncul dari pandangan hidup baru ini membuat orang menjauhi Tuhan. Dunia Islam telah menjadi korban dari kekuatan asing yang unggul dalam bidang militer serta ekonomi dan ilmu pengetahuan. Ini adalah masa meletusnya konflik antara Islam dan budaya materialistik Eropa yang menimbulkan masalah besar; sosial, politik, budaya dan intelektual yang bisa diselesaikan dengan keimanan yang kuat, ilmu pengetahuan dan percaya diri. Di samping itu, kondisi internal umat Islam India makin parah dalam hal polemik antarkelompok paham keagamaan. Setiap kelompok saling serang dan menghujat kelompok lain. Polemik antarkelompok ini umum terjadi pada saat itu sehingga memicu kerusuhan dan bahkan pertumpahan darah. Hal ini berdampak pada kegelisahan mental yang menyebabkan perpecahan dalam komunitas muslim serta menurunnya wibawa para ulama. Demikianlah situasi umat Islam India dan menjadi latar belakang munculnya gerakan Ahmadiyah, sebuah situasi dimana umat Islam terancam dari sisi eksternal dan internal. Ahmadiyah, meminjam istilah Spencer Lavan 1974, adalah sebuah gerakan reformasi keagamaan yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad pada 1889 dengan latar belakang kemunduran umat Islam India baik di bidang agama, politik, sosial, ekonomi maupun kehidupan lainnya. Wilfred Cantwell Smith 1979 menggambarkan bahwa Ahmadiyah muncul sebagai bentuk protes terhadap keberhasilan kaum misionaris Kristen yang memperoleh pengikut- pengikut baru dan juga protes terhadap paham rasionalis dan westernisasi yang dibawa oleh Sayyid Ahmad Khan dengan Universitas Aligarh-nya. Selain itu, demikian Smith menambahkan, lahirnya Ahmadiyah juga sebagai protes atas kemerosotan Islam pada umumnya. Di sini Mirza Ghulam Ahmad, yang mengaku telah diangkat oleh Tuhan sebagai al-Mahdi dan al-Masih, merasa mempunyai tanggung jawab moral untuk memajukan Islam dengan jalan menginterpretasikan al-Quran sesuai dengan tuntutan zaman yang kian hari kian berubah. Dalam konteks ini, seperti tulis Fathoni 1994, kehadiran Ahmadiyah lebih bermotif pada pembaharuan pemikiran Islam, terutama dalam menghadapi bahaya kristenisasi sebagai akibat penjajahan Inggris di India. A.R. Dard 1948 menjelaskan bahwa misi-misi Kristen mulai bergerak dengan gencarnya di seluruh dunia semenjak tahun 1804, khususnya ketika British and Foreign Bible Society terbentuk. Bahkan kurun waktu antara tahun 1815 hingga 1914 telah ditetapkan oleh kelompok Kristen sebagai The Great Century of World Evangelization atau Abad Agung Penginjilan Dunia. Anak-benua India merupakan salah satu sasaran yang dijadikan sebagai proyek besar bagi gerakan penginjilan atau kristenisasi itu Purwanto 2008. Mengutip pendapat C.A. Bayly 1990 dan Kenneth W. Jones 1976, Purwanto 2008 menjelaskan bahwa pada saat yang bersamaan di India pun bermunculan kelompok-kelompok Neo-Hindu yang gencar menghadapi perkembangan zaman. Di antara kelompok yang paling militan dan agresif adalah sekte Arya Samaj yang didirikan pertama kali pada tahun 1875 di Bombay oleh Swami Dayananda Saraswati 1824-1883. Ini adalah gerakan yang ingin mengembalikan kemurnian Hindu dan menampilkannya sebagai suatu kebanggaan nasional India. Di samping itu, aliran ini banyak menentang pemahaman-pemahaman Hindu Brahma ortodoks serta melancarkan serangan besar-besaran terhadap Kristen dan Islam. Kondisi inilah yang banyak mewarnai kehidupan awal Mirza Ghulam Ahmad. Ia banyak menelaah literatur-literatur yang berkaitan dengan agama- agama tersebut. Secara personal ia banyak terlibat dalam upaya-upaya untuk membela Islam dari serangan-serangan Kristen dan Hindu. Salah satu upaya pembelaannya dilakukan dengan cara menulis secara aktif di berbagai media massa, antara lain jurnal Manshur Muhammadi yang terbit dari Bangalore, Mysore, India Selatan, setiap 10 hari sekali. Menurut Muhammad Zafrullah Khan 1978 dan Dard 1948, ia juga aktif menulis di beberapa surat kabar yang terbit dari Amritsar, antara lain, Wakil, Safir Hind, Widya Prakash dan Riaz Hind, surat kabar dari Lahore Brother Hind dan Aftab Punjab, Sialkot Wazir Hind, Ludhiana Noor Afshan. Mirza Ghulam Ahmad pun mulai menulis buku Baraahin Ahmadiyyah Bukti-bukti Nyata Kebenaran Nabi Muhammad yang terdiri dari lima jilid. Di dalam karyanya itu, Mirza Ghulam Ahmad memaparkan bukti-bukti keunggulan dan hidupnya agama Islam serta kemuliaan al-Quran dan Nabi Muhammad SAW, sebagai perbandingan dengan agama Hindu, Kristen dan agama-agama lainnya. Pada awalnya Mirza Ghulam Ahmad tidak begitu dikenal di kalangan masyarakat di India, khususnya dalam Islam. Dia tidak mengambil tempat dalam sebuah organisasi dan berjuang sendirian. Namun, keadaan menjadi berubah dan dirinya mulai dikenal serta kerapkali tampil di depan umum setelah ia menulis buku Baraahin Ahmadiyyah. Buku Baraahin Ahmadiyyah mendapat sambutan positif di kalangan umat Islam. Para pemuka Islam seolah menemukan seorang pembela Islam yang ulung, sehingga mereka bersama Mirza Ghulam Ahmad mendukung menghadapi serangan-serangan pihak non Islam. Purwanto 2008 menulis beberapa respon baik dari tokoh-tokoh Islam India pada masa itu. Pertama, respon dari Muhammad Hussein Batalvi, seorang tokoh terkemuka dan pakar Hadits di India, banyak memberikan sanjungan terhadap buku Baraahin Ahmadiyyah maupun terhadap penulisnya. Batalvi, pada awalnya, adalah tokoh yang sangat mendukung perjuangan Mirza Ghulam Ahmad, meski kemudian menentang keras Mirza Ghulam Ahmad. Batalvi dalam Purwanto, 2008 menulis kesaksian tentang buku Baraahin Ahmadiyyah: “Menurut pendapat saya pada zaman sekarang dan sesuai kondisi yang berlaku buku ini adalah sedemikian rupa, yang mana sampai saat ini di dalam Islam tidak ada bandingannya yang telah ditulis, dan tidak ada pula khabar di masa mendatang…. Penulisnya pun dalam hal memberikan bantuan kepada Islam dari segi harta, jiwa, tulisan, maupun lisan sangat teguh dan kukuh pada langkah-langkahnya sehingga sangat sedikit ditemukan contoh yang seperti beliau, walau dari kalangan umat Islam terdahulu sekali pun….” Di samping Batalvi, seorang sufi terkenal India yang berasal dari Ludhiana yang melahirkan tokoh-tokoh agama di tangannya, yaitu Sufi Ahmad Jaan, juga memberikan respon terhadap buku Baraahin Ahmadiyyah. Jaan menulis ulasan tentang Baraahin Ahmadiyyah di dalam sebuah selebaran beliau yang berjudul “Isytihar Wajibul Izhar”: “Di zaman abad keempat belas telah berkecamuk topan kebobrokan dalam setiap agama. Tidak diragukan lagi, diperlukan sebuah buku dan seorang mujaddid seperti Baraahin Ahmadiyyah serta penulisnya Maulana Mirza Ghulam Ahmad yang berbagai cara siap untuk membuktikan dakwah Islam atas para penentangnya….. sang penulis adalah mujaddid, mujtahid, muhaddats bagi abad keempat belas ini, dan merupakan seorang yang sepu rna dari kalangan umat Islam”. Banyak dari kalangan umat Islam yang berkeinginan untuk menjadi murid Mirza Ghulam Ahmad dan meminta agar dia mau menerima bai`at 7 mereka. Di sisi lain, Baraahin Ahmadiyyah telah membangkitkan reaksi keras dari kalangan non islam, terutama Hindu Arya Samaj, yang kemudian diikuti oleh kelompok Kristen. Mirza Ghulam Ahmad mulai menghadapi mereka langsung dengan mengadakan perdebatan-perdebatan. Mirza Ghulam Ahmad mulai mendapat tantangan dari kalangan Islam setelah dia mendakwakan dirinya sebagai al-Masih yang dijanjikan Masih Mau`ud dan Imam Mahdi pada tahun 1891. Sejak itu gelombang penentangan marak terjadi di kalangan Islam dan Kristen, dan kerapkali terjadi perdebatan- perdebatan seputar hidup matinya Nabi Isa. Di kalangan Islam yang menentang justru bekas sahabatnya yang memberikan dukungan sepenuhnya terhadap karya Baraahin Ahmadiyyah, yaitu Muhammad Hussein Batalvi. Penentang ini bermula dari keyakinan yang berbeda dimana Batalvi masih berkeyakinan bahwa Nabi Isa masih hidup di langit dan akan turun ke bumi suatu saat nanti. Perdebatan juga terjadi, tulis Purwanto 2008, dengan Henry Martin Clark, seorang tokoh Kristen yang mendirikan missi kesehatan dari Church Missionary Society di Amritsar pada tahun 1892. Pada tahun 1891 Mirza menulis buku Izalah Auham, dimana beliau memaparkan sebanyak 30 dalil al-Quran berkenaan telah wafatnya Nabi Isa. Pada tahun 1898 diperoleh informasi bahwasanya kuburan Nabi Isa ada di Srinagar, Kashmir, India. Pada 1899 beliau menulis buku Masih Hindustan al-Masih di India dimana dia menjelaskan kesaksian-kesaksian Bibel bahwa Nabi Isa itu 7 Bai`at Arab yang dimaksud di sini adalah janji seseorang yang menyatakan kepatuhan dan kesetiaan kepada Islam, Imam dan sistem dalam organisasi Ahmadiyah ketika seseorang akan masuk Ahmadiyah tidak mati di tiang salib, melainkan selamat dari kematian di tiang salib. Dari bukti-bukti sejarah Mirza memaparkan bahwa setelah peristiwa penyaliban itu Nabi Isa pergi mencari domba-domba Bani Israil yang hilang ke kawasan Asia Tengah; Syiria, Irak, Iran, Afganistan, sampai ke India. Akhirnya wafat dan dikebumikan di Srinagar, Kashmir, India. Selain terlibat dengan polemik-polemik dengan berbagai kalangan tokoh agama, Mirza Ghulam Ahmad sangat aktif menulis buku-buku. Tercatat sebanyak 88 judul buku yang dia tulis di dalam beberapa bahasa, antara lain bahasa Urdu, Arab, dan Persia. Kumpulan karya tulis ini kini diterbitkan dalam satu set dengan nama Rohani Khazain yang terdiri dari 23 volume 8 . Pada tahun 1905, berdasarkan petunjuk Allah SWT, Mirza mencanangkan suatu gerakan yang dinamakan al-Wasiyyat 9 , yaitu suatu gerakan pengorbanan harta dalam bentuk wasiat untuk memajukan dan menyebarkan Islam ke seluruh dunia. Mirza Ghulam Ahmad membentuk sebuah badan utama yang dinamakan Sadr Anjuman, yaitu yang akan mengelola segala permasalahan missi tersebut. Beliau mewasiatkan tentang akan adanya silsilah khilafah yang akan menggantikan beliau dan akan memimpin misi tersebut. Mirza Ghulam Ahmad wafat di Lahore pada tanggal 26 Mei 1908. Jenazahnya dibawa ke Qadian dan dikebumikan di sana. Setelah wafat ia digantikan oleh Khalifah Masih I yaitu Hafiz Hakim Nuruddin 1908-1914. Penyebaran dakwah Islam dan pengembangan misi Ahmadiyah ke Eropa sudah dimulai pada khalifah ini. Nuruddin wafat pada 1914 dan digantikan oleh Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad 1914-1965 sebagai khalifah kedua. Mirza Bashir- ud-Din Mahmud Ahmad merupakan anak Mirza Ghulam Ahmad. Penyebaran dakwah Islam dan pengembangan misi Ahmadiyah lebih terorganisir di tangannya ketika dia membentuk suatu gerakan pada 1935 yang dikenal dengan Tahrik Jadid Gerakan Baru. Dalam gerakan ini dia menghimpun dana dan tenaga-tenaga 8 Selain itu Mirza juga menerbitkan media-media massa untuk meyebarluaskan misi dakwah Islam, seperti Mingguan al-Hakam Urdu yang mulai diterbitkan sejak tahun 1897. Kemudian al- Badr Urdu mulai terbit sejak tahun 1902 dan The Review of Religions Inggris yang mulai terbit pada tahun 1902 Purwanto 2008. 9 Gerakan al-Wasiyyat pertama sekali sangat menekankan masalah ketakwaan dan pengorbanan harta yang harus melebihi dari orang lain, yaitu minimal 110 dari penghasilan. Dikatakan minimal 110 karena ada juga pengorbanan sebesar 116 yang diperuntukkan bagi pemula Ahmadi hasil wawancara dengan Muballigh ZAP, 2 Juli 2012. sukarela dari anggota Ahmadiyah yang mewakafkan diri mereka untuk pengembangan Islam ke seluruh dunia. Pada masa khalifah kedua ini Jemaat Ahmadiyah telah menyebar ke Eropa, Amerika, Asia dan Afrika. Setelah memimpin selama lebih dari 50 tahun Khalifah Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad meninggal pada 1965 dan digantikan oleh khalifah Masih III, yaitu Mirza Nashir Ahmad 1965-1982. Wafat pada 1982, Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad digantikan oleh Mirza Tahir Ahmad sebagai Khalifah Masih IV. Setelah wafat pada 2003 Mirza Tahir Ahmad digantikan oleh Mirza Masroor Ahmad sebagai khalifah V yang memimpin Jemaat Ahmadiyah seluruh di dunia menjabat dari tahun 2003 hingga sekarang.

5.1.3 Ahmadiyah dan Perannya di Dunia Internasional

Jemaat Ahmadiyah sekarang sudah menyebar ke 198 negara dengan jumlah 20 juta orang. Populasi terbesar, tulis Purwanto 2011, berada di Pakistan dengan perkiraan jumlah Ahmadi sebanyak empat juta orang. Sedangkan di India mencapai satu juta orang. Sementara di negara-negara lain jumlahnya lebih kecil, misalnya di Indonesia 200 ribu orang, Bangladesh 100 ribu, Inggris 30 ribu, Jerman 30 ribu, Kanada 25 ribu, Amerika Serikat 15 ribu dan di Israel mencapai 2000 orang. Perkembangan Ahmadiyah di seluruh dunia sangat bergantung pada paham keagamaan tradisional, situasi politik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di suatu negara tertentu. Misalnya, jika di sebuah negara ada paham Wahabi, maka Jemaat Ahmadiyah seringkali mengalami tantangan. Sebaliknya, jika suatu negara menganut kebebasan beragama, menghormati HAM dan pluralisme, Jemaat Ahmadiyah hampir tidak ada menghadapi tantangan. Penentangan terhadap Jemaat Ahmadiyah bisa juga terjadi di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Di Indonesia, misalnya, Jemaat Ahmadiyah tidak mengalami perkembangan yang signifikan jika dilihat lamanya gerakan keagamaan ini berada di Indonesia dan jika dibandingkan dengan organisasi keagamaan lain, seperti NU dan Muhammadiyah, yang sama-sama lahir di awal abad kedua puluh. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar ajaran yang mereka yakini berbeda dengan keyakinan mayoritas umat Islam. Sebaliknya, negara-negara yang minoritas Islam dan menjunjung tinggi kebebasan beragama, HAM, pluralisme relatif gampang diterima dan berkembang. Hal ini dapat terlihat di Eropa dan Amerika yang menjunjung tinggi kebebasan beragama, HAM, pluralisme. Kalau pun ada penentangan terhadap keberadaan Jemaat Ahmadiah, kebanyakan dari kelompok Muslim Sunni. Penentangan masyarakat barat lebih kepada kebenciannya terhadap Islam karena mereka menganggap Jemaat Ahmadiyah adalah Islam. Respon masyarakat di barat biasa-biasa saja dan menganggap Ahmadiyah seperti Islam yang mereka pahami, yaitu agama ekstrim dan teroris. Namun, berkat dakwah yang disampaikan secara rasional, lambat laun mereka mulai memahami Islam dan pada akhirnya tidak sedikit yang masuk Islam. Metode dakwah yang selama ini dikembankan adalah melalui dialog, brosur, majalah, buku, dan TV. Dalam konteks ini, seorang mubaligh nasional SA berkata: “Kami Jemaat Ahmadiyah sangat gencar mendirikan mesjid di Eropa, Afrika dan Amerika sehingga para diplomat Indonesia tidak asing lagi dengan mesjid Ahmadiyah. Di luar negeri yang paling tertarik dengan Ahmadiyah adalah kaum intelektual. Di barat, Ahmadi banyak berkiprah di lembaga bergengsi seperti bank dunia, pengadilan internasional di Den Hag, kalangan teknokrat, anggota senat di Inggris, duta besar dan menteri di beberapa negara di Afrika” Wawancara, 27 Juni 2012. Ketertarikan mereka masuk Ahmadiyah, lanjut SA, tidak lepas dari: 1 kebebasan berpikir yang diusung Ahmadiyah; 2 memperlihatkan bahwa Islam adalah agama yang ramah bukan teroris dan memperbolehkan tindakan ekstrimisme sebagaimana yang dipahami oleh barat selama ini; 3 al-Quran tidak bertentangan dengan sains dan ilmu pengetahuan. Poin ketiga ini sangat penting bagi Ahmadiyah karena, mengikuti pandangan barat, jika Ahmadiyah tidak memperlihatkan kepada barat bahwa Islam tidak bertentangan dengan sains dan ilmu pengetahuan, maka bagi mereka barat Islam sama saja dengan agama lain dimana ajarannya banyak yang tidak masuk akal, dan tidak ada bedanya Islam dengan agama-agama lain. Program-program penyebaran Islam ke seluruh dunia dan pengkhidmatan kepada umat manusia dalam bentuk penghimbauan kepada Allah da`wah ilallah, dijadikan sebagai prioritas utama. Program-program ini diwujudkan dalam bentuk pengiriman mubaligh-mubaligh ustadz ke mancanegara, mendirikan rumah sakit dan universitas, penerjemahan al-Quran dan tafsirnya yang sekarang sudah mencapai dalam 100 bahasa dunia, pembangunan mesjid, pembangunan sarana dakwah Islam melalui satelit dalam program Muslim Television Ahmadiyya MTA yang berdiri sejak tahun 1994. Tabel 7 Sebaran Perkembangan Ahmadiyah di Dunia Benua Negara Amerika Kanada, USA, Guatemala, Trinidad Tobago, Suriname, Brazil, dll Eropa Inggris, Jerman, Belanda, Denmark, Norwegia, Swedia, Prancis, Switzerland, Portugal, Spanyol, Italia, Belgia, New Zealand, Rusia, dll Asia Pakistan, India, Indonesia, Jepang, Thailand, Malaysia, Singapura, Sri Lanka, Fiji, Mesir, Iran, Yordania, Syiria, Palestina, Dll Afrika Zambia, Ghana, Uganda, Mauritius, Sierra Leone, Burkina Faso, Kenya, Tanzania, Nigeria, Liberia, dll Australia Australia Sumber: Diolah dari berbagai sumber sekunder Jemaat Ahmadiyah yang bermarkas di London Selatan dan dipimpin oleh Khalifah Mirza Masroor Ahmad ini sangat gencar membangun mesjid di belahan dunia seiring dengan makin bertambahnya anggota Jemaat Ahmadiyah. Setelah berhasil membangun Mesjid Nashr di Oslo, Norwegia, yang merupakan mesjid terbesar di kawasan Skandinavia pada September 2011 yang lalu, Februari yang lalu Jemaat Ahmadiyah berhasil membangun dua buah mesjid sekaligus dalam satu bulan di Catford dan Feltham, London, Inggris Darsus, 2012. Dalam peresmian Mesjid Tahir yang terletak di kawasan Catford ini dihadiri oleh sejumlah pejabat dan tamu kehormatan, termasuk Heidi Alexander MP, anggota parlemen untuk Lewisham Timur dan Sir Steve Bullock, Walikota Lewisham. Mereka menyambut baik atas dibangunnya mesjid tersebut, bahkan Sir Steve Bullock mengungkapkan bahwa tempat ibadah merupakan hak bagi setiap komunitas mana pun. Maria Macleod, anggota parlemen untuk Brentford dan Isleworth, Inggris, memuji peran Ahmadiyah dalam memperjuangkan perdamaian saat peresmian Mesjid Baitul Wahid yang terletak di Feltham, London. Tak hanya Macleod, anggota parlemen untuk Feltham dan Heston, Seema Malhotra, juga menilai bahwa Jemaat Ahmadiyah merupakan sebuah contoh komunitas keagamaan yang berjuang demi perdamaian dan sangat baik untuk dijadikan contoh. Gambar 12 Perkembangan Mesjid Ahmadiyah di seluruh Dunia. Jemaat Ahmadiyah, melalui Khalifah V, aktif menyuarakan perdamaian dunia. Misalnya, baru-baru ini, Mirza Masroor Ahmad mengirim surat kepada Presiden Iran, Mahmood Ahmadinejad, dan Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu, terkait semakin memanasnya hubungan kedua negara. Melalui surat tersebut Mirza Masroor Ahmad mengingatkan konflik kedua negara akan memberikan konsekuensi mengerikan bagi seluruh dunia karena akan melibatkan banyak negara dan pemakaian senjata pemusnah massa nuklir. Mirza Masroor Ahmad mengingatkan agar kedua negara menginvestasikan segala kemampuan untuk menghindari perang melaui jalur negosiasi. Mirza Masroor Ahmad sangat menyadari pentingnya peran AS sebagai negara adikuasa. Baginya, AS harus bisa menjaga perdamaian dunia melalui pengaruh besarnya di kancah internasional. Sadar akan peran AS Mirza Masroor Ahmad juga menyurati Presiden AS, Barack Obama, terkait dengan konflik antarnegara yang mengarah pada ancaman perang nuklir. Khalifah kelima ini mengingatkan Obama akan pecahnya perang dunia ketiga karena memiliki gejala yang sama dengan Perang Dunia II. Menurutnya, penyebab utama terjadinya Perang Dunia II adalah kegagalan Liga Bangsa-bangsa sekarang PBB dan krisis ekonomi yang dimulai pada 1932. Dia berharap krisis ekonomi global dan tidak stabilnya politik dunia tidak menjadi penyebab munculnya perang skala besar Darsus, 2012. Kegiatan-kegiatan sosial Jemaat Ahmadiyah juga mendapat respon yang baik di kalangan masyarakat di Inggris. Menteri Bidang Kemasyarakatan Inggris, Andrew Stunnell, memuji program Muslim for Life dengan salah satu agendanya donor darah. Stunnell berpendapat bahwa apa yang dilakukan Jemaat Ahmadiyah adalah salah satu komitmen dan bentuk pengabdian kepada negara. Bagi Jemaat Ahmadiyah, dengan slogan Love for All Hatred for None, menyumbangkan darah merupakan salah satu upaya dan komitmen menyelamatkan nyawa manusia, dan kegiatan ini merupakan bagian dari realisasi iman. Menyumbangkan darah adalah simbol dari memberikan sumber kehidupan bagi kemanusiaan. Sementara itu di Afrika, kegiatan Jemaat Ahmadiyah mendapatkan tempat di hati masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan penghargaan Presiden Sierra Leone, Ernest Bai Koroma, kepada Jemaat Ahmadiyah atas kontribusinya dalam membantu masyarakat setempat dalam mengembangkan dan membangun sektor pendidikan dan kesehatan. Kontribusi yang lain juga diperlihatkan Jemaat Ahmadiyah di Burkina Faso. Di negara yang terletak di Afrika ini para relawan Jemaat Ahmadiyah yang terdiri dari insinyur, dokter dan para pemuda membangun rumah sakit, sekolah, pembangkit listrik dan pompa air minum yang tersebar di berbagai daerah. Para insinyur Jemaat Ahmadiyah juga membangun “model village” atau desa percontohan di Burkina Faso yang dilengkapi dengan sarana listrik, air pam, pusat kegiatan masyarakat community center, green house yang ditanami berbagai tanaman sayuran, sistem irigasi dan pompa air tangan untuk pertanian. Mereka bekerja tanpa pamrih melainkan atas sikap ketakwaan dan keikhlasan sebagaimana yang diajarkan agama Khutbah Jumat, Februari 2012. Peran yang tidak kalah penting yang dilakukan Jemaat Ahmadiyah adalah meluruskan stigma negatif masyarakat barat atas Islam. Sebagaimana diketahui, barat memandang Islam tidak lebih dari agama teroris dan membolehkan tindakan kekerasan. Bahkan di barat saat ini, terutama pasca penyerangan gedung WTC pada 11 September 2001, agama yang paling banyak disalahpahami dan menjadi sorotan publik adalah agama Islam. Di Jerman hampir setiap hari media massa memberitakan seputar dunia Islam yang sebagian besar pemberitaannya adalah mengkritik ajaran Islam yang dianggap bar-bar dan primitif. Jemaat Ahmadiyah mencoba meluruskan pemahaman yang keliru tersebut dengan cara, diantaranya, menyebarkan spanduk yang berisi ajaran Islam yang sebenarnya di tempat-tempat strategis, seperti di halte bis, stasiun, telepon umum dan lain-lain. Aksi ini cukup menarik perhatian masyarakat dan media massa setempat dan mampu merubah opini Jerman terhadap Islam. Upaya memperkenalkan pemahaman Islam yang sebenarnya kepada masyarakat barat juga terlihat ketika Jemaat Ahmadiyah Kanada meluncurkan sebuah program Tour Dakwah berskala nasional yang berjudul “Qur`an Open House”. Hingga saat ini program ini telah menjangkau 254 kota di Kanada dan telah dikunjungi lebih dari 1,3 juta orang. Dalam acara tersebut masyarakat Kanada banyak tercerahkan dari penjelasan-penjelasan Jemaat Ahmadiyah tentang apa itu Islam, terutama masalah hukum Islam yang mereka anggap tidak manusiawi dan ketinggalan zaman, dan masalah jihad. Selama ini masyarakat barat memahami jihad adalah perang suci ala Islam untuk meraih surga yang dilakukan dengan segala macam cara, termasuk bom bunuh diri.

5.2 Masuknya Ahmadiyah ke Indonesia

5.2.1 Kemunculan Ahmadiyah

Secara geografis Indonesia terletak di daerah yang sangat strategis menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang terbuka dan toleran terhadap akulturasi budaya luar. Hal ini dibuktikan oleh sejarah perkembangan agama- agama di Indonesia seperti Hindu, Budha, Islam dari India dan Kristen dari Eropa. Semua agama ini punya pengaruh besar di Indonesia. Kedatangan Islam dan penyebarannya di Indonesia dilakukan secara damai tanpa kekerasan apalagi lewat penaklukan atau peperangan. Di antara saluran islamisasi di Indonesia pada taraf permulaannya ialah melalui perdagangan. Hal ini sesuai dengan kesibukan lalu lintas perdagangan abad ketujuh sampai abad keenam belas, perdagangan antara negeri-negeri di bagian Barat, Tenggara dan Timur benua Asia dan dimana pedagang-pedagang muslim Arab, Persia, India turut serta menggambil bagiannya di Indonesia. Penggunaan saluran islamisasi melalui perdagangan itu sangat menguntungkan karena menjalin hubungan antara masyarakat Indonesia dan pedagang Tjandrasasmita 1984. Islam yang masuk ke nusantara pada saat itu sangat mengakomodir nilai- nilai atau budaya bahkan agama lokal seperti Hindu. Tidak heran dalam menyiarkan agama Islam wali songo kerapkali menggunakan wayang atau tradisi lokal, yang notabene berasal dari Hindu, sebagai instrumen dakwahnya setelah dimodifikasi dengan ajaran-ajaran Islam. Sikap keterbukaan masyarakat Indonesia pada saat itu ditunjukkan dengan penerimaan Islam sebagai agama baru dengan tanpa resistensi yang berlebihan. Dalam perjalanannya juga Islam berkembang tanpa ada resistensi dari umat Islam Indonesia akan berbagai aliran dalam Islam seperti Syiah. Bahkan fase pertama kelahiran Islam di Indonesia tidak lepas dari kelompok sufistik yang notabene banyak berasal dari aliran Syiah Persia. Begitu juga dengan masuknya Ahmadiyah di Indonesia, yang juga lahir dari India. Meski punya hubungan erat dengan India, namun cara masuk dan tersebarnya Ahmadiyah dengan agama-agama di atas tidaklah sama. Jika agama- agama tersebut tersebar berkat mereka yang datang melalui jalur perdagangan, Ahmadiyah datang justru diundang oleh putra-putra bangsa Indonesia yang ketika itu menuntut ilmu agama Islam di pusat Jemaat Ahmadiyah di Qadian, India. Kedatangan Ahmadiyah Qadian di Indonesia berawal dari tiga orang lulusan sekolah Sumatera Thawalib yang dipimpin oleh DR. H. Abdul Karim Amarullah Haji Rasul di Padang Panjang yang bermaksud melanjutkan studi ke luar negeri usai mereka lulus di sekolah tersebut. Dua orang diantaranya adalah Abu Bakar Ayyub dan Ahmad Nuruddin asal Parabek, Bukittinggi. Semula mereka memutuskan untuk melanjutkan studi ke Mesir yang dianggap sebagai pusat kajian Islam di dunia. Akan tetapi, sebelum berangkat, mereka dinasehati oleh Zainuddin El Yunusiah, bekas guru mereka di Diniyah School, dan juga atas nasehat Syekh Ibrahim Musa Parabek, seorang ulama terkenal di Bukittinggi, agar kedua pelajar itu sebaiknya menuntut ilmu ke Hindustan India saja, dengan alasan orang sudah banyak belajar ke Mesir sehingga perlu mencari ilmu ke negara lain. Kedua ulama ini menganggap Hindustan punya tokoh-tokoh ulama dan perguruan tinggi yang berkualitas. Pada bulan Desember 1922, Abu Bakar Ayyub dan Ahmad Nuruddin berangkat dari Sumatera ke India melalui Medan dengan tujuan kota Lucknow. Di kota ini mereka menjadi tiga orang dengan kedatangan teman mereka Zaini Dahlan dari Padang Panjang. Di kota ini mereka mencari ulama, dan berkat bantuan tukang dilman, mereka dapat bertemu dengan seorang ulama besar bernama Abdul Bari al-Anshari. Mereka belajar di sekolah yang ia asuh, yaitu Madrasah Nizhamiyah, sebuah madrasah setingkat Aliyah Zulkarnain 2006. Setelah dua bulan berada di kota Lucknow mereka berangkat ke kota Lahore, dan di kota inilah mereka pertama kali mengenal Jemaat Ahmadiyah. Kemudian mereka memutuskan meninggalkan Madrasah Nizhamiyah karena mengetahui guru mereka setiap pagi pergi menyembah kuburan seorang kyai. Di Lahore mereka didik oleh Maulana Abdus Satar, namun tidak puas dan meninggalkan kota tersebut pada tahun akhir 1923 menuju Qadian setelah tinggal selama enam bulan. Di Qadian mereka diterima oleh tokoh Jemaat ahmadiyah sekaligus adik ipar Mirza Ghulam Ahmad, yaitu Maulana Mir Muhammad Ishak. Sehari setelah tiba di Qadian mereka mendapat kesempatan bertemu dengan Imam dan Khalifah II Jemaat Ahmadiyah, yaitu Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad dan dia mengizinkan ketiga pelajar itu melanjutkan studi di madrasah Ahmadiyah. Namun, mereka harus belajar bahasa Urdu lebih dahulu selama enam bulan. Setelah menamatkan madrasah Ahmadiyah mereka kemudian masuk Jamiah Ahmadiyah setingkat perguruan tinggi, dan tidak lama setelah itu mereka dibai`at di tangan Khalifah II. Atas informasi ketiga pelajar itu, maka berdatanganlah para pemuda Indonesia lainnya asal sumatera ke Qadian untuk menuntut ilmu hingga jumlah mereka 19 orang, diantaranya adalah: Mahmud Padang Panjang, Samsuddin Rao-rao Batusangkar, Moh. Jusyak Sampur, Moh. Ilyas Padang Panjang, Hajiuddin Rengat, Abdul Aziz Shreef Padang, Moh. Idris dan Abdul Samik Padang Panjang. Akhirnya, karena anggota sudah mulai banyak, merea mendirikan Perkumpulan Ahmadi Indonesia Zulkarnain 2006. Merasa perlu mengembangkan Jemaat Ahmadiyah ke Indonesia, dalam sebuah acara jamuan teh yang juga dihadiri oleh Khalifah II sekembalinya dari London, pelajar Indonesia minta kepada Khalifah berkunjung ke Indonesia seperti kunjungan-kunjungannya ke Eropa. Atas permintaan tersebut beliau menunjuk Maulana Rahmat Ali sebagai muballigh untuk Sumatera dan Jawa, yang ketika itu dia sebagai guru di Ta`limul Islam High School, Qadian. Di sinilah titik awal masuknya Ahmadiyah Qadian ke Indonesia, yaitu atas permintaan para pelajar Indonesia. Sebelum berangkat Rahmat Ali belajar bahasa Indonesia dari para pelajar Indonesia dengan menggunakan buku Empat Serangkai yang dipesan dari Sumatera. Rahmat Ali berangkat dari Qadian akhir Juli 1925 dan tiba di Tapaktuan Aceh pada 2 Oktober 1925, melalui Penang, Medan dan Pulau Weh Sabang. Sebagaimana di tempat-tempat lain yang mempercayai akan datangnya Imam Mahdi, maka ratusan penduduk menunggu Rahmat Ali sesuai dengan pesan pelajar Indonesia kepada mereka lewat surat yang dikirim dari Qadian. Pada tahun 1926 Rahmat Ali meninggalkan Tapaktuan menuju Padang, Sumatera Barat. Sesampainya di Padang, seperti ketika di Tapaktuan, dia melakukan tabligh dakwah dan menimulkan kehebohan kota Padang hingga ke daerah lain seperti Padangpanjang, Bukittinggi dan daerah lainnya. Dakwah Rahmat Ali mendapat tantangan dari para ulama Sumatera Barat termasuk ayah Hamka, Dr. H. Abdul Karim Amarullah yang menganggap Ahmadiyah berada di luar Islam, bahkan dikatakan kafir. Pada waktu itu juga berdiri Komite Mencari Hak dibawah pimpinan Tahar Sutan Marajo yang bertujuan mempertemukan mubaligh Ahmadiyah dengan ulama yang ada di Sumatera Barat. Reaksi dari para ulama bersumber dari doktrin-doktrin yang disampaikan Rahmat Ali yang berseberangan dengan keyakinan yang selama ini mereka yakini. Pada tahun 1931 Rahmat Ali meninggalkan kota Padang menuju Pulau Jawa untuk melanjutkan misinya, yang menurut Hamka dalam Zulkarnain 2006 karena kuatnya tekanan dari ulama Sumatera Barat. Langkah awal yang dilakukan Rahmat Ali adalah mengadakan kursus bahasa Arab. Karena semakin bertambahnya jumlah pengikut Rahmat Ali, maka pada tahun 1932 mereka sepakat membentuk Ahmadiyah cabang Betawi dengan susunan kepengurusan